BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

BAB I PENDAHULUAN. ada yang belum diatur pada suatu peraturan-peraturan atau pun pada Undang-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis penulis yang telah dilakukan maka dapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAMPIRAN II : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 600/PRT/M/2005 Tanggal : 23 Desember 2005

PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara hukum yang diselenggarakan berdasarkan konstitusi

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan setiap manusia yang ada di muka bumi ini. Maka dalam. membicarakan hukum tidak dapat lepas dari membicarakan tentang

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan analisis pembahasan, hasil penelitian yang penulis

RELEVAN PEMERIKSAAN PRAPERADILAN MENJADI GUGUR APABILA PERKARA POKOK SUDAH MULAI DIPERIKSA. Oleh : Abadi B. Dharmo

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 1 Pada awal diundangkannya KUHAP, bangsa Indonesia sangat bangga atas terciptanya karya kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana nasional tersebut. Kehadiran KUHAP telah memberikan harapan besar bagi terwujudnya penegakan hukum pidana yang lebih efektif, adil, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sehingga tidak heran jika pada awal-awal diberlakukannya, KUHAP disebut-sebut sebagai Karya Agung Bangsa Indonesia. 2 Di dalam KUHAP terdapat beberapa hal yang baru yang bersifat fundamental apabila dibandingkan dengan Het Herziene Inlands Reglement (HIR) yang juga dikenal dengan Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB), 3 salah satunya perihal praperadilan. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. 1 Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Kedelapan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 63. 2 Al. Wisnubroto & G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3. 3 Loebby Loqman, 1987, Pra-Peradilan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 7.

2 Praperadilan di dalam KUHAP diletakan pada Bab X Bagian Kesatu sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. 4 Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Jika selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan 5 sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP yang berbunyi: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 6 Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: 1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; 4 M. Yahya Harahap, 2012, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan Ketiga Belas, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1. 5 Ibid, hlm. 1-2. 6 Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76).

3 2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 7 Adapun penggunaan kata lembaga tidak merujuk pada suatu institusi atau suatu struktur dalam penegakan hukum, akan tetapi penggunaan kata lembaga menunjukan sebuah badan atau bentuk yang memiliki tujuan 8 yang hendak ditegakan dan dilindungi, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. 9 Jadi jelas sekali bahwa lembaga praperadilan dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan. 10 Tujuan adanya pengawasan ini adalah antara lain untuk konkritisasi konsep hak asasi manusia (HAM) sebagaimana telah menjadi rujukan di dalam KUHAP. 11 Setelah KUHAP diberlakukan selama kurun waktu kurang lebih 35 (tiga puluh lima) tahun, ternyata semakin menampakan adanya keterbatasan-keterbatasan. Harapan-harapan terhadap KUHAP telah berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan setelah pada kenyataannya masih saja terjadi pelanggaran HAM pada proses peradilan pidana. Di sisi lain, ternyata KUHAP masih saja menampakan peluang-peluang untuk 7 Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76). 8 Tolib Effendi, 2014, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya Di Indonesia, Setara Press, Malang, hlm. 154. 9 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 3. 10 Luhut M. P. Pangaribuan, 2014, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat Di Pengadilan Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Bandiing, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, hlm. 97. 11 Ibid, hlm. 98.

4 ditafsirkan sekehendak pihak yang berkepentingan sehingga justru semakin kehilangan aspek kepastian hukumnya. Lobang-lobang kevakuman ketentuan yang diatur di dalam KUHAP sering menimbulkan persoalan dalam pelaksanaannya. Fenomena yang sering kali tampak dalam kasuskasus riil, 12 seperti pada putusan praperadilan bagi Bachtiar Abdul Fatah dan Budi Gunawan. Pada tanggal 27 November 2012, Suko Harsono selaku hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dibantu Umiarti selaku panitera pengganti pada pengadilan negeri tersebut menjatuhkan putusan Nomor: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel untuk pemohon Bachtiar Abdul Fatah dan termohon Jaksa Agung Republik Indonesia cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus cq. Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dengan amar yang berbunyi: 1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 3. Menyatakan tidak sah menurut hukum penahanan terhadap Pemohon sesuai Surat perintah penahanan Nomor: Print- 30/F.2/Fd.1/09/2012 tanggal 26 September 2012 sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; 4. Memerintahkan kepada Termohon untuk membebaskan Tersangka BACHTIAR ABDUL FATAH (Pemohon dalam perkara praperadilan ini) dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan; 12 Al. Wisnubroto & G. Widiartana, Op.Cit., hlm. 3-4.

5 5. Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Pemohon; 6. Memulihkan hak-hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya; 7. Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya; 8. Menghukum Termohon untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara praperadilan ini sebesar: Rp. 5.000 (lima ribu rupiah). 13 Sementara pada tanggal 16 Februari 2015, Sarpin Rizaldi selaku hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dibantu Ayu Triana Listiati selaku panitera pengganti pada pengadilan negeri tersebut menjatuhkan putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel untuk pemohon Budi Gunawan dan termohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cq. Pimpinan KPK dengan amar dalam pokok perkara yang berbunyi: 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk sebagian; 2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik- 03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat; 3. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 13 Amar atau diktum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel., hlm. 79 80.

6 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat; 4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah; 5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon; 6. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil; 7. Menolak Permohonan Pemohon Praperadilan selain dan selebihnya. 14 Dilihat secara kasat mata di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP tidak diatur perihal sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Namun, di dalam putusan praperadilan baik yang dikeluarkan oleh hakim Suko Harsono maupun Sarpin Rizaldi, keduanya memutus kurang lebih bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh termohon adalah tidak sah. Artinya, di dalam kedua putusan praperadilan tersebut hakim yang bersangkutan secara tidak langsung mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Kendatipun sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 yang salah satu amarnya pada intinya mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, tetapi perdebatan diantara para pakar hukum khususnya dalam hal ini para pakar hukum pidana dan acara pidana tidak kunjung selesai, tetap ada yang berpendapat bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai obyek praperadilan, begitu juga sebaliknya. 14 Amar atau diktum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., hlm. 242 243.

7 Perdebatan terutama dalam konteks kedua putusan praperadilan yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan sebelum adanya putusan MK tersebut. Kedua putusan praperadilan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Hakim yang bersangkutan ketika melakukan penemuan hukum tersebut tentunya mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Tidak dapat disangkal lagi kebenarannya bahwa penemuan hukum yang baik terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam pasalpasal KUHAP akan dapat mencapai tujuan dari pembentukannya sesuai dengan kehendak pembentuk undang-undang. Namun, sebaliknya penemuan hukum yang buruk atau kurang tepat terhadap ketentuanketentuan tersebut akan membuat tujuan dari pembentukan KUHAP itu sendiri menjadi tidak ada gunanya sama sekali. 15 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai obyek praperadilan menurut KUHAP sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014? 15 P. A. F. Lamintang & Theo Lamintang, 2013, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Edisi Kedua, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 11.

8 2. Apa pertimbangan hakim yang bersangkutan sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Tujuan obyektif a. Menegaskan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai obyek praperadilan menurut KUHAP sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014. b. Mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim yang bersangkutan sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. 2. Tujuan subyektif Penelitian ini dimaksudkan untuk menyelesaikan Penulisan Hukum sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan hendaknya asli, dalam arti bahwa masalah yang dipilih belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya atau harus dinyatakan dengan tegas bedanya dengan penelitian yang sudah

9 pernah dilakukan. 16 Oleh karena itu sejauh pengetahuan Peneliti, penelitian dengan judul Analisis Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Terkait Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka Sebagai Obyek Praperadilan belum pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Namun, untuk lingkup Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada terdapat penelitian dengan tema yang sama terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, tetapi berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan. Adapun penelitian yang ada sebelumnya itu adalah sebagai berikut: 1. Taufan Trianggara Atmaja dengan NIM 09/285773/HK/18211 melakukan penelitian dengan judul Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 Terhadap Sah/tidaknya Penetapan Tersangka Sebagai Obyek Praperadilan. Adapun rumusan masalahnya, yaitu: a. Bagaimanakah sah tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014? b. Bagaimanakah sah tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014? 17 2. Rizka Fakhry A. dengan NIM 11/312053/HK/18683 melakukan penelitian dengan judul Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan dalam KUHAP Terhadap Pelaksanaan Pengujian 16 Maria S. W. Sumardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar, Cetakan Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 18. 17 Taufan Trianggara Atmaja, 2015, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014 Terhadap Sah/tidaknya Penetapan Tersangka Sebagai Obyek Praperadilan, Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 9.

10 Sah/tidaknya Penetapan Tersangka. Adapun rumusan masalahnya, yaitu: a. Bagaimana pendapat Penulis terkait perluasan kewenangan praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka? b. Bagaimana implikasi lemahnya pengaturan perihal praperadilan dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka? 18 Dari pemaparan di atas sudah sangat jelas perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Peneliti dengan penelitian yang dilakukan baik oleh Taufan Trianggara Atmaja maupun oleh Rizka Fakhry A., walaupun sama-sama terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Di dalam penelitian ini, Peneliti membahas dan menganalisis pertimbangan hakim yang bersangkutan ketika melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) di dalam kedua putusan praperadilan yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan sebelum adanya putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014, sementara baik Taufan Trianggara Atmaja maupun Rizka Fakhry A. membahas dan menganalisis terkait implikasi dari putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014 terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, baik sebelum maupun setelah putusan MK tersebut. Di samping itu, Peneliti juga melakukan penelusuran terkait judul penelitian dan perumusan permasalahan lain di internet. Namun, kebanyakan diantaranya hanya membahas 1 (satu) putusan praperadilan 18 Rizka Fakhry A., 2015, Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan dalam KUHAP Terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah/tidaknya Penetapan Tersangka, Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 10.

11 yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, baik sebelum maupun setelah putusan MK tersebut, sementara Peneliti membahas dan menganalisis kedua putusan praperadilan yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan sebelum adanya putusan MK tersebut secara bersamaan. Terlebih lagi pembahasan antara penelitian yang satu dengan yang lain tentunya akan memiliki perbedaan, mengingat kemampuan dari masingmasing peneliti yang melakukan penelitian tersebut tentunya berbeda-beda. E. Kegunaan Penelitian Penelitian harus berfaedah bagi kepentingan negara/masyarakat/pembangunan (segi praktis) dan memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan (segi teoritis). 19 Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian ini, Peneliti mengharapkan bahwa penelitian ini akan memberikan kegunaan, yaitu: 1. Segi praktis Penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan bagi para hakim dalam melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) khususnya penemuan hukum dalam hukum pidana, mengingat hanya hakim yang dapat melakukannya. Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa para penegak hukum yang lain tidak perlu memahami perihal penemuan hukum, tentunya mereka juga harus memahaminya, sehingga secara tidak langsung penelitian ini diharapkan juga akan 19 Maria S. W. Sumardjono, Loc.Cit.

12 memberikan pemahaman bagi para penegak hukum lainnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan bagi masyarakat yang diwakili oleh DPR di dalam menyusun dan merumuskan KUHAP yang baru kedepannya. Dari pemaparan di atas, kiranya dengan sendirinya penelitian ini akan berguna bagi pembangunan bangsa dan negara. 2. Segi teoritis Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia hukum di Indonesia dalam kaitannya dengan obyek praperadilan, mengingat kecenderungan belakangan ini yang begitu menjunjung tinggi perlindungan HAM, di mana dalam konteks ini adalah hak-hak tersangka.