BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sikap Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. Sikap mempunyai 3 komponen pokok : 1. Afektif Merupakan aspek emosional dari faktor sosio psikologis atau evaluasi terhadap suatu objek. 2. Kognitif Merupakan aspek intelektual, kepercayaan, ide dan konsep yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. 3. Konatif Merupakan aspek fungsional yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan untuk bertindak.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap secara utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2007). Sikap terdiri dari beberapa tingkatan yaitu: 1. Menerima (receiving) Menerima berarti mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan. 2. Merespon (responding) Merespon berarti memberikan jawaban jika ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. 3. Menghargai (valuing) Pada tingkat menghargai, individu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. 4. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab berarti menerima semua resiko terhadap sesuatu yang telah dipilih. Sikap memiliki beberapa ciri yaitu: 1. Sikap tidak dibawa dari lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu. 2. Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu, sehingga dapat dipelajari. 3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan dengan objek sikap. 4. Sikap dapat tertuju pada satu atau banyak objek.
5. Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar. 6. Sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi, hal ini yang membedakan dengan pengetahuan (Maulana, 2009). B. Tindakan Setelah seseorang mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa telah yang diketahui untuk dilaksanakan atau dipraktekkan. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Agar terwujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung berupa fasilitas dan dukungan dari pihak lain. Tindakan terdiri dari beberapa tingkatan yaitu: 1. Persepsi (perception) Mekanisme (Mekanism) mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. 2. Respon terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh. 3. Mekanisme (Mekanism) Dapat melakukan sesuatu secara otomatis tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.
4. Adopsi (adoption) Suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu telah di modifikasikan tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007). C. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Sikap dan Tindakan 1. Umur Umur adalah lamanya seseorang hidup dihitung dari tahun lahirnya sampai dengan ulang tahunnya yang terakhir. Variabel umur merupakan sebuah konsep yang masih abstrak, bahkan cenderung menimbulkan variasi dalam pengukurannya (Zaluchu, 2006). Umur sangat erat hubungannya dengan pengetahuan seseorang, semakin bertambah umur maka semakin bertambah pula pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Semakin cukup umur seseorang, tingkat kematangan dan kekuatan akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja (Nursalam, 2001). Menurut Hendra (2008), bahwa bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya. Akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang. 2. Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya ( UU No.20 tahun 2003). Pendidikan dapat menentukan pola pikir dan
wawasan seseorang, semakin tinggi pendidikan seseorang maka diharapkan kemampuannya semakin meningkat pula. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam kualitas, melalui pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan. Dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan mudah untuk menerima informasi baik dari orang lain maupun dari media informasi lainnya, sebaliknya tingkat pendidikan yang rendah akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai baru yang diperkenalkan (Nursalam, 2001). Menurut Notoatmodjo (2007), konsep dasar pendidikan merupakan suatu proses belajar yang berarti, didalam pendidikan terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih matang baik pada individu, kelompok maupun masyarakat.. 3. Lama Bekerja Lama bekerja adalah masa responden memberikan pelayanan kebidanan, baik pada instansi pemerintah maupun swasta. Seperti yang diungkapkan oleh Mapire, pertumbuhan dalam pekerjaan dapat dilalui oleh seseorang apabila telah menjalani proses belajar dan berpengalaman. Maka diharapkan yang bersangkutan memiliki kecakapan kerja yang bertambah baik serta memiliki keterampilan kerja yang bertambah dalam kualitas dan kuantitas. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa lamanya seseorang bekerja dapat berkaitan dengan pengalaman yang diperoleh ditempat kerja, semakin lama seseorang bekerja semakin banyak pengetahuan dan keterampilan yang akan didapat.
D. Retensio Plasenta 1. Definisi Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta melebihi waktu setengah jam setelah bayi lahir (Manuaba, 2008). Retensio plasenta adalah tertahannya plasenta didalam uterus selama lebih dari satu jam setelah bayi lahir (Jones, 2001). 2. Etiologi a. Kelainan uterus 1) Kelainan kontraksi Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva), ketidakefektifan kontraksi dapat menghambat pelepasan plasenta yang terjadi pada inersia uteri, atonia uteri dan tetani uteri. 2) Uterus bicornus dan subseptus Kelainan uterus ini, dapat menyebabkan retensio plasenta karena bentuk uterus yang tidak sempurna. Pada keadaan ini miometrium tidak berfungsi dengan baik, sehingga menyebabkan terjadinya gangguan his yang menghambat plasenta untuk keluar dari tempat implantasinya. b. Kelainan plasenta Plasenta normal biasanya menanamkan diri sampai batas atas lapisan miometrium, kelainan plasenta yang dimaksud yaitu :
1) Plasenta akreta Vili korialis plasenta menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim tetapi belum menembus serosa. 2) Plasenta inkreta Vili korialis tumbuh lebih dalam dan menembus lapisan desidua sampai ke miometrium. 3) Plasenta perkreta Vili korialis menembus lapisan miometrium dan menembus lapisan serosa atau peritoneum dinding rahim. c. Kesalahan manajemen aktif Kala III 1) Manipulasi uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan plasenta. 2) Pemberian uterotonika tidak tepat pada waktunya. 3) Pemberian anestesi yang dapat melemahkan kontraksi uterus. d. Penyebab lain 1) Kandung kemih penuh Kandung kemih akan memenuhi ruang panggul sehingga dapat menghalangi terjadinya kontaksi uterus. 2) Persalinan preterm Hal ini terjadi bila persalinan preterm dilakukan atas indikasi medis bukan karena kelainan dari uterus.
3. Mekanisme Pelepasan Plasenta Kontraksi uterus akan mengurangi area plasenta, karena uterus bertambah kecil dan dindingnya bertambah tebal beberapa sentimeter. Kontraksi tersebut menyebabkan bagian plasenta menjadi longgar dan lemah pada dinding uterus, bagian ini akan terlepas mula-mula sebagian dan kemudian seluruhnya. Namun, terkadang ada sebagian kecil plasenta yang masih melekat pada dinding uterus. Proses pelepasan plasenta terjadi setahap demi setahap, dengan adanya pengumpulan darah di belakang plasenta akan dapat membantu dalam pelepasan plasenta. Bila pelepasan sudah lengkap, maka kontraksi uterus akan mendorong plasenta yang sudah lepas ke segmen bawah rahim untuk segera dilahirkan. Kala III normal dibagi ke dalam 4 fase yaitu: a. Fase laten Fase laten ditandai dengan menebalnya dinding uterus yang bebas dari tempat implantasi plasenta. Tetapi, dinding uterus tempat plasenta berimplantasi masih tipis. b. Fase kontraksi Fase kontraksi ditandai dengan menebalnya dinding uterus tempat plasenta berimplantasi, ketebalan awal kurang dari 1 cm menjadi lebih dari 2 cm. c. Fase pelepasan plasenta Fase pelepasan plasenta merupakan fase plasenta menyempurnakan pemisahan dan kemudian lepas dari dinding uterus. Terpisahnya plasenta
disebablan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat implantasi plasenta (Pribakti, 2009). Cara pelepasan plasenta ada 2 macam yaitu: 1) Secara Schultze Pelepasan plasenta dimulai pada bagian tengah seperti menutup payung, menurut cara ini perdarahan tidak terjadi sebelum plasenta lahir. 2) Secara Duncan Pelepasan plasenta dimulai dari pinggir plasenta atau serempak dari tengah ke pinggir plasenta, menurut cara ini ditandai oleh adanya perdarahan pervaginam bila plasenta mulai lepas(wiknjosastro, 2007). d. Fase pengeluaran Fase pengeluaran merupakan fase dimana plasenta bergerak turun, daerah tempat pemisahan plasenta tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di rongga uterus. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta merupakan akibat bukan sebab (Pribakti, 2009). Tanda-tanda lepasnya plasenta yaitu: 1) Perubahan bentuk dan tinggi fundus Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi fundus biasanya turun hingga di bawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan plasenta terdorong ke bawah, uterus menjadi bulat dan fundus berada di atas pusat.
2) Tali pusat memanjang Tali pusat terlihat keluar memanjang atau terjulur melalui vulva dan vagina (tanda Alfeld). 3) Semburan darah tiba-tiba Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta keluar dibantu oleh gaya gravitasi. Semburan darah yang tibatiba menandakan bahwa darah yang terkumpul diantara tempat melekatnya plasenta dan permukaan maternal plasenta (darah retroplasenter), keluar melalui tepi plasenta yang terlepas (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004). 4. Diagnosis a. Fundus uteri tinggi b. Perdarahan pascapersalinan c. Tidak adanya tanda-tanda pelepasan plasenta (Liu,2007). 5. Proses penatalaksanaan aktif kala III a. Penatalaksaan aktif Kala III pada semua ibu bersalin pervaginam b. Amati adanya gejala dan tanda retensio plasenta, apabila perdarahan yang terjadi sebelum plasenta lahir lengkap sedangkan uterus tidak berkontraksi biasanya disebabkan oleh retensio plasenta c. Bila plasenta tidak lahir dalam 15 menit setelah bayi lahir, ulangi penataksanaan aktif Kala III dengan memberikan oksitosin 10 IU IM dan teruskan penegangan tali pusat terkendali. Teruskan melakukan
penatalaksanaan aktif Kala III selama 15 menit atau lebih, jika plasenta masih belum lahir lakukan penegangan tali pusat terkendali untuk terakhir kalinya. Setelah melakukan langkah-langkah di atas dan plasenta belum juga lahir, segera rujuk ke rumah sakit bila ibu tidak mengalami perdarahan hebat d. Bila terjadi perdarahan hebat, maka plasenta harus dilahirkan secara manual (IBI, 2003). 6. Prosedur manual plasenta a. Infus sudah terpasang sebelum tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien b. Informed consent kepada pasien atau keluarga pasien sebelum melakukan tindakan c. Siapkan alat, siapkan diri penolong dan siapkan pasien pada posisi litotomi d. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 1) Mencuci tangan sampai ke siku dengan sabun, air bersih yang mengalir dan keringkan dangan handuk bersih 2) Gunakan sarung tangan panjang yang steril e. Tindakan penetrasi ke kavum uteri 1) Memberikan obat sedatif dan analgetik melalui karet infus 2) Melakukan kateterisasi kandung kemih apabila pasien tidak dapat berkemih sendiri 3) Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegangkan tali pusat sejajar dengan lantai
4) Secara obsetrik masukkan satu tangan (ujung-ujung jari tangan saling merapat dan bertemu, punggung tangan berada dibawah) ke dalam vagina dengan menelusuri tali pusat bagian bawah 5) Tangan kiri penolong menahan fundus uteri, kemudian masukkan tangan kanan ke dalam kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta 6) Buka tangan obstetrik menjadi seperti salam (ibu jari merapat ke pangkal jari telunjuk) f. Melepaskan plasenta dari dinding uterus 1) Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah a) Bila berada di belakang, tali pusat tetap berada di atas. Bila di bagian depan, pindahkan tangan di bagian depan tali pusat dengan punggung tangan menghadap ke atas. b) Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari diantara plasenta dan dinding uterus dengan punggung kanan menghadap ke dinding dalam uterus. c) Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (punggung tangan pada dinding kavum uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan kanan. 2) Kemudian gerakkan tangan tangan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke kranial sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan
g. Mengeluarkan plasenta 1) Pindahkan tangan luar ke supra simfisis untuk menahan uterus pada saat plasenta dikeluarkan 2) Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta 3) Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsal kranial setelah plasenta lahir 4) Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan, periksa apakah plasenta lengkap atau tidak 5) Lakukan eksplorasi ulang untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding uterus (Depkes, 2004). 6) Bila tidak yakin plasenta sudah keluar semua atau jika perdarahan tidak terkendali, maka rujuk ibu ke rumah sakit dengan segera (Ikatan Bidan Indonesia, 2003). h. Tindakan pascamanual plasenta 1) Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar 2) Beri oksitosin 10 IU secara IV ke dalam cairan infus 60 tetes/menit, jika masih terjadi perdarahan berikan metergin 0,2 mg secara IM 3) Periksa dan perbaiki robekan pada seviks, vagina dan episiotomi 4) Dekontaminasi alat pascatindakan i. Perawatan pascatindakan 1) Observasi tanda vital pasien, kontraksi uterus dan perdarahan pervaginam. Segera lakukan tindakan bila masih diperlukan
2) Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan bila masih diperlukan 3) Beri tahu ibu dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai dilakukan tetapi ibu masih memerlukan perawatan (Pribakti, 2009).