BAB I PENDAHULUAN. Nomor 1 Tahun Dalam Pasal 1 Undang-undang ini menyebutkan :

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bidang perkawinan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan adanya unifikasi


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. 1 Dalam

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status

M E M U T U S K A N. Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.

BAB I PENDAHULUAN. wanita telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan, itu berarti mereka

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

AKIBAT PERCERAIAN DISEBABKAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Studi Kasus Putusan Nomor : 1098/Pdt.G/2008/PA.Dmk Di Pengadilan Agama Demak

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah SWT telah menghiasi alam semesta ini dengan rasa cinta dan kasih

BAB I PENDAHULUAN. agar hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman,

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan perbuatan yang paling penting didalam kehidupan manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

KUISIONER HASIL SURVEI TESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan sunnah Rasul yang dilakukan oleh kaum muslim

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

P U T U S A N. Nomor :./Pdt.G/2011/PA.Pso BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

PUTUSAN. Nomor : 0571/Pdt.G/2013/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Suatu individu ataupun masyarakat tidak akan tumbuh menjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

EKSEKUSI PUTUSAN KEWAJIBAN AYAH ATAS NAFKAF ANAK PASCA PERCERAIAN (Studi Kasus Pada Mahkamah Syar iyah Idi)

BAB I PENDAHULUAN. untuk selamanya. Tetapi adakalanya karena sebab-sebab tertentu bisa

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan di Republik Indonesia diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 1 Undang-undang ini menyebutkan : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Tujuan perkawinan yang diharapkan di dalamnya tercipta rasa sakinah, mawaddah dan rahmah. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya saling pengertian dan saling memahami kepentingan kedua belah pihak, terutama lagi yang terikat dengan hak dan kewajiban. Dalam kehidupan rumah tangga sering kita jumpai orang (suami istri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami istri) tersebut. Dan tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian). Perkawinan untuk membentuk dan membangun rumah tangga yang bahagia pasti didambakan oleh setiap pasangan suami istri. Tidak ada orang yang 1 Subekti R, dan Tjitrosudibio R, terjemahan kitab Undang-undang hukum perdata, pasal 1, cet 28, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), hlm. 214. 1

ketika melakukan perkawinan mengharapkan terjadi suatu yang buruk dalam perkawinannya. Perkawinan merupakan sunatullah yang diajurkan untuk umat manusia. Perkawinan sesuatu yang sakral antara suami dan istri. Dalam menjalani suatu perkawinan tidaklah mudah banyak hal dan masalah-masalah yang harus dilalui butuh kesabaran untuk menghadapi itu semua. Antara laki-laki dan wanita yang melangsungkan perkawinan pastinya mempunyai tujuan untuk hidup berumah tangga sampai akhir hayat. Diharapkan agar tidak terjadi pemutusan ikatan, kecuali karena kematian. Sebagai sunnatullah yang tidak hanya diberikan kepada manusia, perkawinan ini bukan semata-mata perintah dan anjuran yang tidak memiliki arti dan manfaat sama sekali. Tetapi sebaliknya, perkawinan ini merupakan realisasi kehormatan bagi manusia sebagai makhluk bermoral dan berakal dalam penyaluran naluri seks yang telah ada sejak lahir. Disamping itu, banyak manfaat baik yang bersifat psikis maupun fisik yang dapat diperoleh dalam perkawinan sebagai tujuan pelaksanaannya, yang secara garis besar adalah sebagai berikut : 2 1. Untuk memperoleh ketenangan hidup 2. Untuk menjaga kehormatan diri dan pandangan mata 3. Untuk mendapatkan keturunan. Namun, tentu saja kemampuan tersebut dicapai melalui tahapan dan proses yang harus diusahakan manusia itu sendiri, yakni mengubah dan meningkatkan pandangan hidup, perbuatan (amal), dan tata cara pelaksanaannya. Dalam bahasa 2 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah menurut Al-Quran dan As-sunnah, cet 1, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2001), hlm. 14. 2

kita sehari-hari sering disebut dengan kerja keras, dan kalangan intelektual sering mengatakannya visi, strategi, dan aksi. 3 Apabila akad sudah sah dan berlaku, maka ada beberapa akibat hukum yang harus dilaksanakan dalam kehidupan suami istri. Hak-hak itu ada beberapa macam: 4 1. Hak istri atas suaminya. 2. Hak suami atas istrinya. 3. Hak bersama antara suami dan istri. Didunia ini hidup telah diatur untuk berpasang-pasangan dari pejabat swasta, pegawai negeri sipil sampai orang-orang biasa. Banyak masalah dalam perkawinan yang berakhir pada perceraian dan dari akibat perceraian itu timbul masalah baru seperti hak asuh anak, membagian harta, dan pemenuhan hak setelah terjadi perceraian. Dalam masalah perkawinan dan perceraian telah diatur pada Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tetapi lain halnya dengan pegawai negeri sipil karena ada Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Pegawai negeri sipil adalah unsur aparatur Negara, abdi Negara, dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan pegawai negeri sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, 3 Ibid, hlm. 7. 4 H.S.N Al Hamdani, Risalah Nikah (hukum perkawinan islam), cet. 2, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), hlm. 129. 3

sehingga setiap pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya. 5 Dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dapat disimpulkan bahwa sehubungan dengan contoh dan keteladanan yang harus diberikan oleh pegawai negeri sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada pegawai negeri sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian pegawai negeri sipil harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang bersangkutan. Pegawai negeri sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang dan pegawai negeri sipil wanita yang akan menjadi istri kedua/ ketiga/ keempat dari seorang yang bukan pegawai negeri sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Demikian juga pegawai negeri sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Sedangkan pegawai negeri sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ ketiga/ keempat dari pegawai negeri sipil. Ketentuan berupa keharusan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat bagi perkawinan dan perceraian pegawai negeri sipil tersebut tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi lembaga perkawinan dan perceraian itu sendiri. Dalam perceraian yang dilakukan pegawai negeri sipil banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dari mulai hak anak sampai hak dan kewajiban. Suatu perceraian yang telah terjadi antara suami istri secara yuridis 5 Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, hlm. 6. 4

memang mereka itu masih mempunyai hak dan kewajiban antara keduanya, terutama pada saat si istri sedang menjalani masa iddah. Iddah adalah menunggu bagi mantan istri yang telah diceraikan oleh mantan suaminya, baik itu karena thalak atau diceraikannya. Ataupun karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain. 6 Pada saat iddah inilah antara kedua belah pihak yang telah mengadakan perceraian, masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban antara keduanya. Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan, misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut menjadi terlantar atau bahkan menjadi gelandangan. Sedangkan mantan istrinya sendiri tidak menutup kemungkinan akan terjerumus kelembah hitam. Inilah fenomena-fenomena yang sering timbul dari perceraian yang mana suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap hak istri dan anak pada masa iddah. Setelah terjadi perceraian pada hakikatnya si suami harus memberikan minimal perumahan pada mantan istri dan anaknya. Berkenaan dengan itu kewajiban suami tersebut, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat 1 yang berbunyi Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anakanaknya atau mantan istrinya yang masih dalam masa iddah. 7 Dari bunyi di atas sudah jelas bagi suami yang telah menceraikan istrinya wajib untuk menyediakan 6 Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. 6, (Jakarta : Grafindo Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 125. 7 Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, cet. 1, (Yogyakarta : Yogyakarta Press, 1993), hlm. 199. 5

tempat tinggal, ataupun membolehkan istrinya untuk bertempat tinggal di rumahnya sampai batas masa iddah habis (berakhir). Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan bersama-sama sewaktu istri mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan tersebut diajukan dikemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan kepada mantan suami, misalnya pada waktu terjadi perceraian tersebut disebabkan istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang menjadi sebab suami tidak wajib menunaikan hak istri dan bila telah ada kemufakatan bersama atas putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak tersebut, maka dapat pula nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya (suami-istri). Kewajiban suami terhadap istri tersebut diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 41 ( c ), yang berbunyi : Pengadilan agama dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya kehidupan dan atau untuk menentukan suatu kewajiban bagi mantan istri. 8 Pengadilan Agama adalah Lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan masalah hak istri. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diatas para pencari keadilan yang selalu agresif mengajukan permasalahannya ke Pengadilan Agama. Bila tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum sudah barang tentu pengajuan perkara haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Bertitik tolak dari realitas yang ada ini penyusun merasa terpanggil untuk membahas lebih mendalam 8 H. Arso Armojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.iii, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981), hlm. 59. 6

tentang penyelesaian hak istri. Dengan pembahasan tersebut diharapkan akan mendapatkan suatu gambaran, dan jawaban yang konkrit dalam implikasi Pengadilan Agama dan Undang-undang kehidupan masyarakat. Perkara yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam pengajuan cerai talak dan cerai gugat Pengadilan Agama pada tahun 2009 dari bulan januari hingga September cerai talak 277 kasus dan cerai gugat 561 kasus. Perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam pengajuan cerai talak 236 dan cerai gugat 486. B. Pokok Permasalahan Sesuai dengan latar belakang masalah seperti terurai diatas dan judul penelitian tentang Kedudukan Hukum Tentang Hak Isteri yang Berstatus Pegawai Negeri Sipil setelah Diceraikan oleh Suami yang Berstatus Pegawai Negeri Sipil Didasarkan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983. Maka penulis akan meneliti, menganalisa dan mengkaji terhadap kasus kedudukan hak istri setelah diceraikan oleh suaminya yang sama-sama berstatus pegawai negeri sipil yang dilandasi dari aspek hukum dalam pelaksanaannya, terutama pelaksanaan Peraturan Pemerintah republik Indonesia No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, maka penulis mengajukan pokok permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut : 1. Apa hak istri sebagai pegawai negeri sipil setelah diceraikan oleh suami yang berstatus pegawai negeri sipil didasarkan atas Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983? 7

2. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam kasus perceraian Nomor : 240/Pdt.G/2008/PAJB untuk menetapkan putusan serta proses pelaksanaan putusan tersebut? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan ini disusun berdasarkan uraian di dalam perumusan masalah yaitu : a. Untuk mengetahui kedudukan hak istri sebagai pegawai negeri sipil setelah diceraikan oleh suami yang berstatus pegawai negeri sipil. b. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan dari Pengadilan Agama mengenai kewajiban suami dalam memberikan hak kepada istri yang telah diceraikannya. 2. Kegunan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis berharap dari hasil penelitian dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis 1) Memperluas dan menambah wawasan serta untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum. 2) Memberikan informasi kepada kalangan akademisi khususnya dalam bidang ilmu hukum perkawinan mengenai kedudukan 8

hak apa saja yang diberikan oleh undang-undang kepada perceraian hak suami istri. b. Manfaat praktis 1) Memberikan keadilan kepada istri dalam menerima haknya yang telah diceraikan oleh suaminya berdasarkan peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan. 2) Memberikan masukan kepada suami untuk memenuhi kewajibannya dalam pemenuhan hak istri khususnya suami yang berstatus pegawai negeri sipil. D. Kerangka Teori Beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini sabagai landasan pemikiran dan sebagai alat analisisnya. 1. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil pasal 8 1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya. 2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya. 9

3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya. 4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya. 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila isteri meminta cerai karena dimadu. 6) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi. 2. Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang hak dan kewajiban suami istri pasal 34 a. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya. b. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. c. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Dari bunyi pasal di atas dapat diketahui bahwa kewajiban seorang ayah dalam memenuhi hak-hak anaknya. Hendaknya diberikan untuk yang terbaik semasa perkawinan maupun sesudah perceraian dengan ibu dari anaknya. Namun, itu merupakan bukti dari peraturan yang kadang terhenti pada tataran teori dan harapan. Sedangkan kehidupan anak yang akan menekan biaya adalah realitas yang tidak bisa ditawar. Sehingga yang dibutuhkan adalah penanganan secara riil 10

dan serius, sehingga kesadaran hukum untuk melaksanakan peraturan sangatlah dibutuhkan atau dengan kata lain terbentuknya peraturan idenya efektif pelaksaannya. Bagaimana nasibnya anak yang terlahir dari seorang ibu yang telah dicerai oleh suaminya kalau pasal diatas tidak terlaksana. E. Definisi Operasional Untuk kejelasan dalam penulisan skripsi ini dipandang perlu untuk mengemukakan istilah/ defenisi operasional sebagai berikut : 1. Pegawai negeri sipil adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang belaku. Pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 8 tahun 1974. yang dipersamakan dengan pegawai negeri sipil yaitu : 9 a. Pegawai bulanan di samping pensiun. b. Pegawai bank milik Negara. c. Pegawai badan usaha milik Negara. d. Pegawai bank milik daerah. e. Pegawai badan usaha milik daerah. f. Kepala desa, perangkat desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di desa. 9 Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1983 Loc Cit. 11

2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga. 10 3. Nafkah iddah akibat perceraian adalah sesuatu pemberian yang berupa nafkah yang diberikan pada seorang istri. 4. Pengadilan adalah suatu lembaga (instansi) tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum di dalam rangka kekuasaan kehakiman, yang mempunyai kewenangan absolut dan relativ sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menentukannya/ membentuknya. Dalam bahasa arab disebut al-mahkamah, dalam bahasa belanda disebut raad. 11 5. Pengadilan Agama adalah suatu badan peradilan agama pada tingkat pertama. Pengadilan Tinggi Agama (PTA), adalah badan peradilan agama tingkat banding. Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/ kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kebupaten/ kota, namun tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. 12 6. Hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas, sebagaimana Rasul 10 Ibid, hlm. 8. 11 M. Tahir Azhary, Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Bursa Buku Fakultas Hukum UI, 1982), hlm, 23. 12 Sulaikin Lubis, et al, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,cet 2, (Jakarta : kencana, 2006), hlm. 4. 12

SAW. Pada masanya telah mengangkat Qadi-qadi untuk menyelesaikan sengketa diantara manusia di tempat-tempat yang jauh. Istilah hakim ditambah menjadi hakim pengadilan, yaitu pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. 13 F. Metode Penelitian Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah 1. Tipe Penelitian Tipe Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian adalah metode penelitian hukum Normatif Empiris artinya penelitian yang dilakukan dengan cara menelusuri atau menelaah dan menganalisis bahan pustaka atau bahan dokumen siap pakai. Kegiatan yang dilakukan dapat berbentuk menelusuri dan menganalisis peraturan, mengumpulkan dan menganalisis vonis atau yurisprudensi, membaca dan menganalisis kontrak atau mencari, membaca dan membuat rangkuman dari buku acuan. 14 Serta melakukan pengumpulan materi atau bahan penelitian yang harus diupayakan atau dicari sendiri oleh karena belum tersedia. Kegiatan yang dilakukan dapat berbentuk membuat pedoman wawancara dan diikuti dengan mencari serta mewawancarai para informan untuk lebih akurat. 15 13 Ibid. 14 Valerine J.L. Kriekhoff, Penelitian Kepustakaan Dan Lapangan Dalam Penulisan Skripsi. Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum, UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara, 1996, hlm 18. 15 Ibid, hlm. 19. 13

2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang akan dipergunakan adalah penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan/ mendiskripsikan secara jelas dan cermat mengenai hal-hal yang menjadi obyek penelitian, kemudian hasil pemaparan tersebut dianalisa terhadap aspek-aspek yuridis yang melandasi dan mengatur hubungan hukum yang timbul dalam hukum perkawinan. 3. Sumber Data a. Data sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari suatu sumber yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain, peraturan-peraturan, literature, hasil penelitian, kamus hukum, dokumen dan data lain yang relevan dengan obyek penelitian. b. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya yaitu diambil dari hasil wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan bebas berencana kepada yang mempunyai informasi yang ada relevansinya dengan masalah. 4. Cara dan alat pengumpul data cara dan alat data yang dimaksud dalam penelitian adalah berupa : 14

a. Data kepustakaan Data yang bersumber pada peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, dokumen dan data lain yang berhubungan dengan obyek penelitian. b. Data lapangan Data yang diperoleh langsung dari keterangan langsung dari orang yang bersangkutan untuk memperoleh informasi yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti. c. Analisa data Analisa penelitian dilakukan secara kualitatif baik terhadap data sekunder ataupun data primer yang sudah dikumpulkan dan diolah guna perumusan kesimpulan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini disusun secara sistematis. Sistematika pembahasan di bagi dalam 5 (lima) bab dan dalam masing-masing bab tersebut saling terkait, sehingga dapat mengandung arti dan dapat disimpulkan. Bab I PENDAHULUAN Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, pokok permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan. 15

Bab II TINJAUAN TEORITIS TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI YANG BERSTATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL SETELAH BERCERAI Dalam bab ini berisi tentang tinjauan teoritis tentang hak dan kewajiban suami istri yang berstatus pegawai negeri sipil setelah bercerai yang meliputi antara lain : pengertian perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, putusnya perkawinan, akibatnya putusnya perkawinan, dan kewajiban suami istri pada masa iddah. Bab III WEWENANG PENGADILAN AGAMA DALAM MENETAPKAN PUTUSAN HAK DAN KEWAJIBAN KEPADA SUAMI ISTRI YANG TELAH BERCERAI Dalam bab ini memuat tentang wewenang pengadilan agama dalam menyelesaikan masalah yang meliputi, kewenangan pengadilan agama dalam memberikan putusan, hak dan kewajiban suami istri yang telah dicerai. Bab IV PERANAN HAKIM UNTUK MENETAPKAN PUTUSAN DAN PROSES PENYELESAIAN TERHADAP SIKAP MANTAN SUAMI DALAM MENJALANKAN PUTUSAN PENGADILAN UNTUK MEMENUHI KEWAJIBANNYA SETELAH BERCERAI Dalam bab ini penulis menguraikan peranan hakim untuk menetapkan putusan dan proses penyelesaian terhadap sikap bekas 16

suami dalam menjalankan putusan pengadilan untuk memenuhi kewajibannya setelah bercerai. Bab V PENUTUP Dalam bab ini dikemukakan kesimpulan dan saran-saran yang dianggap penting dan bermanfaat. 17