DIAGNOSIS FILARIASIS LIMFATIK

dokumen-dokumen yang mirip
ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB 4 HASIL PENELITIAN

Filariasis Limfatik pada Anak anak. Monica Puspa Sari

Prevalensi pre_treatment

5. Manifestasi Klinis

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS YANG DITENTUKAN BERDASARKAN DISTRIBUSI IGG4 ANTIFILARIA. Biyan Maulana*, Heri Wibowo**

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

Proses Penularan Penyakit

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan

BAB I PENDAHULUAN.

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 8 No. 2, 2014 : 61-66

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

PEMERIKSAAN MIKROFILARIA DI DUSUN CIJAMBAN KECAMATAN PANUMBANGAN KABUPATEN CIAMIS. Mei Widiati*, Ary Nurmalasari, Septi Nurizki ABSTRACT

The occurrence Factor of Filariasis Transmission In Lasung Health Centers Kusan Hulu Subdistrict, Tanah Bumbu Kalimantan Selatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

MDA dan CMA sebagai Strategi Eliminasi Filariasis. MDA and CMA as Elimination of Filariasis Strategy

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

INTOLERANSI LAKTOSA. Madya Ardi Wicaksono 1

BAB I PENDAHULUAN. 1

PREVALENSI MIKROFILARIA SETELAH PENGOBATAN MASAL 4 TAHUN DI WILAYAH KAMPUNG SAWAH, KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

SISTIM SURVEILANS. dr. I Nengah Darna MKes

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

ANALISIS SITUASI FILARIASIS LIMFATIK DI KELURAHAN SIMBANG KULON, KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN Tri Wijayanti* ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

ABSTRAK P"'RBANDINGAN BEBERAPA METODA. DIAGNOSIS FILARIASIS BANKROFfI

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

ANALISIS SPASIAL ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PEKALONGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNIVERSITAS INDONESIA EVALUASI EKONOMI PEMBERIAN OBAT FILARIASIS DI KOTA BEKASI TAHUN 2010 TESIS

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

SEGMENTASI MIKROFILARIA UNTUK DIAGNOSIS PENYAKIT KAKI GAJAH BERBASIS CITRA MIKROSKOPIS

STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN MASSAL TAHAP III. Yahya * dan Santoso

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

DETEKSI ANTIBODI SPESIFIK FILARIA IgG4 DENGAN PAN LF PADA ANAK SEKOLAH DASAR UNTUK EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Parasit nematoda berbentuk benang yang ditransmisikan melalui vektor artropoda.

UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN PREVALENSI MIKROFILARIA ANTARA PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK DENGAN BRUGIA RAPID SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik.

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

KONSEP DASAR KONSEP MEDIS DEFINISI

ABSTRAK. PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei

Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Filariasis : Prevention Related to Risk Factor

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi.

Lampiran 1. Road-map Penelitian

CSL5_Manual apusan darah tepi_swahyuni 2015 Page 1

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DI DAERAH ENDEMIS FILARIASIS KECAMATAN PONDOK GEDE, KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MALARIA DI KABUPATEN SUKABUMI PERIODE JANUARI-DESEMBER 2011

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

HUBUNGAN PRAKTEK PENCEGAHAN PENULARAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JENGGOT KOTA PEKALONGAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. (KLB). Penyakit ini termasuk common source yang penularan utamanya melalui

PERIODISITAS NON PERIODIK Brugia Malayi DI KABUPATEN TABALONG

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik. UNIMUS, Jl. Wonodri Sendang Raya 2A Semarang. Waktu penelitian yaitu

MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS)

Perilaku mikrofilaria Brugia malayi pada subjek Filariasis di Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat

BAB 3 METODE PENELITIAN

Transkripsi:

DIAGNOSIS FILARIASIS LIMFATIK Tutik Ida Rosanti 1, Soeyoko 2 1 Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 2 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ABSTRACT Lactose intolerance is a condition caused by lactase deficiency in the brush border of the intestine, causing inability in digesting lactose into glucose and galactose. It is a mild metabolic disease with low morbidity, but often used interchangeably with cow s milk allergy, resulting confusion in public understanding. Lactase deficiency keeps lactose not hydrolyzed, resulting increased osmotic pressure and fluid secretion of intestine lumen. In the colon, the result of fermentation from the undigested lactose is hydrogen gas. The symptoms of lactose intolerance are abdominal bloating, distension, pain, flatulence, and diarrhea. Symptoms are alleviated by complete elimination or reduced consumption of lactose-containing foods. Meanwhile, dairy products which contain large amount of lactose also become the main source of calcium as well. Elimination of dairy products from daily diet may results low calcium level, osteopenia, until osteoporosis. People with lactose intolerance need calcium supplementation to maintain the calcium level in the body if lactose is restricted Key Words: lactose intolerance, lactase, calcium. PENDAHULUAN Filariasis limfatik adalah infeksi parasitik yang disebabkan oleh nematoda dan ditularkan oleh nyamuk. Filariasis limfatik masih merupakan penyakit parasitik dan menginfeksi sekitar 120 juta penduduk dunia, 90%nya disebabkan oleh spesies Wuchereria bancrofti sedangkan 10%nya disebabkan oleh Brugia malayi (Palumbo, 2008). Diagnosis filariasis limfatik setidaknya didasarkan pada empat pendekatan yaitu diagnosis klinis, diagnosis parasitologis dan diagnosis serologis serta diagnosis berdasarkan DNA. Pada tulisan kali ini, penulis akan memaparkan diagnosis filariasis limfatik berdasarkan diagnosis klinis dan diagnosis parasitologis. Perlu diketahui bahwa tidak semua penderita filariasis limfatik menunjukkan manifestasi klinis tertentu. Khususnya di daerah endemis filariasis, sebagian besar penduduknya berada pada status asimtomatik meskipun di dalam darah perifernya ditemukan mikrofilaria (mikrofilaremia asimtomatik). Oleh karena itu penting kiranya mengetahui beberapa teknik pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan mikrofilaria di dalam darah maupun mendeteksi keberadaan cacing dewasanya agar diagnosis filariasis limfatik dapat ditegakkan sedini mungkin sehingga penderita filariasis limfatik tidak sampai jatuh pada kondisi filariasis kronis dengan elefantiasis dengan segala dampaknya. 501

A. DIAGNOSIS KLINIS Diagnosis filariasis limfatik secara klinis didasarkan atas gejala-gejala klinis yang muncul pada penderita baik pada stadium akut maupun kronik. Perlu diketahui bahwa di Indonesia terdapat tiga jenis filariasis limfatik berdasarkan pada spesies cacing filaria penyebabnya. Ketiga jenis filariasis limfatik tersebut yaitu filariasis bancrofti yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, filariasis malayi yang disebabkan oleh Brugia malayi dan filariasis timori yang disebabkan oleh Brugia timori. Gejala akut pada filariasis bancrofti pada umumnya berupa peradangan pada saluran limfe genitalia yaitu timbul funikulitis, epididimitis dan orkitis. Pada stadium kronik akan terjadi khiluria, hidrokel testis, elefantiasis skroti maupun elefantiasis seluruh tungkai atau lengan dan mammae (Partono, 1987 ; Shenoy et al., 1999). Gejala akut pada filariasis malayi dan filariasis timori berupa demam, limfadenitis, limfangitis desendens, abses dan limfedema. Pada stadium kronik terjadi elefantiasis pada tungkai di bawah lutut atau lengan di bawah siku. B. DIAGNOSIS PARASITOLOGIS Diagnosis filariasis limfatik secara parasitologis berdasarkan pada ditemukannya mikrofilaria dan cacing dewasa. Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam darah, urin dan cairan hidrokel. Cacing dewasa dapat ditemukan di dalam kelenjar/saluran limfe inang definitifnya. 1. Pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah Cara diagnosis menggunakan cara ini hanya dapat mendeteksi mikrofilaria jika kepadatannya di dalam darah tinggi dan jika kepadatan mikrofilaria di dalam darah rendah maka mikrofilaria akan sulit terdeteksi. a) Pemeriksaan mikrofilaria di dalam sediaan darah langsung Cara pemeriksaan mikrofilaria menggunakan metode ini sangat sederhana, mudah dan pelaksanaannya cepat. Namun kurang dapat dipercaya hasilnya karena memberikan kesalahan hitung jumlah mikrofilaria. Banyak mikrofilaria yang bergerak ke tepi gelas penutup atau beberapa mikrofilaria tidak terlihat jelas karena adanya penggumpalan darah. Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam sediaan darah langsung adalah sebagai berikut : setetes darah dari ujung jari diteteskan pada kaca obyek dan ditutup dengan kaca penutup. Selanjutnya dilihat langsung di bawah mikroskop pada pembesaran 10x untuk melihat adanya gerakan mikrofilaria (Denham et al.,1971). b) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam sediaan darah tebal Pemeriksaan mikrofilaria menggunakan sediaan darah tebal ini murah, dapat dipakai untuk mengidentifikasi spesies dan paling sering dipakai di lapangan 502

(WHO, 1987). Pemeriksaan mikrofilaria menggunakan cara ini mempunyai kelemahan yaitu kadang-kadang ada mikrofilaria yang hilang pada proses hemolisis dan pewarnaan. Namun kelemahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan kaca obyek yang bersih. Cara lain untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan mengeringkan darah selama lebih dari 12 jam untuk mencegah hilangnya mikrofilaria pada proses hemolisis dan pewarnaan (Partono & Idris., 1977). Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam sediaan darah tebal adalah sebagai berikut ; Sebanyak 20 60 µl darah diambil dari ujung jari dengan menggunakan pipet kapiler kemudian dibuat sediaan darah pada kaca obyek, selanjutnya diwarnai dengan menggunakan pewarnaan Giemsa. Sediaan darah tsb kemudian dilihat di bawah mikroskop pada perbesaran 10x. c) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan bilik hitung. Pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan bilik hitung hanya dapat dilakukan di suatu daerah yang telah diketahui spesiesnya. Hal tersebut karena pemeriksaan mikrofilaria dengan cara ini tidak dapat dipakai untuk melihat morfologi mikrofilaria. Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan bilik hitung adalah sebagai berikut : sebanyak 60 µl darah diambil dari ujung jari kemudian diencerkan dengan aquabides. Larutan tersebut diteteskan ke dalam bilik hitung kemudian dilihat mikrofilarianya di bawah mikroskop. Apabila tidak dapat segera dilakukan pemeriksaan maka darah dapat dilarutkan dalam asam asetat dan kemudian disimpan (WHO, 1987). d) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah filtrasi (darah yang disaring). Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah menggunakan metode ini paling peka untuk mendeteksi mikrofilaria namun biayanya mahal sehingga dipergunakan untuk tujuan tertentu misalnya untuk diagnosis per-orangan atau evaluasi pasca pengobatan (WHO, 1987). Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah filtrasi adalah sebagai berikut : sebanyak 1-5ml darah vena diambil kemudian disaring dengan membran filter 5µm yang dipasang pada nukleopore. Membran filter dikeringkan, difiksasi dan diwarnai dengan Giemsa. Selanjutnya dilihat di bawah mikroskop. McCarthy (2000) menyatakan bahwa penggunaan membran filter ini sangat mudah untuk mendeteksi adanya mikrofilaria dan menghitung beratnya infeksi serta sangat sesuai untuk mendeteksi adanya mikrofilaria pada tahap awal infeksi sebelum manifestasi klinis berkembang. e) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan teknik konsentrasi Knott s. Cara ini mempunyai sensitivitas lebih rendah dari pada cara filtrasi karena 503

mikrofilaria dapat hilang atau rusak pada proses pengendapan. Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan teknik konsentrasi Knott s adalah sebagai berikut : Darah vena diencerkan menggunakan formalin 2% dengan perbandingan 1 : 10. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama lima menit. Bagian supernatan dibuang. Endapan diambil dan diteteskan pada kaca obyek. Perlu diteteskan metilen biru 1% agar mikrofilaria dapat terlihat jelas, kemudian dilihat di bawah mikroskop. f) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan teknik Quantitative Buffy Coat (QBC). Darah diambil menggunakan pipet kapiler yang telah terisi heparin, EDTA dan acridine orange kemudian disentrifugasi sehingga mikrofilaria terkonsentrasi di daerah buffy coat. Fungsi acridine orange adalah memberikan pewarnaan pada mikrofilaria sehingga morfologinya dapat dilihat dengan jelas dibawah mikroskop (Long et al., 1990). 2. Pemeriksaan mikrofilaria dalam urin atau cairan hidrokel. Urin atau cairan hidrokel sebanyak 15 ml disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama lima menit. Bagian supernatan dibuang, endapannya diperiksa di bawah mikroskop (WHO, 1987). 3. Pemeriksaan cacing dewasa di dalam kelenjar atau saluran limfe. Terdapat beberapa macam cara pemeriksaan cacing dewasa di dalam kelenjar atau saluran limfe. a) Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan biopsi kelenjar limfe Diagnosis dengan cara ini jarang sekali digunakan untuk diganosis filariasis. Perlu pengetahuan tentang mikroanatomi penampang lintang cacing dewasa agar dapat mendiagnosis dengan pasti. Adanya mikrofilaria di sekitar cacing dewasa atau di dalam uterusnya sangat membantu diagnosis. Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan biopsi kelenjar limfe dilakukan dengan biopsi kelenjar kemudian dibuat sediaan jaringan. Pada umumnya cacing sudah mati bahkan seringkali telah mengalami kalsifikasi (WHO, 1987). b) Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan ultrasound. Cara diagnosis ini dapat digunakan untuk mengetahui efek obat anti filaria terhadap stadium dewasanya secara in vivo (Dreyer et al., 1995). Penggunaan ultrasound akan memperlihatkan adanya gerakan cacing dewasa dalam saluran limfe di daerah skrotum yang disebut filaria dance sign ( Amaral et al., 1994). Pada filariasis bancrofti dengan status mikrofilaremia, 80% diantaranya dapat menunjukkan filaria dance sign (Noroes et al., 1996). Amaral et al (1994) juga menyebutkan bahwa penggunaan USG 504

juga membantu untuk menentukan lokasi dan memvisualisasikan gerakan cacing W.bancrofti hidup di dalam pembuluh limfe skrotum penderita filariasis asimptomatik mikrofilaremia. USG tidak berguna pada pasien dengan limfoedema karena cacing dewasa pada umumnya tidak ada pada stadium limfoedema ini demikian juga pada Brugia malayi. Namun pada filariasis malayi disebabkan karena spesies cacing penyebabnya tidak menyebabkan manifestasi klinis di genitalia (Shenoy, 2000). c) Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan High-power videomicroscopy. Cara ini belum diujicobakan untuk diagnosis filariasis pada manusia. Cara ini dapat dipakai untuk melihat cacing dewasa yang masih hidup di dalam saluran limfe tungkai hewan coba (Case et al, 1992). Diantara sekian banyak teknik dan metode pemeriksaan untuk diagnosis filariasis limfatik tersebut diatas, pemeriksaan darah jari dengan sediaan darah tebal masih merupakan baku emas untuk diagnosis filariasis limfatik. Terlebih untuk menentukan endemisitas suatu wilayah maupun untuk mengevaluasi hasil pengobatan, metode survei darah jari (SDJ) merupakan baku emas. DAFTAR PUSTAKA 1. Amaral, F., Dreyer, G., Figueredo-Silva, J.,Noroes, J., Cavalcanti,A., Samico, C.S., Santos, A. And Coutinho, A. 1994. Adult worms detected by ultrasonographhy in human bancroftian filariasis. Am.J.Trop.Med.Hyg. 50 : 753-757 2. Case, T.C.,Witte, M.H., Way, D.L., Witte. C.L., Crandal, C.A.and Crandal, R.B. 1992.Videomicroscopy of intralymphatic dwelling Brugia malayi. Ann.Med.Parasitol. 86 (4) : 435-438 3. Dreyer, G., Amaral,F., Noroes, J., Medeiros, Z. and Addiss, D. 1995. A new tool to assess the adulticidal afficacy in vivo of antifilarial drugs for bancroftian filariasis. Trans.Roy.Soc.Trop.Med.Hyg. 89 : 225-226 4. Long, G.W., Rickman, L.S., Cross, J.H.1990. Rapid diagnosis of Brugia malayi and Whucereria bancrofti filariasis by an acridine orange/microhematocrit tube technique. J.Parasitol. 76 : 278-281 5. McCarthy, J.2000. Diagnosis of lymphatic filarial infection. In : Lymphatic Filariasis. Nutmant TB. ed. Imperial College Press.London.127-41 6. Noroes, J., Adiss, D., Amaral, F., Coutinho,A., Medeiros.Z and Dreyer,G. 1996. Occurence of living adult Wuchereria bancrofti in the scrotal area of men with microfilaremia. Trans.Roy.Soc.Trop.Med.Hyg. 90 : 55-56 7. Palumbo, E. 2008. Filariasis : diagnosis, treatmen and prevention. Acta Biomed. 79 : 106-109 8. Partono,F & Idris, K.N.1977.Some factors influencing the loss of microfilariae from stained blood films. Southeast Asian J.Trop.Med.Publ.Health. 8 : 158-164 9. Partono, F.1987.The spectrum of disease in lymphatic filariasis. Ciba Foundation Symphosium 127. John Wiley & Son. P : 15-31 10. Shenoy, RK., Kumaraswami, V., Suma, TK.1999. A double blind placebo controlled study of the efficacy of oral penicilin, diethylcarbamazine or local treatment of the affected limb in preventing acute adenolymphangitis in lymphoedema caused by brugian filariasis. Ann Trop Med Parasitol. 93 : 367-77 11. Shenoy, RK., John A., Hameed S. 2000. Apparent failure of ultrasonography to detect adult worms of Brugia malayi. Ann Trop Med Parasitol. 94 : 77-82 12. WHO. 1987. Control of lymphatic filariasis : A manual for health personal. Geneva. Switzerland 505