II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya banyak yang dihuni oleh manusia, salah satunya adalah Pulau Maratua

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pembangunan kepariwisataan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fungsi lindung dan fungsi konservasi semakin berkurang luasnya. Saat ini

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek

Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari daratan dan lautan seluas ± 5,8 juta Km 2 dan sekitar 70 %

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

TINJAUAN PUSTAKA. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wilayah Pesisir 2.1.1. Batas Wilayah Pesisir Dalam pengelolaan wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah pesisir dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan termasuk didalamnya faktor hidrologi, ekologis, maupun administrasi. Faktor hidrologi diperlukan karena aliran air yang berasal dari daratan akan mempengaruhi kawasan perairan pesisir. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak memotong siklus hewan perairan, sedangkan batas administratif diperlukan agar daerah yang terkena peraturan dapat diketahui dengan jelas. DKP (2005), wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut: kearah darat wilayah pesisir meliputi bagaian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan alliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran. 2.1.2. Sumberdaya Wilayah Pesisir Sumberdaya dikenal dua macam yaitu sumberdaya hayati dan sumberdaya non hayati. Sumberdaya tersebut apabila dimafaatkan ada yang dapat pulih dan ada yang tidak dapat pulih. Sumberdaya dapat pulih seperti ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang, budidaya perikanan, pertanian dan sebagainya, sedangkan sumberdaya tidak dapat pulih seperti pemanfaatan minyak lepas pantai, batubara, pengambilan mineral dan jasa lingkungan. Di dalam sumberdaya dapat pulih hidup dan berkembang beranekaragam biota laut, sehingga dengan keanekaragaman sumberdaya diperoleh potensi jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata. Sumberdaya ekosistem ini mempunyai faktor pendukung dan pembatas dalam kelanjutan kehidupannya. Faktor pembatas tersebut adalah :

8 Mangrove : Fisiografi pantai, pasang surut, gelombang dan arus, iklim (cahaya, curah hujan, suhu, angin), salinitas, oksigen terlarut (DO), tanah, dan hara (Nybakken, 1992). Terumbu karang : Suhu, tingkat pencahayaan, kadar garam, kejernihan air, pergerakan air, dan substrat (Nybakken, 1992). Padang lamun/rumput laut : Cahaya, salinitas, suhu, gerakan air, nutrien, faktor-faktor lain seperti parasit, binatang laut, oksigen, karbon dioksida, ph dan faktor lingkungan. 2.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kawasan konservasi laut adalah kawasan pesisir, pulau-pulau kecil dan atau laut dengan ciri khas tertentu, yang dikelola untuk memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati dan nilainya dengan tetap mempertimbangkan aspek pemanfaatan yang berkelanjutan. Dasar acuan untuk kebijakan konservasi sumberdaya alam laut dan ekosistemnya adalah pasal 33 UUD 1945, GBHN dan UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan (DKP, 2004). Kawasan konservasi laut mempunyai fungsi perlindungan ekosistem, terutama tiga ekosistem khas yang merupakan ciri kawasan pesisir dan pulaupulau kecil, yaitu (1) ekosistem mangrove, (2) ekosistem padang lamun, (3) ekosistem terumbu karang. Ekosistem yang terdapat di kawasan konservasi laut pada umumnya mempunyai kesamaan dengan jenis ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada umumnya, karena sebagian besar kawasan konservasi laut terdapat di wilayah pesisir (DKP, 2003). 2.3. Pulau-pulau Kecil dan Pemanfaatannya Pulau-pulau kecil, didefinisikan sebagai pulau yang berukuran kecil dan secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), yang memiliki batas daratan yang pasti serta terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular (Dahuri, 1998). Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No.41 Tahun 2000, yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 200.000 orang (DKP, 2001 dalam Bengen dan Retraubun, 2006). Dahuri (1998) menyatakan, terdapat tiga kriteria dalam

9 membuat batasan pulau kecil, diantaranya batasan fisik (luas pulau), batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan terisolasi), keunikan budaya dan dapat pula ditambahkan kemandirian penduduk setempat memiliki ketergantungan yang tinggi pada pulau induknya dalam memenuhi kebutuhan pokok, dan memiliki tiga kriteria lainnya, maka pulau tersebut dapat digolongkan pulau kecil. Menurut Nurifdinsyah dan Pakpahan (1998) salah satu pemanfaatan pulaupulau kecil adalah sebagai obyek wisata bahari dan/atau pantai. Lebih lanjut dijelaskan terdapat terdapat tiga alasan yang dapat dipertimbangkan guna menunjang usaha dan/atau kegiatan pariwisata di kawasan pulau-pulau kecil. Tiga alasan tersebut diantaranya keunikan kawasan pesisir yang mengandung ekosistem yang saling terkait (hutan mangrove, terumbu karang, pantai berpasir dan padang lamun), meningkatnya permintaan pasar terhadap kegiatan pariwisata pesisir baik didalam maupun di luar negeri sejalan dengan meningkatnya kualitas hidup, dan keberadaan pariwisata bahari sebagai salah sau komponen dominan dalam industri pariwisata di Indonesia. 2.4. Ekowisata dan Pengembangannya Ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial yang diberi batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya dan keberlanjutannya (Fandeli dan Mukhlison, 2000). Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi, oleh karena itu ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab. 2.4.1. Rencana Pengembangan Ekowisata Ekowisata merupakan suatu konsep baru, maka diperlukan perencanaan dan kebijaksanaan, sehingga upaya pengembangan yang dilakukan akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata. Secara konseptual menurut Kembudpar (2003a) ekowisata menekankan 3 prinsip dasar pengembangan, yaitu:

10 1. Prinsip konservasi : pengembangan ekowisata atau ekoturisme harus mampu memelihara, melindungi dan atau berkonstribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam; 2. Prinsip partisipasi masyarakat : pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan. 3. Prinsip ekonomi : pegembangan ekowisata harus mampu memberikan manfaat untuk masyarakat, khususnya setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya untuk memastikan bahwa daerah yang masih alami dapat mengembangkan pembangunan yang berimbang (balanced development) antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak; Sedangkan dalam penerapannya, juga sebaiknya dapat mencerminkan dua prinsip lainnya, yaitu: 1. Prinsip edukasi : pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap atau perilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya; 2. Prinsip wisata : pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan memberikan pengalaman yang orisinil kepada pengunjung serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan. Menurut Gunn (1994) perencanaan pengembangan pariwisata ditentukan oleh keseimbangan potensi sumberdaya dan jasa yang dimiliki sebagai penawaran dan permintaan atau minat wisatawan sebagai permintaan. Komponen penawaran terdiri dari : atraksi (potensi keindahan alam dan budaya serta bentuk aktivitas wisata), transportasi (aksesibilitas), pelayanan informasi, akomodasi dan sebagainya. Sedangkan komponen permintaan terdiri atas pasar wisata dan motivasi wisatawan. Fandeli dan Mukhlison (2000) menyatakan suatu perencanaan akan menghasilkan pengembangan yang baik, bila dilaksanakan dengan pengenalan secara menyeluruh elemen-elemennya. Untuk menyajikan seluruh elemen

11 ekowisata dapat didekati dengan elemen dan sistem pariwisata. Pada dasarnya setiap bentuk pengembangan pariwisata bertumpu pada dua elemen, yaitu produk (destination) dan pasar wisata (market). Untuk dapat mengembangkan kedua aspek ini diperlukan upaya pemasaran dan mengatur aspek perjalanan. Dalam pengembangannya, terutama dalam tahapan perencanaan dan programming, perlu dilakukan upaya pembekalan dan pemberdayaan, baik pada pihak-pihak yang ingin mengembangkan ekowisata dan masyarakat setempat. Selanjutnya pola pengembangannya berbeda dari satu tempat atau daerah yang lain (karena status dan kondisi masing-masing daerah berbeda-beda satu sama lain). 2.4.2. Pariwisata Pesisir Menurut Suwantoro (1997) dalam Dahyar (1999), manfaat pembangunan pariwisata antara lain sebagai berikut: 1) Bidang ekonomi, diantaranya a) Meningkatnya kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung maupun tidak langsung; b) Sumber penghasil devisa memungkinkan pariwisata menunjang kegiatan di sektor lainnya dalam pembangunan; c) Meningkatkan dan memeratakan pendapatan masyarakat melalui belanja wisatawan baik langsung maupun tidak langsung melalui dampak berganda (multiple effect); d) Meningkatnya daya jual barang-barang lokal dan/atau memungkinkan distribusi barang lokal ke daerah lain; e) Menunjang pembangunan daerah, yang sangat mungkin dikembangkan mengingat pariwisata bahari dan pantai tidak berpusat di kota melainkan berada di wilayah pesisir. 2) Bidang sosial budaya: kekayaan dan keragaman sosial budaya masyarakat merupakan salah satu modal yang dapat dijadikan produk pariwisata dan pembangunan. Dengan demikian, kegiatan pariwisata hendaknya tetap menjaga kelestarian nilai budaya lokal dengan tetap memperhatikan nilai-nlai budaya setempat dalam pengembangannya.

12 3) Bidang lingkungan hidup: pada dasarnya pengembangan pariwisata pesisir adalah memanfaatkan kondisi lingkungan yang menarik, dengan tetap mengelola kemungkinan munculnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Perencanaan pariwisata yang baik, teratur dan terarah, secara tidak langsung akan menjamin kelestarian lingkungan hidup. Daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir dan sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan, burung dan hewan-hewan lain. Keindahan dan keaslian lingkungan ini menjadikan perlindungan dan pengelolaan merupakan bagian integral dari rencana pengembangan pariwisata, terutama bila didekatnya dibangun penginapan/hotel, toko, pemukiman dan sebagainya yang membahayakan atau menggangu keutuhan dan keaslian lingkungan pesisir (Dahuri dkk, 2001). Berbagai kegiatan wisata dapat dilakukan yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah pesisir dan pantai. Terdapat beberapa istilah berkenaan dengan kegiatan pariwisata pesisir, antara lain sebagai berikut; 1) Wisata selam merupakan salah satu kegiatan pariwisata, termasuk didalamnya adalah kegiatan usaha penyediaan sarana, fasilitas dan jasa pelayanan untuk penjelajahan alam bawah air dengan tujuan wisata atau rekreasi (Anonim, 1998 dalam Dahyar, 1999); 2) Rekreasi air adalah kegiatan usaha penyediaan sarana dan fasilitas serta jasa pelayanan wisata yang dilakukan di perairan, baik perairan laut maupun pantai; 3) Wisata marina adalah kegaitan usaha penyediaan tempat berlabuh dan bertambatnya kapal-kapal pesiar (yach), kapal layar atau kendaraan air untuk kepentingan wisata; Pariwisata pesisir biasanya selalu identik dengan tiga S (sun, sea, sand), artinya jenis pariwisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kombinasi cahaya matahari, laut dan pantai berpasir bersih. Berbagai aktivitas di pulau atau di kawasan pesisir antara lain meliputi scuba diving, berenang, berselanjar, berjemur, berdayung, snorkling, boating dan water skiing, berjalanjalan atau berlari di sepanjang garis pantai, camping, menikmati keindahan alam

13 dan kedamaian suasana pesisir serta bermeditasi. Selain itu di pulau atau kawasan pesisir dapat dinikmati wisata laut, perbukitan, pulau-pulau kecil lainnya yang memberikan pamandangan yang sangat indah (Nurifdinsyah dan Pakpahan, 1998). 2.5. Zonasi Kawasan Ekowisata Zonasi adalah suatu daerah yang memiliki kesamaan karakterisrik fisik, biologi, ekologi dan ekonomi yang ditentukan oleh kriteria terpilih, kriteria tersebut merupakan dasar untuk mengidentifikasikan zona (Anonim, 1998). Latar belakang zona pariwisata yaitu mengidentifikasi dan mengguguskan daerah yang lingkungannya peka, mempunyai nilai rekreasi, dan menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi. Adapun maksud zonasi yaitu membagi Kawasan Pengelolaan laut dan Pesisir (KPLP) dalam zona-zona yang sesuai dengan keinginan pemanfaatan setiap zona. Zonasi ini menerangkan nama-nama zona terseleksi yang diterapkan bagi individu masing-masing zona, yakni kegiatan yang diizinkan dengan persyaratan serta kegiatan yang tidak diizinkan. Kegiatan bersyarat tersebut tidak untuk zona tertentu tetapi pada waktu yang bersamaan dapat dipertimbangkan untuk zona khusus. Pemberian zona dimaksud untuk memelihara kesinambungan sumberdaya pesisir dan laut dalam jangka panjang. Menurut Dahuri (1995), zonasi merupakan alat utama dalam perencanaan yang mana penggunaannya di-undang-kan. Pembagian kawasan pesisir dan laut ke dalam zona-zona dari kawasan yang memiliki kesamaan, mengandung arti sama : Penggunaan yang tidak serasi dapat dipisahkan. Kumpulan penggunaan yang memberikan manfaat dari adanya penggunaan lain dapat digabungkan. Kawasan-kawasan yang sesuai dapat disediakan untuk berbagai jenis kegiatan. Zona laut yang diusulkan meliputi zona pemanfaatan umum, zona pemanfaatan khusus dan subzona pemanfaatan (perikanan, pariwisata, pertambangan, industri, perhubungan). Di dalam zona ini pembangunan harus dikonsentrasikan dengan perkiraan bahwa sumberdaya dapat lebih diatur dan diawasi secara berkesinambungan.

14 2.6. Interpretasi 2.6.1. Pengertian Rahayu dan Taufik (2001), menyatakan bahwa interpretasi adalah layanan terhadap pengunjung suatu kawasan, yaitu taman wisata alam, taman nasional, kebun botani, kebun binatang dan sebagainya. Secara lebih rinci Muntasib (1992), menyatakan bahwa interpretasi adalah pelayanan kepada pengunjung yang datang ke taman-taman, hutan, tempat-tempat yang dilindungi dan reaksi semacam itu. Meskipun maksud pengunjung datang ke tempat rekreasi untuk berekreasi dan mencari inspirasi tetapi juga mempunyai keinginan untuk mempelajari alam dan kebudayaan. Sumberdaya alam yang ingin dilihat bisa berupa proses geologis, binatang, tumbuhan, komunitas ekologis, sejarah dan prasejarah manusia. MacKinnon et al. (1990), menyatakan bahwa interpretasi adalah cara untuk menyenangkan pengunjung, interpretasi bukan sekedar daftar berisi fakta, melainkan mencoba mengungkapkan konsep, arti dan hubungan keterkaitan gejala alam. Tersedianya kesempatan memperoleh pengalaman sendiri dengan hal nyata memberikan perbedaan prinsipil antara interpretasi dan pendidikan. Interpretasi dapat memainkan peranan penting dalam ekowisata dengan mendidik wisatawan mengenal alam pada komunitas dan wilayah yang mereka kunjungi, mereka dikenalkan dengan masalah-masalah pengelolaan sumberdaya alam, memberikan informasi tentang konsekuensi pada setiap tindakan, pengalaman dan dapat merangsang pengunjung untuk berperilaku melestarikan lingkungan (Muntasib, 2003). Interpretasi adalah pelayanan kepada pengunjung yang merupakan mata rantai komunikasi antara pengunjung dengan sumberdaya alam dan membantu pengunjung untuk merasakan sesuatu yang dirasakan oleh interpreter tentang keindahan, keunikan alam, keanekaragaman dan berhubungan dengan lingkungan, keajaiban alam dan perasaan ingin tahu. Interpretasi membantu pengunjung untuk mengembangkan perasaan berada di rumah sendiri dan pada saat menikmati lingkungan, sehingga pengunjung dapat membangun suatu persepsi (Sharpe, 1982). Menurut Ham (1992), interpretasi memiliki 4 sifat yang membedakannya dengan bentuk transfer informasi yang lain, yaitu:

15 Interpretasi bersifat menyenangkan Interpretasi merupakan suatu hiburan, walaupun bukan tujuan utamanya, namun merupakan suatu hal penting bagi kualitas interpretasi. Ada berbagai cara agar informasi yang diberikan menjadi lebih menarik, diantaranya dengan komunikasi yang baik, menggunakan kata-kata aktif, menunjukkan hubungan sebab-akibat, menghubungkan ilmu pengetahuan dengan sejarah manusia, menggunakan personifikasi dan lain sebagainya. Interpretasi bersifat relevan Interpretasi yang relevan memiliki dua kualitas, yaitu harus ada artinya (secara langsung berhubungan dengan pemikiran kita) dan harus pula berdasarkan pada pengalaman atau penelitian sehingga mudah disampaikan dan dipahami. Interpretasi bersifat terorganisir Suatu organisasi yang tepat diperlukan dalam program interpretasi agar dapat diikuti dengan mudah dan pengunjung tidak merubah perhatiannya. Interpretasi mempunyai tema Agar berkembang dengan baik maka interpretasi harus memiliki tema yang jelas 2.6.2. Tujuan Interpretasi Interpretasi ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, mengembangkan perhatian bagi keperluan perlindungan dan mendidik pengunjung. Interpretasi harus dapat membangkitkan rasa kagum dan keingintahuan pengunjung yang lebih besar mengenai alam sekitarnya serta membuat kunjungannya menjadi cukup berarti (MacKinnon et al., 1990). Menurut Sharpe (1982), ada 3 tujuan pokok interpretasi, yaitu: 1. Membantu pengunjung membangun kesadaran, penghargaan dan pengertian tentang kawasan yang dikunjungi agar kunjungannya kaya akan pengalaman dan kenyamanan. 2. Membantu pihak pengelola untuk mencapai tujuan pengelolaan karena interpretasi dapat mendorong pengunjung menggunakan sumberdaya dengan baik serta memperkecil dampak manusia yang merusak lingkungan.

16 3. Meningkatkan pengertian masyarakat umum terhadap sasaran dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu institusi/instansi, dengan jalan memasukkan pesanpesan dalam program interpretasinya. Interpretasi ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, mengembangkan perhatian bagi keperluan perlindungan dan mendidik pengunjung. Interpretasi harus dapat membangkitkan rasa kagum dan keingintahuan pengunjung yang lebih besar mengenai alam sekitarnya serta membuat kunjungannya menjadi cukup berarti (MacKinnon et al., 1990). 2.6.3. Perencanaan Interpretasi Perencanaan interpretasi merupakan suatu proses karena memerlukan pentahapan, selaku berkembang, sehingga dapat dikatakan merupakan proses yang dinamik (Muntasib, 1989). Perencanaan lebih dari sekedar pemanfaatan metode-metode yang lebih rinci, atau usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan pembangunan yang diharapkan. Kegiatan interpretasi terkait dengan jalur dan fasilitas yang diperlukan. Jalur interpretasi alam berfungsi sebagai sarana untuk mengamati dan memperlajari keadaan fisik lapangan, hutan, tanaman, marga satwa dan aspek lainnya dalam kawasan. 2.7. Perencanaan Kawasan Interpretatif Merencanakan suatu kawasan pesisir yang interpretatif atau sebagai kawasan interpretasi wisata pesisir adalah suatu upaya untuk menata suatu areal pendukung kegiatan wisata pesisir yang dapat mencerminkan ragam kekayaan ekologis dan budaya, potensi ekonomi dan potensi bahaya yang dimilikinya serta keindahan landscape dan seascape. Penataan ini juga harus mengakomodasikan berbagai kegiatan rekreatif dan edukatif wisatawan serta berbagai fasilitas pendukungnya sehingga kepuasaan pengunjung dapat dimaksimalkan dan tujuan interpretasi dapat diwujudkan (Nurisyah dan Damayanti, 2006). 2.8. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan teknologi untuk penanganan data spasial. Dengan menggunakan teknologi SIG maka banyak informasi berguna yang dapat dihasilkan dari data dasar. Ketelitian serta pengaturan kembali aliran informasi dalam pelaksanaannya dapat semakin efektif dan secara nyata

17 memperbaiki kualitas kerja (Lin, 2000). SIG bukanlah suatu sistem yang sematamata berfungsi untuk membuat peta, tetapi merupakan alat analitik (analitical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti. Hampir semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan memerlukan SIG, diantaranya bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan dan transportasi (Jaya, 2002). Pemetaan zona kegiatan wisata pesisir dengan SIG ini tentu akan sangat membantu pemerintah daerah dalam menyusun rencana pengembangan wisata pesisir di wilayahnya. Penerapan teknologi SIG bisa menjadi salah satu alternatif untuk pengembangan potensi daerah yang terkait dengan wilayah pesisir, yakni ekowisata pesisir (Aronoff, 1993). Secara umum, dapat digambarkan diagram siklus implementasi Sistem Informasi Geografis untuk rencana pengembangan wisata pesisir dapat dilihat pada Gambar 2. Masalah ekowisata pesisir Sebagai pengguna Dunia nyata Pengambilan keputusan Perancangan model dunia nyata Informasi Model dunia nyata Sistem Informasi Geografis Analisis data Pengumpulan data Pengolahan data Gambar 2 Diagram siklus implementasi SIG Dalam Gambar 2 memperlihatkan suatu proses perencanaan yang berawal dan berakhir dengan dunia nyata. Dalam hal in masalah wisata pesisir adalah bagian dari dunia yang akan dikembangkan dengan pendekatan SIG. Penelitian

18 tentang potensi pengembangan wisata pesisir yang telah dilakukan sebelumnya pada gilirannya juga berakhir dengan pengambilan keputusan untuk menjawab persoalan wisata pesisir. Perbedaannya terletak pada analisis data dan metode yang digunakan dalam penelitian sehingga hasil yang diperoleh mampu menjawab masalah perencanaan wisata pesisir.