BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat

Obat Penyakit Diabetes Metformin Biguanide

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

Definisi Diabetes Melitus

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes Mellitus Type II

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

Gejala Diabetes pada Anak yang Harus Diwaspadai

Apa Obat Diabetes Untuk Komplikasi Neuropati Otonom?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diperut bagian atas. Sindroma dispepsia digunakan untuk menerangkan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

SINDROMA DISPEPSIA. Dr.Hermadia SpPD

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

ANALISA KASUS. Apabila keton ditemukan pada darah atau urin, pengobatan harus cepat dilakukan karena

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB XII. Kelenjar Pankreas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

DIABETES MELITTUS APAKAH DIABETES ITU?

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PATOFISIOLOGI DAN IDK DM, TIROID,PARATIROID

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi

hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang telah menjadi masalah global dengan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

DIABETES UNTUK AWAM. Desember 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Prestasi merupakan pencapaian akan usaha seseorang yang diperoleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. mengidap diabetes. Baik pria maupun wanita, tua maupun muda, tinggal di kota

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

BAB I PENDAHULUAN. untuk membantu seorang pakar/ahli dalam mendiagnosa berbagai macam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik.

BAB 1 : PENDAHULUAN. karena diabetes mencapai orang per tahun. (1) diabetes mellitus. Sehingga membuat orang yang terkena diabetes mellitus

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari.

Keluhan dan Gejala. Bagaimana Solusinya?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan hiperglikemia akibat adanya gangguan sekresi insulin, kerja insulin,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

baik berada di atas usus kecil (Kshirsagar et al., 2009). Dosis yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes 500 sampai 1000 mg tiga kali sehari.

BAB I PENDAHULUAN. seseorang oleh karena gangguan keseimbangan karbohidrat, lemak dan

Implementasi Metode Dempster Shafer Pada Sistem Pakar Untuk Diagnosa Jenis-jenis Penyakit Diabetes Melitus

LAMPIRAN 1 DAFTAR RIWAYAT HIDUP. Tempat/Tanggal Lahir : Medan/17 April 1992

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Diabetes Mellitus

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tipe 2. Diabetes tipe 1, dulu disebut insulin dependent atau juvenile/childhoodonset

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemik yang berhubungan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

Efek Diabetes Pada Sistem Ekskresi (Pembuangan)

BAB 2 LANDASAN TEORI

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronik yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA 1, HbA 2, HbF( fetus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EATING DISORDERS. Silvia Erfan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA 2.1.1 DEFINISI Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai berikut; Dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen. Formulasi keluhan nyeri atau tidak nyaman, menjadi suatu yang relatif, terlebih lagi bila diekspresikan dalam Bahasa yang berbeda. Jadi disini diperlukan sekali komunikasi yang baik dalam anamnesis sehingga seorang dokter dapat menangkap apa yang dirasakan pasien dan mempunyai persepsi yang relatif sama (Dharmika, 2009). Jadi disini ada batasan waktu yang ditunjukkan untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada alarm symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, maka merupakan petunjuk awal kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya (Dharmika, 2009). Sebelum era konsensus Roma II, ada dispepsia tipe refluks dalam alur penanganan dispepsia. Tapi saat ini kasus dengan keluhan tipikal refluks, seperti adanya heartburn atau regurgitasi, langsung dimasukkan dalam alur/algoritme penyakit gastroesophageal reflux disease. Hal ini disebabkan oleh sensitivitas dan spesivitas keluhan itu yang tinggi untuk adanya proses refluks gastroesofageal (El-Sayed, 2009).

2.1.2 KLASIFIKASI Menurut Sujono (2002), sindroma dispepsi ini biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan, yang sifatnya hilang timbul atau terus menerus. Karena banyaknya penyebab yang menimbulkan kumpulan gejala tersebut, maka sindroma dispepsi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Dispepsi organik Dispepsi non-organik atau dispepsi fungsional yang masing-masing akan dibahas lebih lanjut. 1. Dispepsi Organik Dispepsi organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Istilah dispepsi organik baru dapat dipakai bila penyebabnya sudah jelas. Yang dapat digolongkan dispepsi organik, yaitu : Dispepsi tukak (ulcer-like dyspepsia) Dispepsia bukan tukak Refluks gastroesofageal Penyakit saluran empedu Karsinoma (lambung,kolon,pancreas) Pankreatis Sindroma malabsorpsi Beberapa penyakit metabolism (diabetes melitus, hiper dan hipotiroid, hiperparatiroid,imbalans elektrolit) Penyakit lain misalnya; penyakit jantung iskemik, penyakit vaskuler kolagen.

Dari dispepsia organik tersebut di atas, masing-masing penyebab mempunyai kekhususan sendiri, yang akan dibahas secara sepintas. Dispepsi tukak : Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri di ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan, pada tengah malam sering terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak di lambung atau di duodenum. Dispepsi bukan tukak : Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak. Refluks gastroesofageal : Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di dada dan regugitasi masam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan tersebut di atas disertai keluhan sindroma dispepsi lainnya maka dapat disebut dispepsi refluks gastroesofageal. Penyakit saluran empedu : Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang mejalar ke punggung dan bahu kanan. Karsinoma : Karsinoma dari saluran makan (esofagus, lambung, pankreas, kolon) sering menimbulkan keluhan sindroma dispepsi. Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri di perut, keluhan bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun. Pankreatitis : Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung, perut dirasa makin tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma dispepsi juga ada.

Dispepsia pada sindroma malabsorpsi : Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung, keluhan utama lainnya yang mencolok ialah timbulnya diare profus yang berlendir. Dispepsia akibat obat-obatan : Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat golongan NSAID (non steroidal anti-inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotic oral terutama ampisilin dan eritromisin, alcohol, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu ditanyakan macam obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan dispepsia. Gangguan metabolism : Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, sedangkan hipotiroid menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung. Hipertiroid mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroid menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung. Hiperparatiroid mungkin disertai rasa nyeri di perut, nausea, vomitus dan anoreksia. Penyakit lain : Penyakit jantung iskemik, sering memberi keluhan perut kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior juga sering memberi keluhan rasa sakit perut di atas, mual, kembung, kadang-kadang penderita angina mempunyai keluhan menyerupai refluks gastroesofageal. Penyakit vascular kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus akan sering memberi keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan pada penderita SLE terutama yang banyak makan kortikosteroid (Sujono, 2002).

2. Dispepsia fungsional Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan yaitu Dispepsia dismotilitas (dysmotility like dyspepsia). Pada dispepsi dismotilitas umumnya terjadi gangguan motilitas, di antaranya adalah waktu pengosongan lambung lambat, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung, yaitu terdapat kenaikan asam lambung (Sujono, 2002). Kelainan psikis, stress, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional. Hal ini dapat dijelaskan kembali faal saluran cerna pada proses pencernaan yang ada pengaruhnya dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung, tetapi memungkinnya efek dari antral gastrin dan rangsangan lain dari sel parietal. Dengan melihat, mencium bau atau membayangkan sesuatu makanan sahaja sudah terbentuk asam lambung yang banyak mengandungi HCl dan pepsin. Hal ini terjadi secara reflektoris oleh karena pengaruh nervus vagus (Sujono, 2002). 2.1.3 Gejala klinis Keluhan yang sering diajukan pada sindroma dispepsi adalah : Nyeri perut (abdominal discomfort) Rasa pedih di ulu hati Mual, kadang-kadang sampai muntah Nafsu makan berkurang Rasa lekas kenyang Perut kembung Rasa panas di dada dan perut Regurgitasi Banyak mengeluarkan gas masam dari mulut (ruktus) (Sujono, 2002)

2.1.4 Patofisiologi Dispepsia Menurut Kenneth (1996), dispepsia mungkin timbul dari sejumlah gangguan organik intrinsik dan ekstrinsik pada saluran pencernaan luminal. A. Pengobatan: Sejumlah obat dapat menyebabkan iritasi gastrointestinal dan tidak boleh diabaikan. B. Faktor makanan: Terdapat sejumlah makanan yang dilaporakan oleh pasien yang dapat merangsang dispepsia. Terutamanya tomat, makanan pedas, makanan berlemak, dan kopi. Mekanisme yang makanan dapat menyebabkan dispepsia termasuk distensi abdomen, delayed gastric emptying (cholecystokinin-induced), iritasi mukosa langsung, dan provokasi dari gastroesophageal reflux. Intoleransi laktosa sangat umum terutama di kelompok etnis dan ras tertentu. Pasien yang tidak toleran laktosa sering mengeluh hanya ketidaknyamanan perut dengan asupan laktosa sederhana. Namun, dengan konsumsi laktosa yang besar, bisa terjadi perut kembung (flatulence), distensi abdominal dan diare. C. Disfungsi saluran gastrointetsinal luminal : Sejumlah gangguan organik dan fungsional dari saluran pencernaan bagian atas dapat menyebabkan dispepsia. 1. Penyakit ulkus peptikum 2. Neoplasma lambung 3. Gatroesophageal reflux disease 4. Gangguan usus lain 5. Pancreaticobiliary disorders 6. Kondisi sistemik 7. Non ulkus dispepsia

2.2 Diabetes melitus tipe 2 2.2.1 Definisi Menurut Stephanie dan Andrew (2010), menurut Asosiasi Diabetes Amerika (ADA), Diabetes adalah masalah dengan tubuh yang menyebabkan kadar glukosa darah (gula) meningkat lebih tinggi dari biasanya. Ini juga disebut hiperglikemia. Diabetes tipe 2 adalah bentuk paling umum dari diabetes. subjek dapat diklasifikasikan sebagai normal, gangguan dan glukosa puasa, atau diabetes, berdasarkan nilai-nilai glukosa darah mereka. Untuk diabetes tipe 2, tubuh tidak menggunakan insulin dengan benar. Hal ini disebut resistensi insulin. Pada awalnya, pankreas membuat insulin ekstra untuk menanganinya. Tapi, seiring waktu pancreas tidak mampu mengimbangi dan tidak dapat membuat cukup insulin untuk menjaga glukosa darah pada tingkat normal. Berdasarkan tahun 2003 pedoman ADA, normal didefinisikan sebagai konsentrasi glukosa puasa <100mg/dl; IFG atau pradiabetes sebagai 100 sampai 125 mg / dl; dan diabetes melitus sebagai 126mg/dL. 2.2.2 Patofisiologi Diabetes melitus tipe 2 adalah, penyakit progresif yang kompleks. Pemahaman saat ini menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 hasil dari kombinasi defisiensi pankreas sel-b, resistensi insulin pada jaringan adiposa dan otot rangka, dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan (Richard dan Michael, 1999). Diabetes tipe 2 disebabkan oleh kurangnya produksi insulin oleh sel beta pada keadaan resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan ketidakmampuan sel untuk berespon terhadap kadar insulin normal. Terutamanya di dalam otot, hati dan jaringan lemak. Di hati, insulin biasanya bertugas menekan pelepasan glukosa. Namun, pada keadaan resistensi insulin, hati melepaskan glukosa secara tidak normal ke dalam darah (Richard dan Michael, 1999). Patofisiologi pada non insulin dependent diabetes melitus (NIDDM) disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan respons jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan (2) penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respons terhadap

beban glukosa. Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hal ini membawa dampak pada penurunan respons reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Di lain pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitasi reseptor insulin pada tahap postreceptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemik). Pada tahap ini, sel β pankreas mengalami adaptasi diri sehingga responsnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin (Sahar H, 2008). 2.1.3 Gejala Klinis Menurut Alvin (2006), pada awalnya, pasien sering kali tidak menyadari bahwa dirinya mengidap Diabetes Melitus, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Namun, harus dicurigai adanya DM jika seseorang mengalami keluhan klasik DM berupa: poliuria (banyak berkemih) polidipsia (rasa haus sehingga jadi banyak minum) polifagia (banyak makan karena perasaan lapar terus-menerus) penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabny Jika keluhan di atas dialami oleh seseorang, untuk memperkuat diagnosis dapat diperiksa keluhan tambahan DM berupa: lemas, mudah lelah, kesemutan, gatal penglihatan kabur penyembuhan luka yang buruk disfungsi ereksi pada pasien pria dan gatal pada kelamin pasien wanita

2.1.4 Patofisiologi Gastroparesis Diabetika Meskipun belum sepenuhnya dimengerti, yang dianggap sebagai faktor patogenetik terpenting dalam terjadinya gastroparesis diabetika dalah terjadinya neuropati diabetika yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf ekstrinsik lambung. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya gastroparesis pada penderita-penderita diabetes melitus sangat berkorelasi dengan keberadaan autonom dari nervus vagus. Namun demikian, penelitian morfologis terhadap nervus vagus masih menunjukkan hasil yang bertentangan penampilan dari neuron dan axonnya (Christian dan Gabriel, 2008). Menurut Sri (2003), keadaan hiperglikemia merupakan faktor penting lainnya yang menyebabkan terjadinya gastroparesis. Ternyata bahwa peningkatan kadar gula darah meskipun masih dalam rentang normal dapat menyebabkan keterlambatan pengosongan lambung pada orang normal maupun penderita diabetes. Burgstaller dkk mengatakan bahwa pengosongan lambung melambat secara bermakna pada keadaan hiperglikemia dibandingkan dengan keadaan euglikemia pada penderita diabetes (pengosongan lambung ± 1180 menit pada kadar gula darah 5,5 mmol / 1, dan ± 240 menit pada kadar gula darah 14 mmol / 1). Diduga mekanisme hiperglikemia memperlambat pengosongan lambung adalah secara tak langsung yang melibatkan perubahan pada aktivitas vagus, aktivitas listrik lambung, sekresi hormon-hormon gastrointestinal dan mekanisme miogenik. Fischer dkk menunjukkan bahwa hipergilemia post prandial pada penderita diabetes menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik lambung, pengurangan aktivitas motorik antrum dan keterlambatan pengosongan lambung. Studi oleh Barnett dan Ow yang menunjukkan bahwa motilitas antrum puasa akan menurun pada kadar gula darah 7,8 mmol/1 sedangkan motilitas antrum postprandial akan menurun pada kadar gula darah 9,7 mmol/1. Adanya korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan keterlambatan pengosongan lambung dijumpai pada IDDM maupun NIDDM. Tidak jelasnya kolerasi antara kadar HbA1c dengan keterlambatan pengosongan lambung menunjukkan bahwa keterlambatan pengosongan lambung lebih merupakan efek akut hiperglikemia ketimbang efek kronisnya. Peranan hormon hormon

gastrointestinal dalam mengatur motilitas lambung telah diketahui, namun kebermaknaan perubahan hormon tersebut terhadap motilitas yang abnormal masih belum jelas. Tingginya kadar motilin plasma pada penderita gastroperasis diabetika menunjukkan bahwa kelainan motilitas yang terjadi kelihatannya tidak berkaitan dengan defisiensi motilin. Pemberian infus cholecystokinin octapeptida (CCK8) pada penderita baru NIDDM jelas mengakibatkan keterlambatan pengosongan lambung akan tetapi belum pernah diteliti bagaimana kadar CCK pada penderita gastroparesis diabetika (Sri, 2003).