SEBARAN UKURAN MORFOLOGI LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) HASIL TANGKAPAN DI SUMATERA SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Memasukan: Januari 2013, Diterima: April 2013

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN

VARIASI PARAMETER PERTUMBUHAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea) DI MUSI RAWAS DAN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

PEMANFAATAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN ABSTRAK

07. ACUAN PENETAPAN REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN) PROVINSI SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Vegetatif 2 (31-40 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Max. Vegetatif (41-54 HST)

DATA AGREGAT KEPENDUDUKAN PER KECAMATAN (DAK2)

UPAYA PELESTARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, CIREBON ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

Lampiran I.16 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

USULAN PERLINDUNGAN KURA BANING HUTAN (Manouria emys emys) UNTUK MASUK DALAM DAFTAR SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

ANALISIS HUJAN DESEMBER 2015 DAN PRAKIRAAN HUJAN FEBRUARI, MARET DAN APRIL 2016 DI SUMATERA SELATAN

ANALISIS HUJAN JUNI 2016 DAN PRAKIRAAN HUJAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2016 DI SUMATERA SELATAN

ANALISIS HUJAN FEBRUARI 2016 DAN PRAKIRAAN HUJAN APRIL, MEI DAN JUNI 2016 DI SUMATERA SELATAN

KEADAAN GEOGRAFIS GEOGRAPHYCAL SITUATION

ANALISIS HUJAN OKTOBER 2015 DAN PRAKIRAAN HUJAN DESEMBER 2015, JANUARI DAN FEBRUARI 2016 DI SUMATERA SELATAN

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH

ANALISIS HUJAN MARET 2016 DAN PRAKIRAAN HUJAN MEI, JUNI DAN JULI 2016 DI SUMATERA SELATAN

ANALISIS HUJAN APRIL 2016 DAN PRAKIRAAN HUJAN JUNI, JULI DAN AGUSTUS 2016 DI SUMATERA SELATAN

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Potensi labi-labi (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) sebagai sumber protein hewani alternatif di Kalimantan Timur

PERILAKU HARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, KABUPATEN CIREBON 1

ANALISIS HUJAN JANUARI 2016 DAN PRAKIRAAN HUJAN MARET, APRIL DAN MEI 2016 DI SUMATERA SELATAN

TUJUAN umum. Lokasi penelitian 27/11/2011

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

PREFERENSI PAKAN DAN PERTUMBUHAN ANAKAN BULUS (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI PENANGKARAN PT. EKANINDYA KARSA, KABUPATEN SERANG, BANTEN

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Dalam acara MUSI RAWAS, 24 MEI 2017

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA SELATAN

1 Grafik Ruang Kelas Belajar Madrasah berdasarkan Kondisi Bangunan. 2 Tabel Jumlah Ruang Kelas Belajar Madrasah. 3 Tabel Jumlah Perpustakaan Madrasah

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

Kelimpahan Populasi dan Kondisi Habitat Labi-Labi (Dogania subplana: Reptilia: Trionychidae) di Kawasan Kampus Universitas Andalas Padang

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal

III. METODE PENELITIAN KETAPANG

BAB III STUDI KASUS. III.1. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Lahat

SUSTAINABILITAS PENANGKAPAN KURA-KURA Cuora amboinensis DAUDIN 1802 (TESTUDINES: GEOMYDIDAE) DI KAWASAN EKSPLOITASI KALIMANTAN TIMUR

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Musi Banyuasin Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN Latar Belakang

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

KATA PENGANTAR. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan publikasi prakiraan musim hujan ini.

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

Transnational Organized Crime (TOC)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa

Transnational Organized Crime

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

IDENTIFIKASI JENIS KURA-KURA DI KALIMANTAN BARAT. Turtles Identification In West Kalimantan

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

Raden Fini Rachmarafini Rachmat ( ) ABSTRAK

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PENERAPAN TEKNIK PENANGKARAN PENGEMBANGBIAKAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea) DI AREA PT. ARARA ABADI

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI ALAM,

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

Transkripsi:

Sebaran Ukuran Morpologi Labi-labi..Hasil Tangkapan di Sumatera Selatan (Sentosa, A.A., et al) SEBARAN UKURAN MORFOLOGI LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) HASIL TANGKAPAN DI SUMATERA SELATAN MORPHOLOGICAL SIZE DISTRIBUTION OF THE ASIATIC SOFTSHELL TURTLE (Amyda cartilaginea BODDAERT, 1770) CAUGHT IN SOUTH SUMATERA ABSTRAK Agus Arifin Sentosa dan Astri Suryandari Peneliti pada Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Teregistrasi I tanggal: 13 Februari 2014; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Agustus 2014; Disetujui terbit tanggal: 02 September 2014 Labi-labi (Amydacartilaginea) merupakan salah satu komoditas tangkapan untuk ekspor di Sumatera Selatan. Status perlindungannya telah masuk dalam Appendix II CITES dan kategori rawan menurut IUCN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran ukuran morfologi A. cartilaginea hasil tangkapan di Sumatera Selatan. Data tangkapan labi-labi diperoleh dari catatan enumerator selama 2013 di Kabupaten Musi Rawas, Musi Banyuasin dan Lubuklinggau. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil menunjukkan bahwa labi-labi yang tertangkap dari Musi Rawas dan Lubuklinggau memiliki ukuran morfologi yang lebih besar dibandingkan dari MusiBanyuasin. Labi-labi yang dominan tertangkap memiliki bobot < 5,5 kg (52,45%). Sebaran labi-labi yang tertangkap dengan bobot tangkapan total > 1.000 kg dan total tangkapan > 200 ekor tahun -1 terdapat di Jaya Loka, Megang Sakti dan Lakitan Ulu (Kabupaten Musi Rawas) serta di Sekayu, Batanghari Leko dan Babat Toman (Kabupaten Musi Banyuasin). Kata Kunci: Amydacartilaginea, labi-labi, sebaran tangkapan, Sumatera Selatan ABSTRACT The Asiatic softshell turtle (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) is one of the export commodities in South Sumatera. Its conservation status has been included in Appendix II CITES and IUCN vulnerable category. The objective of study is to determine the distribution of morphological size of A. cartilaginea caught in South Sumatera. The softshell turtle catch data was collected and recorded by enumerators during 2013 in District Musi Rawas, Musi Banyuasin and Lubuklinggau. Data were analysed descriptively. The results show that the morphological size of softshell turtle caught from Musi Rawas and Lubuklinggau were bigger than from Musi Banyuasin. The Asiatic softshell turtle catch distribution with a total catch body mass > 1.000 kg and total catch >200 individuals year -1 were found in Jaya Loka, Megang Sakti and Lakitan Ulu (Musi Rawas Regency) and Sekayu, Batanghari Leko and Babat Toman (Musi Banyuasin Regency). Keywords: Amyda cartilaginea, Asiatic softshell turtle, catch distribution, South Sumatera PENDAHULUAN Labi-labi (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) merupakan salah satu spesies kura-kura air tawar yang banyak dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi dan sebagai hewan piaraan (Kusrini et al., 2009). Perdagangan labi-labi di Indonesia sebagian besar dilakukan untuk keperluan ekspor (Samedi & Iskandar, 2000). Status konservasi labi-labi di Indonesia masih belum dilindungi oleh peraturan/ hukum, namun secara internasional sejak 1996 telah dikategorikan vulnerable (rentan) pada Red Data Book IUCN (IUCN, 2010) serta pada 12 Januari 2005 telah masuk ke dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered of Wild Fauna and salah satu negara yang telah meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978. Pemanfaatan labi-labi diatur dengan prinsip non detrimental findings (NDF) yang salah satunya diterjemahkan dalam sistem kuota tangkap (Oktaviani & Samedi, 2008). Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Kosnervasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan selaku Management Authority CITES di Indonesia telah menetapkan ukuran A. cartilaginea yang diperbolehkan ditangkap di alam yaitu pada kisaran bobot < 5 kg atau > 15 kg berat hidup dengan toleransi 10% sehingga ukuran yang boleh ditangkap adalah labi-labi dengan berat tidak lebih dari 5,5 kg atau lebih dari 13,5 kg (Mardiastuti, 2008). Flora (CITES) (CITES, 2013). Indonesia merupakan Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan; e-mail: agusarifinsentosa7@gmail.com Jl. Cilalawi No. 1, Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 129

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.20 No.3 September 2014: 129-136 Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah pemasok labi-labi untuk perdagangan lokal dan ekspor di Indonesia (Samedi & Iskandar, 2000; Oktaviani & Samedi, 2008). Kuota tangkap labi-labi di Sumatera Selatan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan (sebagai Management Authority CITES di Indonesia), cenderung meningkat sejak tahun 2008 2013 dari 500 ekor menjadi 2.000 ekor pertahun. Sejalan dengan pendapat Sari (2012), selama ini kuota pemanenan tahunan labi-labi di Sumatera Selatan ditetapkan hanya berdasarkan pada kuota tahun sebelumnya dan belum seluruhnya menurut sebaran parameter demografi populasinya di alam sehingga dikhawatirkan hal tersebut tidak dapat memastikan pemanfaatan yang lestari. Penelitian terkait A. cartilaginea di Sumatera Selatan sudah dilakukan oleh Kasmiruddin (1998), Oktaviani & Samedi (2008), Oktaviani et al. (2008) dan Mumpuni & Riyanto (2010). Oktaviani & Samedi (2008) telah melakukan penelitian mengenai pem anfaatan labi-labi di Sumatera Selatan. Permasalahan terkait labi-labi di Sumatera Selatan adalah data dan informasi terkait eksploitasinya masih terbatas mengingat data tangkapan per lokasi atau penangkap belum tersedia. Volume hasil tangkapan labi-labi yang diperdagangkan masih terbatas di pedagang besar di Palembang yang hanya menggambarkan produksi labi-labi secara umum di Provinsi Sumatera Selatan (Oktaviani & Samedi, 2008; Mardiastuti, 2008) dan belum ada yang spesifik antarwilayah di provinsi tersebut sehingga masih belum dapat menggambarkan sebarannya di lokasi daerah asal tangkapnya. Kuota tangkapan labi-labi diperlukan agar produksinya tetap lestari. Selama ini, penetapan kuota tangkap labi-labi masih berdasarkan pada data permintaan dan realisasi kuota tahun sebelumnya. Penentuan kuota tersebut sebaiknya juga memperhatikan aspek populasi di setiap habitat tangkapnya. Informasi mengenai sebaran tangkapan labi-labi antar wilayah di Sumatera Selatan relatif terbatas. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sebaran ukuran morfologi labi-labi (A. cartilaginea) yang tertangkap di Provinsi Sumatera Selatan, khususnya pada wilayah Musi Rawas dan Musi Banyuasin. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan untuk mendukung pengelolaan dan penetapan status perlindungan labilabi di Sumatera Selatan. Informasi terkait sebaran ukuran labi-labi yang tertangkap antar wilayah tersebut dapat bermanfaat untuk memetakan daerah yang berpotensi sebagai lokasi penangkapan labi-labi di Sumatera Selatan (terbatas pada wilayah cakupan penelitian) sehingga dapat menjadi salah satu dasar bagi penetapan kuota tangkapan labi-labi untuk masing-masing wilayah di Sumatera Selatan. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan meliputi Kabupaten Musi Rawas, Musi Banyuasin, Lahat dan Empat Lawang serta Kota Lubuklinggau (Gambar 1) dengan survei lapangan untuk peninjauan habitat labi-labi, wawancara pihak-pihak terkait dan kunjungan kepada pengumpul labi-labi. Obyek data pada penelitian ini adalah data tangkapan labi-labi yang terdapat pada pengumpul tingkat pertama yang telah ditetapkan sebagai enumerator. Jumlah enumerator dalam penelitian ini sebanyak 9 orang dengan rincian 4 orang dari Kabupaten Musi Rawas, 1 orang dari Kota Lubuklinggau dan 4 orang dari Kabupaten Musi Banyuasin. Pencatatan data oleh enumerator dilakukan pada periode Januari Desember 2013. Gambar 1. Lokasi penelitian di Sumatera Selatan. Figure 1. Site research in South Sumatera. Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data hasil tangkapan labi-labi dilakukan dengan pendekatan data tangkapan pada pengumpul di tingkat pertama yang ditentukan secara snowball sampling. Metode tersebut telah dilakukan oleh Kusrini et al. (2009) dalam survei pemanenan dan perdagangan A. cartilaginea di Kalimantan Timur. Pengertian pengumpul tingkat pertama adalah pengumpul labi-labi yang menerima hasil tangkapan labi-labi dari alam secara langsung dari penangkap (Sentosa et al., 2013). Menurut Riyanto & Mumpuni (2003), kelebihan pemantauan populasi labi-labi dengan kunjungan kepada para pengumpul adalah informasi terkait distribusi lokal keberadaan labi-labi dapat diperoleh dengan mudah, murah dan cepat, 130

Sebaran Ukuran Morpologi Labi-labi..Hasil Tangkapan di Sumatera Selatan (Sentosa, A.A., et al) namun kelemahannya adalah sulitnya mengetahui komposisi umur populasi dan kondisi habitat lokasi tangkap tidak dapat diketahui secara pasti. Beberapa pengumpul pertama yang bersedia untuk dilatih mencatat data pada log book ditetapkan sebagai enumerator sebagaimana dilakukan oleh Oktaviani & Samedi (2008). Penapisan dan pensejajaran tingkat pengumpul sebagai sumber data telah dilakukan dalam upaya untuk menghindari pengukuran/perhitungan ganda mengikuti prosedur Mumpuni & Riyanto (2010). Oleh karena itu, enumerator yang ditunjuk hanya pada tingkat pengumpul pertama yang saling independen. Jenis data yang dicatat enumerator meliputi ukuran morfologi, asal lokasi tangkap dan jumlah tangkapan A. cartilaginea dengan identifikasi mengacu pada Ernst & Barbour (1989), Iskandar (2000) dan Das (2010). Morfologi yang diukur meliputi panjang lengkung karapas (PLK), lebar lengkung karapas (LLK) dan berat tubuh (Kusrini et al., 2009). Data yang terkumpul oleh enumerator divalidasi terlebih dahulu sebelum digunakan dalam analisis untuk menghindari kesalahan pencatatan dengan cara memperhatikan ketelitian dan konsistensi catatan enumerator pada setiap kolom jenis data di log book. Data yang diperoleh disusun dalam tabel menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Data dianalisis secara deskriptif sebagaimana dilakukan oleh Oktaviani & Samedi (2008) berdasarkan sebaran ukuran morfologi labi-labi dan volume tangkapan yang disajikan dalam bentuk grafik yang kemudian disandingkan dengan peta tematik di Sumatera Selatan. HASIL DAN BAHASAN HASIL Hasil tangkapan labi-labi di Sumatera Selatan pada 2013 berdasarkan pada data catatan enumerator di Kabupaten Musi Banyuasin, Musi Rawas dan Kota Lubuklinggau disajikan pada Gambar 2. Produksi tangkapan labi-labi cenderung meningkat pada Juni- Juli lalu kembali menurun hingga akhir tahun. Data catatan enumerator di Musi Rawas dan Lubuklinggau digabung dalam analisisnya mengingat labi-labi yang terdapat pada pengumpul di Lubuklinggau ternyata juga tertangkap dari wilayah Musi Rawas. Gambar 2. Produksi tangkapan A. cartilaginea di Sumatera Selatan pada 2013. Figure 2. The harvest yield of A. cartilaginea in South Sumatera in 2003. Sebaran ukuran PLK, LLK dan berat labi-labi hasil tangkapan dari Musi Rawas dan Lubuklinggau cenderung memiliki modus pada kelas ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan tangkapan dari sekitar Musi Banyuasin (Gambar 3). Catatan enumerator mengenai daerah asal lokasi tangkap beserta total berat tangkapan dan jumlah total ekor labi-labi yang tertangkap disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan catatan enumerator tersebut, terdapat beberapa ekor labi-labi yang wilayah tangkapnya berasal dari luar wilayah domisili enumerator yang terpilih seperti dari Kabupaten Lahat, Muara Enim, Empat Lawang dan Kota Prabumulih namun jumlahnya relatif sedikit jika dibandingkan dengan tangkapan di Kabupaten Musi Banyuasin, Musi Rawas dan Kota Lubuklinggau. Sebaran hasil tangkapan labi-labi perwilayah tersebut, baik total tangkapan dan total bobot labilabi disajikan pada Gambar 4. Daerah dengan total bobot tangkapan labi-labi > 1.000 kg dan total tangkapan > 200 ekor per tahun antara lain daerah Jaya Loka, Megang Sakti dan Lakitan Ulu di 131

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.20 No.3 September 2014: 129-136 Kabupaten Musi Rawas serta daerah Sekayu, Batanghari Leko dan Babat Toman di Kabupaten Musi Banyuasin. Ukuran A. cartilaginea yang boleh ditangkap adalah yang memiliki bobot < 5,5 kg dan > 13,5 kg, di luar kisaran tersebut dinyatakan tidak sah. Sebaran hasil tangkapan labi-labi selama tahun 2013 menunjukkan bahwa sekitar 34,55% hasil tangkapan bersifat ilegal karena labi-labi yang tertangkap berada pada kisaran ukuran 5,5 13,5 kg yang tidak sesuai ketentuan CITES (Gambar 5). Ukuran ilegal tersebut hampir selalu ada di setiap daerah asal labi-labi di Sumatera Selatan (Gambar 6). Tabel 1. Sebaran hasil tangkapan A. cartilaginea di Sumatera Selatan pada 2013 Table 1. Catch distribution of A. cartilaginea in South Sumatera in 2013 Lokasi Tangkap/ Kabupaten/Kota Total Berat (kg)/ Total Ekor/ No. Catch site Regency Total Weight (kg) Total Individual 1 Babat Toman Musi Banyuasin 1.060 225 2 Batanghari Leko Musi Banyuasin 1.173,3 213 3 Bayung Lencir Musi Banyuasin 183,2 29 4 Belimbing Muara Enim 18,5 3 5 Cecar Musi Rawas 93,2 17 6 Jaya Loka Musi Rawas 3.412,8 235 7 Karang Jaya Musi Rawas 17,1 2 8 Keluang Musi Banyuasin 96,5 12 9 Kikim Lahat 56 4 10 Lais Musi Banyuasin 155,7 33 11 Lakitan Ulu Musi Rawas 2.630 318 12 Lawang Wetan Muara Enim 44,7 7 13 Lembak Muara Enim 87,3 7 14 Lubuk Linggau Lubuklinggau 956 83 15 Megang Sakti Musi Rawas 2.804,1 395 16 Muara Beliti Musi Rawas 698,6 64 17 Muara Kelingi Musi Rawas 100,2 13 18 Muara Lakitan Musi Rawas 665,6 116 19 Pendopo Empat Lawang 62,9 11 20 Plakat Tinggi Musi Banyuasin 76,8 10 21 Prabumulih Prabumulih 111,5 5 22 Rupit Musi Rawas 1.320,85 120 23 Sanga Desa Musi Banyuasin 902,4 147 24 Sekayu Musi Banyuasin 1.859,2 366 25 Selangit Musi Rawas 161,8 18 26 Sumber Harta Musi Rawas 14,1 2 27 Sungai Keruh Musi Banyuasin 849,2 119 28 Sungai Lilin Musi Banyuasin 187,8 43 29 Tanah Abang Muara Enim 188,9 42 30 Tanjung Agung Muara Enim 25,7 4 31 Tebing Tinggi Empat Lawang 700,3 82 32 Tugumulyo Musi Rawas 202 34 Total 20.916,25 2.779 132

Sebaran Ukuran Morpologi Labi-labi..Hasil Tangkapan di Sumatera Selatan (Sentosa, A.A., et al) Gambar 3. Sebaran ukuran PLK, LLK dan berat A. cartilaginea yang tertangkap di Sumatera Selatan pada 2013. Figure 3. CCL, CCW and weight distribution of A. cartilaginea harvested in South Sumatera in 2013. Gambar 4. Sebaran tangkapan A. cartilaginea di Sumatera Selatan pada 2013. Figure 4. Catch distribution of A. cartilaginea in South Sumatera in 2013. Gambar 5. Persentase tangkapan A. cartilaginea menurut ketentuan CITES di Sumatera Selatan pada 2013. Figure 5. Percentage of A. cartilaginea catch based on CITES regulation in South Sumatera in 2013. 133

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.20 No.3 September 2014: 129-136 Gambar 6. Peta sebaran tangkapan A. cartilaginea berdasarkan ketentuan CITES di Sumatera Selatan pada 2013. Figure 6. The map of catch distribution of A. cartilaginea based on CITES regulation in South Sumatera pada 2013. BAHASAN Penangkapan labi-labi (A. cartilagina) di Sumatera Selatan telah berlangsung sejak lama. Oktaviani et al. (2006) menyebutkan bahwa total ekspor kura-kura air tawar (termasuk labi-labi) dari Palembang mencapai 9.928 ton selama kurun waktu 1996 hingga 2005. Negara tujuan ekspor labi-labi yang utama adalah Cina, Taiwan dan Singapura (Mumpuni, 2011). Labi-labi banyak tertangkap pada musim kemarau karena hewan tersebut banyak ditemukan di sarangnya sehingga memudahkan penangkapan. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan hasil tangkapan labi-labi pada 2013 (Gambar 2) dimana produksi tangkapan cenderung meningkat pada Juni- Juli (musim kemarau) lalu kembali menurun hingga akhir tahun. Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Sumatera Selatan menyebutkan bahwa pada pertengahan Mei atau awal Juni 2013 wilayah Sumatera Selatan sudah memasuki awal musim kemarau. Puncak musim penangkapan labi-labi terjadi pada periode Juni hingga Agustus. Penangkapan labilabi jarang dilakukan pada musim penghujan mengingat labi-labi cenderung beruaya ke luar sarangnya dan bergerak lebih aktif untuk mendapatkan mangsa sehingga menjadi sulit ditangkap. Hal tersebut terjadi mengingat labi-labi merupakan satwa herpetofauna yang umumnya bersifat kriptik dan selalu bersembunyi sebagaimana dinyatakan oleh Blomberg & Shine (1996) sehingga sulit untuk dijumpai. Wilayah Sumatera Selatan merupakan daerah potensi labi-labi mengingat 93,05% berupa bagian dari daerah aliran sungai dan 25% merupakan daerah rawa (Oktaviani et al., 2008). Ukuran tangkapan A. cartilaginea di Musi Rawas dan sekitarnya cenderung lebih besar dibandingkan dari Musi Banyuasin. Hal ini diduga terkait perbedaan karakteristik habitat di antara keduanya. Habitat labi-labi di Musi Rawas dan Lubuklinggau umumnya terletak cukup jauh dari pemukiman, berada pada dataran tinggi dan akses menuju ke habitat tersebut relatif sulit dijangkau dibandingkan di Musi Banyuasin yang topografinya secara umum didominasi oleh dataran rendah dan rawa banjiran. Kondisi tersebut diduga menyebabkan labi-labi di Musi Rawas cenderung lebih dapat berlindung dan memiliki kesempatan tumbuh lebih besar. Kondisi ini juga yang menyebabkan jumlah tangkapan labi-labi dari Musi Banyuasin cenderung lebih banyak dibandingkan di Musi Rawas dan Lubuklinggau. Alikodra (2010) menyebutkan bahwa kondisi habitat yang relatif masih alami dan belum banyak terpengaruh oleh aktivitas manusia sangat mendukung bagi keberlangsungan hidup satwa liar, termasuk labi-labi di dalamnya. Keterkaitan terhadap habitat juga diduga berpengaruh terhadap hasil tangkapan labi-labi. Data sebaran tangkap yang disandingkan dengan peta tematik penggunaan lahan di Sumatera Selatan (Gambar 4) menunjukkan bahwa jumlah tangkapan labi-labi cenderung berasosiasi dengan habitatnya yang berada di daerah aliran sungai (DAS) dan sub DASnya. W ilayah Kabupaten Musi Rawas, Lubuklinggau dan Musi Banyuasin merupakan bagian dari DAS Musi dengan Sub DAS terdiri atas Sub DAS Batanghari Leko, Lematang, Beliti, Kikim, Lakitan, Lematang, Rawas, dan Semangus. Keberadaan hutan alami diduga juga turut memberikan habitat hidup yang baik bagi labi-labi. Namun, alih guna lahan di Sumatera Selatan secara besar-besaran untuk perkebunan sawit secara jangka panjang juga berpotensi menekan populasi labi-labi di alam karena adanya perubahan habitat (Marchand & Litvaitis, 134

Sebaran Ukuran Morpologi Labi-labi..Hasil Tangkapan di Sumatera Selatan (Sentosa, A.A., et al) 2004). Riyanto et al. (2010) menyebutkan adanya penurunan populasi kura-kura baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) akibat habitatnya beralih fungsi menjadi perkebunan cokelat. Penangkapan labi-labi di Indonesia termasuk Sumatera Selatan diatur dengan sistem kuota yang ditetapkan oleh Management Authority CITES di Indonesia (Ditjen PHKA) dimana pada 2013 jumlah kuota yang ditetapkan adalah sebesar 2000 ekor dengan ketentuan bahwa labi-labi yang boleh ditangkap adalah yang berukuran tidak lebih dari 5,5 kg atau lebih dari 13,5 kg (toleransi 10% dari ketentuan < 5 kg dan > 15 kg). Ukuran tersebut merupakan ukuran produktif bagi labi-labi dan pelarangan penangkapan dilak ukan untuk memberikan kesempatan labi-labi untuk bereproduksi terlebih dahulu agar stoknya di alam tetap terjaga (Mardiastuti, 2008). Namun, Oktaviani & Samedi (2008) menyebutkan bahwa labi-labi berukuran 1 3 kg merupakan kisaran ukuran yang diminati sebagai hidangan sehingga penangkapan labi-labi cenderung terjadi pada ukuran < 5 kg, seperti yang tercatat pada penelitian ini. Oleh karena itu, aturan terkait ukuran boleh tangkap labi-labi < 5 kg sebaiknya perlu dikaji kembali mengingat jika pada ukuran tersebut banyak tertangkap dan diperdagangkan dikhawatirkan akan mengurangi rekrutmennya di alam. Hasil penelitian Mumpuni & Riyanto (2010) menyebutkan bahwa A. cartilaginea pada ukuran bobot 2,2 kg justru telah matang secara seksual karena telah ditemukan mengandung telur/folikel di perutnya. Berdasarkan temuan tersebut, maka batas bawah aturan ukuran boleh tangkap labi-labi dapat direkomendasikan untuk direvisi menjadi < 1 kg dan perlu adanya pembatasan jumlah kuota tangkap yang lebih ketat lagi karena jika labi-labi pada ukuran matang kelamin tersebut sebagian besar tertangkap akan mengancam keberlangsungan rekrutmen pada kelas ukuran yang lebih besar. Mumpuni (2011) menyebutkan bahwa penerapan batas ukuran yang boleh ditangkap tersebut masih belum banyak diperhatikan oleh petugas. Hal tersebut ternyata juga terjadi di Sumatera Selatan dimana sekitar 34,55% labi-labi yang tertangkap berada pada ukuran 5,5 13,5 kg (Gambar 5) dan hampir selalu ada di setiap daerah tangkapan (Gambar 6). Apabila ditinjau dari kuota tangkap labi-labi untuk Sumatera Selatan pada 2013 sebesar 2.000 ekor, maka total tangkapan yang tercatat telah melebihi kuota yang diberikan. Kondisi tersebut telah berlangsung sejak 2012 dimana ketidakpatuhan terhadap aturan yang berlaku dan isu IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) pada pemanfaatan labi-labi di Sumatera Selatan masih tetap saja terjadi (Sentosa et al., 2013). Sari (2012) menyebutkan bahwa ancaman serius yang mempengaruhi keberadaan A. cartilaginea di alam adalah perdagangan secara lokal dan internasional mengingat individu yang diperdagangkan selama ini masih dalam taraf pengambilan langsung dari alam. Aktivitas penangkapan labi-labi di Sumatera Selatan akan tetap berlangsung selama permintaan terhadap spesies tersebut masih ada. Walaupun labilabi di Indonesia belum memiliki peraturan yang mengatur status konservasinya, namun adanya penetapan kuota tangkap oleh Ditjen PHKA diharapkan dapat mengurangi tekanan eksploitasinya yang berlebih. Data catatan perdagangan labi-labi secara runtut waktu di setiap pengumpul labi-labi perlu ada dalam rangka monitoring populasinya sesuai rekomendasi Mumpuni & Riyanto (2010) bahwa Management Authority CITES berserta Asosiasi Pengusaha Kura-Kura dan Labi-Labi Konsumnsi di Indonesia (APEKLI) dapat mengharuskan pedagang labi-labi untuk mencatat data perdagangan labi-labi, termasuk data transaksi, volume, asal, ukuran dan tujuan perdagangan. KESIMPULAN Amyda cartilaginea yang tertangkap dari Musi Rawas dan Lubuklinggau memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dari Musi Banyuasin dengan sebaran ukuran tangkap didominasi oleh ukuran berat < 5,5 kg (52,45%). Sebaran labi-labi yang tertangkap dengan bobot tangkapan total > 1000 kg dan total tangkapan > 200 ekor per tahun terdapat di daerah Jaya Loka, Megang Sakti dan Lakitan Ulu di Kabupaten Musi Rawas serta daerah Sekayu, Batanghari Leko dan Babat Toman di Kabupaten Musi Banyuasin. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Penelitian Biologi, Dinamika Populasi dan Habitat Labi-Labi (Amyda cartilaginea) untuk Mendukung Evaluasi Penetapan Status Perlindungannya di Sumatera Selatan dan Kalimnatan Timur, Tahun Anggaran 2013 di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 2010. Teknik pengelolaan satwa liar dalam rangka mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. IPB Press. Bogor. 368 p. 135

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.20 No.3 September 2014: 129-136 Bloomberg, S.B. & R. Shine. 1996. Reptile. In Sutherland, W.J. (Ed). Ecological census techniques: A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge: 218 226. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 2013. http://checklist.cites.org. [20 Februari 2013]. Das, I. 2010. A Field guide to the reptiles of South- East Asia. New Hollan Publisher Ltd. London. 376 p. Ernst, C.H. & R.W. Barbour. 1989. Turtle of the World. Smithsonian Intitution Press. Washington DC and London: 96 110. Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura dan buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan catatan mengenai jenisjenis di Asia Tenggara. PAL Media Citra, Bandung. 191 p. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2010. IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org. [28 Juli 2010]. Kasmiruddin. 1998. Morfologi dan keragaman genetik labi-labi, Amyda cartilaginea (Testudines: Trionychidae) dari Bengkulu dan Palembang. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis. 61 p. Kusrini, M.D., A. Mardiastuti, B. Darmawan, Mediyansyah & A. Muin. 2009. Laporan sementara survei pemanenan dan perdagangan labi-labi di Kalimantan Timur. NATURE Harmony. Bogor. 43 p. Marchand, M.N & J.A. Litvaitis. 2004. Effects of habitat features and landscape composition on the population structure of a common aquatic turtles in a region undergoing rapid development. Conservation Biology 18 (3): 758 767. Mardiastuti, A. 2008. Harvest sustainability of Asiatic Softshell Turtle Amyda cartilaginea in Indonesia. Director General of Forest Protection and Nature Conservation Republic of Indonesia as CITES Management Authority Indonesia. 13 p. Mumpuni & A. Riyanto. 2010. Harvest, population and natural history of Shoft-Shell Turtle (Amyda cartilaginea) in South Sumatera, Jambi and Riau Provinces, Indonesia. A Report to APEKLI. Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI). 26 p. Mumpuni. 2011. Kerabat labi-labi (Suku Trionychidae) di Indonesia. Fauna Indonesia 10 (2): 11 17. Oktaviani, D. S. Schope & M.D. Kusrini. 2006. Kurakura air tawar sebagai komoditas perikanan di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Forum Perairan Umum Indonesia III Palembang: 72 79. Oktaviani, D., N. Andayani, M.D. Kusrini & D. Nugroho. 2008. Identifikasi dan distribusi jenis labilabi (Famili: Trionychidae) di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14 (2): 145 157. Oktaviani, D. & Samedi. 2008. Status Pemanfaatan labi-labi (Famili: Trionychidae) di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14 (2): 159 171. Riyanto, A. & Mumpuni. 2003. Metoda survei dan pemantauan populasi satwa: kura-kura, bidang zoologi. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. 24 p. Riyanto, A., S. Soemarno & A. Farajallah. 2010. Laju kehilangan dan kondisi terkini habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia. Jurnal Biologi Indonesia. 6 (2): 185 194. Samedi & D.T. Iskandar. 2000. Freshwater turtle and tortoise conservation and utilization in Indonesia. In van Dijk, P.P., Stuart, B.L. & A.G.J. Rhodin (eds.). Asian Turtle Trade: Proceedings of a Workshop on Conservation and Trade of Freshwater Turtles and Tortoises in Asia. Chelonian Research Monographs, 2: 106-111. Sari, M. 2012. Karakteristik habitat tangkap dan parameter demografi populasi panenan labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) di Provinsi Kalimantan Tengah. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tesis. 100 p. Sentosa, A.A., D. Wijaya & A. Suryandari. 2013. Karakteristik populasi labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) yang Tertangkap di Sumatera Selatan. Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 175 182. 136