BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

TUGAS DAN FUNGSI BIRO, BAGIAN, DAN SUBBAGIAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA. No BIRO BAGIAN SUB-BAGIAN

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 Tahun 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI JAWA BARAT

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA LAPORAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SELAKU SEKRETARIS DPOD KEBIJAKAN PENATAAN DAERAH TERKAIT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN,

BAB I PENDAHULUAN I.1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan.

PERAN PROVINSI DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PPSP OLEH: PIU KELEMBAGAAN DAN PENDANAAN

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

2 2. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60); 3. Peraturan Ke

PENATAAN RUANG KAWASAN HUTAN

KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN LINGGA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2089, 2014 ANRI. Dana Dekonsentrasi. Kegiatan. Pelaksanaan.

SE - 65/PJ/2010 PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PENILAIAN LOMBA PELAYANAN TAHUN 2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA SUNGAI PENUH DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PENATAAN RUANG KAWASAN HUTAN

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2007 T E N T A N G PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 31 TAHUN 2007 (31/2007) TENTANG PEMBENTUKAN KOTA TUAL DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

2017, No telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahu

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA SUNGAI PENUH DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan.

SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI.

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN DANA DEKONSENTRASI

KOMISI PEMILIHAN UMUM,

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA TUAL DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN LINGGA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

-2- Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3455); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara (Lembaga N

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PANDUAN. Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN. A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MANGGARAI BARAT DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

RGS Mitra 1 of 12 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN LINGGA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

I. PETA PERMASALAHAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN SABU RAIJUA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI PERKEMBANGAN DAERAH OTONOM BARU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN TOJO UNA-UNA DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MINAHASA UTARA DI PROVINSI SULAWESI UTARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2003 TENTANG

KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN LINGGA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA IMPLIKASI PELAKSANAAN UU NO.23 TAHUN 2014 TERHADAP EKSISTENSI LEMBAGA PANGAN DAERAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Hasil Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

PP 8/1995, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN KEPADA 26 (DUA PULUH ENAM) DAERAH TINGKAT II PERCONTOHAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MINAHASA UTARA DI PROVINSI SULAWESI UTARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MANGGARAI BARAT DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

2011, No Gubernur sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditetapkan dengan Peraturan Menteri; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INTISARI PP NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN OLEH : SADU WASISTIONO

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2003 TENTANG

PAPARAN PADA ACARA MUSRENBANG RPJMD PROVINSI BANTEN TAHUN

Transkripsi:

115 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi uraian tentang hasil penelitian yaitu: (1) hasil identifikasi kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah, (2) hasil identifikasi kondisi IG yang ada di Indonesia dalam hal ketersediaan dan kualitasnya untuk penetapan batas daerah dalam pembentukan DOB, (3) hasil evaluasi penggunaan IG dalam proses dan luaran penetapan batas daerah, (4) hasil analisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas daerah. Selain itu sebagai tindaklanjut dari hasil penelitian diuraikan rumusan penguatan peran IG dalam penetapan dan penegasan batas daerah sehubungan terbitnya UU Pemerintahan Daerah No.23 tahun 2014 sebagai pengganti UU No.32 tahun 2004. V.1. Identifikasi kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah di Indonesia Penetapan dan penegasan batas daerah pada dasarnya merupakan bagian dari proses pembentukan DOB, sehingga kerangka kerja pembentukan DOB yang diatur dalam PP No.129 tahun 2000, PP No.78 tahun 2007 dan Permendagri No.1 tahun 2006 berpengaruh terhadap proses dan hasil tahapan penetapan dan penegasan batas daerah termasuk penggunaan dan hasil IG. Berikut diuraikan hasil identifikasi kerangka kerja PP. No.129 tahun 2000, PP. No.78 tahun 2007 dan Permendagri No.1 tahun 2006. V.1.1. Kerangka kerja penetapan batas daerah merujuk PP No.129 tahun 2000 Regulasi persyaratan pembentukan DOB yang digunakan pada periode tahun 2000 sampai tahun 2007 adalah PP. No.129 tahun 2000. Syarat-syarat pembentukan DOB diatur pada Bab III Pasal 3. Dalam pasal tersebut, Daerah (provinsi, kabupaten/kota) dibentuk dengan syarat-syarat sebagai berikut: (a)

116 kemampuan ekonomi, (b) potensi daerah, (c) sosial budaya, (d) sosial politik, (e) jumlah penduduk, (f) luas daerah, (g) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya OTDA. Berdasar tujuh syarat pembentukan daerah pada PP tersebut, hanya ada satu syarat yang terkait aspek IG yaitu luas daerah. Dalam pasal 9 dinyatakan bahwa luas daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf f, merupakan luas tertentu suatu daerah. Dalam penjelasan pasal 9 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan luas tertentu suatu Daerah adalah besaranluas suatu Daerah yang telah memenuhi syarat sesuai dengan pengukurandan penilaian pembentukan Daerah yang diatur dalam PP tersebut. Mengacu pada pasal-pasal dalam PP No.129 tahun 2000, kerangka kerja pembentukan DOB menurut PP tersebut dapat digambarkan dalam suatu diagram seperti disajikan pada Gambar 5.1. Pada diagram tersebut, kerja yang bersifat profesional terdapat pada kegiatan penelitian awal, tim observasi dan penyusunan bahan rekomendasi serta tim teknis untuk penelitian lanjutan (blok warna kuning). Kotak-kotak kegiatan lain merupakan kegiatan yang bersifat politis. Bila dicermati lebih jauh di dalam pasal-pasal maupun penjelasan PP No.129 tahun 2000, dalam tiga kotak kegiatan blok warna kuning, kerja yang bersifat profesional yang menyangkut IG tidak secara eksplisit ditemukan. Dalam PP No.129 tahun 2000 tidak secara tertulis menyebutkan penggunaan peta dasar dalam proses pembentukan DOB termasuk untuk penetapan batas daerah.hal ini juga diperkuat dari hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu pejabat di Sub Direktorat Penataam Wilayah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri yang menyatakan bahwa (Endarto, 2013):...pada pembentukan DOB yang didasarkan pada PP No.129 tahun 2000 dalam konteks batas wilayah memang tidak diperhatikan tentang peta baik sebagai pertimbangan maupun proses pembentukan daerah dan peta tidak dianggap penting. Disamping itu karena desakan yang bersifat politik lebih dominan maka yang penting DOB terbentuk dulu, masalah batas wilayah yang pasti diselesaikan nanti....

117 Ada kemauan politik dari Pemda dan Masyarakat DPRD Prov dan DPRD Kab/kota Penelitian awal Membentuk tim observasi dan menyusun bahan rekomendasi Tim teknis sekretariat DPOD untuk penelitian lanjutan Usulan pembentukan DOB melalui Gubernur Pemerintah c.q. Mendagri Ketua DPOD Rapat anggota DPOD Diterima Mendagri selaku ketua DPOD Keputusan DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota Saran dan pendapat tertulis anggota DPOD Ditolak Usulan pembentukan DOB dan RUUPD Presiden Tidak disetujui Tidak disetujui Persetujuan Presiden Disetujui DPR UUPD Disetujui Persetujuan DPR Gambar 5.1. Kerangka kerja pembentukan daerah menurut PP No.129 tahun 2000

118 Mengacu kepada kerangka kerja pembentukan DOB seperti Gambar 5.1. dan pasal-pasal dalam PP No.129 tahun 2000 yang telah diuraikan, dapat diidentifikasi hal-hal sebagai berikut: 1) Isi PP No.129 tahun 2000, yang dalamnya terdapat tahapan alokasi dan penetapan batas daerah yang dibuat oleh politisi, tidak mengakomodasi kebutuhan IG hasil kerja profesional geospasial, 2) Dalam proses penetapan batas daerah, hubungan dan kerjasama antara kegiatan yang bersifat politis dengan kegiatan yang bersifat profesional tidak proporsional. Kegiatan yang bersifat politis lebih dominan dibandingkan kegiatan yang bersifat profesional geospasial (yang menyiapkan dan menghasilkan IG), 3) Alokasi dan penetapan adalah tugas politisi tetapi tidak didukung IG yang memadai. Kegiatan penetapan batas yang tahapannya adalah memilih letak dan mendefinisikan batas tidak dilakukan secara kartometrik oleh profesional geospasial.penetapan batas daerah dihasilkan oleh politisi, tetapi di hasil-hasil penetapan batas tidak melibatkan IG yang merupakan kerja yang dilakukan oleh profesional geospasial. Menggunakan tolok ukur model kerangka kerja boundary making Jones (dalam Srebro dan Shoshany, 2013) seperti telah dijelaskan dalam bab landasan teori, kerangka kerja penetapan batas daerah di Indonesia yang dilakukan dengan dasar PP No.129 tahun 2000, dapat ditafsirkan sebagai kerangka kerja yang bersifat non-liner karena pada kerangka kerja tersebut tidak mengakomodasi peran IG secara proporsional sebagai hasil kerja profesi geospasial. V.1.2. Kerangka kerja penetapan batas daerah merujuk PP No.78 tahun 2007 Setelah UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan UU No. 32 tahun 2004, maka PP. No.129 tahun 2000 juga diganti dengan PP No.78 tahun 2007. Pada PP tersebut, syarat pembentukan daerah yang terkait IG adalah termasuk dalam syarat fisik kewilayahan yang diatur dalam Pasal 7, 8, 9

119 dan 10 beserta penjelasannya. Secara ringkas, syarat fisik kewilayahan dirangkum sebagai berikut: 1) Syarat fisik kewilayahan antara lain meliputi cakupan wilayah, 2) Dalam syarat cakupan wilayah ditentukan sebagai berikut: (a) untuk pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota; (b)untuk pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan; dan (c) untuk pembentukan kota paling sedikit 4 (empat) kecamatan, 3) Cakupan wilayah pembentukan DOB digambarkan dalam peta wilayah calon DOB. Peta wilayah calon DOB harus dibuat sesuai kaidah pemetaan dari peta dasar nasional (RBI atau topografi) yang dalam pembuatannya harus difasilitasi oleh lembaga teknis (Bakosurtanal atau Dinas Topografi TNI-AD untuk peta wilayah daratan dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk peta wilayah kepulauan) dan dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri, 4) Peta wilayahdob provinsi dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi, 5) Peta wilayah DOB kabupaten/kota dilengkapi dengan daftar nama kecamatan dan desa/kelurahan atau nama lain yang menjadi cakupan calon kabupaten/kota serta garis batas wilayah calon kabupaten/kota, nama wilayah kabupaten/ kota di provinsi lain, nama wilayah kecamatan di kabupaten/ kota di provinsi yang sama, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga, yang berbatasan langsung dengan calon kabupaten/kota, 6) Skala peta wilayah untuk pembentukan provinsi dibuat antara 1:250.000 sampai dengan 1:500.000, skala peta wilayah pembentukan kabupaten antara 1:100.000 sampai dengan 1:250.000 danskala peta wilayah untuk pembentukan kota antara 1:25.000 sampai dengan 1:50.000.

120 Kerangka kerja pembentukan DOB kabupaten/kota menurut PP No.78 tahun 2007 disajikan pada Gambar 5.2. Pada gambar tersebut, kerangka kerja yang bersifat profesional (kotak kuning) terutama yang terkait IG sudah mendapat porsi yang lebih banyak dibandingkan dengan kerangka kerja pada PP No.129 tahun 2000, yaitu dalam hal: 1) Menyiapkan peta wilayah DOB. Peta wilayah dibuat sesuai kaidah pemetaan dari peta dasar nasional (RBI atau topografi) yang difasilitasi oleh lembaga teknis (Bakosurtanal atau Dinas Topografi TNI-AD untuk peta wilayah daratan dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk peta wilayah kepulauan) dan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri, 2) Menyiapkan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan (toponim) yang menjadi cakupan calon provinsi pada peta wilayahdob provinsi, 3) Menyiapkangaris batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi (toponim), 4) Menyiapkan daftar nama kecamatan dan desa/kelurahan atau nama lain yang menjadi cakupan calon kabupaten/kota (toponim) pada peta wilayah DOB kabupaten/kota, 5) Menyiapkan garis batas wilayah calon kabupaten/kota, nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah kecamatan di kabupaten/ kota di provinsi yang sama, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga, yang berbatasan langsung dengan calon kabupaten/kota (toponim).

121 Ditolak Aspirasi masyarakat (keputusan BPD) Bupati/Walikota Kajian Daerah Setuju DPRD Kab/Kota Keputusan DPRD Kab/Kota Setuju Ditolak Dok.Aspirasi masyarakat 5) Peta wilayah calon kab/kota Keputusan Bupati/ Walikota 1) 2) Gubernur Keputusan DPRD Kab/Kota 3) Setuju DPRD Provinsi Hasil kajian daerah 4) 6) Keputusan Gubernur 7) Keputusan DPRD Provinsi Keputusan persetujuan DPRD Provinsi Membentuk tim untuk melakukan penelitian dan bahan rekomendasi Mendagri Saran dan pertimbangan Sidang DPOD Tim teknis DPOD melakukan klarifikasi dan penelitian Presiden Mendagri menyiapkan RUUPD + Peta wilayah DOB DPR UUPD + Peta wilayah DOB Peresmian DOB oleh Pemerintah + penyerahan peta wilayah DOB Gambar 5.2. Kerangka kerja pembentukan daerah kabupaten/kota menurut PP No.78 tahun 2007

122 Berdasar persyaratan pembentukan daerah pada PP. No.78 tahun 2007 terlihat bahwa IG sudah difahami arti pentingnya dalam tahap penetapan batas daerah pada proses pembentukan DOB. Hal ini diperkuat dari penjelasan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Penataan Wilayah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah pada saat diwawancara yang menyatakan sebagai berikut (Endarto, 2013):... setelah PP. No.78 tahun 2007, sejak awal dalam proses pembuatan undang-undang pembentukan daerah, peta dasar sudah menjadi persyaratan. Peta wilayah daerah yang diusulkan dibuat dengan dasar peta RBI dengan batas-batasnya harus mendapat persetujuan dan legalitas oleh kabupaten atau provinsi yang bersebelahan dan secara teknis difasilitasi oleh BIG (Geospasial). Peta wilayah yang diajukan harus sudah mendapat persetujuan BIG. Mengacu kepada kerangka kerja pembentukan DOB dan pasal-pasal dalam PP No.78 tahun 2007, dapat diidentifikasi hal-hal sebagai berikut: 1) Isi PP No.78 tahun 2007 yang dibuat oleh politisi sudah mulai mengakomodasi kebutuhan IGhasil kerja profesional geospasial dalam persyaratan pembentukan DOB, 2) Proses penetapan batas sudah menggunakan peta dasar dan hasilnya berupa peta wilayah yang dibuat oleh profesional geospasial dan harus dikonsultasikan dan dilegalisir oleh Bakosurtanal. Walaupun demikian, kegiatan penetapan batas yang tahapannya adalah memilih letak dan mendefinisikan batas tidak dilakukan secara kartometrik oleh profesional pemetaan. Koordinat titik-titik batas tidak dicantumkan dalam peta wilayah DOB. Keterlibatan Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal hanya sebatas menggambarkan garis batas hasil kesepakatan di peta dasar sehingga diperoleh peta wilayah usulan DOB yang sudah sesuai dengan spesifikasi teknis peta wilayah DOB yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal (Khafid, 2013), 3) Kerangka kerja pembentukan DOB yang termasuk kegiatan penetapan batas daerah masih lebih didominasi kegiatan yang bersifat politis,

123 walaupun kegiatan yang bersifat profesional terutama geospasial sudah cukup diakomodasi. Oleh sebab itu, kerangka kerja penetapan batas daerah di Indonesia yang merujuk padakerangka kerja pembentukan DOB pada PP No.78 tahun 2007,masih dikategorikan sebagai kerangka kerja yang bersifat non-linear. V.1.3. Kerangka kerja penegasan batas daerah di Indonesia pada era OTDA Penegasan batas daerah di Indonesia pada era OTDA secara efektif dimulai tahun 2002 (Kemendagri, 2012). Pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri yang diberi mandat untuk melaksanakan penegasan batas daerah, mengeluarkan suatu regulasi yang dipakai sebagai pedoman penegasan batas daerah. Awalnya pedoman tersebut berupa Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. SE Mendagri No.126/2742/SJ tanggal 27 November 2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah tetapi kemudian diganti dengan Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011, penegasan batas daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri menggunakan pedoman Permendagri No.1 tahun 2006 (Santoso, 2013). Pada tahun 2012 Permendagri No.1 tahun 2006 diganti dengan Permendagri No.76 tahun 2012. Sesuai dengan fokus penelitian, diuraikan hasil identifikasi kerangka kerja penegasan batas daerah menurut Permendagri No.1 tahun 2006. Selain itu dibahas hasil tinjauan terhadap kerangka kerja Permendagri No.76 tahun 2012. 1. Kerangka kerja penegasan batas daerah menurut Permendagri No.1 tahun 2006 Secara prinsip, tahapan penegasan batas daerah menurut Peremendagri No.1 tahun 2006 terdiri atas 5 (lima) kegiatan yaitu: (1) Penelitian dokumen, (2)Pelacakan batas, (3) Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, (4) Pemasangan pilar batas, (5) Pembuatan peta batas. Secara lebih rinci, kerangka

124 kerja penegasan batas daerah antar dua Kabupaten/Kota merujuk kepada Permendagri No.1 tahun 2006 disajikan pada diagram di Gambar 5.3. Dalam Permendagri No.1 tahun 2006 disebutkan bahwa tahapan awal kegiatan penegasan batas daerah dimulai dengan pembentukan Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD) yang ditetapkan dengankeputusan kepala daerah masingmasing.tim ini antara lain terdiri atas unsur-unsur pemerintah daerah, instansi terkait, tokoh masyarakat dan perguruan tinggi.masing-masing TPBD melakukan inventarisasi dasar hukum tertulis maupun sumber hukum lain yang berkaitan dengan batas daerah yang bersangkutan, seperti peta dan perjanjian yang pernah dibuat sebelumnya. TPBD melakukan kajian bersama terhadap sumber-sumber hukum yang ada. Jika tidak ada sumber hukum yang disepakati, maka tim tersebut bermusyawarah untuk membuat kesepakatan baru dalam menentukan batas daerah. TPBDmembentuk tim teknis yang ditugasi melakukan kegiatan lapangan,menentukan garis batas sementara di atas peta yang disepakati, penyiapan formulir-formulir dan peta kerja, serta penentuan koordinat pilar batas di atas peta kerja. Sumber hukum penegasan batas daerah adalah: (a) dokumen-dokumen batas yang mungkin sudah pernah ada seperti staatsblad, nota dari residen zaman Belanda ataupun peraturan perundangan yang telah ada sebelumnya seperti undang-undang pembentukan daerah, atau kesepakatan-kesepakatan yang pernah ada termasuk peta-peta kesepakatan mengenai batas wilayah, (b) peta batas daerah yang merupakan lampiran undang-undang pembentukan daerah, peta minit (minuteplan), peta topografi/rupabumi atau peta-peta lain yang memuat tentang batas daerah yang bersangkutan, (c) kesepakatan antara dua daerah yang berbatasan yang dituangkan dalam dokumen kesepakatan penentuan batas daerah. Ketentuan di dalam Permendagri No.1 tahun 2006, dapat ditafsirkan bahwa tiap daerah diperlakukan sebagai para pihak seperti pada penegasan batas wilayah antar negara yang berfungsi sebagai batas kedaulatan. Bila merujuk kepada UU No.32 tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU No.23 tahun 2014, batas daerah berfungsi sebagai batas kewenangan pengelolaan wilayah daerah dalam rangka otonomi daerah.

125 BUPATI/ WALIKOTA A TPBD Kabupaten/ Kota A TPBD Kabupaten/ Kota B BUPATI/ WALIKOTA B PENELITIAN DOKUMEN R E D E L I M I T A S I P E N E G A S A N B A T A S Dokumen-dokumen batas yang pernah ada seperti: Staatsblad, nota dari residen, UUPD,atau kesepakatan-kesepakatan yang pernah ada termasuk peta-peta kesepakatan mengenai batas wilayah, peta minit (Minuteplan), peta topografi/rupabumi atau peta-peta lain yang memuat tentang batas daerah yang bersangkutan. Kesepakatan antara dua daerah yang berbatasan yang dituangkan dalam dokumen kesepakatan. PEMBUATAN PETA DASAR DELINIASI GARIS BATAS SECARA KARTOMETRIK PETA GARIS BATAS SEMENTARA PELACAKAN BATAS DI LAPANGAN PEMASANGAN PILAR BATAS PENGUKURAN DAN PENETUAN POSISI PILAR BATAS PEMBUATAN PETA BATAS LAPORAN PENEGASAN BATAS PERMENDAGRI TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH B e r i t a a c a r a k e s e p a k a t a n Verifi kasi oleh TPBD pusat Gambar 5.3. Kerangka kerja penegasan batas daerah menurut Permendagri No.1 tahun 2006

126 Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajibandaerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiriurusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakatsetempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 butir 6 UU No.23 tahun 2014). Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 13 UU No.23 tahun 2014 disebutkan bahwa wilayah administratif adalah wilayah kerja perangkat Pemerintah Pusat termasuk gubernur sebagai wakilpemerintah Pusat untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusatdi Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kotadalam melaksanakan urusan pemerintahan umum didaerah. Batas daerah di Indonesia bukan merupakan batas kedaulatan. Oleh sebab itu penegasan batas daerah seharusnya menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah Pusat. Hal ini juga sesuai dengan yang diamanatkan dalam setiap UUPD bahwa penegasan batas daerah DOB secara pasti dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Pemerintah Pusat). Dengan demikian pembentukan TPBD oleh masing-masing Pemerintah Daerah yang diatur dalam Permendagri No.1 tahun 2006 menjadi tidak relevan bila dikaitkan dengan UU No.32 tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU No.23 tahun 2004, serta tidak relvan dengan amanat UUPD. Selain itu, TPBD juga mempunyai tugas melakukan penelitian dokumen dan perundingan untuk mencapai kesepakatan batas daerah. Hal ini dapat ditafsirkan seolah-olah ada tahapan penetapan ulang atau re-delimitasi karena penetapan batas seharusnya sudah dilakukan pada saat pembentukan DOB. Proses redelimitasi ini sering memerlukan waktu lama dan berlarut-larut. Kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab lambatnya proses penegasan batas daerah di Indonesia. Data di Kemendagri menyebutkan bahwa selama 10 tahun (tahun 2002 sampai dengan tahun 2102) baru dapat ditegaskan 189 segmen batas daerah (127 Permendgri) dari jumlah seluruh segmen batas sebanyak 966 segmen (Subowo, 2012).

127 Merujuk kepada model kerangka kerja boundary making Jones seperti dikemukakan oleh Srebro dan Shoshany (2013), kewenangan re-delimitasi bukan merupakan kewenangan tim demarkator (profesional) tetapi kewenangan politisi, sehingga para demarkator (dalam hal ini Tim Penegasan Batas Daerah) seharusnya hanya diberi kewenangan untuk melakukan pekerjaan yang bersifat profesional survei pemetaan meliputi: pelacakan, pengukuran dan penentuan posisi titik batas secara geodetis serta pemetaan batas. Kegiatan penyesuaian akhir (final adjusment) batas hasil penetapan sesuai kondisi realitas lapangan dapat dilakukan tetapi bukan re-delimitasi. Dalam Permendagri No.1 tahun 2006 seharusnya tidak mencantumkan ketentuan tentang tahapan penelitian dokumen dan perundingan untuk mencapai kesepakatan. Proses penelitian dokumen terkait sejarah dan perundingan untuk mencapai kesepakatan seharusnya dilakukan pada saat tahap penetapan batas daerah pada proses peyusunan UUPD dalam rangka pembentukan DOB, bukan setelah DOB terbetuk. Adanya proses re-delimitasi pada tahap penegasan batas daerah merupakan indikasi bahwa kerangka kerja penegasan batas daerah adalah bersifat non-linear, karena kerangka kerjalinear menurut Jones (dalam Donaldson dan Williams, 2008) adalah tahapan yang berkesinambungan (sistematik). Pada tahap penegasan seharusnya langsung dilakukan kegiatan pelacakan batas kemudian pengukuran penentuan posisi pilar batas dan pemetaan koridor sepanjang garis batas. 2. Pelaksanaan penegasan batas daerah sesuai Permendagi No.1 tahun 2006 Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Permendagri No.1 tahun 2006, tahapan pelaksanaan penegasan batas daerah harus diawali dengan melakukan penetapan ulang (re-delimitasi). Setelah diperoleh kesepakatan posisi garis batas selanjutnya dilakukan penegasan di lapangan yang secara teknis dilakukan dengan metode geodesi. Pelaksanaan teknis penegasan batas daerah dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri c.q. Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan dengan melibatkan TPBD yang bersangkutan. Dalam pelaksanaanya dilibatkan pihak ketiga yaitu konsultan pemetaan yang ditunjuk melalui mekanisme lelang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

128 tentang pengadaan jasa. Pelaksanaan penegasan batas daerah yang dilakukan setelah redelimitasi oleh Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan disajikan dalam diagram alir Gambar 5.4 (disarikan dari hasil wawancara dengan Kepala Sub Direktorat Wilayah II Bapak Drs. Heru Santoso (Santoso, 2013). PELACAKAN BATAS DAERAH SURVEI LAPANGAN PEMETAAN Pengukuran dan deskripsi pilar batas Pengukuran posisi pilar batas (GPS) Hitungan koordinat titik batas Kartografi peta batas daerah BASISDATA BATAS DAERAH OUTPUT DOKUMEN STATIK DOKUMEN DINAMIK/PEMELIHARAAN Laporan penegasan batas daerah Peta batas daerah lampiran Permendagri ttg penegasan batas Sistem Adminis trasi batas Updating batas daerah Permendagri tentang penegasan batas daerah Gambar 5.4. Pelaksanaan teknis penegasan batas daerah menurut Permendagri No.1 tahun 2006 yang dilakukan setelah re-delimitasi(santoso, 2013)

129 Merujuk pada pelaksanaan penegasan batas wilayah menurut Jones, kegiatan penegasan batas daerah yang dilakukan oleh Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan Kementrian Dalam Negeri, urutan langkahnya sudah sesuai dengan langkah-langkah yang ada pada tahapan penegasan batas wilayah menurut Jones. Perbedaan antara penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 dengan tahapan demarkasi batas wilayah menurut Jones disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Perbedaan penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 dengan demarkasi batas negara versi teori boundary making Jones (1945) No. Penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 1 Ada tahapan redelimitasi 2 Terlebih dahulu dibentuk TPBD Demarkasi versi boundary making Jones (1945) Langsung dilakukan demarkasi Terlebih dahulu dibentuk Komite Survei Demarkasi Bersama (Joint Survey Demarcation Committe) yang merupakan bagian dari Joint Boundary Commission (JBC) Keterangan Permendagri No.1 tahun 2006 menyimpang dari tahapan demarkasi pada teori Jones. Ada pengulangan tahapan sehingga menyimpang dari azaz berkesinambungansistemetik. Oleh sebab itu kerangka kerja penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 menjadi bersifat non linear. Mengingat fungsi batas daerah yang berbeda dengan batas negara, maka pembentukan TPBD oleh masingmasing daerah menjadi tidak relevan dan menyalahi ketentuan UU No.32 tahun 2004 maupun UU No.23 tahun 2014.

130 No. Penegasan batas daerah versi Permendagri No.1 tahun 2006 3 Fungsi batas daerah: pemisah kewenangan pengelolaan wilayah antar daerah otonom di dalam NKRI dalam rangka otonomi daerah Tabel 5.1Lanjut Demarkasi versi boundary making Jones (1945) Fungsi batas negara: pemisah kedaulatan dan hak berdaulat satu negara terhadap negara lain Keterangan Perbedaan fungsi antara batas daerah dengan batas negara, seharusnya juga dibuat kebijakan dan peraturan penegasan batas daerah yang berbeda dengan demarkasi batas negara. Pada periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2009, penegasan batas daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri menggunakan Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Batas daerah yang ditegaskan meliputi batas daerah untuk Daerah yang dibentuk sebelum era otonomi daerah (tahun 1950 sampai dengan tahun 1999) maupun batas daerah untuk Daerah yang dibentuk setelah era otonomi daerah (tahun 2000 sampai dengan tahun 2009). Prioritas penegasan batas dilakukan pada segmen batas daerah untuk Daerah yang dibentuk sebelum era OTDA dan segmen batas daerah untuk Daerah yang dibentuk periode tahun 1999 sampai tahun 2007 (Santoso, 2013). Selama pelaksanaan penegasan batas daerah, sampai dengan akhir tahun 2009 dilaporkan ada 59 kasus sengketa batas daerah terdiri atas 42 kasus sengeketa batas antar kabupaten/kota dan 17 kasus sengketa antar provinsi (Pakpahan, 2011). Banyaknya sengketa yang terjadi tersebut adalah dampak yang terjadi secara berturutan akibat dari kerangka kerja penetapan batas daerah yang bersifat non-linear kemudian menghasilkan peta wilayah lampiran UUPD yang tidak memadai untuk penegasan batas dan akhirnya terjadi sengketa posisional

131 batas daerah. Secara lebih rinci penyebab sengketa batas daerah dibahas pada Bab V.5.1. Penegasan segmen batas daerah untuk Daerah yang dibentuk tahun 2008 sampai tahun 2009 baru dilakukan mulai tahun 2011 (Santosa, 2013). Rekapitulasi data penegasan batas daerah untuk segmen batas daerah yang dibentuk tahun 2008 sampai tahun 2009 disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Rekapitulasi data penegasan batas daerah untuk segmen batas daerah yang dibentuk tahun 2008 sampai tahun 2009 (Sumber : Khafid, 2013) Batas daerah Provinsi Kabupaten Keterangan /kota Jumlah segmen 21 158 Sudah selesai ditegaskan, 1 3 terbit Permendagri Masih proses penegasan 14 59 10 segmen bermasalah Belum dilakukan penegasan 6 96 Merujuk pada Tabel 5.2, penegasan batas daerah yang dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri sampai akhir tahun 2012, dari 59 segemen batas daerah kabupaten/kota produk UUPD tahun 2008 sampai tahun 2009 yang ditegaskan, terdapat 10 segemen yang bermasalah (Khafid, 2013). Menurut Santosa (2013), permasalahan yang terjadi lebih disebakan oleh faktor kepentingan. Hal tersebut dimungkinkan karena penegasan batas daerah masih mengacu pada Permendagri No.1 tahun 2006 yang mengakomodasi Daerah sebagai para pihak sehingga adanya faktor kepentingan bisa mempermasalahkan posisi batas yang telah disetujui. 3. Tinjauan kerangka kerja Permendagri No.76 tahun 2012 Menyadari bahwa penggunaan Permendagri No.1 tahun 2006 ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kurang memadai dalam proses percepatan penegasan batas daerah, maka Permendagri No.1 tahun 2006 kemudian diganti dengan Permendagri No.76 tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Dalam Permendagri yang baru ini, penegasan batas

132 daerah dilakukan melalui tahapan: (1) penyiapan dokumen;(2)pelacakan batas; (3) pengukuran dan penentuan posisi batas; dan (4) pembuatan peta batas. Kata penelitian dokumen pada Permendagri No.1 tahun 2006, pada Permendagri No.76 tahun 2012 diganti dengan kata penyiapan dokumen, yaitu meliputi penyiapan: a. peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah; b. peta dasar; dan/atau c. dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi yang disepakati para pihak. Perubahan yang mendasar pada Permendagri No.76 tahun 2012 dibandingkan Permendagri No.1 tahun 2006 adalah menghilangkan kegiatan redelimitasi, namun demikian dalam Permendagri No.76 tahun 2012, Pemerintah Daerah tetap dianggap sebagai para pihak sebagaiman disebutkan dalam Pasal 1 ayat (7), (8), (9) dan (10) berikut: 1. Tim Penegasan Batas Daerah Pusat yang selanjutnya disebut Tim PBD Pusat adalah Tim yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri. 2. Tim Penegasan Batas Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Tim PBD Provinsi adalah Tim yang dibentuk oleh Gubernur. 3. Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Tim PBD Kabupaten/Kota adalah Tim yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. 4. Para pihak adalah Tim PBD Kabupaten/Kota dan/atau Tim PBD Provinsi yang berbatasan dan/atau Tim PBD Pusat. Perlakuan bahwa Pemerintah Daerah dianggap sebagai para pihak dalam konteks penegasan batas daerah adalah kurang relevan dengan UU No.32 tahun 2004 maupun undang-undang penggantinya yaitu UU No.23 tahun 2014. Oleh sebab itu, sehubungan terbitnya undang-undang pemerintahan daerah yang baru yaitu UU No.23 tahun 2014, maka Permendagri No.76 tahun 2012 sebaiknya juga direvisi dengan mengikuti ketentuan pada undang-undang yang baru. Perubahan mendasar yang lain pada Permendagri No.76 tahun 2012 dibandingkan Permendagri No.1 tahun 2006 adalah penegasan batas daerah tidak

133 selalu harus dilakukan dengan metode survei lapangan, namun dapat dilakukan secara kartometrik di atas peta dasar. Metode kartometrik ini diharapkan dapat mengurangi kegiatan survei lapangan yang biasanya memerlukan dana besar dan waktu relatif lama pada kondisi medan yang sulit dijangkau. V.2. Pengelompokan UUPD beserta peta lampiran UUPD Sebelum dibahas tentang hasil identifikasi kondisi IG dalam penetapan batas daerah, terlebih dahulu disajikan hasil pengelompokan data UUPD beserta peta wilayah lampiran UUPD yang bersangkutan. Data UUPD dikelompokan menjadi dua yaitu data UUPD yang dibentuk atas dasar PP No.129 tahun 2000 dan UUPD yang dibentuk atas dasar PP No.78 tahun 2007. DOB yang dibentuk dalam periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2009 berjumlah 205 dengan rincian 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Data pembentukan 205 DOB tersebut termuat dalam 127 dokumen UUPD karena dalam satu naskah UUPD ada yang berisi lebih dari satu pembentukan DOB. Dokumen UUPD antara lain berisi peta lampiran UUPD dan peta lampiran UUPD selalu berkaitan dengan batas daerah dan IG. Berdasar analisis yang dilakukan terhadap data tersebut, diidentifikasi bahwa pada periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2009 tidak semua DOB dibentuk dengan dasar UU No.22 tahun 1999 dengan persyaratan pembentukan DOB menurut PP. No.129 tahun 2000 dan UU No.32 tahun 2004 dengan persyaratan pembentukan DOB menurut PP. No.78 tahun 2007. Terdapat 11 DOB yang dibentuk dengan dasar UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan 34 DOB yang dibentuk dengan dasar UU No.22 tahun 1999 namun tidak menggunakan PP. No.129 tahun 2000 karena PP tersebut belum terbit. Mengacu pada fokus penelitian, data yang dipilih untuk diteliti adalah UUPD yang dibentuk atas dasar persyaratan pembentukan DOB menurut PP. No.129 tahun 2000 dan persyaratan pembentukan DOB menurut PP. No.78 tahun 2007. Rangkuman hasil pengelompokan UUPD beserta peta lampiran UUPD yang

134 dibentuk dengan dasar PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007 yaitu yang diundangkan pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Pengelompokan UUPD beserta peta lampiran UUPD yang diundangkan pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 Periode tahun pembentukan DOB Dasar pembentukan DOB Th.2000 s.d. th. 2003 UU No. 22 th.1999 Th. 2007 UU No. 32 th. 2004 Th. 2008 s.d. th.2009 UU No. 32 th. 2004 Jumlah 2 UU Persyaratan pembentukan DOB PP. No. 129 th. 2000 PP. No. 78 th. 2007 2 PP Jumlah DOB 103 25 32 160 Jumlah peta wilayah lampiran UUPD yang diperoleh 93 25 32 150 (Sumber: dianalisis dari data yang dikumpulkan) Merujuk pada hasil analisis data dalam Tabel 5.3, asesmen peran IG dalam penetapan batas daerah dikelompokan menjadi dua yaitu: (1) asesmen peran IG yang dibentuk dengan dasar PP No. 129 tahun 2000, (2) asesmen IG yang dibentuk dengan dasar PP No.78 tahun 2007. Berlakunya PP No.129 tahun 2000 dibagi dalam dua periode yaitu tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 dengan jumlah DOB sebanyal 103 dan periode tahun 2007 berjumlah 25 DOB. Sesuai fokus penelitian, pembentukan DOB pada masa berlakunya PP No.78 tahun 2007 hanya difokuskan pada pembentukan DOB pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, walaupun setelah tahun 2009 terjadi pembentukan DOB yang didasarkan atas PP No.78 tahun 2007. Peta wilayah lampiran UUPD seharusnya berjumlah sama dengan jumlah DOB, namun untuk periode tahun 2000 sampai tahun 2003 yang seharusnya ada 103 peta, hanya diperoleh 93 peta wilayah lampiran UUPD. Untuk peta wilayah lampiran UUPD periode tahun 2007 yang berjumlah 25 peta semuanya dapat diperoleh dan untuk 32 peta wilayah lampiran UUPD periode tahun 2008 sampai

135 dengan tahun 2009 semuanya dapat diperoleh. Secara keseluruhan peta wilayah lampiran UUPD yang diteliti adalah berjumlah 150 peta atau sekitar 94 %dari 160 peta yang seharusnya ada. Sebagai luaran penetapan batas daerah, maka peta wilayah lampiran UUPD selalu terkait dengan IG yang digunakan dalam penetapan dan selalu terkait dengan posisi garis batas daerah yang digambarkan di dalamnya. Di sisi lain, penetapan batas daerah pada dasarnya merupakan bagian dari proses pembentukan DOB, sehingga kerangka kerja tahapan penetapan batas daerah juga sangat dipengaruhi oleh kerangka kerja pembentukan DOB yang diatur dalam PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007. Peran IG dalam tahap penetapan diidentifikasi atas dasar kondisi IG meliputi ketersediaan dan kualitas peta RBI, penggunaannya dalam proses penetapan batas daerah dan kondisi peta wilayah lampiran UUPD bila digunakan untuk penegasan batas daerah. V.3.Indentifikasi kondisi IG dalam penetapan batas daerah IG yang diidentifikasi hanya difokuskan pada kondisi peta rupabumi (peta RBI) meliputi ketersediaan atas dasar skala dan kualitasnya pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007. V.3.1. Kondisi IG pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000 Kondisi IG dibagi dalam dua periode yaitu periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 dan perode tahun 2007. 1. Ketersediaan peta dasar pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 Sebaran ketersediaan peta RBI pada tahun 2000, 2001, 2002 dan tahun 2003 disajikan pada Gambar 5.5. sampai dengan Gambar 5.8.

136 Gambar 5.5. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2000 (Sumber: PPRT-BIG, 2013) Gambar 5.6. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2001 (Sumber: PPRT-BIG, 2013).

137 Gambar 5.7. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2002 (Sumber: PPRT-BIG, 2013) Gambar 5.8. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2003 (Sumber: PPRT-BIG, 2013)

138 Ketersediaan peta RBI dikaitkan dengan pembentukan DOB di tiap provinsi pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 disajikan dalam Tabel 5.4. Tabel 5.4. Ketersediaan peta RBI periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 di tiap provinsi yang terjadi pembentukan DOB No. Provinsi Peta RBI Jumlah DOB yang dibentuk 25 K 50 K 250 K Kabupaten Kota Provinsi 1. Nanggro Aceh 6 2 0 Darussalam 2. Sumatera Utara 5 1 0 3. Sumatera Barat 3 1 0 4. Kepulauan Riau 1 1 1 5. Bengkulu 5 0 0 6. Sumatera Selatan 4 3 0 7. Bangka-Belitung 4 0 1 8. Jawa Barat 0 3 0 9. Banten 0 0 1 10. Jawa Timur 0 1 0 11. NTB 1 1 0 12. NTT 2 0 0 13. Kalimantan Barat 2 1 0 14. Kalimantan 2 0 0 Selatan 15. Kalimantan 8 0 0 Tengah 16. Kalimantan 1 0 0 Timur 17. Sulawesi Utara 3 1 0 18. Gorontalo 2 0 1 19. Sulawesi Tengah 2 0 0 20. Sulawesi Selatan 1 1 0 21. Sulawesi Barat 2 0 1 22. Sulawesi 4 1 0 Tenggara 23. Maluku 3 0 0 24. Maluku Utara 4 1 0 25. Papua 10 0 0 26. Papua Barat 5 0 0 Jumlah DOB 80 18 5

139 Catatan notasi pada Tabel 5.4., K artinya kedar atau perbandingan 1/1000, 25 K = 1:25.000,50 K= 1:50.000, 100 K = 1:100.000 dan 250 K = 1:250.000. Tanda artinya tersedia Pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003, pembentukan DOB terjadi di 26 provinsi yang secara keseluruhan berjumlah 103 DOB terdiri atas 80 kabupaten, 18 kota dan 5 provinsi. Berdasar data yang ada pembentukan DOB yang paling banyak terjadi pada tahun 2003 yaitu sebanyak 49 DOB. Pada periode ini ketersediaan peta RBI bervariasi. Di Wilayah Sumatera pada umumnya di setiap provinsi sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan di beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Sumatera dan Bangka Belitung sudah tersedia peta RBI skala 1: 50.000, kecuali di Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD) tidak tersedia peta RBI untuk semua skala. Namun demikian di Wilayah Sumatera termasuk di provinsi NAD tersedia peta Topografi TNI-AD skala 1:50.000. Di wilayah Pulau Jawa, Bali, NTB dan NTT tersedia peta RBI skala 1:25.000. Di wilayah Pulau Kalimantan pada umumnya sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan bahkan di Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan sudah tersedia peta RBI skala 1:50.000. Demikian juga di wilayah bagian timur Indonesia meliputi Provinsi Maluku dan Provinsi Papua Barat sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000. Hanya di Provinsi Papua yang belum tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan skala 1:50.000, namun tersedia peta topografi TNI-AD skala 1:50.000 dan 1:100.000. Berdasar hasil asesmen terhadap ketersediaan peta dasar seperti telah diuraikan sebelumnya, pada periode tahun 2000 sampai tahun 2003 sebenarnya tersedia peta dasar yang cukup memadai bila digunakan untuk mendukung penetapan batas daerah dalam proses pembantukan DOB, tetapi karena regulasi PP No.129 tahun 2000 tidak mensyaratkan penggunaan peta dasar, maka peta dasar yang tersedia tidak digunakan dalam proses pembentukan DOB. 2. Ketersediaan peta dasar pada tahun 2007 Pada tahun 2007 ketersediaan peta RBI sudah lebih lengkap dibanding periode tahun 2000 sampai tahun 2003. Ketersediaan peta RBI pada tahun 2007 di provinsi yang terjadi pembentukan DOB disajikan pada Gambar 5.9.

140 Gambar 5.9. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 tahun 2007 (Sumber: PPRT-BIG, 2013) Hasil identifikasi ketersediaan peta RBI pada tahun 2007 dikaitkan dengan pembentukan DOB di tiap provinsi pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5. Ketersediaan peta RBI tahun 2007 di provinsi yang terjadi pembentukan DOB No. Provinsi Peta RBI Jumlah DOB yang Dibentuk 25 K 50 K 250 K Kabupaten Kota Provinsi 1. Nanggro Aceh 1 1 0 Darussalam 2. Sumatera 3 0 0 Utara 3. Sumatera 1 0 0 Selatan 4. Lampung 1 0 0 5. Banten 0 1 0

141 Tabel 5.5Lanjut No Provinsi Peta RBI Jumlah DOB yang Dibentuk 25 K 50 K 250 K Kabupaten Kota Provinsi 6. NTT 4 0 0 7. Kalimantan 2 0 0 Barat 8. Kalimantan 1 0 0 Timur 9. Sulawesi 3 1 0 Utara 10. Gorontalo 1 0 1 11. Sulawesi 2 0 0 Tenggara 12. Maluku 0 1 0 13. Papua 1 0 0 Jumlah 20 4 1 Pada tahun 2007, pembentukan DOB hanya terjadi pada 13 provinsi yang secara keseluruhan berjumlah 25 DOB terdiri atas 20 kabupaten, 4 kota dan 1 provinsi. Pada tahun 2007 payung hukum pembentukan DOB adalah UU No.32 tahun 2004, tetapi untuk persyaratan pembentukan DOB tetap mengacu pada PP No.129 tahun 2000. Pada 13 provinsi yang terjadi pemekaran daerah, pada umumnya sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan 1: 50.000, kecuali di Provinsi Maluku yang hanya tersedia peta RBI skala 1:250.000. Namun demikian di Provinsi Maluku tersedia peta Topografi TNI-AD skala 1:100.000. Demikian juga di Provinsi Papua selain sudah tersedia peta RBI skala 1:50.000 dan 1:250.000, juga tersedia peta topografi TNI-AD skala 1:50.000 dan 1: 100.000. Sebelum berlakunya UU No.4 tahun 2011 tentang IG, secara kelembagaan belum diatur lembaga pemerintah yang berwenang sebagai penyelenggara IG dasar termasuk peta dasar. Pada periode sebelum tahun 2011, selain Bakosurtanal yang membuat peta RBI, ada instansi Direktorat Topografi TNI-AD yang membuat peta topografi skala 1:100.000 dan 1:50.000 untuk sebagian besar wilayah Indonesia yang digunakan untuk kepentingan militer. Peta topografi yang dibuat oleh Direktorat Topografi TNI-AD, karena unsur-unsur muka bumi yang disajikan juga bersifat umum maka peta topografi tersebut sering digunakan

142 sebagai peta dasar dalam berbagai aplikasi termasuk dalam survei dan demarkasi batas wilayah (Asmoro, 1980; Rais, 2002). Berdasar peta sebaran ketersediaan peta RBI pada Gambar 5.5. sampai dengan Gambar 5.8. terlihat bahwa pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007, Bakosurtanal tidak memproduksi peta RBI skala 1:100.000, namun Direktorat Topografi TNI-AD memproduksi peta topografi 1:50.000 untuk sebagian besar wilayah Indonesia dan skala 1:100.000 untuk Wilayah Papua (Dit. Top. TNI-AD, 2013), oleh karena itu untuk daerah yang belum tersedia peta RBI maka peta topografi TNI-AD dapat digunakan. 3. Kualitas peta RBI pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 Dalam hal kualitas peta RBI, pada penelitian ini tidak dilakukan uji kualitas peta RBI dengan pertimbangan bahwa peta RBI sebagai suatu produk resmi pemerintah, dalam pembuatannya tentu sudah dilakukan kontrol kualitas. Hal ini sesuai dengan keterangan hasil wawancara yang diberikan oleh Kepala Pusat Pemetaan Rupa Bumi dan Toponimi Badan IG (PPRT-BIG) Ir. Edwin Hendrayana yang menyatakan bahwa (Hendrayana, 2013): 1) Kontrol kualitas peta RBI sudah dilakukan mulai dari kegiatan survei pengukuran di lapangan dengan berbagai metode dan teknologi untuk mendapatkan data topografi, tahap pengolahan data, tahap penyajian dan sampai tahap produksi. 2) Pada tahap pengukuran dan pengolahan data ada spesifikasi teknis atau Kerangka Acuan Kerja(KAK) yang harus diikuti, tergantung metode yang digunakan dalam pengukuran dan pengolahan datanya. 3) Pada produk akhir peta RBI, sebelum dipublikasi juga dilakukan kontrol kualitas dengan mengetrapkan standar akurasi peta, yaitu:

143 Standar akurasi peta yang dipakai Bakosurtanal (BIG) Akurasi posisi horisontal RMSE posisi horisontal titik cek harus lebih kecil atau sama dengan 0,3 mm x angka skala peta Akurasi peta Akurasi posisi vertikal Sembilan puluh persen titik ketinggianyang diplot harus berada pada 0,25 x interval kontur 4) Pembuatan peta RBI skala 1:25.000, 1:50.000 dan skala 1: 250.000 dalam hal penyajian dan pencetakan, setelah tahun 2000 dan sebelum tahun 2010 sudah harus mengikuti SNI (Standar Nasional Indonesia) dari Badan Standar Nasional (BSN), yaitu SNI 19.6502.0-2000 untuk skala 1:25.000, SNI 19.6502.3-2000 untuk skala 1:50.000 dan SNI 19.6502.4-2000 untuk skala 1:250.000. 5) Dalam proses pembuatan peta RBI, pencantuman nama-nama unsur geografis (toponim) sebagai salah satu unsur pada peta RBI dilakukan merujuk kepada pedoman yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (TNPNR) dan dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan Pemerintah Daerah. Berdasar keterangan yang disampaikan oleh Kepala PPRT BIG tersebut, dapat diasumsikan bahwa kualitas peta RBI yang dipublikasi oleh Bakosurtanal atau BIG sudah memenuhi syarat untuk mendukung kegiatan boundary making batas daerah di Indonesia. V.3.2. Kondisi IG pada periode berlakunya PP No.78 tahun 2007 1. Ketersediaan peta dasar pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun2009 Ketersediaan IG berupa peta RBI pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada Gambar 5.10 dan Gambar 5.11.

144 Gambar 5.10. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 pada tahun 2008 (Sumber: PPRT-BIG, 2013) Gambar 5.11. Indeks ketersediaan peta RBI skala 1:250.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 pada tahun 2009 (Sumber: PPRT-BIG, 2013)

145 Mulai tahun 2008 ketersediaan peta RBI sudah semakin lengkap. Dimulai peta indeks peta RBI tahun 2008 dan tahun 2009 (Gambar 5.10 dan Gambar 5.11) ketersediaan peta RBI skala 1:50.000 sudah semakin bertambah, seperti di Pulau Sumatera, seluruh area di Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Maluku serta di Papua Barat. Dengan demikian ketersediaan peta RBI pada periode ini sudah memadai untuk mendukung boundary making batas daerah di Indonesia. Ketersediaan peta RBI tahun 2008 sampai tahun 2009 di provinsi yang terjadi pembentukan DOB disajikan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6. Ketersediaan peta RBI tahun 2008 sampai 2009 di provinsi yang terjadi pembentukan DOB No. Provinsi Peta RBI Jumlah DOB yang dibentuk 25 K 50 K 250 K Kabupaten Kota Provinsi 1. Sumatera Utara 4 1 0 2. Riau 1 0 0 3. Kepulauan Riau 1 0 0 4. Jambi 0 1 0 5. Bengkulu 1 0 0 6. Lampung 3 0 0 7. Banten 0 1 0 8. NTB 1 0 0 9. NTT 1 0 0 10. Sulawesi Utara 2 0 0 11. Sulawesi 1 0 0 Tengah 12. Sulawesi selatan 1 0 0 13. Maluku 2 0 0 14. Maluku Utara 1 0 0 15. Papua 8 0 0 16. Papua Barat 2 0 0 Jumlah 29 3 0 Pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, pembentukan DOB terjadi di 16 provinsi yang secara keseluruhan berjumlah 32 DOB terdiri atas 29 kabupaten dan 3 kota. Pada 16 provinsi yang terjadi pemekaran daerah, sudah tersedia peta RBI skala 1:250.000 dan 1:50.000 dan khusus di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara sudah tersedia peta RBI skala 1:25.000. Pada periode ini tidak

146 terdapat pembentukan daerah provinsi. Untuk pembentukan daerah kabupaten dan kota ketersediaan peta RBI skala 1:50.000 sudah sangat memadai bila mengacu kepada Standar Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009 seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya. 2. Kualitas peta RBI pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 Sama seperti kondisi peta RBI periode tahun 2000 sampai tahun 2007, pada peta RBI periode tahun 2008 sampai tahun 2009 juga tidak dilakukan uji kualitas peta RBI dengan pertimbangan yang sama seperti telah diuraikan pada sub bab V.3.2. Peta RBI yang tersedia pada tahun 2008 dan tahun 2009 dalam pembuatan dan produksinya sudah mengikuti Standar Nasional Indonesia dari BSN. Untuk peta RBI skala 1: 25.000 mengikuti SNI 19-6502.2-2000, untuk peta RBI skala 1; 50.000 mengikuti SNI 19-6502.3-2000 dan untuk peta RBI skala 1: 250.000 mengikuti SNI 19-6502.4-2000(Hendrayana, 2013). V.4. Evaluasi penggunaan IG dalam penetapan batas daerah Penggunaan IG dalam penetapan batas daerah difokuskan pada penggunaan peta RBI, sedangkan IG sebagai luaran dari proses penetapan batas daerah adalah peta wilayah administrasi lampiran UUPD. V.4.1. Penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah pada masa berlakunya PP No.129 tahun 2000 Penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah dalam rangka pembentukan DOB pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dievaluasi atas dasar dua hal, pertama, atas dasar regulasi persyaratan pembentukan DOB dan kedua, atas dasar penggunaannya untuk memilih letak dan mendefinisikan batas daerah secara kartometrik.

147 1. Regulasi penggunaan peta dasar untuk penetapan batas daerah Regulasi persyaratan pembentukan DOB pada periode tahun 2000 sampai tahun 2007 adalah PP No.129 tahun 2000. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa kerangka kerja penetapan batas daerah pada regulasi PP No.129 tahun 2000 teridentifikasi bersifat non-linear, sehingga aspek IG tidak banyak digunakan. Dengan demikian walaupun peta dasar (peta RBI dan peta Topografi TNI-AD) tersedia untuk skala yang diperlukan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tetapi karena regulasi yang ada tidak mensyaratkan menggunakan peta dasar, maka peta dasar tidak digunakan dalam proses penetapan batas DOB. 2. Penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah secara kartometrik Kegiatan delimitasi (penetapan) batas meliputi dua tahap yaitu: (a) memilih letak garis batas dan (b) mendefinisikan titik-titik dan garis batas pada peta. Dua kegiatan tersebut pada dasarnya merupakan kegiatan kartometrik di atas peta dasar. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa secara regulasi penetapan batas bersifat non-linear, sehingga peta dasar tidak digunakan sebagai infrastruktur dalam proses penetapan batas DOB. Dengan demikian kegiatan memilih letak dan mendefinisikan batas daerah secara kartometrik tentunya juga tidak dilakukan di atas peta dasar. Hal ini diperkuat dari hasil wawancara untuk klarifikasi dengan salah satu pejabat di Sub Direktorat Penataam Wilayah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri yang menyatakan bahwa (Endarto, 2013):...Peta seadanya memang digunakan namun hanya untuk menentukan kedudukan secara relatif daerah yang dibentukan terhadap daerah tetangganya. Garis batas juga digambarkan, namun sama sekali tidak ditentukan secara tepat di atas peta... Walaupun secara kartometrik peta dasar tidak digunakan dalam proses penetapan batas daerah pada pembentukan DOB, namun bila dikaji dari narasi pasal tentang batas wilayah pada naskah UUPD, dapat ditafsirkan bahwa tahapan penetapan batas daerah yang dilakukan sudah mendekati kesesuaian dengan

148 tahapan delimitasi pada teori boundary making Jones (1945). Naskah UUPD khususnya pasal yang mengatur batas wilayah pada dasarnya merupakan produk akhir dari tahapan penetapan batas daerah, sehingga narasi tersebut tentunya merupakan hasil kesepakatan dalam proses penetapan batas daerah. Pasal batas wilayah pada UUPD produk periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 pada umumnya tertulis seperti disajikan pada Tabel 5.7. Tabel 5.7. Pasal batas wilayah pada UUPD periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 Ayat Periode tahun 2000 s.d. tahun 2007(berlakunya PP.No. 129 tahun 2000) (1) Kabupaten/Kota... mempunyai batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan...(misalnya kecamatan) b. sebelah timur berbatasan dengan... (misalnya laut) c. sebelah selatan berbatasan dengan... d. sebelah barat berbatasan dengan... (2) Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digambarkan dalam peta wilayah administrasi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini. (3) Penentuan batas wilayah Kabupaten/Kota... secara pasti di lapangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (Sumber: dikutip dari UUPD periode tahun 2000 s.d. tahun 2007 dengan tidak menyebutkan nama kabupaten/kota yang dibentuk) Pasal batas wilayah ayat (1) dapat ditafsirkan sebagai tahap memilih (choice of site). Dalam hal ini pilihan batas diletakan pada suatu area, bisa daratan seperti kecamatan atau area perairan seperti laut. Pada umumnya area tersebut belum didefinisikan dalam arti belum tegas batas-batasnya. Memperhatikan hal ini, dapat dipastikan bahwa pemilihan letak batas pada proses penetapan batas daerah pada saat pembentukan DOB pada periode tahun 2008 sampai tahun 2009 tentu tidak menggunakan kaidah teknis pemetaan seperti metode turning points walaupun sudah tersedia peta dasar yang memadai.

149 Ayat (2) pasal batas wilayah dituliskan: Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta wilayahyang tercantumdalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Mengacu pada teori boundary making Jones (1945), ayat(2) ini pada dasarnya juga dapat ditafsirkan sebagai tahap mendefinisikan batas secara lebih tepat di peta lampiran undang-undang, walaupun dalam kenyataannya deliniasi garis batas dilakukan pada peta seadanya dan posisi titik-titik batas tidak didefinisikan dengan koordinat. V.4.2. Kondisi peta lampiran UUPD pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000 IG pada luaran proses penetapan batas daerah adalah peta wilayah administrasi lampiran UUPD sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UUPD. Ada 118 lembar peta lampiran UUPD kabupaten dan kota yang diperoleh (ditemukan) yaitu 92 % dari 128 lembar peta lampiran UUPD yang seharusnya ada karena jumlah DOB yang dibentuk pada periode tahun 2000 sampai tahun 2007 adalah berjumlah 128 DOB. Asesmen untuk mengetahui kualitas IG pada luaran proses penetapan batas daerah dilakukan dengan tolok ukur Standar Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009. Rekapitulasi hasil asesmen selengkapnya disajikan pada Tabel 5.8. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam proses penetapan batas daerah, pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000 tidak mensyaratkan menggunakan peta dasar. Hal ini mengakibatkan 118 peta lampiran UUPD (92 %) yang diteliti, kualitasnya tidak sesuai dengan Standar Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom provinsi, kabupaten dan kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009. Ketidak-sesuaian tersebut terutama dalam hal tidak ada skala, tidak ada proyeksi peta dan sistem koordinat serta tidak dijelaskan datum geodetik yang digunakan.

150 Tabel 5.8. Rekapitulasi hasil asesmen peta lampiran UUPD tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 Klasifikasi hasil asesmen Daerah Keterangan hasil asesmen Provinsi Kabupaten Kota Jumlah Sesuai 0 0 0 0 Mencantumkan semua parameter sesuai spesifikasi dan digambar pada format A0 Tidak sesuai 0 96 22 118 Tidak mencantumkan secara keseluruhan parameter geometris dan tidak digambar pada format A0. Jumlah 0 96 22 118 Delineasi garis batas memang dilakukan tapi tidak definitif karena tidak ada koordinat titik-titik batas. Pada kondisi peta hasil penetapan batas seperti ini tentu sulit digunakan untuk melakukan transformasi titik-titk batas dari peta ke lapangan. Secara lebih rinci hasil asesmen kualitas peta wilayah lampiran UUPD untuk aspek yang bersifat geometris dan kelengkapan muatan peta adalah sebagai berikut: a. Skala peta Berdasar 118 peta wilayah yang diteliti, setelah dinilai dari aspek skala diperoleh hasil seperti Tabel 5.9.Pada tersebut ditunjukkan bahwa hanya 53 peta wilayah (45%) yang mencantumkan skala dan 65 (55%) tidak mencantumkan skala peta. Mengacu pada definisi peta seperti telah dijelaskan pada landasan teori, maka peta wilayah yang dilampirkan dalam UUPD dapat dikatakan hanya merupakan sketsa, bukan peta. Skala peta memegang peranan yang sangat penting karena pada dasarnya peta merupakan model miniatur dari permukaan bumi sehingga harus jelas hubungan geometris antara unsur yang digambarkan dalam peta dengan unsur sebenarnya di lapangan. Tidak adanya informasi skala dalam suatu peta berarti peta tersebut tidak dapat digunakan untuk melakukan analisis kartometrik misalnya mengukur jarak dan mengukur luas. Dalam kegiatan

151 penetapan dan penegasan batas daerah, analisis kartometrik selalu dilakukan misalnya mengukur panjang segmen batas atau mengukur luas kawasan di sekitar garis batas yang menjadi sengketa. Tabel 5.9. Peta wilayah pada lampiran UUPD periode tahun 2000 sampai tahun 2007 dievaluasi dari parameter skala peta No. Kelompok Jml Keterangan 1 Peta wilayah yang tidak mencantumkan skala peta 65 Peta wilayah dilampirkan dalam UUPD namun tidak ada skala 2 Peta wilayah yang mencantumkan skala 53 Peta wilayah dilampirkan dalam UUPD, mencantumkan skala peta namun skalanya sangat bervariasi peta Jumlah 118 Berdasar 53 peta yang mencantumkan skala, dapat dirinci variasi skala seperti Tabel 5.10. Tabel 5.10. Variasi skala peta wilayah administrasi lampiran UUPD periodetahun 2000 sampai dengan tahun 2007 No. Skala Kabupaten/Kota % 1 1 : 25.000 s.d. 1 : 50.000 0 0 2 < 1 : 50.000 s.d. 1 : 100.000 4 7,5 3 < 1 : 100.000 s.d. 1 : 250.000 12 22,6 4 < 1 : 250.000 s.d.1 : 500.000 23 43,4 5 < 1 : 500.000 s.d. 1 : 1.000.000 5 9,5 6 < 1 : 1.000.000 s.d. 1 : 3.000.000 9 17 Jumlah 53 100 Dalam Tabel 5.10 ditunjukkan bahwa sebagaian besar (92,5 %) peta wilayah administrasi lampiran UUPD kabupaten/kota dibuat pada skala lebih kecil dari 1:100.000, bahkan ada yang skalanya lebih kecil dari 1: 1.000.000. Hanya empat peta (8 %) yang dibuat pada skala antara 1: 50.000 sampai 1:100.000, namun skala ini juga diragukan kebenarannya karena untuk wilayah kabupaten/kota yang digambar pada format ukuran folio tetapi skalanya tertulis 1:50.000.

152 Dalam hal penggunaan peta untuk analisis kartometrik, bila terjadi kesalahan pengukuran panjang segmen batas di peta sebesar 1 mm pada peta skala 1:500.000, berarti terjadi kesalahan di lapangan sebesar 500.000 mm/sama dengan 500 m dan pada skala 1:1.000.000, kesalahannya bisa mencapai 1000 m. Hal seperti ini tentunya bisa menimbulkan masalah bila digunakan untuk penegasan batas di lapangan. b.datum geodetik, proyeksi peta dan sistem koordinat Pada 118 peta wilayah administrasi pada lampiran UUPD periode tahun 2000 sampai dengan 2007 seluruhnya tidak mencantumkan informasi datum geodetik dan sistem koordinat dan sistem proyeksi peta yang digunakan. Memang ada sebagian yang mencantumkan gratikul koordinat pada peta, namun karena datum geodetiknya tidak disebutkan maka bila peta tersebut digunakan untuk kegiatan penegasan batas di lapangan pasti terjadi kesulitan. Peta lampiran UUPD yang merupakan hasil delimitasi atau penetapan (aspek legal), fungsinya digunakan sebagai infrastruktur untuk mentransformasi batas hasil delimitasi ke batas sebenarnya di lapangan atau demarkasi (aspek teknis). Secara teknis survey pemetaan, mentransformasi titik-titik batas dan garis batas dari peta ke lapangan adalah kegiatan yang disebut staking out. Syarat suatu titik atau garis dapat di staking out adalah titik tersebut harus diketahui koordinat dan datum geodetiknya (Schofield, 2002). Apabila suatu titik diketahui koordinatnya namun datum geodetiknya tidak diketahui maka sulit untuk bisa ditegaskan di lapangan. Atau kalau tetap di staking out dengan menggunakan datum geodetik perkiraan maka terjadi pergeseran titik dari yang seharusnya (Abidin, dkk., 2005). Pergeseran tersebut bisa merugikan atau menguntungkan terhadap daerah tetangga. Hal ini yang berpotensi menimbulkan sengketa posisional dengan daerah tetangga. Merujuk pada pendapat Rimayanti dan Lukita (2010), pergeseran posisi titik batas sangat berpotensi menimbulkan konflik apabila di daerah perbatasan terdapat sumberdaya alam seperti sumur minyak atau gas. Berdasar pengalaman berbagai kasus seperti kasus sengketa batas antara Kabupaten Musi Rawas dengan Kabupaten Musi Banyuasin terkait sumur minyak Subhan 4 (Sutisna dan

153 Iskandar, 2011) dan sengketa batas antara Kabupaten Rokan Hulu dengan Kabupaten Kampar terkait beberapa sumur minyak di kawasan Langgak (LPPM- UIR, 2013), sengketa posisional batas tidak bisa terelakan. Untuk sistem koordinat,dari sejumlah 118 peta, hanya 25 peta yang mencantumkan gratikul koordinat dalam lintang dan bujur dengan selang 10, selebihnya sama sekali tidak mencantumkan gratikul koordinat apakah lintangbujur maupun parameter koordinat kartesian seperti (X,Y) atau (East, North). c. Kelengkapan muatan peta Kelengkapan muatan peta adalah unsur rupa bumi yang penting dan perlu digambarkan pada peta (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Pada peta lampiran UUPD kelengkapan peta yang penting adalah unsur perhubungan berupa jalan, unsur perairan sungai dan unsur relief dan kontur terutama terkait watershed. Unsurunsur tersebut selain diperlukan untuk pedoman dalam pelacakan batas di lapangan, biasanya juga digunakan sebagai batas wilayah (Jones,1945). Berdasar identifikasi yang dilakukan, hampir semua peta tidak menggambarkan unsurunsur tersebut. Toponim juga hanya mencantumkan nama-nama kabupaten/kota atau kecamatan. Kelengkapan informasi lain yang perlu ditampilkan di bagian informasi tepi peta seperti sumber peta, pembuat peta dan tahun pembuatan peta juga tidak ditemukan pada semua peta lampiran UUPD yang diteliti. Legenda yang ditampilkan hanya batas provinsi, batas kabupaten/kota dan batas kecamatan. Semua peta lampiran UUPD pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dibuat dengan format ukuran kertas folio, karena disesuaikan dengan format naskah UUPD (Endarto, 2013), sehingga hal ini tidak sesuai spesifikasi teknis yang seharusnya dibuat yaitu format A0. Hasil identifikasi informasi arah utara pada bagian informasi tepi peta, 118 peta wilayah administrasi lampiran UUPD periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 semuanya mencantumkan gambar orientasi arah utara, bahkan tidak hanya orientasi arah utara, namun juga digambarkan arah selatan, arah timur dan arah barat.

154 Peta lampiran UUPD sebenarnya adalah peta yang memiliki legal, artinya apa yang digambarkan pada peta tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mandatori (mengikat). Selain itu peta batas wilayah pada lampiran UUPD pada akhirnya secara teknis harus bisa ditegaskan (demarkasi) di lapangan. Untuk bisa digunakan sebagai dasar demarkasi di lapangan, maka peta batas wilayah lampiran UUPD harus memenuhi syarat-syarat secara teknis (survei pemetaan) untuk keperluan staking out seperti telah diuraikan sebelumnya. Salah satu contoh peta wilayah lampiran UUPD yang dihasilkan pada proses pembentukan DOB menggunakan PP No.129 tahun 2000 disajikan pada Gambar 5.12. Peta tersebut tidak mencantumkan skala, gratikul koordinat dan datum geodetik. Unsur rupa bumi alamiah seperti jalan, sungai, watersheed atau kontur juga tidak digambarkan. Toponim hanya menyebutkan nama-nama distrik dan nama ibu kota kabupaten, tetapi nama-nama unsur geografis alami tidak dicantumkan. Pada informasi tepi peta hanya terdapat legenda garis batas, yaitu batas negara, batas kabupaten dan batas distrik (kecamatan). Pada Gambar 5.12. deliniasi garis batas memang dilakukan tapi tidak definitif karena tidak ada koordinat titik-titik batas, sehingga pada kondisi peta hasil penetapan batas seperti ini tentu sulit digunakan untuk transformasi titik-titk batas dari peta ke lapangan. Walaupun secara yuridis disebut peta, namun bila mengacu pada definisi peta, gambar peta wilayah yang dilampirkan pada UUPD tersebut secara teknis belum bisa disebut peta. Beberapa contoh peta wilayah administrasi lampiran UUPD yang dibentuk atas dasar PP No.129 tahun 2000, disajikan pada Lampiran 3

Gambar 5.12. Contoh peta wilayah lampiran UUPD yang dihasilkan pada proses pembentukan DOB menggunakan PP No.129 tahun 2000 155

156 Berdasar hasil asesmen terhadap IG dalam proses penetapan batas daerah pada periode berlakunya PP No.129 tahun 2000, dapat diidentifikasi bahwa peta RBI tidak digunakan dalam proses penetapan batas daerah. Hal ini disebabkan oleh kerangka kerja penetapan batas daerah yang bersifat non-linear. Akibatnya, peta wilayah DOB lampiran UUPD hasil penetapan batas daerah pada periode ini kualitasnya tidak memenuhi syarat spesifiaksi teknis peta wilayah daerah otonom yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan tahun 2009. Dampak selanjutnya peta tersebut tidak memadai bila digunakan untuk penegasan batas daerah. V.4.3. Penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah pada masa berlakunya PP No.78 tahun 2007 Sama seperti penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah pada periode tahun 2000 sampai tahun 2007, maka pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah juga dianalisis atas dasar dua hal. Pertama, atas dasar regulasi persyaratan pembentukan DOB dan kedua, atas dasar penggunaannya untuk memilih letak dan mendefinisikan batas daerah secara kartometrik. 1. Regulasi penggunaan peta dasar untuk penetapan batas daerah Berdasar persyaratan pembentukan daerah pada PP No.78 tahun 2007 seperti telah diuraikan sebelumnya dapat diidentifikasi bahwa peta dasar harus digunakan dalam tahap penetapan batas daerah pada proses pembentukan DOB. Hal ini diperkuat dari penjelasan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Penataan Wilayah, Direktorat Jendral Otonomi Daerah pada saat diwawancara yang menyatakan sebagai berikut (Endarto, 2013):...setelah PP No.78 tahun 2007, sejak awal dalam proses pembuatan undang-undang pembentukan daerah, peta dasar sudah menjadi persyaratan. Peta wilayah daerah yang diusulkan dibuat dengan dasar peta RBI dengan batas-batasnya harus mendapat persetujuan dan legalitas oleh kabupaten atau provinsi yang bersebelahan dan secara teknis difasilitasi oleh BIG (Geospasial). Peta wilayah yang diajukan harus sudah mendapat persetujuan BIG.

157 2. Penggunaan peta dasar dalam penetapan batas daerah secara kartometrik Pada periode ini, sesuai dengan ketentuan dalam PP No.78 tahun 2007 peta RBI sudah digunakan untuk proses penetapan batas daerah, namun demikian dalam penelitian ini tidak dapat diperoleh informasi bagaimana secara teknis peta RBI digunakan untuk memilih letak batas. Peta wilayah usulan pembentukan DOB pada umumnya dibuat atau difasilitasi oleh BIG, namun BIG tidak menetapkan batas daerah, karena hal tersebut bukan merupakan kewenangan BIG. BIG hanya menggambarkan garis batas hasil kesepakatan yang sudah mendapat persetujuan dan legalitas oleh kabupaten/kota dan provinsi yang bersebelahan dengan DOB yang diusulkan (Khafid, 2013). Bila dikaji dari narasi pasal tentang batas wilayah pada UUPD yang dihasilkan setelah berlakunya PP No.78 tahun 2007, pasal batas wilayah ayat (1) dapat ditafsirkan sebagai tahap memilih (choice of site). Dalam hal ini pilihan letak batas pada umumnya diletakan pada suatu area, bisa daratan seperti kabupaten atau area perairan seperti selat yang pada umumnya belum didefinisikan dalam arti belum tegas batas-batasnya. Memperhatikan hal ini, dapat dipastikan bahwa pemilihan letak batas pada proses penetapan batas daerah pada saat pembentukan DOB pada periode tahun 2008 sampai tahun 2009 juga tentu tidak menggunakan kaidah teknis pemetaan seperti metode turning points walaupun sudah tersedia peta dasar yang memadai. Ayat (2) pasal batas wilayah dituliskan: batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta wilayahyang tercantumdalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Mengacu pada teori boundary making Jones (1945), ayat(2) ini pada dasarnya juga dapat ditafsirkan sebagai tahap mendefinisikan batas secara lebih tepat di peta lampiran undang-undang. Walaupun deliniasi garis batas sudah dilakukan pada peta dasar dengan skala yang memadai dan terdapat sistem koordinat dan datum geodesi DGN-95, ternyata posisi titik-titik batas tidak didefinisikan dengan koordinat.

158 Pasal batas wilayah pada UUPD produk periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada Tabel 5.11. Tabel 5.11. Pasal batas wilayah pada UUPD periode 2008 sampai dengan tahun 2009 Ayat Periode tahun 2008 s.d. tahun 2009 (PP No.78 tahun 2007) (1) Kabupaten/Kota... mempunyai batas-batas wilayah: a. sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten... Provinsi... sertakecamatan... b. sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan..., Kecamatan... c. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan... d. sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan... (2) Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta wilayah yang tercantumdalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. (3) Penegasan batas wilayah Kabupaten/Kota... secara pasti di lapangan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri paling lambat 5 (lima) tahun sejak diresmikannya Kabupaten/Kota... (Sumber: dikutip dari UUPD periode tahun 1999 s.d. tahun 2007 dan periode tahun 2008 s.d tahun 2009 dengan tidak menyebutkan nama kabupaten/kota yang dibentuk) Pasal batas wilayah pada pada UUPD periode tahun 2000 sampai dengan 2007 dengan periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 secara substansi sama, namun ada beberapa istilah yang berbeda. Pada ayat (2), UUPD periode berlakunya PP. No.129 tahun 2000 ditulis peta wilayah administrasi, sedangkan pada UUPD periode berlakunya PP No.78 tahun 2007 hanya dituliskan peta wilayah, tanpa kata administrasi. Pada ayat (3), UUPD periode berlakunya PP. No.129 tahun 2000 menggunakan istilah penentuan, sedangkan pada UUPD periode berlakunya PP No.78 tahun 2007 menggunakan istilah penegasan untuk menyatakan transformasi batas hasil penetapan dalam UUPD ke lapangan. Kata penegasan lebih tepat digunakan untuk menterjemahkan kata demarcation dalam

159 teori Jones. Sedangkan kata penentuan kalau untuk mensepadankan dengan demarcation dinilai kurang tepat karena masih mengandung pengertian yang terlalu umum karena demarcation atau penegasan adalah suatu kegiatan yang sudah sangat spesifik yaitu merekonstruksi batas di lapangan dengan metode geodesi. Selain itu disebutkan batasan waktu paling lambat lima tahun sejak DOB ditetapkam, batas daerah harus sudah ditegaskan. V.4.4. Kondisi peta lampiran UUPD hasil penetapan batas daerah periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 Peta wilayah lampiran UUPD pada masa berlakunya PP No.78 tahun 2007 (tahun 2008 sampai dengan tahun 2009) berjumlah 32 lembar peta. Peta wilayah ini terdiri atas 31 peta wilayah pembentukan kabupaten dan 1 kota. Berbeda dengan proses penetapan batas daerah pada pembentukan DOB dengan persyaratan PP No.129 tahun 2000, proses penetapan batas daerah dalam pembentukan DOB dengan persyaratan menurut PP No.78 tahun 2007, IG (peta dasar) secara tegas disebutkan harus digunakan dalam proses pembentukan DOB mulai sejak awal proses penetapan batas daerah. Hasil asesmen terhadap kualitas peta wilayah administrasi lampiran UUPD pada periode ini sudah sesuai dengan Standar Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009. Secara umum hasil asesmen peta wilayah administrasi pada periode ini adalah: 1) Peta wilayah mencantumkan skala, bahkan skalanya juga sudah sesuai dengan Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom, yaitu skala 1: 100.000 untuk pembentukan kabupaten dan skala 1: 50.000 untuk pembentukan kota. 2) Peta wilayah mencantumkan sistem proyeksi peta dan sistem koordinat yang digunakan, dalam hal ini digunakan sistem Universal Transverse Mercator (UTM) sesuai peta RBI yang digunakan sebagai dasar pembuatan peta wilayah

160 3) Peta wilayah mencantumkan datum geodesi horisontal yaitu DGN- 95dan datum vertikal muka laut rata-rata di daerah yang bersangkutan. 4) Deliniasi garis batas sudah digambarkan walaupun masih belum definitif karena tidak ada koordinat titik-titik batas. 5) Format peta wilayah DOB yang asli juga sudah dibuat ukuran A0, walaupun yang dilampirakan pada naskah UUPD adalah berupa specimenmagar sesuai dengan ukuran format naskah UUPD. 6) Toponim sudah cukup lengkap, yaitu nama unsur bentang alam alami (seperti gunung, bukit, sungai, tanjung, selat, pulau, danau), nama tempat-tempat berpenduduk dan unsur lokalitas, nama pembagian wilayah adminstratif (desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi), rute transportasi (jalan raya, jalan kereta api). Toponim yang dicantumkan pada peta wilayah DOB diambil dari peta RBI yang digunakan sebagai peta dasar. Dalam penjelasan UUPD yang diundangkan pada periode berlakunya PP No.78 tahun 2007 selalu disebutkan bahwa: Lampiran petacakupan wilayah yang digambarkan dengan skala 1:100.000 atau1:50.000 diterbitkan oleh Pemerintah dan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi pada saat dilakukan peresmian sebagai daerah otonom baru. Hal ini mengindikasikan bahwa peta asli lampiran UUPD diserahkan kepada daerah yang bersangkutan, sedang yang dilampirkan dalam UUPD adalah peta dalam bentuk specimen. Hal ini sesuai dengan kompromi antara DPR dan Pemerintah bahwa peta yang dicantumkan dalam lampiran UUPD hanyalah merupakan specimem yang skalanya bervariasi disesuaikan dengan kertas format F4, sedangkan peta aslinya yang berskala 1:50.000 untuk Kabupaten dan 1:25.000 untuk Kota dengan format A nol disimpan di Sekretariat Negara dan Kementrian Dalam Negeri dalam bentuk cetak (hardcopy), serta bentuk dijitalnya disimpan di Bakosurtanal (Sutisna dan Herwanto, 2009). Gambar 5.13. menunjukkan salah satu contoh specimen peta wilayah hasil penetapan pada pembentukan DOB dengan persyaratan PP No.78 tahun 2007. Beberapa contoh specimen yang lain disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 5.13.Contoh specimen peta wilayah lampiran UUPD produk PP No.78 tahun 2007 161

162 Bila dikaitkan dengan tolok ukur peta hasil penetapan menurut Jones, bahwa dalam peta hasil penetapan harus dicantumkan koordinat tititik batas, maka peta wilayah DOB lampiran UUPD pada periode tahun 2008 sampai tahun 2009 sebenarnya belum memenuhi ketentuan terebut, hal tersebut karena dalam peta wilayah tidak dicantumkan koordinat titik-titik batas, sehingga walaupun garis batas sudah digambarkan, namun belum sepenuhnya definitip. Walaupun demikian, peta wilayah lampiran UUPD yang dikeluarkan pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 secara teknis pemetaan sudah cukup memadai bila digunakan untuk pedoman transformasi batas dari peta wilayah lampiran UUPD ke lapangan pada kegiatan penegasan batas daerah. Hal tersebut karena koordinat titik batas dapat dibaca di peta wilayah tersebut yang selanjutnya dengan metode geodesi dapat dipasang di lapangan. V.5. Kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas daerah pada penegasan batas daerah Hasil analisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas daerah pada kegiatan penegasan batas daerah di Indonesia ditinjau dari dua hal: (1) penyebab sengketa, (2) kontribusiig dalam sengketa batas daerah. V.5.1. Penyebab sengketa batas daerah di Indonesia Pada penelitian ini, diagnosis penyebab sengketa dilakukan pada 45 kasus sengketa batas daerah antar kabupaten/kota. Data kasus sengketa diklasifikasi ke dalam tiga kategori yaitu kategori A, B dan C. Penjelasan masing-masing kategori A, B dan C dijelaskan pada Sub Bab IV.2.5. Diagnosis terhadap 45 kasus sengketa batas dilakukan pada setiap kategori. Jumlah kasus sengketa batas daerah yang terjadi pada saat kegiatan penegasan batas daerah pada masingmasing kategori dirangkum dalam Tabel 5.12.

163 Tabel 5.12. Jumlah sengketa batas daerah di Indonesia yang terjadi pada saat kegiatan penegasan batas daerah pada era OTDA (tahun 2000 sampai dengan tahun 2009) pada kategori A, B dan C Sengketa batas Kategori Jumlah A B C kasus Antar kabupaten/kota 5 24 16 45 Hasil diagnosis penyebab sengketa batas daerah untuk kategori A, B dan C disajikan pada Tabel 5.13., Tabel 5.14. dan Tabel 5.15. Tabel 5.13.Hasil diagnosis penyebab sengketa batas antar daerah kabupaten/kota pada kategori A No. Penyebab sengketa Jumlah kasus % 1 Faktor kepentingan 0 0 2 Faktor struktural 0 0 3 Faktor IG 1 20 4 Faktor hubungan 0 0 5 Faktor nilai 0 0 6 Kombinasi faktor IG dengan faktor 2 40 kepentingan ( 3+1) 7 Kombinasi faktor IG dengan faktor 2 40 kepentingan ( 3+2) Jumlah 5 100 Pada Tabel 5.13. terdapat lima kasus sengketa batas daerah dengan kategori A. Pada lima kasus tersebut, sengketa batas pada dasarnya bermula dari kondisi peta lampiran undang-undang pembentukan daerah yang tidak memenuhi syarat bila digunakan untuk pedoman penegasan, kemudian dipicu adanya faktor kepentingan sehingga akhirnya menjadi sengketa terbuka. Pada sengketa batas kategori A, ditemukan satu kasus yang disebabkan oleh permasalahan ketidaksamaan garis batas yang digambar pada peta lampiran UUPD dengan daerah tetangga yang berbatasan. Kasus tersebut adalah sengketa antara Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Tana Tidung. Garis batas yang tergambar pada peta wilayah skala 1:100.000 yang dilampirkan pada undang-undang pembentukan daerah Kabupaten Tana Tidung ternyata posisinya tidak sama

164 dengan garis batas di peta wilayah pembentukan Kabupaten Nunukan skala 1: 250.000 yang dibentuk lebih dahulu. Hal ini menimbulkan masalah ketika kedua daerah melakukan penegasan batas. Sengketa terbuka terjadi dipicu karena pada daerah sengeketa terdapat permohonan rekomendasi izin lokasi perusahaan batubara yang diklaim oleh masing-masing kabupaten. Faktor lain yang menjadi pemicu sengketa batas adalah faktor struktural meliputi mempermasalahkan kesepakatan batas oleh pejabat sebelumnya yang sudah dituangkan dalam peraturan gubernur atau peraturan menteri dipermasalahkan lagi oleh salah satu daerah melalui TPBD. Penolakan pemekaran desa dan pembangunan fasilitas umum pelayanan kesehatan (puskesmas) yang terletak di daerah perbatasan yang batasnya belum tegas di lapangan juga menjadi pemicu sengketa. Faktor pemicu yang berupa kepentingan dan struktural pada kasus sengketa batas daerah pada kategori A selengkapnya disajikan pada Lampiran 7. Hasil diagnosis penyebab sengketa batas antar daerah kabupaten/kota pada kategori B disjaikan pada Taebl 5.14. Tabel 5.14.Hasil diagnosis penyebab sengketa batas antar daerah kabupaten/kota pada kategori B No. Penyebab sengketa Jml kasus % 1 Faktor kepentingan 0 0 2 Faktor struktural 0 0 3 Faktor IG 8 33 4 Faktor hubungan 0 0 5 Faktor nilai 0 0 6 Kombinasi IG dengan kepentingan ( 4 17 3+1) 7 Kombinasi IG dengan struktural ( 3+2) 12 50 Jumlah 24 100 Jumlah kasus sengketa batas kategori B yang diteliti ada 24 kasus. Pada UU pembentukan daerah sebelum tahun 1999 tidak dilampiri peta wilayah administrasi daerah yang dibentuk, sedang pada UU pembentukan daerah setelah tahun 1999 secara narasi dalam pasal batas wilayah ditulis dilampiri peta wilayah

165 administrasi, namun dalam 24 kasus sengketa kategori B yang diteliti hanya ditemukan 20 peta lampiran. Pada 20 peta lampiran tersebut 15 peta tidak mencantumkan skala peta. Lima peta yang mencantumkan skala, nilai skala bervariasi yaitu tiga peta mencantumkan nilai skala 1:150.000, satu peta mencantumkan nilai skala 1: 400.000 dan dua peta mencantumkan nilai skala 1: 750.000. Dalam kondisi satu daerah tidak memiliki peta wilayah dan daerah lain yang berbatasan memiliki peta wilayah namun tidak memenuhi syarat untuk pedoman penegasan batas di lapangan, tentu Tim Penegasan Batas Daerah mengalami kesulitan melakukan penegasan. Selain itu kondisi ini sering mengakibatkan beda penafsiran terhadap posisi garis batas yang ditegaskan. Penambahan fakta adanya faktor pemicu, maka sengketa batas kemudian muncul secara terbuka. Sebagai contoh, sengketa batas antara Kabupaten Rokan Hulu merupakan pemekaran dari Kabupaten Kampar karena faktor pemicu 28 sumur minyak di Kawasan Langgak. Dalam kasus ini TPBD masing-masing daerah mempertahankan klaim posisi batas menurut versinya masing-masing. Pada 24 kasus sengketa batas kategori B, 10 kasus merupakan sengketa antara kabupaten pemekaran dengan kabupaten induknya. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika proses pembentukan DOB pemekaran, kesepakatan batas antara kabupaten induk dengan kabupaten pemekaran belum final. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan pejabat di Sub Direktorat Penataan Wilayah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementrian Dalam Negeri (Endarto, 2013): bahwa karena desakan yang bersifat politik lebih dominan maka pada saat itu yang penting DOBterbentuk dulu atau dimekarkan dulu, masalah batas yang pasti diselesaikan nanti. Berdasar dignosis yang dilakukan terhadap 24 kasus sengketa batas daerah kategori B seperti pada Lampiran 2, ditemukan dua faktor pemicu terjadinya sengketa yaitu faktor kepentingan dan struktural. Faktor pemicu kepentingan meliputi: (1) perebutan lahan dan (2) petebutan sumur minyak. Faktor pemicu struktural meliputi: (1) menghendaki revisi undang-undang pembentukan daerah,

166 (geospasial) perebutan pemukiman transmigrasi terkait sumberdaya manusia untuk perolehan suara pada pemilihan kepala daerah, (3) peninjauan kesepakatan batas yang telah dilakukan sebelumnya, (4) penolakan pembentukan desa di daerah perbatasan. Dalam faktor pemicu struktural, TPBD memiliki peran penting untuk selalu bertahan secara maksimal dalam klaim posisi garis batas yang diajukan. Indikasi ini terlihat dari beberapa perundingan sengketa batas daerah yang difasilitasi Kementrian Dalam Negeri selalu dilakukan berkali-kali dan tidak kunjung selesai, bahkan akhirnya berujung ke proses pengadilam. Sebagai contoh sengketa batas daerah antara Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir. Usaha untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa batas antara kedua kabupaten telah dilakukan sejak tahun 1999, namun sampai tahun 2012, kesepakatan kesepakatan yang pernah terjadi belum dapat diaplikasikan (Subowo, 2012). Faktor pemicu yang berupa kepentingan dan struktural pada kasus sengketa batas daerah pada kategori B selengkapnya disajikan pada Lampiran 8. Hasil diagnosis sengketa batas daerah kategori C disajikan pada Tabel 5.15. Tabel 5.15.Hasil diagnosis penyebab sengketa batas antar daerah kabupaten/kota pada kategori C No. Penyebab sengketa Jumlah kasus % 1 Faktor kepentingan - - 2 Faktor struktural - - 3 Faktor IG 4 25 4 Faktor hubungan - - 5 Faktor nilai 6 Kombinasi faktor IG dengan faktor 8 50 kepentingan ( 3+1) 7 Kombinasi faktor IG dengan faktor 4 25 struktural ( 3+2) Jumlah 16 100

167 Berdasar identifikasi dari tahun pembentukan daerah yang bersengketapada sengketa kategori C, daerah yang bersengketa pada umumnya dibentuk pada awal kemerdekaan yaitu antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1959. Sebaran kasus sengketa batas daerah kategori C atas dasar pulau besar dan tahun pembentukan daerah disajikan pada Tabel 5.16. Tabel 5.16. Sebaran kasus sengketa batas daerah atas dasar pulau dan tahunpembentukan daerah No. Pulau Jumlah kasus Tahun pembentukan daerah 1 Jawa 3 1950 2 Sumatera 10 1956 3 Kalimantan 2 1959 4 Sulawesi 1 1959 Jumlah 16 Pada awal setelah kemerdekaan sekitar tahun 1950 sampai tahun 1959, bila dicermati dalam naskah UUPD yang bersangkutan memang tidak menyebutkan secara tertulis batas wilayah daerah yang dibentuk, bahkan peta lampiran batas wilayah daerah yang dibentuk juga tidak ada. UUPD pada saat itu hanya mengganti atau mencabut UUPD yang dikeluarkan zaman Belanda yang disebut staatsblad. Mengingat masih masa transisi pembentukan daerah-daerah administrasi peninggalanpemerintah kolonial Belanda dijadikan rujukan dalam pembentukan daerah pada masa setelah awal kemerdekaan. Rumusan pembentukan daerah juga secara langsung menyebut nama-nama daerah (kabupaten/kota) yangsudah dikenal sebelumnya menjadi Kabupaten dan Kota tanpa menyebutcakupan batas-batas daerah yang dimaksud (Kritiyono, 2008). Setelah daerah dibentuk, batas juga tidak langsung segera ditegaskan di lapangan. Pada saat sistem pemerintahan masih bersifat sentralistik, batas daerah bukan faktor determinan untuk mengelola wilayah, sehingga hampir tidak ada permasalahan tentang batas daerah.

168 Setelah era otonomi daerah tahun 1999, batas daerah merupakan faktor determinan dalam mengelola wilayah, sehingga banyak daerah yang dibentuk sebelum otonomi daerah mulai melakukan kegiatan penegasan batas daerah. Persoalan muncul ketika melakukan penegasan di lapangan, karena tidak adanya peta batas wilayah hasil penetapan sebelumnya. Oleh karena itu daerah-daerah yang melakukan penegasan batas kemudian mencari dokumen peta yang dianggap dapat digunakan sebagai pedoman untuk menegaskan batas masing-masing daerahnya. Hal ini memang dimungkinkan karena regulasi Permendagri No.1 tahun 2006 tentang pedoman penegasan batas daerah juga menyebutkan bahwa tahap awal dalam kegiatan penegasan adalah melakukan penelitian dokumen.dokumen yang diteliti dan dimungkinkan dipakai bisa berupa dokumen aspek kesejarahan keberadaan batas daerah masing-masing. Akibat penggunaan peta yang berbeda untuk melakukan klaim batas oleh masing-masing daerah, maka sering terjadi sengketa posisi garis batas. Sengketa muncul bila terdapat pemicu yaitu faktorlangsung yang menyebabkan perselisihan yang lebih terbuka, misalnya faktor kepentingan untuk menguasai sumberdaya yang bernilai ekonomi. Pada obyek penelitian sengketa batas daerah kategori C, faktor pemicu kepentingan yang ditemukan adalah sumur minyak bumi dan gas, lahan, aset obyek wisata dan kepemilikan pulau. Pemicu lain adalah faktor struktural yang terkait dengan kekuasaan atau wewenang formal. Pada obyek penelitian, faktor pemicu struktural yang ditemukan adalah penerbitan sertifikat tanah yang simpang siur, mempermasalahkan kesepakatan batas yang telah dilakukan pejabat sebelumnya dan jarak rentang kendali pemerintahan dan pelayanan yang terlalu jauh dari ibu kota kabupaten. Faktor pemicu yang berupa kepentingan dan struktural pada kasus sengketa batas daerah pada kategori C disajikan pada Lampiran 9. V.5.2. KontribusiIG dalam sengketa batas daerah Pada penelitian ini dapat diidentifikasi dua jenis IG yang berkontribusi dalam terjadinya sengketa batas daerah, yaitu peta lampiran UUPD dan data numerik luas wilayah yang dituliskan dalam naskah legal UUPD.

169 1. Kontribusi peta wilayah lampiran UUPD dalam sengketa batas daerah. Memperhatikan hasil diagnosis penyebab sengketa seperti yang telah diuraikan sebelumnya, jenis sengketa batas daerah pada sengketa kategori A, B maupun C dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu: (1) sengketa yang disebabkan oleh masalah IG daam hal ini peta wilayah lampiran UUPD, (2) sengketa yang disebabkan oleh kombinasi IG dengan faktor kepentingan memperbutkan sumberdaya alam, (3) sengketa yang disebabkan oleh kombinasi IG dengan faktor struktural. Dengan demikian faktor kualitas peta wilayah lampiran UUPD pada era sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah berkontribusi menjadi penyebab awal terjadinya sengketa batas daerah pada sengketa kategori A dan B. Pada sengketa kategori C, penyebab awal sengketa karena tidak tersedianya peta wilayah pada UUPD. Berdasarkan identifikasi pada kasus sengketa kategori A, B dan C, beberapa hal dari peta lampiran yang menyebabkan sengketa atau paling tidak menimbulkan perbedaan persepsi tentang posisi garis batas, yaitu: 1) Peta wilayah tidak mencantumkan skala, sehingga yang dilampirkan sebenarnya hanya suatu sketsa saja. Peta yang berwujud sketsa tidak dapat digunakan untuk melakukan staking out batas dari peta ke lapangan, 2) Tidak ada peta wilayah pada lampiran UUPD yang bersangkutan, sehingga setiap daerah melakukan klaim dengan menggunakan peta menurut versinya masing-masing yang pada akhirnya ada perbedaan posisi klaim garis batas, 3) Skala peta wilayah terlalu kecil (lebih kecil dari 1:250.000) dan kebenaranya juga masih dipertanyakan, sehingga bentuk garis batas menjadi kurang detail. Akibatnya terjadi perbedaan persepsi letak garis batas, 4) Garis batas tidak didefinisikan dengan koordinat, sehingga posisi batas bisa ditafsirkan menurut kepentingan setiap daerah,

170 5) Letak batas wilayah ditempatkan pada suatu area yang belum didefinisikan, sebagai contoh area kecamatan atau selat, tetapi batas wilayah kecamatan atau laut yang digunakan belum definitif sehingga sering menjadi masalah, 6) Garis batas pada peta wilayah lampiran UUPD suatu daerah tidak sinkron dengan garis batas pada UUPD yang bertetangga, 7) Peta wilayah yang dilampirkan tidak sinkron dengan pasal pada batang tubuh UUPD yang bersangkutan, 8) Peta wilayah hanya menggambarkan unsur planimetris, tidak menggambarkan unsur topografis (kontur) sehingga menimbulkan masalah kalau garis batasnya adalah punggung bukit, 9) Garis batas yang digambarkan di peta lampiran tidak berkesesuaian dengan batas yang sudah ada dan sudah diakui oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan 10) Nama-nama geografis (toponim) khususnya yang di sekitar garis batas, seperti misalnya nama desa, nama sungai sering tidak lengkap bahkan banyak yang tidak dicantumkan. 2. Kontribusi data numerik hasil penetapan dalam sengketa batas daerah. Hasil kajian terhadap naskah UUPD, seluruh naskah UUPD yang diteliti, tidak mencantumkan data berupa angka-angka untuk jarak atau panjang segmen, koordinat titik batas dan azimuth garis batas. Data numeris yang selalu disebutkan di dalam naskah UUPD adalah data luas wilayah daerah. Dalam hal pencantuman data numeris luas wilayah, dalam penjelasan UUPD selalu dituliskan angka sampai dua dijit dibelakang koma. Sebagai contoh pada penjelasan UU No.3 tahun 2003tentang Pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu dituliskan bahwa Kabupaten Seluma yang terdiri atas 5 (lima) kecamatan Sukaraja, Kecamatan Seluma, Kecamatan Talo, Kecamatan Semidang Alas, dan Kecamatan Semidang Alas Maras dengan luas wilayah ± 2.400,44 km 2.

171 Sesuai dengan pemahaman tentang significant figure (angka signifikan) dalam disiplin ilmu teknik geodesi dan geomatika, pencantuman angka luas sampai dua dijit di belakang koma dapat memunculkan dua pertanyaan. Pertama tentang akurasi yaitu suatu yang mencerminkan kedekatan terhadap nilai sebenarnya (true value) dan kedua tentang presisi yang mencerminkan konsistensi dalam prosedur pengukuran. Sementara dalam penjelasan undang-undang tersebut tidak dijelaskan di media apa luas itu diukur (di lapangan atau di peta), dengan alat apa diukur dan bagaimana metode pengukurannya. Data luas wilayah yang dicantumkan pada penjelasan UUPD memiliki aspek legal, sehingga data tersebut seharusnya diperoleh secara benar. Bila hanya untuk menunjukkan luas perkiraan, maka tidak perlu dicantumkan sampai dua dijit dibelakang koma. Luas wilayah daerah yang dibentuk sudah ditetapkan walaupun batas-batas daerah yang dibentuk belum definitif. Berdasar sudut pandang ilmu teknik geodesi dan geomatika, tentu hal ini kurang tepat karena luas yang pasti baru bisa ditentukan setelah ada kepastian letak garis batas daerah yang dimaksud. Pengalaman kasus sengketa batas antara Kabupaten Bengkulu Selatan (kabupateninduk) dengankabupaten Kaur dan Kabupaten Seluma (kabupatenpemekaran) yang bersumber dari data dijital luas wilayah dijelaskan sebagai berikut. Kabupaten Bengkulu Selatan yang dibentuk dengan UU No.4 tahun 1956 pada tahun 2003 dimekarkan dengan dua kabupaten melaui UU No.3 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu. Dalam penjelasan UU No.3 tahun 2003, disebutkan tentang angka-angka luas wilayah, yaitu kabupaten Bengkulu Selatan sebagai kabupaten induk mempunyai luas wilayah ±5.955,59 km 2, Kabupaten Seluma dengan luaswilayah ± 2.400,44 km 2 dan Kabupaten Kaur dengan luas wilayah ± 2.369,05 km 2. Ketika pada tahun 2007 dilakukan penegasan batas, pengukuran luas Kabupaten Bengkulu Selatan hanya mendapatkan angka luas 1.185,65 km 2. Angka luas wilayah tersebut dipermasalahkan oleh kabupaten Bengkulu Selatan, karena sebagai kabupaten induk luas wilayahnya menjadi lebih sempit dibandingkan dengan dua kabupaten pemekaran (Kemendagri, 2012). Sealin itu

172 itu kondisi peta lampiran UU No.3 tahun 2003 untuk Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur (Gambar 5.14.), hanya berupa sktesa sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pedoman untuk penegasan batas.