TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2003) wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

TINJAUAN PUSTAKA. didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

KRISIS HUTAN MANGROVE DI SUMATERA UTARA DAN ALTERNATIF SOLUSINYA

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

1. Pengantar A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti


PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebun binatang dan cagar alam/taman nasional. Biologi adalah pengejawantahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. dilaporkan sekitar 5,30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004).

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Pesisir Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara biogeofisik maupun sosial ekonomi, wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat interaksi antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Dengan memperhatikan aspek kewenangan daerah di wilayah laut, dapat disimpulkan bahwa pesisir masuk ke dalam wilayah administrasi daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota. Provinsi Sumatera Utara terletak pada pesisir geografis antara 1-4 LU dan 98-100 BT dengan luas areal 711.680 km² (3,72% dari luas areal Republik Indonesia). Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km terdiri dari 7 Kabupaten/Kota yaitu: Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara menurut Nurdin (2004) dapat dikelompokkan menjadi 2 wilayah yaitu: 4

1. Wilayah up-land adalah kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) yang merupakan daerah belakang yang berpengaruh terhadap ekosistem kawasan dibawahnya (kawasan pantai pesisir hingga laut). Yang termasuk wilayah up-land adalah Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai 2. Wilayah low-land adalah daerah aliran sungai (DAS) yang masih dipengaruhi oleh pasang surut pada keenam Kabupaten/Kota tersebut sampai 4 mil ke arah laut. Peningkatan jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir memberikan dampak tekanan terhadap sumberdaya alam pesisir seperti degradasi pesisir, pembuangan limbah ke laut, erosi pantai (abrasi), akresi pantai (penambahan pantai) dan sebagainya. Dalam melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan taraf hidupnya, manusia melakukan perubahan-perubahan terhadap ekosistem dan sumberdaya alam sehingga berpengaruh terhadap lingkungan di wilayah pesisir khususnya garis pantai. Kerusakan pantai (abrasi) sepanjang pantai disebabkan oleh fenomena alam dan oleh masyarakat yang mengambil pasir diperairan pantai. Sedangkan penambahan pantai (akresi) disebabkan oleh masyarakat setempat dengan membuat tanggul pantai kearah laut untuk dijadikan sebagai lahan tambak (Tarigan, 2007). Hutan Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang

berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus. Hutan mangrove tumbuh subur dan luas di daerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara yang lebar. Di pantai yang tidak ada sungainya, daerah mangrovenya sempit. Hutan mangrove mempunyai toleransi besar terhadap kadar garam dan dapat berkembang di daratan bersalinitas tinggi di mana tanaman biasa tidak dapat tumbuh (Irwanto, 2006). Pembagian kawasan mangrove berdasarkan perbedaan penggenaannya Arief (2003) adalah sebagai berikut: 1. Zona proksimal yaitu kawasan (zona) yang terdekat dengan laut. Pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Rizophora mucronata, Rizophora apiculata dan Soneratia alba. 2. Zona midle yaitu kawasan (zona) yang terletak di antara laut dan darat. Pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Sonneratia caseolaris,

Rizhopora alba, Bruguera gymnorrhiza, Avicenia marina, Avicenia officinalis dan Ceriops tagal. 3. Zona distal yaitu zona yang terjauh dari laut. Pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Heritiera hitoralis, Pongamia, Pandanus spp, dan Hibiscus tiliaceus. Dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove yang paling tinggi (101 jenis), sementara itu Victoria Australia dan Selandia Baru hanya mempunyai satu jenis mangrove (Avicennia marina). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di beberapa negara No Negara Jumlah Jenis Pustaka 1. Indonesia 101 Kusmana (1993a) 2. Malaysia (Matang) 30 Chan (1989) 3. Thailand 92 Aksornkoea (1993) 4. Burma 48 Myint and Soe (1985) 5. Vietnam 40 Ross (1975) 6. Filipina 78 Arroyo (1979) 7. Papua New Guinea 24 Paijman and Rollet (1977) 8. Brunei Darusalam 49 Salleh and de Silva (1989) 9. Quesland (Australia) 33 Well (1983) 10. Fujian (cina) 6 Peng and Xin Men (1983) 11. Kyusu (Jepang) 7 Nakasuga (1979) 12. Victoria 1 Wells (1983) 13. Selandia Baru 1 Chapman (1983) 14. Fiji 50 Walting (1986) Sumber : Cecep Kusmana, 1996 Dalam hal fauna, secara umum hutan mangrove berasosiasi dengan fauna laut dan darat. Fauna darat misalnya monyet ekor panjang (Macaca spp.), biawak (Varanus salvator), burung, ular dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Moluska dan Krustase. Golongan Moluska umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Krustase didominasi Brachyura. Dalam hal ini fauna laut merupakan komponen utama fauna mangrove (Kusmana, 1996).

Perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan, perkebunan, permukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar. Perubahan penggunaan lahan dan dampak budidaya udang tambak di pesisir timur Sumatera Utara antara tahun 1977 dan 1988/1989 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan dan dampak budidaya udang tambak di pesisir timur Sumatera Utara antara tahun 1977 dan 1988/1989 Dampak terhadap tutupan hutan mangrove/penggunaan lahan antara tahun 1977 dan 1988/1989 Hutan sekunder di lahan bekas hutan primer Hutan sekunder di bekas lahan garapan Hutan gundul di bekas hutan primer Hutan gundul di bekas hutan sekunder Tambak yang sudah ada tahun 1977 Tambak udang yang berlokasi di bekas hutan primer Tambak udang yang berlokasi di bekas hutan sekunder Tambak udang yang berlokasi di bekas lahan garapan Luas total perubahan dari hutan primer dan hutan belukar sekunder Luas garapan yang berlokasi di bekas hutan primer Luas garapan yang berlokasi di bekas hutan sekunder Areal hutan primer dalam luasan < 50 ha Areal hutan sekunder dalam luasan < 50 ha Sumber : Onrizal, 2010. Langkat Deli Serdang Asahan Labuhan Batu Total 1.127 1.060 2.879 4.461 9.527 1.262 3.097 1.098 2.363 7.820 72 112 249 106 539 5 43 0 22 70 0 308 0 0 308 2.394 3.078 808 14 6.294 835 696 108 18 1.657 1.233 1.012 137 0 2.382 3.229 3.774 916 32 7.951 1.104 1.184 3.505 1.218 7.011 1.281 403 2.444 913 5.041 1.261 1.329 477 328 3.395 315 1.080 423 16 1.834

Hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara yang terletak di sistem lahan KJP (kajapah) dan PTG (putting) disusun oleh 20 jenis flora mangrove, dengan jenis paling dominan adalah Avicenia marina yang merupakan jenis pionir. Tumbuhan mangrove yang dijumpai hanya berada pada tingkat semai dan pancang, sedangkan tingkat pohon tidak dijumpai, sehingga tergolong hutan mangrove muda. Parameter tanah dan kualitas air yang penting bagi pertumbuhan mangrove, secara umum tidak melampaui ambang batas yang diperkenankan, kecuali potensi pirit yang terdapat di kedua sistem lahan yang akan mengancam pertumbuhan mangrove jika tidak segera teratasi, karena bersifat racun bagi tumbuhan (Kusmana dan Onrizal, 2008). Fungsi Mangrove Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004). Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Pada daerah ini akan terdapat ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuari yang saling berpengaruh antara ekosistem

yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji, 2001). Hutan mangrove tidak hanya merupakan ekosistem berbagai jenis ikan, udang, kepiting, kerang, reptil dan mamalia, tetapi akarnya yang kuat mampu menahan gelombang, abrasi pantai dan intrusi air laut. Bahkan akarnya mampu menetralkan berbagai senyawa beracun yang terbawa air laut. Disamping itu hutan mangrove juga menjadi tempat berkembang biaknya satwa liar seperti elang Bondol (Halistur indus), burung raja udang (Halcyon chloris), belibis (Dendrocygna SP), dan teruwok (Amaurornis phoenicurus). Bahkan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan bekantan (Nasalis larvatus) juga hidup di hutan mangrove. Sejak dahulu, mangrove digunakan sebagai kayu bakar bagi penduduk local (Ambarwulan dkk, 2003). Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove Pada dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah berubah bentang lahannya, karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki boundary yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s/d tahun 1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha atau sebesar 61 %. Contoh

kasus lokal di kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Langkat dan Deli Serdang (termasuk Serdang Bedagai) yang diteliti dilaporkan oleh Purwoko dan Onziral (2001) yang menyatakan bahwa berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan lagi bagi vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami. Gambaran kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan sumber daya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus-kasus adanya keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan menurut laporan Ramli dan Purwoko (2003) terjadi di beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu, Secanggang, Pantai Pandan dan Sei Berombang. Di Kabupaten Serdang Bedagai, hutan mangrove umumnya memiliki tingkat keterbukaan wilayah yang tinggi dan relatif dekat dengan sentra-sentra kegiatan perekonomian masyarakat. Kondisi ini membuat hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagei memiliki interaksi sosio-ekosistem yang tinggi. Menurut Purwoko dan Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk

mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir. Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove Kerusakan hutan mangrove merupakan permasalahan yang kompleks yang terdapat pada berbagai level kegiatan yang pada akhirnya mempengaruhi ekosistem mangrove secara menyeluruh. Permasalahan-permasalahan utama yang melatar belakangi terjadinya degradasi hutan mangrove di Sumatera Utara menurut Passaribu (2004) tidak terlepas dari : 1. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah Kebanyakan masyarakat di kawasan pesisir bekerja sebagai nelayan tradisional. Meskipun cukup potensial namun tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir relatif masih rendah jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Hal ini disebabkan terbatasnya peralatan yang dimiliki nelayan tradisional yang mengakibatkan penurunan hasil tangkap dan penghasilan nelayan. Dalam satu bulan nelayan tradisional hanya efektif bekerja 20 hari. Untuk mengisi waktu saat tidak melaut nelayan melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan seperti beternak kepiting, ikan kerapu dan mencari kayu bakar. Pencarian kayu bakar dilakukan di hutan mangrove di sekitar mereka dengan penebangan yang tidak memenuhi aturan sehingga mengakibatkan percepatan kerusakan. 2. Penebangan liar (illegal logging) Kayu mangrove termasuk bahan baku terbaik dalam pembuatan arang, yang bernilai ekonomi untuk dipasarkan di dalam negeri dan di ekspor ke luar negeri terutama Jepang. Dampak dari tingginya nilai arang bakau di pasaran

mengakibatkan masyarakat mendirikan dapur arang yang beroperasi secara liar. Untuk memenuhi bahan bakar tidak jarang masyarakat melakukan penebangan liar di kawasan lindung dan sempadan pantai yang seyogianya terlarang bagi pengambilan kayu. Izin yang dikeluarkan bagi pengusaha dapur arang sebanyak 42 izin tetapi terdapat 250 dapur arang lainnya yang beroperasi secara liar di Kabupaten Langkat. 3. Pembukaan tambak udang secara liar Peningkatan harga udang di pasaran nasional sejak tahun delapan puluhan, menyebabkan banyak masyarakat membuka lahan tambak di daerah pantai yang menimbulkan konversi lahan. Kawasan mangrove berubah menjadi hamparan tambak dan kerusakan mangrove di perparah oleh kurangnya kesadaran pengusaha dan masyarakat dalam melakukan pelestarian di daerah lindung dan sempadan. Pembukaan tambak tidak hanya dilakukan di kawasan hutan produksi yang secara umum diperkenankan, juga dijumpai oknum-oknum tertentu melakukan ekstensifikasi tambak sampai ke hutan lindung. 4. Persepsi yang keliru tentang mangrove Banyak masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang kesehatan mempunyai pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat kotor untuk tempat bersarang dan berkembang biak nyamuk malaria, lalat dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal ini telah mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mengatasi timbulnya wabah penyakit.

5. Lemahnya penegakan hukum Pada dasarnya telah banyak peraturan perundangan yang bertujuan untuk mengatur dan melindungi sumberdaya mengrove melalui cara-cara pengelolaan yang didasarkan pada prinsip-pirnsip kelestarian namun demikian belum dibarengi dengan pelaksanaan penegakan hukum yang memadai. Sehingga dari waktu ke waktu semakin banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa adanya upaya penegakan hukum yang berarti. Sistem Informasi Geografis (SIG) Pengertian dan fungsi SIG Sistem informasi geografis (SIG) adalah Suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis (UNDP, 2007). SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya. Sistem Informasi Geografis mempunyai tiga fungsi utama yaitu : (1) menyimpan, mengelola dan mengintegrasikan sejumlah data spasial yang telah

diambil, (2) mengartikan dan menganalisis data komponen geografis yang berhubungan secara khusus, (3) mengorganisasikan dan mengelola sejumlah data dengan berbagai cara sehingga informasi dapat diperoleh dengan mudah oleh para pengguna (Budiyanto, 2002). Sistem Informasi Geografis (SIG) sudah cukup lama dikenal sejak awal tahun 1960 di Kanada dan Amerika Serikat, yang saat itu banyak digunakan untuk keperluan Land Information System. Saat ini SIG sudah banyak digunakan untuk keperluan lain seperti pengembangan wilayah, perpetaan, lingkungan dan sebagainya. SIG mulai dimanfaatkan di Indonesia pada awal tahun 1980 terutama dalam pembuatan peta, pengelolaan wilayah, analisis lingkungan dan agraria. Teknologi ini pada dasarnya memiliki ciri dapat memasukkan, menyimpan, mengolah dan menyajikan data dalam suatu sistem komputer, dengan data dapat berupa gambar maupun tulisan atau angka (Sukojo, 2003). Komponen dasar dalam penggunaan SIG Menurut Anam (2005), komponen yang membangun SIG ada lima bagian yaitu : 1. Perangkat Lunak (Software) Komponen software ini mencakup didalamnya adalah software GIS dan juga perangkat software pendukung lainnya yaitu operating system dan software database lainnya seperti oracle. 2. Perangkat Keras (Hardware) Hardware komputer ini digunakan untuk mendukung bekerjanya GIS. Dan juga komponen hardware pendukung lainnya diantaranya adalah plotter, printer, scanner dan digitizer.

3. Sumberdaya Manusia Untuk menjalankan GIS diperlukan operator komputer GIS, untuk pembuatan aplikasi GIS dibutuhkan ahli programmer, untuk mendesain suatu sistem GIS diperlukan ahli analisis system GIS. 4. Data Komponen ini sangat menentukan kualitas informasi dari output GIS. Pemahaman sistem data, termasuk didalamnya adalah sistem referensi spasial. 5. Metode Metode adalah prosedur atau ketentuan pembangunan GIS. Sub-sistem SIG Anam (2005) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis pada dasarnya dapat dirinci menjadi tiga sub sistem yang saling terkait, yaitu : 1. Input Data Input data dalam SIG terdiri dari data grafis atau data spasial dan data atribut. Kumpulan data tersebut disebut database. Database tersebut meliputi data tentang posisinya di muka bumi dan data atribut dari kenampakan geografis yang disimpan dalam bentuk titik-titik, garis atau vektor, area dan piksel atau grid. Sumber database untuk SIG secara konvensional dibagi dalam tiga kategori : a. Data atribut atau informasi numerik, berasal dari data statistik, data sensus, catatan lapangan dan data tabuler lainnya. b. Data grafis atau data spasial, berasal dari peta analog, foto udara dan citra penginderaan jauh lainnya dalam bentuk cetak kertas. c. Data penginderaan jauh dalam bentuk digital, seperti yang diperoleh dari satelit (Landsat, SPOT, NOOA).

2. Pemrosesan Data Pemrosesan terdiri dari manipulasi dan analisis data. Fungsi dari manipulasi dan analisis data dilakukan untuk kepentingan geometrik yang digunakan untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pencarian lokasi atau luas areal yang sesuai dengan kriteria tertentu atau dapat pula dalam pencarian informasi yang ada dalam suatu tempat tertentu. Manipulasi dilakukan dengan rotasi, pengubahan dan penskalaan koordinat, konversi koordinat geografi, registrasi, analisis spasial dan statistik. Analisis data yang ada pada database dilakukan dengan menggunakan overlaying beberapa layer tematik yang berkaitan. 3. Output Data Output dari SIG dapat berupa peta hasil cetak warna, peta digital, dan data tabuler. Peta hasil cetak dapat berupa peta garis (dengan menggunakan plotter) maupun peta biasa (dengan menggunakan printer). Sistem Satelit Landsat Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumber daya bumi yang dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Satelit ini terbagi dalam dua generasi yakni generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3. Satelit generasi kedua adalah satelit membawa dua jenis sensor yaitu sensor MSS dan sensor Thematic Mapper (TM). Kelebihan sensor TM adalah menggunakan tujuh saluran, enam saluran terutama dititikberatkan untuk studi vegetasi dan satu saluran untuk studi geologi Tabel 2. Sedangkan landsat TM mempunyai band 7, untuk deskripsi singkat

tentang kegunaan masing-masing band dapat dilihat pada Tabel 3. Terakhir kalinya akhir era 2000- an NASA menambahkan penajaman sensor band pankromatik yang ditingkatkan resolusi spasialnya menjadi 15m x 15m sehingga dengan kombinasi didapatkan citra komposit dengan resolusi 15m x 15 m. Tabel 2. Saluran Citra Landsat TM Saluran Kisaran Gelombang (µm) Kegunaan Utama 1 0,45 0,52 Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan. Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada 2 0,52 0,60 saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat terhadap tanaman yang tidak sehat 3 0,63 0,69 Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil 4 0,76 0,90 Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air. 5 1,55 1,75 Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembapan tanah. 6 2,08 2,35 Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal. 7 10,40 12,50 Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi. Pembedaan kelembapan tanah, dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal. 8 Pankromatik Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1979

Tabel 3. Deskripsi Singkat Band Dalam Landsat TM7 dan Kegunaannya Band Contoh aplikasi Pemetaan wilayah pantai dan perairan, pembuatan batimetri, pemetaan 1 sedimentasi 2 Pemetaan vegetasi, identifikasi reflektansi klorofil 3 Identifikasi absorbsi klorofil, pembedaan spesies tumbuhan, dan biomasa 4 Spesiaes vegetasi, biomasa, kelembaban tanah Pembatasan fenomena tanah dan tumbuhan, pemetaan wilayah 5 pemukiman Pemetaan evapotranspirasi, pemetaan suhu permukaan, kelembaban 6 tanah Geologi, pemetaan tipe batuan dan mineral, pembatasan badan air, 7 pemetaan tingkat kelembaban tumbuhan Sumber : Indrawan Suryadi, 2007 Citra penginderaan jauh sangat bermanfaat untuk pemetaan liputan lahan pesisir karena daerah yang sulit dijangkau dengan survei terestrial dapat dipetakan dengan menggunakan citra. Dengan menggunakan citra, subyektifitas dalam pengukuran obyek bisa ditekan, meskipun dalam proses klasifikasi ketelitiannya juga masih sangat tergantung pada keahlian, pengalaman maupun pengenalan akan wilayah kajian yang dimiliki oleh interpreter. Semakin baik pengetahuan interpreter mengenai karakteristik citra dan kondisi penutup lahan di wilayah kajian, maka hasil klasifikasi akan semakin teliti. Namun demikian, ketelitian hasil juga sangat tergantung pada resolusi spasial citra. Sebagai contoh, citra satelit Landsat dengan ukuran piksel 30 x 30 meter (900 m 2 ), maka obyek pada luasan satu piksel yang lebih kecil dari ukuran tersebut tidak dapat dirinci lagi. Kelas obyek yang muncul adalah obyek yang dominan (Ambarwulan dkk, 2003). Aplikasi SIG Penggunaan GIS telah banyak digunakan dalam berbagai bidang seperti : pertanian, militer, pemasaran, industri, transportasi, lingkungan, dan kehutanan. Salah satu aplikasi penggunaaan GIS banyak digunakan dalam pengelolaan

sumber daya alam karena GIS merupakan suatu alat manajemen yang ampuh untuk perencanaan dan pengelolaan. Beberapa aplikasi GIS dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam antara lain : perubahan penggunan lahan, inventarisasi hutan, penilaian dampak lingkungan, perencanaan jalan, pelacakan spesies terancam punah, kemampuan klasifikasi penilaian dan penggunaan lahan (Rahmawaty, 2002). Salah satu aplikasi GIS untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan yang telah dilakukan oleh Rahmawaty (2009) pada DAS Besitang Sumatera Utara dengan membandingkan perubahan lahan tahun 1990, 2001 dan 2006. Kemudian Purwoko dkk (2006) menggunakan GIS untuk analisis perubahan fungsi lahan di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat dengan menggunakan citra satelit Landsat hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas areal hutan mangrove primer yaitu sebesar 4.905,98 ha (64,27%). Sementara, terdapat peningkatan luas pada bentuk-bentuk penutupan lahan/penggunaan ruang seperti hutan mangrove sekunder sebesar 4123,89 ha (54,04%), tambak sebesar 350,51 ha (4,55%), badan air sebesar 102,53 ha (1,34%), lahan kosong 291,45 ha (3,82%) dan pemukiman sebesar 37,47 ha (0,48%). Sistem Informasi Geografis (SIG) banyak digunakan dalam bidang ilmu penelitian, salah satunya untuk mengetahui perubahan luasan mangrove di pantai timur Ogan Komering Ilir (OKI) provinsi Sumatera Selatan menggunakan data citra Landsat TM diperoleh bahwa distribusi dan luasan mangrove mengalami penurunan, karena adanya konversi besar-besaran dalam kurun waktu 11 tahun (1992-2003). Penurunan luas mangrove tersebut diiringi dengan meningkatnya

luas pemukiman dan lahan terbuka, serta timbulnya kelas baru pada daerah mangrove yaitu pertambakan. Kondisi luasan total hutan mangrove di sepanjang Pantai Timur OKI pada tahun 1992 sebesar 56.418,57 ha, 8 tahun kemudian (2000) menyusut menjadi 47.781 ha lalu pada tahun 2003 luasannya hanya 32.021, 64 ha (Ridho dkk, 2006).