1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut

KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI DESA MATTIRO DECENG, KABUPATEN PANGKEP, PROPINSI SULAWESI SELATAN ANITA SETIANINGSIH

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN KONSERVASI LAUT


PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 4 TAHUN 2010

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

OLEH : DIREKTUR KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DITJEN KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN JAKARTA, SEPTEMBER

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK PENDAHULUAN. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ini tujuan untuk melindungi

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kelompok Ekowisata DA KKAYU AKKAL MARATUA

BAB II BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU,

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR.

III KERANGKA PEMIKIRAN

Kata Kunci : Pengelolaan, Terumbu karang, Berkelanjutan, KKLD, Pulau Biawak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

MENGAPA PRODUKSI KEPITING RAJUNGAN MENURUN DAN KEBIJAKAN APA YANG PERLU DILAKUKAN MENGANTISIPASINYA. Oleh. Wayan Kantun

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG

CORAL TRIANGLE INITIATIVE FOR CORAL REEFS, FISHERIES & FOOD SECURITIES Oleh: M. Eko Rudianto 1

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RENCANA STRATEGIK DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2010

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

BUPATI BANGKA TENGAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

Transkripsi:

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya dengan menyusun Agenda 21 nasional. Salah satu hal yang disoroti adalah pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan teknologi dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan terpadu. Beberapa konsensus internasional terkait isu konservasi, yakni CBD (Convention on Biological Diversity), Ramsar Convention on Wetlands of International Importance, WHS (World Heritage Site) dan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), termasuk kerja sama regional seperti Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dan Bismarc Solomon Marine Ecoregion (BSME) telah diratifikasi. Meskipun kepentingan nasional terlihat lebih menonjol dalam percaturan di dunia internasional, kawasan konservasi pesisir dan lautan tidaklah bersifat sentralistik lagi oleh pemerintah pusat, melainkan mengalami perubahan menjadi desentralistik dengan ditandai adanya pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) oleh pemerintah daerah. Disamping hal tersebut, sistem penzonasian juga mengalami modifikasi, yakni adanya zona perikanan berkelanjutan dimana zona ini tidak dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sistem penzonasian ini merupakan salah satu rujukan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (kemudian dilakukan perubahan dengan diterbitkannya UU No. 45 Tahun 2009) dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Adapun penzonasian umum pada kawasan konservasi antara lain zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona inti diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian dan pendidikan. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi,

penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Zona lainnya merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona perlindungan, zona rehabilitasi dan sebagainya. Perubahan-perubahan tersebut diharapkan dapat menghindari konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, khususnya bagi para nelayan yang berpandangan bahwa penzonasian pada kawasan konservasi dapat menghalangi akses nelayan terhadap sumberdaya, terutama zona inti sebagai zona larang ambil. Pada umumnya, zona inti suatu kawasan ditetapkan pada Daerah Perlindungan Laut (DPL), yaitu kawasan tersebut ditetapkan dan diatur sebagai daerah larang ambil, tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat destruktif, kecuali untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam). Pembentukan DPL tersebut merupakan suatu upaya perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang. Mengingat saat ini kondisi terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi kritis, yaitu 5.47% sangat baik, 25.48% baik, 37.06% cukup baik dan 31.98% kurang baik (Suharsono 2008). Selain perbaikan ekosistem, upaya konservasi ini ditujukan untuk menunjang keberlanjutan produksi perikanan. Data yang dikumpulkan FAO (2007) dalam Satria et al. (2009) mengindikasikan telah terjadi gejala tangkap lebih (overfishing) pada skala internasional yang semakin meluas, yaitu 16% overexploited dan 44% fully exploited. Sedangkan di Indonesia, telah terjadi kenaikan produksi perikanan tangkap di laut sepanjang tahun 2000 hingga 2006 sebesar 2.74% (DKP 2007). Jika dibandingkan dengan jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton, maka produksi tahun 2006 telah mencapai 87.27% dari JTB. Daerah Perlindungan Laut di Indonesia, pertama kali dikembangkan di Desa Blongko, Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Pembentukan DPL di Desa Blonko diinisiasi oleh Pemerintah Pusat melalui Proyek Pesisir dan diharapkan keberlanjutan pengelolaan DPL dilaksanakan oleh masyarakat. DPL juga dikembangkan di Pulau Sebesi,

Lampung. Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi mengalami peningkatan dari tahun 2002 2005 setelah dibentuk DPL, antara lain indeks mortalitas karang keras mengalami penurunan dan keanekaragaman karang keras yang ditemukan mengalami peningkatan pada tahun 2005 yaitu 22 genus dari 19 genus pada tahun 2002 dengan karang genus Acropora mempunyai penyebaran yang merata di semua DPL (Muttaqin 2006). Sedangkan pembelajaran dari Philiphina, antara lain adanya peningkatan tutupan karang 119% dalam 5 tahun di Balicasag s sanctuary (Christie et al. 2002), peningkatan biomassa ikan di luar DPL Pulau Apo dan peningkatan hasil tangkapan nelayan setelah 18 tahun DPL ditetapkan (Russ et al. 2004). Observasi Wantiez (1997) menunjukkan adanya peningkatan jumlah spesies, kepadatan dan biomassa ikan di 5 pulau di New Caledonia masing-masing sebesar 67%, 160% dan 246% setelah 5 tahun DPL dibentuk. Salah satu DPL di Indonesia yang dikembangkan antara lain DPL Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Pembentukan DPL ini diinisiasi oleh Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II atau yang lebih dikenal dengan COREMAP II (Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II). Salah satu kegiatan dalam program ini adalah pembentukan DPL untuk mendukung pembentukan KKLD. Desa ini terdiri dari dua pulau, yaitu Pulau Badi dan Pulau Pajjenekang. Desa Mattiro Deceng termasuk dalam kawasan Kepulauan Spermonde dan merupakan salah satu wilayah penyebaran terumbu karang yang secara administratif terbagi ke dalam 3 wilayah, yaitu Kotamadya Makassar, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) dan Kabupaten Barru. Pembentukan DPL di Desa Mattiro Deceng dikukuhkan dengan Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 tentang Daerah Perlindungan Laut. Tujuan pembentukan DPL adalah untuk (i) menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa, (ii) menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa dan (iii) meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pembentukan DPL tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk (i) mempertahankan produksi ikan dalam

DPL, (ii) menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa, (iii) tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan, (iv) laboratorium alam untuk penelitian, (v) sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa dan (vi) tujuan wisata. Studi baseline di DPL telah dilakukan sejak tahun 2008 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Persentase tutupan karang hidup DPL Mattiro Deceng di Pulau Badi menunjukkan 42% dan termasuk kategori sedang atau cukup baik. Sedangkan ikan karang yang dijumpai adalah 61 spesies dari 14 famili. Untuk melihat keberhasilan kinerja DPL sejak pembentukannya, maka perlu dilakukan suatu kajian ekologi di lokasi DPL. Disamping untuk keberlanjutan keberadaan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejauh mana dampak adanya DPL Desa Mattiro Deceng terhadap ekologi DPL dan masyarakat (ekonomi dan sosial) inilah yang perlu dikaji untuk kemudian DPL dapat dikelola secara berkelanjutan. 1.2 Perumusan Masalah Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang tidak bijaksana dapat menjadi ancaman bagi ekosistem terumbu karang. Jika kerusakan tidak dapat diantisipasi, keberlanjutan sumberdaya perikanan dan kelautan tidak akan terwujud sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Di Desa Mattiro Deceng, kegiatan illegal fishing dan destructive fishing yang dilakukan oleh nelayan, baik oleh nelayan dari dalam maupun dari luar desa; penambangan karang untuk kebutuhan bahan pondasi rumah atau tanggul dan eksploitasi sumberdaya perikanan utamanya pada komoditas-komoditas yang memiliki nilai jual tinggi menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang umum terjadi di daerah pesisir. Bagaimana upaya untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang merupakan pertanyaan besar yang harus dijawab. Terjaganya terumbu karang akan mempengaruhi tingkat produktivitas perikanan dan dapat mempengaruhi perekonomian masyarakat, mengingat terumbu karang berpotensi sebagai habitat, nursery, feeding dan spawning grounds bagi biota laut.

Upaya untuk melindungi ekosistem, khususnya terumbu karang di Desa Mattiro Deceng dilakukan melalui pembentukan DPL yang diinisiasi oleh pemerintah melalui COREMAP II. Pengelolaan DPL kedepan diharapkan dapat dilanjutkan oleh masyarakat untuk menunjang keberhasilan pengelolaan DPL sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat adanya DPL tersebut. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang keberhasilan pengelolaan DPL adalah melihat bagaimana implementasi pengelolaannya. Implementasi ini dapat dilihat dari proses awal pembentukan dan proses keterlibatan masyarakat serta dampak/manfaat DPL terhadap lingkungan dan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya yang ada diharapkan dapat berkelanjutan baik dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial. Ketiga aspek ini merupakan bagian dari Segitiga Keberlanjutan (sustainability triangle) yang digambarkan oleh Charles (1994). Setiap aspek tersebut dilihat sebagai komponen dalam menentukan keberhasilan pengelolaan dengan mempertimbangkan dampak suatu aspek terhadap aspek lainnya. Manfaat keberhasilan pengelolaan dapat dilihat secara utuh dari aspek-aspek tersebut, bukan secara terpisah. Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Kegiatan illegal fishing dan destructive fishing, penambangan karang dan eksploitasi sumberdaya perikanan menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang. 2. Belum diketahuinya keberhasilan pembentukan DPL sejak tahun 2007 dilihat dari indikator ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. 3. Keberlanjutan pengelolaan DPL di masa yang akan datang apabila COREMAP II berakhir, mengingat saat ini pengelolaan DPL masih dibiayai oleh pemerintah pusat yang bersifat on granting kepada pemerintah daerah dan dana APBD. 1.3 Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Untuk menggambarkan implementasi DPL dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

2. Untuk mengetahui dampak adanya DPL terhadap ekosistem terumbu karang dan ekonomi masyarakat. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan DPL. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan tentang dampak pengelolaan DPL. 2. Memberikan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan arah pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat dengan memperhatikan nilai ekologi, sosial, ekonomi dan budayanya. 1.5 Kerangka Pemikiran Salah satu model pengelolaan pesisir dan lautan adalah DPL. Pengelolaan ini akan memberikan dampak terhadap ekologi (kondisi lingkungan), ekonomi dan sosial masyarakat. Ketiga aspek tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Untuk mengetahui sejauh mana dampak DPL tersebut dilakukanlah serangkaian kajian terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Dampak DPL terhadap ekologi diharapkan dapat mempertahankan bahkan memperbaiki kondisi lingkungan, dalam hal ini kondisi ekosistem terumbu karang. Dampak DPL terhadap ekonomi dapat dilihat dari pendapatan dan hasil tangkapan penduduk. Dampak DPL terhadap sosial masyarakat nantinya dituntut untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan penguatan kelembagaan. Untuk mengetahui dampak pengelolaan terhadap sosial masyarakat dilakukan kajian tentang persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL, partisipasi masyarakat dan peran pemerintah serta kajian stakeholder yang berperan dalam pengelolaan DPL di Desa Mattiro Deceng. Keterkaitan ketiga aspek, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial tersebut diharapkan dapat menyokong keberhasilan

pengelolaan DPL dan lebih jauh pengelolaan dapat berjalan secara berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Desa Mattiro Deceng Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Deceng Fungsi Ekologi Fungsi Ekonomi dan Sosial Kajian ekologi Kajian persepsi masyarakat terhadap aspek ekonomi dan sosial - Kondisi karang - Ikan Karang - Pendapatan dan hasil tangkap - Persepsi masyarakat terhadap sumberdaya dan DPL - Partisipasi masyarakat - Peran Pemerintah - Stakeholder Keberhasilan Pengelolaan DPL Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian