PENDAHULUAN. Latar Belakang. perikanan. Produk domestik bruto (PDB) dari produk perikanan ini pada tahun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dalam situasi pasca krisis ekonomi saat ini, sub sektor perikanan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Udang laut merupakan salah satu komoditas utama di sektor perikanan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

VII. PRODUKTIVITAS TAMBAK TAHUN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY

I. PENDAHULUAN. budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Udang merupakan salah satu komoditas primadona di sub sektor perikanan yang

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

BUDIDAYA UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) SEMIINTENSIF DENGAN METODE SIRKULASI TERTUTUP UNTUK MENGHINDARI SERANGAN VIRUS

ANALISIS USAHATANI PEMBENIHAN UDANG VANNAMEI DAN PENGEMBANGANYA DI CV. GELONDONGAN VANNAMEI DESA BANJARSARI KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK SKRIPSI

PENDAHULUAN Latar Belakang

White Spot Disease (WSD) White Spot Syndrome Virus (WSSV) Menyerang Family Penaeidae

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah laut Indonesia dikelilingi garis pantai sepanjang km yang

PORTOFOLIO PEMBESARAN UDANG VANAME UNIT 16 ROI

I. PENDAHULUAN. Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan salah satu. makanan sumber protein hewani yang banyak digemari masyarakat baik

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 70% wilayah perairan dengan daya dukung lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

BAB I PENDAHULUAN. pantai mencapai km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMBERDAYAAN PEMBUDIDAYA IKAN DAN UDANG TAMBAK, DESA KENDALKEMLAGI, KECAMATAN KARANGGENENG, KABUPATEN LAMONGAN, PROPINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis merupakan serangkaian kegiatan yang terkait dengan upaya

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA EKSTENSIF PLUS DI LAHAN MARGINAL

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. luas dan garis pantai yang panjang menjadi daya dukung yang sangat baik untuk

I. PENDAHULUAN. air tawar, payau, dan perikanan laut, dapat dilihat dari semakin banyaknya

ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHATANI UDANG WINDU DAN UDANG VANNAMEI SECARA INTENSIVE DI DESA BEURAWANG KECAMATAN JEUMPA KABUPATEN BIREUEN

Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar

Budidaya Udang Windu

I. PENDAHULUAN. Rumput laut atau seaweeds adalah tanaman air dikenal dengan istilah alga atau

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Kebijakan Perikanan Budidaya. Riza Rahman Hakim, S.Pi

DISTRIBUSI PENYAKIT WSSV PADA AREAL PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG WINDU DI KABUPATEN BULUKUMBA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Agribisnis merupakan serangkaian kegiatan yang terkait dengan

V. POSISI DAYA SAING UDANG INDONESIA, TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. (FAO, 2016a) dan produksi dua jenis udang yaitu Litopenaeus vannamei dan Penaeus

DISTRIBUSI WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) PADA BEBERAPA MAKROORGANISME DI SALURAN PERTAMBAKAN BUDIDAYA UDANG DI KABUPATEN BANYUWANGI DAN PROBOLINGGO

PENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA

STATUS, MASALAH, DAN ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH PADA PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG VANAMEI (Litopenaeus vannamei) DI SULAWESI SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk

PORTOFOLIO PEMBIAYAAN OPERASIONAL PEMBESARAN UDANG VANAME UNIT 11 ROI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KERANGKA PENDEKATAN TEORI

KORELASI ANTARA PANJANG DAN BERAT UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF DENGAN KEPADATAN BERBEDA

KONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH

KELULUSAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN CACING LUR Nereis sp. (POLYCHAETA, NEREIDAE) YANG DIPELIHARA PADA SUBSTRAT DAN PADAT PENEBARAN BERBEDA 1

Sebagai acuan / pedoman pelaku percontohan budidaya lele dengan menggunakan pakan (pellet) jenis tenggelam.

BAB VI INDIKATOR KINERJA YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

TOLERANSI KADAR GARAM JENIS KEPITING BAKAU DI TAMBAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

KARAKTERISTIK KUALITAS PERAIRAN TAMBAK DI KABUPATEN PONTIANAK

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI PENERAPAN PETUNJUK BUDIDAYA YANG BAIK (BETTER MANAGEMENT PRACTICES, BMP) PADA TAMBAK UDANG TRADISIONAL DI KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. global saat ini. Sektor ini bahkan berpeluang mengurangi dampak krisis karena masih

Muhammad Nur Syafaat* & Abdul Mansyur

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui

KELAYAKAN BUDIDAYA UDANG VANNAMEI DI REJOTENGAH, DEKET LAMONGAN SKRIPSI

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bimbingan Teknologi Budidaya Air Payau bagi Penyuluh Perikanan Barru, Maret 2017

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

I. PENDAHULUAN. 1 dan Bisnis disektro Kelautan [10 Februari 2009].

I. PENDAHULUAN. bahkan semakin meningkat perannya dalam perolehan devisa negara. Sub sektor

EVALUASI BUDIDAYA UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) DENGAN MENINGKATKAN KEPADATAN TEBAR DI TAMBAK INTENSIF

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah laut Indonesia mempunyai lebih dari pulau dan dikelilingi garis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

MAKALAH MANAJEMEN AGRIBISNIS PERIKANAN PROSPEK BISNIS PERIKANAN 5 TAHUN KEDEPAN

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover)

I. PENDAHULUAN. Saat ini perikanan tangkap di Indonesia telah mengalami gejala padat tangkap

PENDAHULUAN. Budidaya perikanan merupakan satu diantara beberapa kegiatan yang. daerah termasuk Sumatera Utara. Sehingga dengan peningkatan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. ekor/tahun dan terdiri dari 240 jenis ikan hias air laut (marine ornamental fish)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan

PERTANIAN.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prospek Perikanan Di Indonesia

Pertumbuhan Gracilaria Dengan Jarak Tanam Berbeda Di Tambak. Growth of Gracilaria under Different Planting Distances in Pond

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Prospek perikanan dan budidaya sidat memiliki peluang baik untuk

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi yang besar di bidang perikanan. Produk domestik bruto (PDB) dari produk perikanan ini pada tahun 2009 telah mencapai nilai 177,8 trilyun rupiah (Ditjen Perikanan Budidaya, 2010). Produksi perikanan tersebut dihasilkan melalui tangkapan dan budidaya. Perikanan budidaya merupakan kegiatan yang berpotensi untuk dapat ditingkatkan, seiring dengan penguasaan dan pengembangan teknologi perikanan, sedangkan perikanan tangkap justru mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Udang windu merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang potensial bagi Indonesia, karena mempunyai peluang ekspor sehingga mendatangkan devisa bagi negara. Selain itu, udang windu merupakan spesies lokal, secara alami tersedia keaneka ragaman varietas induk yang dapat dipergunakan sebagai sumber plasma nutfah. Indonesia pernah menjadi negara produsen sekaligus pengekspor udang terbesar dunia sejak dicanangkan Program Udang Nasional pada tahun 1982 (Dahuri, 2013). Indonesia mempunyai peluang besar untuk pengembangan udang windu. Hal ini terlihat dari ekspor komoditas udang windu pada tahun 2002 telah mencapai US$ 840 juta (Oktaviani dan Erwidodo, 2005). Ekspor udang windu tersebut masih berpeluang besar dan dapat lebih ditingkatkan lagi, mengingat potensi berupa lahan budidaya tersedia cukup luas.

2 Kejayaan Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor udang dunia mengalami penurunan dari 300.000 ton pada tahun 1995 menjadi 150.000 ton pada tahun 1996 sampai 1999 akibat serangan penyakit yang diakibatkan oleh Monodon Baculo Virus (MBV), WSSV dan lainnya (Dahuri, 2013). Target yang dicanangkan oleh pemerintah belum sepenuhnya dapat dicapai, seperti terlihat dari pencapaian target tahun 2011 untuk udang windu adalah sebesar 130.000 ton, namun realisasinya baru mencapai 114.676 ton (88,21%) (Soebjakto, 2012). Kendala utama yang dihadapi dalam budidaya udang adalah serangan virus. Lima jenis virus yang telah ditemukan pada budidaya udang windu, yaitu Monodon Baculo Virus (MBV), Yellow Head Virus (YHV), White Spots Syndrome Virus (WSSV), Infectious Hematopoietic and Hypodermal Necrotic Virus (IHHNV), dan Hepatopancreatic Parvo-Like Virus (HPV) (Lightner, 1996). Di antara jenis virus tersebut, WSSV merupakan jenis virus yang paling ganas, karena menyebabkan kematian dan kerugian yang cukup besar (Lightner, 1996; Flegel, 1997; Chou et al. 1998). Kejadian WSSV di Indonesia dimulai pada sekitar tahun 1994 dengan adanya kematian masal pada udang windu di tambak disertai dengan adanya bercak putih pada karapas udang. Tingkat prevalensi tambak terserang WSSV dilaporkan cukup tinggi, bahkan hingga mencapai 100%, namun demikian belum pernah dilakukan penelitian secara rinci terkait dengan prevalensinya. Faktor berkorelasi positif pada terjadinya infeksi WSSV, antara lain lokasi tambak udang yang dekat dekat garis pantai (Mohan et al., 2008). Padat penebaran udang, pengangkatan tanah dasar sehabis panen, pemberian pakan segar berupa moluska

3 juga merupakan faktor risiko terjadinya infeksi WSSV (Tendencia et al., 2011). Pemberian pakan udang dengan pakan segar atau udang terinfeksi WSSV juga berpotensi menularkan WSSV (Corsin et al., 2011; Tendencia et al., 2011). Faktor lingkungan diketahui menjadi pemicu terjadinya wabah penyakit WSSV. Parameter faktor lingkungan ini perlu dilakukan penelitian lebih teliti, seperti pengaruh temperatur air, kadar oksigen, dan salinitas terhadap perkembangan virus sehingga menyebabkan kematian pada udang. Hasil penelitian secara laboratorium ini dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya wabah di tambak udang. Serangan WSSV dapat terjadi pada bulan pertama setelah penebaran benih. Kematian masal umumnya terjadi dalam waktu 1-2 hari setelah terlihat tanda serangan WSSV, yaitu berupa udang mati dengan tanda bercak pada bagian karapas. Tingkat mortalitas udang windu terserang WSSV 80% - 100% dalam waktu antara 3-10 hari (Wongteerasupaya et al., 1995; Lotz, 1997; Cock et al., 2009;). Durand dan Lightner (2002) mendapatkan bahwa sampel udang windu stadia juwana yang mengalami kematian di tambak di Indonesia, mengandung WSSV antara 2,0 x 10 4 hingga 1,4 x 10 7 kopi/ μg DNA). White spot syndrome virus tidak hanya menyebabkan kematian pada udang windu, tetapi juga menyerang dan menyebabkan kematian udang lain. Udang Penaeus stylirostris dalam kondisi hampir mati (moribund) mengandung WSSV antara 1,3 x 10 7 sampai dengan 9,0 x 10 10 kopi/μg DNA, sedangkan udang P. vannamei yang diinfeksi buatan, pada kondisi sekarat mengandung 1,3 x 10 7 sampai dengan 9,0 x 10 10 kopi WSSV/g DNA (Durand dan Lightner, 2002).

4 Beberapa organisme dapat menjadi vektor virus, misalnya burung dan cacing polychaeta. Burung seperti bangau dan camar dapat menjadi perantara sementara bagi virus hanya dalam waktu beberapa jam di dalam saluran pencernaannya (Vanpatten et al., 2004). Meskipun WSSV dapat ditularkan melalui beberapa jenis udang, namun artemia bukan merupakan carier WSSV (Waikhom et al., 2006) dan juga bukan merupakan vektor virus (Hameed et al., 2002). Pada kondisi alam, faktor yang memicu kematian udang diantaranya adalah temperatur dan kadar oksigen yang rendah. Stress udang menyebabkan dengan cepat virus akan menggandakan diri sehingga mencapai kadar yang mampu menyebabkan kematian. Akibat serangan WSSV, budidaya udang windu di Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar karena tambak tidak dapat dipanen. Penularan dari satu petak tambak ke petak tambak terjadi sangat cepat, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya wabah kematian masal dalam satu kawasan. Rendahnya populasi udang yang hidup setelah terjadinya serangan penyakit mengakibatkan program pengembangan udang resistan penyakit mengalami kesulitan (Cock et al., 2009). Serangan penyakit yang disebabkan oleh WSSV terjadi secara cepat, baik di dalam satu petakan tambak, maupun penularan dari satu petakan ke petakan yang lain. Tambak udang windu merupakan suatu wadah pemeliharaan yang dibatasi dengan adanya pematang yang sekaligus berfungsi untuk memisahkan satu petakan tambak dengan petakan tambak lainnya. Meskipun tambak sudah

5 dibatasi dengan pematang, namun demikian penularan virus masih dapat terjadi. Oleh sebab itu kajian terhadap sistem penularan virus di lingkungan perlu dilakukan. Keberadaan beberapa jenis organisme di tambak juga dapat berperan sebagai karier WSSV. Krustase telah diketahui sebagai organisme pembawa WSSV. Selain krustase, organisme lain seperti cacing laut (Nereis) juga telah dilaporkan sebagai karier WSSV. Jenis organisme pembawa WSSV yang semakin beragam memunculkan dugaan bahwa trisipan (moluska laut) dapat menjadi karier bagi WSSV, karena setiap kejadian serangan penyakit, bangkai udang selalu dikelilingi moluska. Perlakuan managemen yang baik (Best Management Practices, BMP) menyebabkan risiko terjadinya infeksi WSSV dapat direduksi, yaitu dengan melakukan praktek budidaya yang baik, antara lain pengambilan lumpur, pembalikan tanah dasar tambak, pengapuran, pengeringan sempurna diantara periode budidaya, filtrasi air melalui saringan dengan ukuran mesh 300 μm mesh dan pemupukan fosfat (Corsin et al., 2001; Velasco et al., 2002; Mohan et al., 2008; Tendencea et al., 2011). Tambak dalam sistem klaster juga berkorelasi negatif dengan terjadi infeksi WSSV (Mohan et al., 2008) Pemerintah Indonesia telah merencanakan beberapa program untuk peningkatan produksi, antara lain Intensifikasi Tambak (Intam), Peningkatan Produksi Ikan untuk Ekspor (Propekan), dan Tumpuan Pijakan bagi Pertumbuhan Nasional (Progrowth) (Anonimous, 2006). Diversifikasi spesies juga telah dilakukan melalui introduksi spesies baru, berupa udang Vanamei (Litopenaeus

6 vanamei) dan udang biru (Litopenaeus rostris). Introduksi udang jenis Vanamei dan Rostris ini juga akan mengalami kendala terserang WSSV apabila masalah WSSV belum dapat diatasi dengan baik. Udang vannamei maupun udang rostris merupakan jenis udang yang juga rentan terhadap WSSV (Lightner, 1996). Beberapa peneliti menyebutkan bahwa infeksi WSSV dapat direduksi dengan melakukan praktek budidaya yang baik, antara lain pembalikan tanah dasar tambak, pengapuran, pengeringan sempurna diantara periode budidaya, filtrasi air melalui saringan dengan ukuran mesh 300 μm mesh dan pemupukan fosfat (Corsin et al., 2001; Velasco et al., 2002; Mohan et al., 2008; Tendencea et al., 2011). Harapan bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi udang budidaya, khususnya budidaya udang windu masih terbuka lebar. Modal untuk peningkatan produksi adalah melalui penerapan cara budidaya yang benar, selain itu luasan tambak udang yang tersedia pada saat ini sebesar 1,22 juta Ha tambak air payau (Anonimous 2010; Dahuri, 2013). Udang windu yang merupakan spesies lokal yang bisa budidaya dapat dipicu melalui budidaya teknologi semiintensif untuk mengisi 400.000 ha tambak di seluruh nusantara yang merupakan 30% area potensial budidaya udang. Keberhasilan tersebut dapat dicapai melalui penerapan cara budidaya secara benar. Apabila dengan taksiran satu hektar mampu menghasilkan hingga 4 ton per ha, maka akan diproduksi 1,6 juta ton udang windu per tahun. Harga udang windu saat ini adalah US$ 8 per kg, maka pendapatan kotor yang diperoleh adalah US$ 12,8 miliar per tahun dan mampu

7 menyerap tenaga kerja sebanyak 800.000 orang untuk pekerja tambak dan 1,6 juta orang off farm (Dahuri, 2013). Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Seberapa besar prevalensi WSSV pada tambak tekonologi tradisional udang windu? 2. Faktor apa saja yang berisiko untuk terjadinya infeksi WSSV? 3. Faktor apa saja yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi infeksi WSSV? 4. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi produksi udang windu terkait terjadinya infeksi WSSV? 5. Bagaimana pola transmisi infeksi WSSV di lingkungan air? apakah bisa dicegah secara fisik? 6. Apakah jenis moluska tertentu dapat menjadi perantara terhadap terjadinya transmisi WSSV? 7. Apakah teknologi klaster dengan penyanggah dapat mengendalikan penularan WSSV? Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk (1) kajian prevalensi WSSV, faktor risiko kejadian WSSV, dan faktor yang berpengaruh pada produksi udang windu di

8 tambak tradisional, (2) uji cara transmisi WSSV melalui air, kohabitasi pada udang windu dan trisipan, serta (3) uji aplikasi lapang pengendalian WSSV pada tambak udang windu melalui penerapan BMP berbasis klaster dan tambak penyanggah. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah meberikan pedoman praktis bagi masyarakat pembudidaya udang windu serta memberikan manfaat secara akademis dalam hal (1) pengendalian faktor risiko terjadinya infeksi WSSV serta faktor yang berpengaruh pada produksi udang windu pada tambak tradisional, (2) mengantisipasi terjadinya transmisi WSSV melalui air, kohabitasi baik melalui udang windu dan trisipan, serta (3) metode pengendalian WSSV melalui penerapan BMP berbasis klaster dengan tambak penyanggah. Keaslian Penelitian Penelitian epidemiologi WSSV terkait dengan faktor risiko pada tambak udang windu tradisional belum banyak dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah berkaitan dengan teknik identifikasi WSSV (Lo et al., 1996; Nunan et al., 1997; Suppamataya et al., 1998), cara penularan WSSV (Chang et al., 1998; Wang et al., 1999; Liu et al., 2007), virulensi (Marks et al., 2005), kajian genetik (Wongteerasupaya et al., 2003; Hoa et al., 2005), sedangkan yang terkait dengan faktor risiko masih sedikit (Corsin et al., 2001; Tendencia et al.,

9 2011). Penelitian terkait faktor risiko di India dilakukan pada benih sebagai pembawa WSSV. Faktor risiko penularan WSSV pada tambak polikultur udang dengan padi (Corsin et. al., 2001). Penelitian ekplorasi jenis-jenis organisme yang potensial menularkan WSSV yang pernah dilakukan adalah melalui udang laut, rajungan, kepiting, artemia (Chang et al., 1998; Hameed et al., 2002) dan udang galah, transmisi melalui cacing (Laoaroon et al., 2005), sedangkan untuk organisme tambak seperti trisipan yang merupakan organisme pemakan bangkai (scavenger organism) belum pernah dilakukan. Upaya pengendalian penyakit di tambak berbasis BMP telah disinggung dan memberikan korelasi positif terhadap produksi udang (Taslihan dan Supito, 2005), strategi panen dini sebagai upaya menekan kerugian pada tambak udang windu semiintensif (Thurnbull et al., 2005), sedangkan model penerapan klaster dan tambak penyanggah sebagai biosekuriti pada tambak tradisional belum pernah dilakukan di Indonesia.