EVALUASI POTENSI GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN PEJANTAN KAMBING PE DAN SAANEN DI BALAI PENELITIAN TERNAK CIAWI-BOGOR SKRIPSI WIDIAN SETIYORINI

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Kambing

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998).

Animal Agriculture Journal 4(2): , Juli 2015 On Line at :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

EVALUASI GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN ANAK DARI JANTAN MUDA UJI PROGENI PADA KAMBING PE

SKRIPSI OLEH : RINALDI

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Boer

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DANKOMPONEN RAGAM SIFAT PERTUMBUHAN PADA BANGSA BABI YORKSHIRE

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KOMPONEN RAGAM KAMBING KACANG

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Sistem Pemeliharaan Domba di UPTD BPPTD Margawati

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, MSi. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah FH berasal dari Belanda bagian utara, tepatnya di Provinsi Friesland,

PEMULIABIAKAN PADA SAPI PERAH

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KOMPONEN RAGAM SIFAT PERTUMBUHAN PADA BANGSA BABI LANDRACE

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) YANG DIBERI PAKAN JERAMI PADI FERMENTASI: PERKEMBANGAN BOBOT HIDUP ANAK SAMPAI PRASAPIH

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

ESTIMASI HERITABILITAS SIFAT PERTUMBUHAN DOMBA EKOR GEMUK DI UNIT HERITABILITY ESTIMATION OF GROWTH TRAITS OF FAT TAILED SHEEP AT UNIT

EVALUASI POTENSI PRODUKSI SUSU PADA KAMBING SAANEN DI PT TAURUS DAIRY FARM SKRIPSI RISSA FAYUMA

SELEKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWA BERDASARKAN NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS INDUK DI KECAMATAN METRO SELATAN KOTA METRO

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

EVALUASI GENETIK PRODUKSI SUSU SAPI FRIES HOLLAND DI PT CIJANGGEL-LEMBANG

HASIL DAN PEMBAHASAN

NILAI PEMULIAAN. Bapak. Induk. Anak

ESTIMASI NILAI HERITABILITAS BERAT LAHIR, SAPIH, DAN UMUR SATU TAHUN PADA SAPI BALI DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALI

KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

INJAUAN PUSTAKA Domba Komposit Sumatera

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

I. PENDAHULUAN. Lampung (2009), potensi wilayah Provinsi Lampung mampu menampung 1,38

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

Pendugaan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir dan Bobot Sapih Domba Garut Tipe Laga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

FLUKTUASI BOBOT HIDUP KAMBING KACANG INDUK YANG DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN BOER DARI KAWIN SAMPAI ANAK LEPAS SAPIH

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

PENDAHULUAN. dari sapi betina yang telah melahirkan. Produksi susu merupakan salah satu aspek

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN

E. Kurnianto, S. Johari dan H. Kurniawan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Received July 3, 2007; Accepted November 1, 2007

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kejobong

NILAI PEMULIAAN DOMBA GARUT BERDASAR BOBOT LAHIR MENGGUNAKAN METODE PATERNAL HALF-SIB DI UPTD BPPTD MARGAWATI

EVALUASI GENETIK PEJANTAN BOER BERDASARKAN PERFORMANS HASIL PERSILANGANNYA DENGAN KAMBING LOKAL

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

ESTIMATION OF GENETIC PARAMETERS, GENETIC AND PHENOTYPIC CORRELATION ON MADURA CATTLE. Karnaen Faculty of Animal Husbandry University of Padjadjaran

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi. oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

SELEKSI PEJANTAN BERDASARKAN NILAI PEMULIAAN PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DI LOKA PENELITIAN SAPI POTONG GRATI PASURUAN

MAKALAH PRODUKSI TERNAK DAN KAMBING. Seleksi dan Manfaat Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak. Disusun Oleh : Kelompok 3.

UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli Oktober 2016 di Satuan Kerja

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan

Analisis litter size, bobot lahir dan bobot sapih hasil perkawinan kawin alami dan inseminasi buatan kambing Boer dan Peranakan Etawah (PE)

III MATERI DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitan ini menggunakan catatan produksi susu 305 hari dari

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

Study Characteristics and Body Size between Goats Males Boerawa G1 and G2 Body in Adulthoodin the Village Distric Campang Gisting Tanggamus

KATA PENGANTAR. dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Simulasi Uji Zuriat pada Sifat Pertumbuhan Sapi Aceh (Progeny Test Simulation for Growth Traits in Aceh Cattle)

BOBOT LAHIR DAN PERTUMBUHAN ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH SAMPAI LEPAS SAPIH BERDASARKAN LITTER ZISE DAN JENIS KELAMIN

PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA GARUT PADA STASIUN PERCOBAAN CILEBUT BOGOR

Transkripsi:

EVALUASI POTENSI GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN PEJANTAN KAMBING PE DAN SAANEN DI BALAI PENELITIAN TERNAK CIAWI-BOGOR SKRIPSI WIDIAN SETIYORINI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN Widian Setiyorini. D14063456. 2011. Evaluasi Potensi Genetik Sifat Pertumbuhan Pejantan Kambing PE dan Saanen di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni M.Si., Ph.D Kambing perah yang dipelihara dengan baik di Indonesia adalah kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen. Potensi produksi susu dari pejantan dapat ditingkatkan dengan memperbaiki mutu genetik melalui program seleksi berdasarkan nilai pemuliaan (EBV) sehingga diperoleh pejantan unggul. Produksi susu ditentukan oleh performans pertumbuhan sebelum dikawinkan seperti bobot lahir dan bobot sapih. Pejantan mewariskan 50% sifat kepada keturunannya sehingga dapat diukur melalui keturunannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi genetik pejantan melalui bobot lahir dan bobot sapih keturunan pejantan kambing PE dan Saanen yang terdapat di Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Penelitian ini menggunakan 133 anak kambing PE dari 8 ekor pejantan dan 48 ekor anak kambing Saanen dari 2 ekor pejantan yang berasal dari Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Data berasal dari pencatatan tahun 2006 hingga 2009. Peubah yang diamati adalah bobot lahir dan bobot sapih (120 hari) yang dianalisis dengan uji-t. Bobot lahir kambing Saanen dikoreksi kepada tipe kelahiran tunggal dan jenis kelamin jantan, sedangkan kambing PE dikoreksi kepada tipe kelahiran kembar dua dan jenis kelamin betina. Heritabilitas dihitung dengan metode paternal half sibs, dan nilai pemuliaan (Breeding Value) dihitung berdasarkan pendekatan Contemporary Comparison (CC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot lahir kambing PE jantan 3,20±0,67 kg, sedangkan bobot lahir kambing PE betina 2,87±0,60 kg. Bobot lahir kambing Saanen jantan 3,31±0,39 kg dan kambing Saanen betina 2,98±0,39 kg. Bobot lahir kambing PE pada kelahiran tunggal dan kembar dua masing-masing sebesar 3,28±0,69 kg dan 2,83±0,53 kg. Bobot lahir kambing Saanen pada kelahiran tunggal 3,33±0,69 kg dan kembar dua 2,94±0,21 kg. Nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih kambing PE berada pada kisaran tinggi yaitu masing-masing adalah 0,50±0,34 dan 0,56±0,36. Nilai heritabilitas bobot lahir kambing Saanen termasuk sedang (0,36±0,68). Pejantan kambing PE yang memiliki nilai pemuliaan (BV) atau potensi genetik yang tinggi adalah pejantan dengan nomor identitas 261 (0,77), sedangkan kambing Saanen adalah pejantan dengan nomor identitas 9021(0,49). Kata-kata kunci : Kambing, sifat pertumbuhan, pejantan, uji zuriat

ABSTRACT Evaluation on the Genetic Quality Growth Trait of Etawah Grade and Saanen Bucks in Research Institute of Animal Production, Ciawi-Bogor Setiyorini, W., Jakaria, and A. Anggraeni Etawah Grade (EG) and Saanen goats are two types of small ruminant commonly raised for producing milk in Indonesia. Milk yield can be increased by doing selection programs based on breeding value (EBV) in order to obtain superior bukcs. The objective of this research was to evaluate the genetic quality growth trait of EG and Saanen bucks at the Research Institute for Animal Production (RIAP), Ciawi-Bogor. This research used 136 kids from 8 EG buks and 48 kids from 2 Saanen bucks from RIAP, Ciawi-Bogor. The data came from the recording in 2006 until 2009. Variables measured were birth weight and weaning weight then analyzed by t-test, weaning weight data were standardized to the age of 120 days and corrected to the type of single births and male (Saanen), and corrected to the type of twin births and female (EG). Heritability was calculated by the method of paternal half sibs, and the value of breeding (Breeding Value) was calculated by the Contemporary Comparison method. The results showed that male EG birth weight was 3,20±0,67 kg, while female birth weight was 2,87±0,60 kg. Male Saanen birth weight was 3,31±0,39 kg, while female birth weight was 2,98±0,39 kg. Etawah Grade birth weight in single birth was 3,28±0,69 kg and twins was 2,83±0,53 kg. Saanen birth weight in single birth was 3,33±0,69 kg, and twins was 2,94±0,21 kg. Heritability of EG birth weight and weaning weight were classified as high (0,50±0,34 and 0,56±0,36). Heritability of Saanen birth weight was 0,36 ± 0,68, this value was classified as moderate. Etawah Grade bucks with high breeding value (BV) was the identity number 261 (0,77), whereas that in Saanen buck was the identity number 9021 (0,49). Keywords : Goat, growth trait, buck, progeny test

EVALUASI POTENSI GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN PEJANTAN KAMBING PE DAN SAANEN DI BALAI PENELITIAN TERNAK CIAWI-BOGOR WIDIAN SETIYORINI D14063456 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Judul : Evaluasi Potensi Genetik Sifat Pertumbuhan Pejantan Kambing PE dan Saanen di Balai Penelitian Ternak, Ciawi- Bogor Nama NIM : Widian Setiyorini : D14063456 Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, (Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si) NIP. 19660105 199303 1 001 (Ir. Anneke Anggraeni, M.Si., Ph.D) NIP. 19630924 199803 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen, (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 19591212 198603 1 004 Tanggal Ujian : 8 April 2011 Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Juli 1988 di Ponorogo. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sumanto dan Ibu Suhariyanti. Pendidikan penulis diawali dengan pendidikan dasar yang diselesaikan pada tahun 2000 di SD Negeri Semanding 02, Ponorogo. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Negeri Jenangan, Ponorgo dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 1 Ponorogo. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Hurriyyah sebagai staf divisi Keputrian (periode 2006-2007 dan 2007-2008), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Peternakan sebagai staf Komisi Keuangan (periode 2007-2008), Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) FAMM Al-An aam Fakultas Peternakan sebagai staf divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (periode 2008-2009), serta menjadi asisten dan pengurus asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) IPB tahun 2010. Penulis juga pernah terlibat dalam Kepanitiaan SALAM ISC tahun 2008 divisi Layanan Informasi Kampus (LINK), Masa Perkenalan Fakultas (MPF) sebagai staf divisi Medis pada tahun 2008 dan sebagai Pemandu Anak Koboi (PAK) pada tahun 2009 dan 2010, serta terlibat sebagai panitia di Seminar dan Lokakarya 2011 kerjasama FORCES IPB dan Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI).

KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmannirrahim, penulis panjatkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi dengan judul Evaluasi Potensi Genetik Sifat Pertumbuhan Pejantan Kambing PE dan Saanen di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman. Kambing perah dapat menghasilkan susu melebihi kebutuhan anaknya dan dapat dijadikan galur kambing penghasil susu. Pejantan memegang peranan penting karena mewariskan separuh gennya kepada keturunannya. Pejantan yang memiliki nilai pemuliaan positif atau paling besar harus dipertahankan dan yang memiliki nilai negatif sebaiknya diafkir dan digantikan dengan pejantan lain yang memiliki nilai pemuliaan yang baik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pejantan yang akan dipertahankan atau diafkir melalui nilai pemuliaan atau potensi genetik pejantan berdasarkan sifat pertumbuhan keturunannya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya, Amien. Wassalamu alaikum Wr. Wb. Bogor, Mei 2011 Penulis

DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Kambing... 3 Kambing Perah... 3 Peranakan Etawah... 4 Saanen... 4 Sifat Pertumbuhan... 5 Bobot Lahir... 6 Bobot Sapih... 6 Sifat Produksi Susu... 6 Seleksi... 7 Heritabilitas... 8 Uji Zuriat... 9 MATERI DAN METODE... 13 Lokasi dan Waktu... 13 Materi... 13 Prosedur... 13 Analisis Data... 14 HASIL DAN PEMBAHASAN... 17 Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih... 17 Bobot Lahir... 17 Bobot Sapih... 20 Mortalitas... 22 Nilai Heritabilitas Bobot Lahir dan Bobot Sapih... 23 Evaluasi Pejantan... 24 i ii iii iv v vi vii ix x

KESIMPULAN DAN SARAN... 26 Kesimpulan... 26 Saran... 26 UCAPAN TERIMA KASIH... 27 DAFTAR PUSTAKA... 28 LAMPIRAN... 32 viii

Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Nilai Heritabilitas Bobot Lahir pada Kambing dan Domba... 8 2. Nilai Heritabilitas Bobot Sapih pada Kambing dan Domba... 9 3. Analisis Sidik Ragam untuk Menghitung Heritabilitas... 15 4. Rataan dan Standar Deviasi Bobot Lahir Kambing PE Berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin... 17 5. Rataan Bobot Lahir Kambing Saanen Berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin... 18 6. Rataan Bobot Sapih Anak Kambing PE Berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin... 20 7. Rataan Deviasi Bobot Sapih Anak Kambing Saanen Berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin... 21 8. Nilai Dugaan Heritabilitas Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing PE dan Saanen... 23 9. Nilai Contemporary Comparison dan Estimated Breeding Value Kambing PE dan Saanen... 24

Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Nilai Uji T Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Peranakan Etawah... 33 2. Nilai Analisis Sidik Ragam Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Peranakan Etawah... 33 3. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir Kambing Peranakan Etawah... 33 4. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Sapih Kambing Peranakan Etawah... 34 5. Nilai Uji T Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Saanen... 35 6. Nilai Analisis Sidik Ragam Bobot Lahir dan Bobot Sapih Kambing Saanen... 35 7. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir Kambing Saanen... 35 8. Perhitungan Nilai Heritabilitas Bobot Sapih Kambing Saanen... 36 9. Perhitungan Contemporary Comparison Pejantan Kambing PE... 37 10. Perhitungan Contemporary Comparison Pejantan Kambing Saanen... 38 11. Perhitungan EBV Bobot Lahir Pejantan Kambing PE dan Saanen 39

PENDAHULUAN Latar belakang Kambing adalah salah satu ternak ruminansia yang paling banyak dipelihara di Indonesia. Populasi ternak kambing di Indonesia beberapa tahun terakhir (2005-2006) cenderung meningkat. Tahun 2005, populasinya 13.409 ribu ekor, meningkat pada tahun 2006 menjadi 14.051 ribu ekor (BPS, 2007). Tipe kambing yang dipelihara di Indonesia sebagian besar merupakan tipe dwiguna sebagai penghasil daging dan susu. Kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan anaknya. Kambing perah yang umum dipelihara dengan baik adalah kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen. Kambing PE dan Saanen di daerah asalnya mampu menghasilkan susu yang banyak. Kambing PE mampu menghasilkan susu sekitar 136-253 kg/laktasi (Sutama, 2007), sedangkan kambing Saanen produksi susu per ekornya mencapai 800 kg/laktasi (Greenwood, 1997). Akan tetapi, produksi susu kambing PE dan Saanen di daerah tropis masih rendah, yaitu 0,3-0,8 kg/hari untuk kambing PE (Sutama et al., 1995) dan 1-3kg/hari untuk kambing Saanen (Devendra dan Burns, 1994). Produktivitas ternak ditentukan oleh mutu genetik yang dimiliki oleh ternak dan dipengaruhi faktor lingkungan dimana ternak tersebut berada serta kemungkinan adanya interaksi antara keduanya. Produksi susu dipengaruhi oleh karakteristik bangsa, individu ternak, umur, masa bunting, pakan, kesehatan, kondisi lingkungan, frekuensi, metode pemerahan, dan iklim dimana ternak tersebut dipelihara. Peningkatan produksi susu dari segi pemuliaan ditujukan ke arah perbaikan mutu genetik melalui seleksi pada pejantan karena 50% sifat diwariskan pejantan kepada keturunannya. Parameter dalam kegiatan seleksi yang digunakan adalah nilai heritabilitas sebagai dasar perhitungan nilai pemuliaan (Breeding Value). Seleksi dilakukan terhadap sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi, seperti bobot lahir dan bobot sapih. Bobot lahir dan bobot sapih berkorelasi genetik positif dengan produksi susu (Mandonnet et al., 1998). Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi nilai pemuliaan terhadap bobot lahir dan bobot sapih untuk mengetahui keunggulan pejantan yang terdapat di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi genetik pejantan melalui bobot lahir dan bobot sapih dari pejantan kambing PE dan Saanen yang terdapat di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. 2

TINJAUAN PUSTAKA Kambing Kambing merupakan hewan yang pertama kali didomestikasi dan dipelihara oleh manusia untuk memproduksi daging, susu, kulit, dan serat (Gall, 1981). Kambing telah didomestikasi sejak 9.000-7.000 tahun sebelum masehi (Devendra dan McLeroy, 1982). Kambing memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap mutu pakan yang rendah. Ternak ini mampu memanfaatkan bemacam-macam hijauan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh ternah ruminansia lain seperti domba dan sapi (Abdulgani, 1981). Kambing dapat makan rumput-rumputan yang sangat pendek dan daun-daun atau semak-semak yang biasa tidak dimakan oleh ternak ruminansia lain (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987). Kambing merupakan ternak ruminansia yang cukup berperan di Indonesia terutama bagi kehidupan petani karena harganya relatif murah dan memiliki daya reproduksi lebih tinggi dibandingkan ternak besar (Ngadiyono et al., 1983). Kambing Perah Kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan untuk anaknya. Kambing perah yang biasa dipelihara antara lain kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen yang dapat hidup dengan baik di daerah tropis (Devendra dan Burns, 1994). Dalam usaha peternakan kambing perah, ternak merupakan unsur produksi yang langsung menghasilkan produk, maka jumlah dan mutu kambing perah sangat menentukan tinggi rendahnya produksi susu yang dihasilkan (Wodzika-Tomaszewska et al., 1993). Kambing perah yang tersebar di berbagi belahan dunia dikelompokkan berdasarkan daerah asalnya, sifat-sifat produksinya, dan karakteristiknya sebagai ternak penghasil susu. Ternak kambing perah yang dipelihara oleh petani ternak umumnya merupakan ternak asli atau lokal. Kambing lokal yang berkembang dengan baik di Indonesia yaitu kambing Peranakan Etawah (PE) (Murtidjo, 1993). Selain itu, ada kambing Saanen yang juga memiliki produksi susu tinggi dan mulai dikembangkan di Indonesia. 3

Kambing Peranakan Etawah Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang dengan kambing Etawah, dengan demikian kambing ini memiliki sifat-sifat diantara kedua tetuanya (Joesoep, 1986). Kambing PE merupakan keturunan kambing Jamnapari (Etawah) yang diimpor dari India pada tahun 1920-an. Secara fisik kambing PE memiliki ciri yang hampir sama dengan kambing Etawah yaitu bertelinga panjang dan menggantung, profil muka cembung, bertanduk pendek, dan memiliki warna bulu putih, merah coklat dan hitam (Devendra dan Burns, 1994). Kambing PE digolongkan sebagai kambing tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil susu dan daging (Adiati et al., 2000). Kambing PE memiliki kemampuan menghasilkan susu cukup baik sekitar 136-253 kg/ekor/laktasi dan masa laktasi cukup panjang sekitar 175-287 hari (Sutama, 2007). Komposisi genetik kambing PE sekarang ini sangatlah beragam sehingga produksi susunya masih sangat bervariasi. Oleh karena itu, perlu dicari program seleksi yang tepat untuk memperbaiki potensi genetiknya dalam menghasilkan susu. Kambing Saanen Kambing Saanen berasal dari daerah Swiss Barat. Jenis kambing ini banyak dipelihara sebagai ternak penghasil susu. Produksi susu per ekor dapat mencapai 800 kg/ekor/laktasi dengan kandungan lemak antara 3-4%/laktasi yang berlangsung selama 250 hari (Greenwood, 1997). Menurut Ensminger dan Parker (1986), kambing Saanen merupakan bangsa terbesar dan penghasil susu terbaik di Swiss. Menurut Devendra dan Burns (1994), kambing Saanen mempunyai rata-rata produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa kambing perah manapun, dan karena alasan ini, bangsa kambing ini telah dimasukkan ke banyak negara. Kambing Saanen memiliki bulu pendek, umumnya tidak bertanduk, dan telinganya tegak mengarah ke atas. Kambing ini berwarna putih, krem pucat atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga, dan ambing. Kambing Saanen memiliki konformasi tubuh yang baik sebagai penghasil susu. Bobot kambing Saanen pada saat dewasa dapat mencapai 65 kg pada betina dan 75 kg pada jantan. Tinggi kambing Saanen rata-rata 75-90 cm (Devendra dan 4

McLeroy, 1982). Kambing Saanen sangat sensitif terhadap cahaya sehingga pemeliharaanya harus menggunakan naungan (Sutama et al., 2000). Sifat Pertumbuhan Sifat-sifat pertumbuhan anak kambing penting untuk diperhatikan, karena sifat pertumbuhan tersebut berkorelasi genetik positif dengan produksi susu dan relatif mudah diukur (Mandonnet et al., 1998). Korelasi genetik adalah korelasi antara nilai pemuliaan aditif dari dua sifat atau diantara jumlah pengaruh aditif gengen yang mempengaruhi kedua sifat tersebut (Legates dan Warwick, 1990). Korelasi berdasarkan teori berkisar antara -1 sampai dengan 1. Korelasi genetik yang positif berarti bahwa seleksi untuk suatu sifat tidak saja berakibat diperbaikinya sifat tersebut, tetapi juga sifat keduanya yang berkorelasi. Menurut Maynard dan Loosli (1956), pertumbuhan adalah pertambahan masa tubuh dalam kurun waktu tertentu yang sifatnya spesifik bagi masing-masing hewan. Tetapi bukan berarti setiap pertambahan bobot tubuh merupakan pertumbuhan. Hewan yang telah mencapai dewasa tubuh biasanya tidak mengalami pertumbuhan lagi, sehingga istilah yang sering dipakai untuk hewan dewasa adalah penggemukan. Berdasarkan waktu pengukuran berat badan sebagai indikator laju pertumbuhan pada periode tertentu, maka pertumbuhan ternak dapat digolongkan dalam tiga periode, yaitu pertumbuhan sebelum lahir, sebelum sapih, dan sesudah disapih (Lasley, 1963; Harjosubroto, 1994). Pola pertumbuhan setelah lahir pada semua spesies dari hewan mamalia hampir sama yaitu berkarakteristik sigmoid (bentuk-s). Bobot badan mendekati maksimum setelah masa pubertas dan mulai menurun setelah hewan dewasa (Campbell dan Lasley, 1973), namun kecepatan pertumbuhan tersebut tidak terlepas dari faktor genetik dan lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Tampilan turunan merupakan hasil kombinasi antara pengaruh genetik dan lingkungan, sehingga diperlukan koreksi pengaruh faktor lingkungan pada sifat pertumbuhan seperti umur beranak dan tipe kelahiran (Kosum et al., 2004). Untuk mengestimasi nilai pemuliaan dari sifat pertumbuhan anak-anak pejantan yang diuji, dilakukan dengan cara membandingkan terhadap tampilan keturunan pejantan lain (Wiggans et al., 1984). 5

Bobot Lahir Bobot lahir adalah bobot pada saat dilahirkan, yaitu bobot hasil penimbangan dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto, 1994). Bobot lahir merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak, karena bobot lahir sangat berkorelasi dengan laju pertumbuhan, ukuran dewasa, dan daya hidup kambing (Devendra dan Burns, 1994). Bobot lahir yang lebih tinggi di atas rataan umumnya akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi. Selain itu bobot lahir juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur induk, kondisi induk selama kebuntingan, dan jumlah anak sekelahiran (Hardjosubroto, 1994). Rata-rata bobot lahir anak kambing sekitar 1/15 atau 6,67% dari bobot induk (Gall, 1981). Bobot Sapih Penyapihan adalah waktu ketika anak kambing berhenti menyusu. Bobot sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan kemampuan anak kambing untuk mendapatkan susu dan tumbuh. Bobot sapih dipengaruhi oleh bobot lahir, jenis kelamin, umur penyapihan, dan bangsa (Abdulgani, 1981). Bobot sapih anak dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur sapih, umur induk, dan produksi susu induk. Bobot sapih juga ditentukan oleh bobot lahir yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus (Devendra, 1978). Bobot sapih mempunyai korelasi positif dengan bobot lahir, artinya bobot lahir yang tinggi akan menentukan bobot sapih yang tinggi pula. Berdasarkan hasil pengamatan Joesoep (1986), bobot sapih kambing PE mencapai puncaknya pada kelahiran yang ke-4. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor induk yang telah cukup matang dalam mengandung dan membesarkan anak. Selain itu mungkin juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan tata laksana pemeliharaan. Sifat Produksi Susu Susu kambing memiliki butiran lemak yang halus dan menyebabkan proses pencernaan berlangsung mudah. Susu kambing juga tidak mengandung antigen penyebab alergi dalam proteinnya. Kualitas susu kambing juga tidak kalah dari susu sapi dan sangat baik diberikan kepada orang yang mengalami gangguan pencernaan (Devendra dan Burns, 1994). 6

Produksi susu dipengaruhi oleh karakteristik bangsa, individu ternak, umur, masa bunting, pakan, kesehatan, kondisi lingkungan, frekuensi, dan metode pemerahan (Sasimowski, 1987). Selain faktor-faktor tersebut, iklim suatu tempat sangat berpengaruh terhadap produksi susu (Bath et al., 1985). Produksi susu pada ternak dengan umur tua lebih tinggi daripada ternak dengan umur muda, sebab ternak muda masih mengalami pertumbuhan. Pendistribusian zat-zat makanan pada ternak muda hanya sebagian untuk produksi susu dan sebagian lagi untuk pertumbuhan, termasuk kelenjar ambing yang masih pada tahap perkembangan (Phalepi, 2004). Kambing PE berpotensi untuk menghasilkan susu, walaupun tingkat produksinya masih sangat beragam yakni sekitar 0,45-2,2 l/hari pada kambing PE dewasa (Obst dan Napitupulu, 1984), dan 0,3-0,8 kg/hari pada kambing PE muda (Sutama et al., 1995). Produksi susu akan meningkat sejak induk beranak, kemudian akan turun hingga akhir masa laktasi (Blakely dan Bade, 1992). Rataan produksi pada awal laktasi sekitar 500 gram/hari, kemudian meningkat dan mencapai produksi tertinggi antara minggu ke-3 sampai minggu ke-5, setelah itu menurun. Kambing Saanen memiliki rata-rata produksi susu di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari (Devendra dan Burns, 1994). Seleksi Perbaikan mutu genetik ternak dapat dilakukan melalui seleksi dan persilangan. Persilangan biasanya dilakukan untuk pembentukan bangsa baru dengan introduksi gen baru dari luar (Gatenby, 1991). Seleksi ternak merupakan tindakan untuk mempertahankan sekelompok ternak tertentu sebagai tetua untuk menghasilkan keturunan pada generasi berikutnya serta menghilangkan kesempatan pada kelompok lain untuk berproduksi (Minkema, 1993). Seleksi menunjukkan keputusan yang diambil oleh pemulia untuk menurunkan keragaman ternak pada generasi berikutnya dan menyisihkan ternak yang tidak diinginkan untuk menghasilkan keturunan (Warwick et al., 1990). Menurut Noor (2000), seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan sejumlah ternak untuk tetap bereproduksi, sedangkan ternak yang lainnya tidak diberikan kesempatan untuk bereproduksi. Seleksi meliputi pemilihan individu yang didasarkan atas fenotip terarah (seleksi fenotipik), seleksi dengan 7

memanfaatkan informasi kerabat (silsilah dan turunan), dan seleksi sifat yang diwariskan secara sederhana atau simply inherited (Bourdon, 1997). Seleksi menyebabkan frekuensi gen pembawa sifat yang diinginkan akan muncul lebih tinggi pada populasi berikutnya. Jika seleksi dilakukan untuk lebih dari satu sifat, maka diperlukan informasi korelasi genetik (Warwick et al., 1990). Seleksi akan lebih efektif dan memberikan respon lebih besar, jika sifat yang dijadikan kriteria seleksi memiliki keragaman yang tinggi. Seleksi individu memberikan hasil yang baik bila sifat kuantitatif yang diseleksi memiliki nilai heritabilitas tinggi atau sedang. Seleksi individu yang paling cepat jika dilakukan pada sifat-sifat yang dapat diukur pada ternak jantan dan betina sebelum dewasa. Heritabilitas Warwick et al. (1990) menyatakan bahwa heritabilitas merupakan rasio yang menunjukkan rata-rata persentase keunggulan tetua yang diwariskan kepada keturunannya. Secara teoritis, heritabilitas dapat berkisar antara 0 sampai 1, tetapi angka ekstrim ini jarang diperoleh untuk sifat-sifat kuantitatif ternak. Menurut Martojo (1992), dengan dapat diestimasinya nilai heritabilitas untuk sifat-sifat kuantitatif dapat dipakai untuk meramalkan atau menduga besarnya nilai pemuliaan individu ternak, sehingga dapat menyusun rancangan pemuliaan ataupun menduga besar respon seleksi. Menurut Noor (2000), nilai heritabilitas dikatakan rendah jika nilainya berada antara 0-0,2, sedang antara 0,2-0,4 dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,4. Nilai heritabilitas tinggi menunjukkan perbedaan fenotip hewan sebagian besar disebabkan oleh perbedaan nilai pemuliaan, bukan disebabkan oleh pengaruh kombinasi gen (dominan dan epistasis) maupun pengaruh lingkungan. Jika h 2 suatu sifat rendah, maka perbedaan fenotip hanya sedikit dipengaruhi perbedaan nilai pemuliaan dan lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor lainnya (Bourdon, 1997). Tabel 1. Nilai Heritabilitas Bobot Lahir pada Kambing dan Domba Ternak Nilai h 2 Sumber Kambing PE 0,32 Prihartini (2000) Kambing Boer >< PE 0,33±0,04 Sulastri dan Dakhlan (2006) Domba Priangan 0,23±0,13 Rahmat et al.(1997) 8

Ada beberapa cara untuk mengukur nilai heritabilitas yang menurut Johansson dan Rendel (1968) adalah 1) dengan cara populasi isogenik, 2) dengan percobaan seleksi, dan 3) dengan cara populasi intrakelas dan adanya korelasi antara individu yang mempunyai hubungan keluarga. Cara populasi intrakelas ini terdiri dari tiga metode yaitu hubungan induk-anak (daughter-dam), hubungan saudara kandung (full-sibs) dan hubungan saudara tiri (half-sibs). Dari berbagai cara tersebut yang paling sering digunakan adalah cara half-sib, karena cara ini menghasilkan nilai yang mendekati kebenaran. Hal ini adalah karena tidak mengandung ragam dominan, sedikit mengandung ragam epistasis, dan tidak mengandung pengaruh induk bila dibandingkan dengan metode lain. Adapun tujuan pendugaan nilai heritabilitas adalah menyatukan ragam aditif dan memperkecil semua pengaruh lingkungan (Warwick et al., 1990). Data nilai heritabilitas beberapa bangsa ternak kambing dan domba disajikan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 2. Nilai Heritabilitas Bobot Sapih pada Kambing dan Domba Ternak Nilai h 2 Sumber Kambing Boer >< PE 0,25±0,12 Sulastri dan Dakhlan (2006) Domba Priangan 0,24±0,10 Rahmat et al.(1997) Uji Zuriat Evaluasi keunggulan sifat produksi susu pejantan dapat dilakukan melalui uji zuriat, yakni penilaian atas dasar kemampuan produksi keturunannya. Pejantan tidak menghasilkan susu, sehingga kemampuan pejantan dapat diduga dari produksi susu anak-anaknya, mengingat pejantan mewariskan sifat yang dipunyai sekitar 50% kepada keturunannya (Schmidt dan Van Vleck, 1974). Pemilihan pejantan sebaiknya dilakukan sedini mungkin dengan demikian nilai genetik pejantan tersebut akan cepat diketahui, untuk dapat diambil keputusan dalam pemilihan pejantan (Diggins dan Bundy, 1961). Ada berbagai cara dalam mengevaluasi pejantan berdasarkan performans anak-anaknya (Hardjosubroto, 1994) yaitu : 1. Perbandingan produksi antar-anak Cara seleksi pejantan yang mula-mula sekali adalah membandingkan produksi antar anak betina dari pejantan satu dengan pejantan lainnya. Metode ini di- 9

kenal dengan Daughter-Comparison. 2. Membandingkan produksi anak-induk Cara ini dikenal dengan Daughter-Dam Comparison. Metode ini merupakan cara yang paling sederhana dan didasarkan atas perbandingan antara rataan produksi susu anak dengan rataan produksi susu induknya. Metode ini dapat digunakan apabila paling sedikit diperoleh lima pasang perbandingan. Menurut Bath et al. (1985), kelemahan dari metode ini disamping adanya perbedaan waktu antar produksi induk dengan anaknya, juga sering induk tidak mempunyai catatan produksi yang lengkap. Perhitungan ini pada sapi perah adalah produksi susu distandarisasi berdasarkan masa laktasi 305 hari, frekuensi pemerahan dua kali, dan setara dewasa (mature equivalent). Metode ini kemudian berkembang menjadi Equal Parent Index dan Regression Index. 3. Membandingkan produksi Herdmate-nya Metode ini dikenal dengan sebutan Herdmates Comparison, atau kadangkadang disebut pula dengan Daughter-Herdmate Comparison. Produksi dari anakanak pejantan dibandingkan dengan produksi dari Herdmate-nya yang beranak pada waktu yang hampir bersamaan. Dikemukakan oleh Johanson dan Rendel (1968), bahwa selain laktasi pertama, anak betina yang telah melengkapi produksi laktasi kedua dan ketiga serta rataan produksi bangsa ternak itu sendiri juga diperhitungkan. Keuntungan dari metode ini adalah tidak diperlukan kesamaan lingkungan diantara peternakan, kecuali itu induk yang tidak mempunyai catatan masih dapat dipergunakan. Pengujian ini mempergunakan produksi susu selama laktasi. Maksud dari analisis ini adalah menghilangkan pengaruh dari kandang, tahun, dan musim. Beberapa asumsi yang digunakan dalam metode ini yaitu : (1) Semua hewan yang digunakan dalam evaluasi genetik adalah sampel acak dari populasi genetik dari tiap bangsa, (2) Tidak ada tren genetik dalam setiap bangsa, (3) Herdmates semua sapi mempunyai kesempatan yang sama untuk disingkirkan, (4) Setiap sapi dan hertmates-nya mendapat perlakuan yang sama (Bath et al., 1985). 4. Contemporary Comparison Metode ini adalah metode uji zuriat dengan cara membandingkan produksi susu anak betina pejantan yang diuji dengan anak betina pejantan lain yang 10

berproduksi pada tempat, tahun, dan musim yang sama (Ensminger, 1986). Pada dasarnya metode Contemporary Comparison mempunyai prinsip yang sama dengan Herdmate-Comparison. Penggunaan metode ini dapat mengurangi kesalahan akibat faktor lingkungan yang disebabkan oleh umur. 5. Modified Contemporary Comparison (MCC) Pada metode ini dibandingkan catatan produksi ternak betina dengan produksi ternak lain yang diperah pada waktu yang sama. Analisis yang dilakukan telah memperhitungkan tingkat perbedaan genetik diantara peternakan satu sama lainnya, serta kemungkinan adanya perbedaan manajemen. Penggunaan simpangan terhadap rataan produksi kelompok, telah memungkinkan untuk menghitung nilai Ramalan Beda Produksi (Predicted Different) dari setiap pejantan, yang merupakan ramalan perbedaan antara rataan keunggulan anak betinanya terhadap populasinya kelak dikemudian hari. Ramalan Beda Produksi ini merupakan penyempurnaan dari perhitungan Predicted Difference (PD) yang sudah ada, yaitu yang didasarkan atas CC. Perhitungan PD atas dasar MCC oleh karenanya sering disingkat dengan PD 74. Menurut Bath et al. (1985), metode MCC lebih sulit dihitung bila data yang digunakan sedikit. 6. Cummulative Difference (CD) Metode Cumulative Difference merupakan pengembangan dari metode Contemporary Comparison, dengan memasukkan unsur pejantan pembanding. Metode ini menggunakan dua sumber informasi, yaitu informasi dari pejantan yang sedang diuji saat itu (saat t) dan informasi yang berupa rataan nilai genetik pejantan lain pada saat sebelumnya. Kebaikan metode ini disamping dapat menilai kemampuan seekor pejantan juga dapat menilai kemajuan genetik yang telah dicapai sebelumnya. 7. Indeks Pemuliaan (Breeding Index) Metode ini dimulai di Selandia Baru. Pejantan yang akan diukur, dibandingkan dengan nilai genetik pada tahun 1960. Tahun 1960 sebagai tahun dasar penilaian. Indeks Pemuliaan (IP) akhir ternak dihitung berdasarkan informasi IP tetua dan IP turunannya. Sebagai contoh, misalnya ternak mempunyai IP 120 pada tahun 1983. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ternak yang diuji 20% lebih baik 11

keunggulan genetiknya daripada IP 100 pada tahun 1960 (Holmes dan Wilson, 1984). 8. Best Linier Unbiased Prediction (BULP) Metode ini adalah kombinasi dari indeks seleksi dengan teknik analisis Least square. Metode ini sangat baik, karena kesalahan pendugaan sangat diminimalkan dengan korelasi antara yang diduga dengan pendugaan maksimum. Bath et al. (1985) mengemukakan bahwa beberapa ahli berpendapat bahwa metode BULP adalah salah satu cara evaluasi genetik yang paling akurat. Metode BULP merupakan metode baru dalam uji zuriat (Abe, 1993). 12

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Balai Penelitian Ternak dari Mei sampai dengan Juli 2010 dengan mengambil data pertumbuhan anak kambing PE dan Saanen dari Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Materi Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data yang berasal dari data sekunder pencatatan tahun 2006 hingga tahun 2009 di Balai Penelitian Ternak Ciawi- Bogor. Kelengkapan data antara lain meliputi nomor pejantan, nomor induk, tanggal kawin, nomor anak, tanggal lahir, tipe kelahiran, jenis kelamin, tanggal sapih, dan bobot sapih. Penelitian ini menggunakan kambing PE dan Saanen. Kambing PE yang digunakan adalah 133 ekor anak dari delapan ekor pejantan. Anak kambing PE terdiri atas 62 ekor anak jantan dan 71 ekor anak betina dengan tipe kelahiran tunggal (61 ekor) dan kembar dua (72 ekor). Kambing Saanen yang digunakan adalah 48 ekor anak dari dua ekor pejantan. Kambing Saanen terdiri atas 25 ekor anak jantan dan 23 ekor anak betina dengan tipe kelahiran tunggal (26 ekor) dan kembar dua (23 ekor). Prosedur Data yang dikumpulkan meliputi bobot lahir (BL) dan bobot sapih (BS) pada anak kambing PE dan Saanen. Standarisasi dilakukan untuk mengeliminasi faktorfaktor yang mempengaruhi bobot lahir dan bobot sapih yaitu faktor koreksi tipe lahir dan jenis kelamin anak yang diperoleh dari perbandingan nilai Least Square Means. Bobot lahir kambing Saanen distandardisasi berdasarkan jenis kelamin jantan dan tipe kelahiran tunggal. Bobot lahir kambing PE distandarisai berdasarkan jenis kelamin betina dan tipe kelahiran kembar dua (PE). Bobot sapih distandarisasi pada umur sapih 120 hari. Data terstandardisasi digunakan untuk perhitungan nilai heritabilitas. Faktor koreksi digunakan untuk menstandardisasi bobot lahir dan bobot sapih (Kurnianto et al., 2007) : BL st = BL x FKTL x FKJK

Keterangan : BL st = Bobot lahir terstandarisasi FKTL = Faktor koreksi tipe kelahiran FKJK = Faktor koreksi jenis kelamin BS st = BL + [( ( ) x 120) x FKTL] Keterangan : BS st = Bobot sapih standarisasi umur 120 hari FKTL = Faktor koreksi tipe kelahiran BS = Bobot sapih sesungguhnya BL = Bobot lahir sesungguhnya Umur = Umur saat sapih Analisis Data 1. Bobot Lahir dan Bobot Sapih Perbedaan rataan bobot badan baik pada bobot lahir dan bobot sapih antara jantan dengan betina dan antara kelahiran tunggal dengan kembar dianalisis menggunakan uji-t (Mendenhall, 1969): 2 = =1 1 2 + 2 2 =1 1 + 2 2 = ( ) 1 + 1 Keterangan : s = Standar deviasi t = Nilai uji-t 1 dan 2 = Rataan sifat yang diamati 1 dan 2 = Jumlah individu 2. Heritabilitas (h 2 ) Pendugaan nilai heritabilitas sifat pertumbuhan dipergunakan metode korelasi saudara tiri sebapak (Paternal Half Sib Correlation) dengan jumlah anak per pejantan tidak sama, menurut Becker (1975): Y ik = μ + α i + ε ik, Keterangan : 14

Y ik μ α i ε ik = Nilai bobot lahir/ sapih individu anak ke-i pejantan ke-k = Rataan populasi = Pengaruh pejantan ke-i individu anak ke-k, i = 1,2,3,,n; k = 1,2,3,,n = Deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol individu anak ke-k pejantan ke-i Tabel 3. Analisis Sidik Ragam untuk Menghitung Heritabilitas SK Db JK KT Komponen KT Antar Pejantan S-1 JK s KT s σ 2 w + k σ 2 s Anak dalam Pejantan n.-s JK w KT w σ 2 w Estimasi Heritabilitas : h 2 = 4σ2 s σ 2 s+ σ 2 w Salah baku heritabilitas : s.e. (h s 2 )= 4 2(n. 1)(1 t)2 [1+(k 1 1)t] 2 k 1 2 (n. S)(S 1) Keterangan : S = Banyaknya pejantan n i = Jumlah anak dari pejantan ke-i k = Koefisien komponen ragam 1 ni2 = (n. ) S 1 n. n. = Jumlah anak seluruhnya σ 2 s = Komponen ragam antar pejantan = σ 2 w = Komponen ragam anak dalam pejantan = KT w 3. Evaluasi Pejantan Evaluasi pejantan dilakukan dengan menggunakan metoda Contemporary Comparison (CC) yang diperkenalkan oleh Robertson dan Rendel pada tahun 1954 sebagai berikut : Faktor pembobot perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan jumlah ternak di dalam kelompok (herds) diperhitungkan dengan inverse dari ragam perbedaan individu, yang dinyatakan dalam : w = (n D. n M )/(n D + n M ) 15

Faktor pembobot anak betina dari pejantan ke-i di kelompok herds ke-j : w i = w ij sehingga, CC dari pejantan ke-i (Johanson dan Rendel, 1968; Pirchner, 1969) adalah: CC i = i w ij d ij / i w ij Prediksi nilai pemuliaan (EBV) (Pirchner, 1969) adalah : dengan : EBV = 2bCCi b = w i /(w i + k), dan k = (4 h 2 )/h 2 Keterangan : n D = Jumlah anak betina pejantan yang akan diuji n M = Jumlah herdmates (M) di dalam kelompok (herds) w ij = Faktor pembobot anak betina dari pejantan ke-i di dalam herd ke-j d ij = Perbedaan antara record anak pejantan dari seekor pejantan yang diuji dengan record dari contemporary dari herdmates b = Koefisien regresi k = Jumlah herdmates (ekor) 16

Bobot Lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Bobot Lahir Kambing PE berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Rataan dan Jumlah Standar Deviasi (ekor) (kg) Tunggal Jantan 29 3,52±0,68 a Betina 32 3,06±0,64 A Total 61 3,28±0,69 a1 Kembar Dua Jantan 33 2,96±0,51 b Betina 39 2,73±0,54 B Total 72 2,83±0,53 b1 Total Jantan 64 3,20±0,67 A1 Betina 72 2,87±0,60 B1 Keterangan : superscript a dan b = perbandingan antara jantan tipe kelahiran tunggal dengan jantan tipe kelahiran kembar, A dan B = perbandingan antara betina tipe kelahiran tunggal dengan betina tipe kelahiran kembar, a1 dan b1 = perbandingan antara tipe kelahiran tunggal dengan tipe kelahiran kembar, A1 dan B1 = perbandingan antara jantan dengan betina. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%. Hasil analisis pada bobot lahir kambing PE menunjukkan bahwa rataan bobot lahir tipe kelahiran tunggal secara nyata (P<0,05) berbeda dengan rataan bobot lahir tipe kelahiran kembar dua. Rataan bobot lahir tipe kelahiran tunggal menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan tipe kelahiran kembar dua. Rataan bobot lahir pada tipe kelahiran tunggal dan kembar dua masing-masing adalah 3,28±0,69 kg dan 2,83±0,53 kg. Menurut Devendra dan Burns (1994), bobot lahir pada anak tipe kelahiran tunggal lebih tinggi daripada anak kembar dua. Hal tersebut disebabkan zat makanan yang diperoleh fetus dari induk. Makin banyak jumlah anak sekelahiran semakin berkurang kecepatan pertumbuhan individual pra lahir karena kompetisi fetus di dalam uterus, sehingga anak dengan tipe kelahiran tunggal memiliki bobot lahir yang lebih besar daripada anak kelahiran kembar.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa rataan bobot lahir pada jantan berbeda nyata (P<0,05) dengan rataan bobot lahir pada betina, dimana rataan bobot lahir jantan lebih tinggi jika dibandingkan dengan rataan bobot lahir betina. Rataan bobot lahir anak kambing PE adalah 3,20±0,67 kg untuk jantan dan 2,87±0,60 kg untuk betina. Rataan bobot lahir pada Balai Penelitian Ternak Ciawi lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Atabany (2001), dimana bobot lahir anak kambing PE adalah 3,97 kg untuk anak jantan dan 3,73 kg untuk anak betina. Apabila dilihat dari tipe kelahiran per jenis kelamin, rataan bobot lahir jantan pada tipe kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan rataan bobot lahir jantan pada tipe kelahiran kembar. Hal yang sama juga diperoleh dari hasil statistik pada rataan bobot lahir betina pada tipe kelahiran tunggal yang berbeda nyata (P<0,05) dengan rataan bobot lahir betina pada kelahiran kembar. Rataan bobot lahir anak jantan kambing PE dengan tipe kelahiran tunggal adalah 3,52±0,68 kg, sedangkan anak tunggal betina adalah 3,06±0,64 kg. Rataan bobot lahir anak kambing PE jantan pada tipe kelahiran kembar dua adalah 2,96±0,51 kg dan yang betina adalah 2,73±0,54 kg. Rataan bobot lahir kambing Saanen berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Bobot Lahir Kambing Saanen Berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Rataan dan Jumlah Standar Deviasi (ekor) (kg) Tunggal Jantan 11 3,85±0,61 a Betina 15 2,95±0,47 A Total 26 3,33±0,69 a1 Kembar Dua Jantan 14 2,89±0,22 b Betina 8 3,05±0,18 A Total 22 2,94±0,21 b1 Total Jantan 25 3,31±0,39 A1 Betina 23 2,98±0,39 B1 Keterangan : superscript a dan b = perbandingan antara jantan tipe kelahiran tunggal dengan jantan tipe kelahiran kembar, A = perbandingan antara betina tipe kelahiran tunggal dengan betina tipe kelahiran kembar, a1 dan b1 = perbandingan antara tipe kelahiran tunggal dengan tipe kelahiran kembar, A1 dan B1 = perbandingan antara jantan dengan betina. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%. 18

Berdasarkan hasil analisis pada bobot lahir kambing Saanen, rataan bobot keturunan jantan pada tipe kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan jantan pada tipe kelahiran kembar, akan tetapi rataan bobot lahir betina pada kelahiran tunggal tidak berbeda (P<0,05) dengan rataan bobot lahir betina pada kelahiran kembar. Rataan bobot lahir kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan rataan bobot lahir kelahiran kembar. Hal yang sama juga diperoleh pada rataan bobot lahir berdasarkan jenis kelamin, dimana rataan bobot lahir jantan berbeda nyata (P<0,05) dengan betina. Rataan bobot lahir anak jantan kambing Saanen lebih tinggi daripada anak betina. Rataan bobot lahir anak jantan sebesar 3,31±0, 39 kg dan anak betina sebesar 2,98±0,39 kg. Rataan bobot lahir kambing Saanen pada kelahiran tunggal lebih tinggi daripada kelahiran kembar dua, yaitu 3,33±0,69 kg untuk kelahiran tunggal dan 2,94±0,21 kg untuk kelahiran kembar dua. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Atabany (2001), dimana bobot lahir jantan (3,15 kg) lebih tinggi daripada bobot lahir betina (3,13 kg) dan bobot lahir kambing Saanen kelahiran tunggal (3,40 kg) lebih tinggi daripada kelahiran kembar dua (3,04 kg). Bobot lahir jantan lebih besar daripada betina diakibatkan oleh hormon androgen yang dimiliki oleh anak jantan akan menyebabkan adanya retensi nitrogen lebih banyak dibandingkan dengan anak betina, sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan anak jantan yang lebih besar (Ihsan, 1990). Selain itu, menurut Nalbandov (1990), hormon estrogen yang dihasilkan hewan betina akan membatasi pertumbuhan tulang pipa dalam tubuh. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa hormon estrogen pada ternak betina berpengaruh terhadap pengapuran tulang rawan (epifise), sehingga pertumbuhan tulang betina menjadi lebih pendek daripada jantan. Bobot lahir berkorelasi dengan laju pertumbuhan dan ukuran dewasa serta daya hidup anak. Bobot lahir yang tinggi di atas rataan, umumnya akan memiliki kemampuan hidup lebih tinggi dalam melewati masa kritis, pertumbuhannya cepat dan akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi (Gunawan dan Noor, 2006). Kambing Saanen, pada Tabel 5, memiliki bobot kelahiran anak tunggal jantan 3,85±0,61 kg sedangkan anak tunggal betina 2,95±0,47 kg. Tipe kelahiran kembar dua memiliki bobot lahir pada anak jantan 2,89±0,22 kg dan anak betina 3,05±0,18 kg. 19

Bobot Sapih Rataan bobot sapih kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Bobot Sapih Kambing PE berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Rataan dan Jumlah Standar Deviasi (ekor) (kg) Tunggal Jantan 29 11,44±2,86 a Betina 29 11,33±2,98 A Total 58 11,39±1,90 a1 Kembar Dua Jantan 25 11,23±2,24 a Betina 36 11,14±2,77 A Total 61 11,18±2,55 a1 Total Jantan 55 11,41±2,59 A1 Betina 56 11,24±2,83 A1 Keterangan : superscript a = perbandingan antara jantan tipe kelahiran tunggal dengan jantan tipe kelahiran kembar, A = perbandingan antara betina tipe kelahiran tunggal dengan betina tipe kelahiran kembar, a1 = perbandingan antara tipe kelahiran tunggal dengan tipe kelahiran kembar, A1 = perbandingan antara jantan dengan betina. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%. Analisis statistik pada bobot sapih kambing PE berdasarkan jenis kelamin, tipe kelahiran maupun tipe kelahiran per jenis kelamin diperoleh hasil yang tidak nyata (P>0,05). Rataan bobot sapih anak jantan kambing PE yaitu 11,41±2,59 kg dan anak betina sebesar 11,24±2,83 kg. Atabany (2001) melaporkan bobot sapih anak jantan dan anak betina kambing PE masing-masing adalah 13,5 kg dan 11,5 kg. Bobot sapih anak kambing PE pada kelahiran tunggal sebesar 11,39±2,90 kg, bobot kelahiran kembar dua sebesar 11,18±2,55 kg. Apabila ditinjau dari tipe kelahiran per jenis kelamin, rataan bobot sapih anak jantan kambing PE dengan tipe kelahiran tunggal adalah 11,44±2,86 kg sedangkan anak tunggal betina adalah 11,33±2,98 kg. Rataan bobot sapih anak kambing PE jantan pada tipe kelahiran kembar adalah 11,23±2,24 kg dan yang betina adalah 11,14±2,77 kg. Rataan bobot sapih kambing Saanen berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 7. 20

Tabel 7. Rataan Bobot Sapih Kambing Saanen Berdasarkan Tipe Kelahiran dan Jenis Kelamin Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Jumlah (ekor) Rataan dan Standar Deviasi (kg) Tunggal Jantan 11 12,48±1,42 a Betina 15 9,10±1,90 A Total 26 10,53±2,40 a1 Kembar Dua Jantan 12 8,72±1,34 b Betina 8 9,41±2,13 A Total 26 9,00±1,68 b1 Total Jantan 23 10,52±2,35 A1 Betina 23 9,21±1,94 B1 Keterangan : superscript a dan b = perbandingan antara jantan tipe kelahiran tunggal dengan jantan tipe kelahiran kembar, A= perbandingan antara betina tipe kelahiran tunggal dengan betina tipe kelahiran kembar, a1 dan b1 = perbandingan antara tipe kelahiran tunggal dengan tipe kelahiran kembar, A1 dan B1 = perbandingan antara jantan dengan betina. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%. Berdasarkan hasil analisis pada bobot sapih kambing Saanen, rataan bobot sapih keturunan jantan pada tipe kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan jantan pada tipe kelahiran kembar dua. Anak kambing Saanen dengan kelahiran tunggal memiliki bobot sapih sebesar 10,53±2,40 kg, sedangkan bobot sapih pada kelahiran kembar sebesar 9,00±1,68 kg. Rataan bobot sapih anak kambing Saanen pada kelahiran tunggal lebih tinggi dibandingkan kelahiran kembar disebabkan oleh anak kambing Saanen kelahiran tunggal memiliki bobot lahir yang lebih tinggi daripada kelahiran kembar. Hal ini sesuai dengan laporan Abdulgani (1981) yang menyatakan bahwa bobot sapih ditentukan oleh bobot lahir. Subandriyo (1996) juga menyatakan bahwa terbatasnya produksi susu induk menyebabkan anak kembar harus berbagi susu, pertumbuhan pra sapih anak kembar menjadi lebih lama dibandingkan anak tunggal, sehingga anak kembar memiliki bobot sapih yang lebih rendah. Rataan bobot sapih jantan berbeda nyata (P<0,05) dengan betina. Rataan bobot sapih anak jantan lebih tinggi daripada anak betina. Bobot sapih anak jantan dan betina kambing Saanen pada hasil penelitian masing-masing adalah 10,52±2,35 kg dan 9,21±1,94 kg. Rataan bobot sapih pada penelitian ini lebih rendah dari data yang diperoleh oleh Atabany (2001), dimana bobot sapih anak jantan dan anak betina kambing Saanen masing-masing adalah 20,6 kg dan 16,2 kg. 21

Rataan bobot sapih betina kelahiran tunggal dengan rataan bobot sapih betina kelahiran kembar dua tidak berbeda nyata (P>0,05), akan tetapi rataan bobot sapih jantan pada kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan jantan pada kelahiran kembar dua. Rataan bobot sapih anak jantan kambing Saanen pada tipe kelahiran tunggal adalah 12,48±1,42 kg sedangkan anak tunggal betina 9,10±1,96 kg. Tipe kelahiran kembar dua memiliki bobot lahir pada anak jantan 8,72±1,37 kg dan anak betina 9,41±2,13 kg. Menurut Lasley (1963), berat sapih berkorelasi positif dengan berat lahir, sehingga seleksi terhadap bobot sapih akan meningkatkan bobot pasca lahir pada generasi berikutnya (Triwulaningsih, 1986). Abdulgani (1981) dan Acker (1983) melaporkan bahwa anak kambing yang mempunyai berat lahir yang tinggi akan tumbuh lebih cepat, sehingga akan mencapai berat sapih yang tinggi pula. Menurut Abdulgani (1981), Sutama et al. (1995), dan Setiadi et al. (2001), jenis kelamin juga mempengaruhi berat sapih, dimana jantan lebih tinggi daripada betina. Mortalitas Tingkat kematian anak dihitung berdasarkan kematian anak dibandingkan jumlah kelahiran (Mulyadi, 1992). Berdasarkan data dari tahun 2006 hingga 2009, diperoleh data kematian pada anak kambing PE adalah sebanyak 8,3% (11 dari 133 ekor) lebih rendah dari penelitian Atabany (2001) sebesar 11%, dan data kematian anak kambing Saanen sebanyak 18,75% (9 dari 48 ekor) lebih tinggi dibandingkan data penelitian Atabany (2001) sebesar 15%. Tingginya kemampuan hidup dalam suatu populasi ditunjukkan dengan rendahnya laju kematian. Anak kambing PE memiliki persentase kematian yang lebih kecil dibandingkan dengan anak kambing Saanen, hal ini menunjukkan bahwa kambing PE memiliki kemampuan hidup yang lebih baik karena kambing PE merupakan persilangan antara kambing Etawah dan kambing Kacang. Kambing Kacang merupakan kambing lokal asli Indonesia yang sudah beradaptasi baik dengan lingkungan tropis. Kambing Saanen merupakan kambing yang berasal dari daerah beriklim sejuk basah dan masih kurang baik beradaptasi dengan lingkungan tropis (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Kostaman (2003) dalam penelitiannya, tingginya kematian anak dipengaruhi oleh berat lahir yang rendah, kelahiran terjadi di malam hari sehingga 22