BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dewasa, dan tua. Ketiga tahap ini memiliki perbedaan baik secara biologis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang

BAB II TINJAUAN TEORITIS. adalah tempat, dan Werdha berartikan tua. Panti Werdha adalah. baik itu secara sukarela atau diserahkan oleh pihak keluarga.

Lembar Persetujuan Responden

LAMPIRAN. Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KUESIONER. 1. Jenis Kelamin : 2. Usia : Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manfaat (Hurlock, 1999). Sedangkan menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lanjut usia merupakan suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS)

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014).

LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN

BAB I PENDAHULUAN. tahun Data WHO juga memperkirakan 75% populasi lansia di dunia pada. tahun 2025 berada di negara berkembang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS)

BAB I PENDAHULUAN. pencabutan gigi. Berdasarkan penelitian Nair MA, ditemukan prevalensi

HUBUNGAN HIGH DENSITY LIPOPROTEIN DENGAN PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF PADA WANITA POST MENOPAUSE

PERMOHONAN MENJADI PARTISIPAN. Dengan hormat, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Yantri Nim :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keberhasilan pemerintah dalam pembangunan Nasional telah mewujudkan

KECEMASAN (ANSIETAS) Niken Andalasari

BAB I. yang pasti dihadapi dan harus dilalui dalam perjalanan hidup normal. seorang wanita dan suatu proses alamiah. Berdasarkan hasil studi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KUESIONER TENTANG PENGETAHUAN IBU TENTANG PERSIAPAN MEMASUKI MASA MENOPAUSE DI DUSUN V DESA SAMBIREJO KECAMATAN BINJAI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan bahwa jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dari tahun ke. baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Stanley, 2006).

Lampiran 1 SURAT PERSETUJUAN SEBAGAI SUBJEK PENELITIAN ( INFORMED CONCENT) Bapak/Ibu diundang untuk berpartisipasi dalam studi hubungan dukungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Lanjut usia (lansia) adalah perkembangan terakhir dari siklus kehidupan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin. angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

LAMPIRAN KUESIONER DATA UMUM RESPONDEN NOMOR PIN :

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. respon psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Sedang kan menurut

LAMPIRAN A. Cara Pengukuran Kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari. kesehatan dan Keadaan Sejahtera Badan, Jiwa dan Sosial yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan di Puskesmas Wonosari pada bulan September-Oktober 2016.

BAB II TINJAUAN TEORITIS. atau ancaman atau fenomena yang sangat tidak menyenangkan serta ada

LAMPIRAN I INSTRUMEN PENELITIAN

TEORI FENOMENA ORGAN

LEMBAR INFORMASI PENELITIAN. akan melakukan penelitian dengan judul Gambaran Tingkat Kecemasan Wanita

PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014

Lampiran 1. Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS)

Kata Pengantar. Jawaban dari setiap pernyataan tidak menunjukkan benar atau salah, melainkan hanya pendapat dan persepsi saudara/i belaka.

TEORI PENYEBAB PENYAKIT 2. By: Syariffudin

BAB I PENDAHULUAN. aspek psikologis, biologis, fisiologis, kognitif, sosial, dan spiritual yang akan

BAB I PENDAHULUAN. periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lanjut usia atau lansia

BAB I PENDAHULUAN. dimulai dari masa anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Setiap peristiwa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

BAB IV HASIL PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS DATA

Fase Penuaan KESEHATAN REPRODUKSI LANJUT USIA. Fase Subklinis (25-35 tahun) Fase Transisi (35-45 tahun) Fase Klinis ( > 45 tahun)

BAB I PENDAHULUAN. fisiologis (Maramis, 2009). Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. (ageing population). Adanya ageing population merupakan cerminan dari

PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Bab II Landasan Teori

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

LATIHAN FISIK SEBAGAI PENDUKUNG ASUHAN GIZI BAGI LANSIA DR.dr.BM.Wara Kushartanti

BAB I PENDAHULUAN. wajar akan dialami semua orang. Menua adalah suatu proses menghilangnya

BAB 1 PENDAHULUAN. pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan operasi atau

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 10,67 juta orang (8,61 % dari seluruh penduduk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebenarnya, secara linguistik kata yang lebih tepat adalah menocease yang

BAB I PENDAHULUAN. kecemasan yang tidak terjamin atas prosedur perawatan. 2 Menurut penelitian, 1

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. keadaan normal lama menstruasi berkisar antara 3-7 hari dan rata-rata berulang

BAB II TINJAUAN TEORI. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. yaitu lanjut usia yang berusia antara tahun, danfase senium yaitu lanjut usia

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan kesempatan untuk melewati masa ini. tahun 2014, jumlah lansia di Provinsi Jawa Tengah meningkat

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan sesuatu yang didambakan oleh setiap wanita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Data demografi menunjukkan bahwa populasi remaja mendominasi jumlah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan a. Tujuan Umum b. Tujuan Khusus

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang berusia 60 tahun (Badan Pusat Statistik, 2015). Menurut WHO

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa

Ditandai dg penurunan kekuatan fisik & daya ingat Dibagi dlm 2 bagian :

Tahap-tahap Tumbuh Kembang Manusia

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan perasaan tegang, pikiran khawatir dan. perubahan fisik seperti meningkatnya tekanan darah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN GANGGUAN KARDIOVASKULAR YANG DIRAWAT DIRUANGAN ALAMANDA TAHUN 2015

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai istilah bergesernya umur sebuah populasi menuju usia tua. (1)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Wongkaditi, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo. Rumah Sakit ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menopause merupakan masa berhentinya menstruasi yang terjadi

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

Selamat Membaca dan Memahami Materi e-learning Rentang Perkembangan Manusia II Oleh Dr Triana Noor Edwina DS, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. adalah datangnya menopause. Menopause merupakan keadaan biologis yang

BAB II TINJAUAN TEORI

Apa Obat Diabetes Untuk Komplikasi Neuropati Otonom?

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PADA WANITA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA BUDI PERTIWI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan promotif dan preventif baik sehat maupun sakit.

BAB 1 PENDAHULUAN. terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh

Pada sistem kardiovaskuler dan respirasi terjadi perubahan yaitu penurunan kekuatan otot otot pernafasan, menurunnya aktivitas silia, menurunnya

Lampiran 1. PLAN OF ACTION (Oktober 2016 Juni 2017) Nama : Dita Erline Kurnia NIM :

BAB I PENDAHULUAN. Dismenore primer merupakan nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan pada

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia Menjadi tua merupakan suatu proses yang alamiah, dimana hal tersebut berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu tahap anak-anak, dewasa, dan tua. Ketiga tahap ini memiliki perbedaan baik secara biologis maupun psikologis (Nugroho, 2008). Pudjiastuti (2003) dalam Efendi & Makhfudli (2009) menyatakan bahwa lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas yang telah memasuki tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres fisiologis dan lingkungan. 2.1.1 Klasifikasi Lansia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. World Health Organization (WHO) membagi usia lanjut menjadi 10

11 empat kriteria meliputi, usia pertengahan (middle age) ialah usia 45-59 tahun, lansia (elderly) ialah usia 60-74 tahun, lansia tua (old) ialah usia 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun (Efendi & Makhfudli, 2009). 2.1.2 Perubahan Akibat Proses Menua Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan dari jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang di derita (Ismail & Santoso, 2009). Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi perubahan fisik, perubahan mental dan psikologis, perubahan sosial, dan spiritual. a. Perubahan Fisik Perubahan fisik yang terjadi pada lansia menurut Nugroho (2008), yaitu: 1) Sistem Persarafan Perubahan pada sistem saraf yaitu terjadi penurunan berat otak sebesar 10-20%, penurunan hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf panca indra, dan penurunan sensitifitas terhadap sentuhan. 2) Sistem Pendengaran Dapat terjadi gangguan dalam pendengaran (presbiakusis), sulit mengerti kata-kata, terjadi pengumpulan serumen yang dapat mengeras akibat meningkatnya keratin, dan penurunan pendengaran pada lansia akibat ketegangan jiwa/stres.

12 3) Sistem Penglihatan Mulai terjadi kekeruhan pada lensa dan menyebabkan katarak, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, serta menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau. 4) Sistem Integumen Kulit mengkerut dan keriput akibat kehilangan jaringan lemak, elastisitas berkurang akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi lebih keras dan rapuh, serta penurunan jumlah dan fungsi dari kelenjar keringat. 5) Sistem Muskuloskeletal Tulang kehilangan density (cairan) dan semakin rapuh, bungkuk (kifosis), pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sclerosis, serta serabut otot mengalami atrofi. 6) Sistem Gastrointestinal Terjadi kehilangan gigi, hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, melemahnya daya absorbsi dan lansia mudah mengalami gizi yang buruk. 7) Sistem Pernapasan Otot-otot pernafasan mengalami penurunan kekuatan dan menjadi kaku, penurunan aktivitas dari silia, elastisitas paru-paru menurun, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun, kemampuan kekuatan

13 otot pernafasan menurun, menarik nafas menjadi lebih berat, kemampuan untuk batuk berkurang. 8) Sistem Reproduksi Terjadi penciutan pada ovari dan uterus, penurunan lendir vagina, serta atrofi payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun secara berangsur-angsur akan menurun. 9) Sistem Perkemihan Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, filtrasi di glomerulus menurun dan fungsi tubulus menurun, otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria. 10) Sistem Endokrin Terjadi penurunan semua produksi hormon, mencakup penurunan aktivitas tiroid, berkurangnya ACTH, TSH, FSH, BMR, menurunnya daya pertukaran zat, penurunan produksi aldosteron, progesterone, estrogen, dan testosterone. 11) Sistem Kardiovaskuler Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat. b. Perubahan Mental dan Psikologis Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas),

14 lingkungan, tingkat kecerdasan (intelligence quotient-i.q), dan kenangan (memory) (Efendi & Makhfudli, 2009). Perubahan psikologis pada lansia meliputi perubahan fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan kepribadian. Perubahan fungsi kognitif yaitu perubahan pada kemampuan belajar, kemampuan pemahaman, kinerja, pemecahan masalah, daya ingat, motivasi, pengambilan keputusan, dan kebijaksanaan. Sementara itu, perubahan fungsi afektif (emosi atau perasaan) akan nampak jelas pada lansia yang sangat tua (diatas 90 tahun), penurunan tersebut sering diikuti oleh tingkah laku regresi dan penurunan fungsi mental yang semakin buruk dan sering tidak tertolong dengan upaya terapi. Perubahan pada psikomotor dimana lansia umumnya masih memiliki dorongan dan kemauan untuk melakukan kegiatan atau memenuhi activity daily living, akan tetapi kadang-kadang realisasinya tidak dapat dilaksanakan, karena kesiapan/ kemampuan organ dan fungsi tubuh yang berkurang (Kuntjoro, 2002). c. Perubahan Sosial Perubahan sosial yang dapat dialami lansia yaitu perubahan status dan perannya dalam kelompok atau masyarakat, kehilangan pasangan hidup, serta kehilangan sistem dukungan dari keluarga, teman dan tetangga (Ebersole, 2005 dalam Syarniah, 2010). Perubahan dalam peran sosial di masyarakat akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. (Kuntjoro, 2007 dalam Kartinah & Sudaryanto, 2008).

15 d. Perubahan Spiritual Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2005), yaitu: 1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan. 2) Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak sehari-hari. 3) Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978), perkembangan yang diapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan. 2.1.3 Tugas Perkembangan Lansia Tugas perkembangan pada lansia adalah beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). Erickson dalam Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara (2008) menyatakan kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan seharihari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan orangorang disekitarnya, maka pada saat memasuki usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi, bercocok tanam, dan lain-lain.

16 2.2 Stres Pada Lansia 2.2.1 Pengertian Stres Beberapa ahli memberikan arti stres sebagai respon fisiologik, psikologik, dan perilaku seorang individu dalam menghadapi penyesuaian terhadap tekanan yang bersifat internal ataupun eksternal. Stres dapat diartikan sebagai suatu ancaman, tantangan, kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, memerlukan penyesuaian psikologis, perilaku, dan fisiologis yang konstans (Corwin, 2009). Sedangkan menurut Hans Selye, seorang fisiologi dan tokoh di bidang stres yang terkemuka dari Universitas Montreal, merumuskan bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Tubuh akan berusaha menyelaraskan rangsangan atau manusia akan cukup cepat untuk pulih kembali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stres (Yosep & Sutini, 2009). Stres secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa sehari-hari stres dikenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk melakukan penyesuaian (Nasution, 2011). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang sebagai tanggapan tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan/tekanan baik yang bersifat internal maupun eksternal dan menghasilkan respon fisiologik, psikologik, serta perilaku individu sebagai penyesuaian terhadap tekanan tersebut. 2.2.2 Penyebab Stres Seseorang menjadi stres karena adanya stressor. Stressor adalah suatu peristiwa, situasi individu, atau objek yang dapat menimbulkan stres dan reaksi

17 terhadap stres (Cahyono, 2008). Macam-macam stressor menurut Indriana (2010) antara lain: a. Stressor biologis seperti panas, dingin, nyeri, masuknya organism, trauma fisik, kesulitan eliminasi, kekurangan makan, dan lain-lain. b. Stressor psikologis seperti kritik yang tidak dapat dibenarkan, kehilangan, ketakutan, krisis situasi, dan lain sebagainya. c. Stressor sosial meliputi isolasi atau diasingkan, status sosial dan ekonomi, perubahan tempat tinggal atau tempat kerja, bertambahnya anggota keluarga, dan lain sebagainya. 2.2.3 Tanda dan Gejala Stres Menurut Hawari (2006), seseorang yang mengalami stres dapat pula dilihat ataupun dirasakan dari perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya, meliputi: a. Rambut Warna rambut mengalami perubahan dari hitam menjadi kecoklat-coklatan serta kusam. Ubanan (rambut memutih) terjadi sebelum waktunya, demikian pula dengan kerontokkan pada rambut. b. Mata Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau membaca tidak jelas karena kabur. Hal ini terjadi karena otot-otot bola mata mengalami kekenduran atau sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus lensa mata. c. Telinga Pendengaran seringkali terganggu dengan suara berdenging (tinitus).

18 d. Daya pikir Kemampuan berpikir dan mengingat serta konsentrasi menurun. Orang menjadi pelupa dan seringkali mengeluh sakit kepala atau pusing. e. Ekspresi wajah Wajah seseorang yang mengalami nampak tegang, dahi berkerut, mimik wajah tampak serius, tidak santai, bicara berat, dan sukar untuk senyum/tertawa. f. Mulut Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering minum. Selain itu, pada tenggorokan seolah-olah ada ganjalan sehingga akan susah menelan, hal ini disebabkan karena otot-otot lingkar di tenggorokan mengalami spasme. g. Kulit Stres dapat menimbulkan reaksi yang bermacam-macam pada kulit mulai dari terasa panas atau dingin atau keringat berlebihan. Reaksi lain yaitu kulit menjadi lebih kering. Dapat pula muncul penyakit kulit seperti eksim, urtikaria (biduran), gatal-gatal, dan timbulnya jerawat (acne) yang berlebihan, serta telapak tangan dan kaki yang mudah berkeringat/basah. h. Sistem pernafasan Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stres dapat terganggu misalnya nafas terasa berat dan sesak oleh karena penyempitan pada saluran pernafasan mulai dari hidung, tenggorokan dan otot-otot rongga dada. Otot rongga dada mengalami spasme atau kurang elastis, sehingga diperlukan tenaga ekstra untuk menarik nafas.

19 i. Sistem pencernaan Gangguan pada sistem pencernaan misalnya, lambung terasa kembung, mual dan pedih karena asam lambung yang meningkat dan biasa dikenal dengan maag (gastritis). Gangguan lainnya seperti perut sering terasa mulas, sukar buang air besar atau sebaliknya yaitu mengalami diare. j. Sistem perkemihan Yang sering dikeluhkan saat sedang mengalami stres biasanya frekuensi buang air kecil yang lebih sering dari biasanya, meskipun bukan penderita kencing manis (diabetes mellitus). k. Sistem otot dan tulang Keluhan-keluhan pada otot dan tulang (musculoskeletal) contohnya, sering mengeluh otot terasa sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal, dan tegang. Keluhan lain seperti rasa ngilu atau kaku bila menggerakkan anggota tubuh atau yang lebih dikenal dengan pegal-linu. l. Sistem endokrin Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada orang yang mengalami stres yaitu terjadi peningkatan kadar gula darah, dan bila hal ini terjadi berkepanjangan dapat mengakibatkan kencing manis (diabetes mellitus). Gangguan lain yaitu seperti menstruasi yang tidak teratur dan rasa sakit ketika menstruasi (dysmenorrhoe). m. Sistem reproduksi Stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami penurunan libido atau sebaliknya.

20 n. Sistem kardiovaskuler Sistem jantung dan pembuluh darah dapat terganggu fungsinya oleh karena stres. Misalnya, jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar (dilatation) atau menyempit (constriction) sehingga orang dapat terlihat kemerahan ataupun kepucatan pada area wajah. Menurut Iskandar (2010), stres akan mendorong tubuh mengeluarkan hormon adrenalin dan noradrenalin yang merangsang sistem saraf otonom, menyebabkan vasokonstriksi, penyempitan pembuluh darah arteri, denyut jantung meningkat, kadar gula darah meningkat serta kadar kolesterol tinggi. Jika situasi ini terjadi terus-menerus maka orang yang bersangkutan dapat mengalami kenaikan tekanan darah dan dapat mengidap tekanan darah tinggi (hipertensi). o. Kondisi psikologis Hardjana (1994, dalam Puspasari, 2009) menyatakan bahwa stres juga berdampak pada kondisi emosional. Seseorang yang sedang stres akan mudah merasa gelisah atau cemas, sedih, depresi, menangis, mood atau suasana hati yang sering berubah-ubah, mudah panas atau cepat marah, rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah tersinggung, gampang menyerah pada orang dan mempunyai sikap bermusuhan. 2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Stres Stres dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal (Hardjana, 1994, Suparto, 2000 dalam Puspasari, 2009).

21 a. Faktor internal Faktor internal berarti stres yang bersumber dari diri seseorang. Beberapa faktor tersebut meliputi: 1) Penyakit (illness) dan kesehatan Menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis pada orang yang menderitanya. Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang dimana hal itu dapat menyebabkan stres pada kaum lansia yang mengalaminya. 2) Pertentangan (konflik) Kehidupan sering dihadapkan oleh berbagai pilihan, dimana dalam proses memilih tersebut dapat terjadi pertentangan (konflik) karena ada dua kekuatan motivasi yang berbeda bahkan berlawanan. Berhadapan dengan dorongan memilih yang berbeda dan berlawanan itulah seseorang akan mudah mengalami stres. 3) Kepribadian Semakin luas dan semakin tinggi harapan seseorang tentang hidup dan optimis maka semakin jauh dari stres. 4) Falsafah hidup Semakin berserah diri kepada Tuhan maka semakin terbebaskan rasa stres seseorang. 5) Persepsi (penangkapan) Semakin santai dalam mempersepsikan suatu kejadian maka seseorang tidak akan mudah mengalami stres akibat kejadian tersebut.

22 6) Posisi sosial Semakin berperan dan menyatu seseorang dengan lingkungan sosialnya, semakin sukar stres timbul dalam diri seseorang tersebut. 7) Pengalaman Semakin sering seseorang mendapatkan stressor maka semakin sering kemungkinannya terserang stres akibat stressor tersebut. 8) Usia Semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar (Gibson; Rachmaningrum, 1999 dalam Nasution, 2011). 9) Jenis kelamin American Psychological Association (2010) menyatakan laki-laki dan perempuan memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres baik dari fisik maupun mental. Laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan dan cara yang berbeda dalam mengelola stres. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin untuk mengungkapkan terjadinya gejala fisik terkait stres, dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain sebagai salah satu strategi manajemen stres. b. Faktor eksternal 1) Keluarga Stres dalam keluarga dapat disebabkan karena adanya konflik dalam keluarga seperti perilaku yang kurang terkendali, terjadinya peristiwa-peristiwa

23 yang berkaitan dengan anggota keluarga seperti sakit, terutama sakit yang serius dan berkepanjangan, dan juga kematian anggota keluarga. 2) Lingkungan Lingkungan yang dapat menyebabkan stres dapat meliputi lingkungan kerja dan lingkungan hidup disekitar. Lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres karena beberapa alasan seperti tuntutan kerja dan tanggung jawab yang terlalu besar dan berat. Sementara lingkungan sekitar yang dapat menjadi sumber stres seperti lingkungan yang penuh dengan suara bising dan keras diluar pengendalian diri, lingkungan sekitar yang tercemar dapat membuat seseorang merasa tidak aman dan mudah mengalami stres. 2.2.5 Stres Yang Terjadi Pada Lanjut Usia Pada waktu seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai perubahan baik yang bersifat fisik, mental, maupun sosial. Jadi, memasuki usia lanjut tidak lain adalah upaya penyesuaian terhadap perubahan-perubahan tersebut. Sebagai proses alamiah, perkembangan manusia sejak periode awal hingga masa usia lanjut merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Perubahan-perubahan menyertai proses perkembangan termasuk ketika memasuki masa usia lanjut. Ketidaksiapan dan upaya melawan perubahan-perubahan yang dialami pada masa usia lanjut justru akan menempatkan individu usia ini pada posisi serba kalah yang akhirnya hanya menjadi sumber akumulasi stres dan frustasi belaka (Indriana, 2008). Stres yang dihadapi oleh lansia berasal dari berbagai situasi yang berbeda dari yang dihadapi oleh orang dewasa. Berbagai situasi yang dapat menyebabkan

24 stres pada lansia, yaitu lansia harus merawat pasangan yang sakit, kehilangan pasangan, kematian kerabat dan teman-teman dekat lainnya, penurunan kekuatan fisik dan kesadaran bahwa lansia sudah tidak sehat dan sekuat sebelumnya, kekhawatiran mengenai keuangan setelah pensiun, serta kesepian. Stres lebih lanjut ditambah oleh fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak lagi efisien (Lau, 2004 dalam Devi, 2012). 2.2.6 Penanganan Stres Strategi menghadapi stres yaitu dengan mempersiapkan diri dalam menghadapi stressor melalui perbaikan diri secara psikis/mental, fisik dan sosial. Selain itu, menurut Ray (2004 dalam Perese, 2012) untuk menghadapi stressor diperlukan strategi koping, yaitu cara yang digunakan orang untuk memodifikasi situasi mereka dan mengurangi stres dan perasaan tertekan. Penanganan dan pengelolaan stres merupakan suatu usaha untuk mengurangi atau meniadakan dampak negatif stressor (Isnaeni, 2010). Mengelola stres dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu dengan terapi farmakologis, dan nonfarmakologis seperti relaksasi, pendekatan perilaku dan kognitif (Yulianti, 2004 dalam Isnaeni, 2010). a. Pendekatan farmakologi yaitu menggunakan obat-obatan anti cemas (axiolytic) dan anti depresi (anti depressant). b. Relaksasi yaitu upaya untuk melepas ketegangan yaitu relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera dan relaksasi melalui yoga, serta meditasi.

25 c. Pendekatan perilaku yaitu mengubah perilaku yang menimbulkan stres, adaptabilitas terhadap stres, menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan nutrisi, serta manajemen perencanaan, organisasi dan waktu. d. Pendekatan kognitif; mengubah pola pikir individu, berpikir positif dan sikap yang positif, membekali diri dengan pengetahuan tentang stres, menyeimbangkan antara aktivitas otak kiri dan kanan, serta hipnoterapi. Terapi dengan pendekatan kognitif-perilaku lainnya yaitu terapi reminiscence. 2.2.7 Instrumen Pengukuran Stres Instrumen untuk mengukur tingkat stres dalam penelitian ini adalah Stress Assessment Questionnaire (SAQ) yang mengukur empat domain stres utama yaitu sumber, gejala, penanganan, dan stabilitas, dengan 16 aspek atau elemen yang mendefinisikan keempat domain tersebut. Instrumen ini dirancang untuk memberikan bimbingan konseling dan pengembangan diri tentang stres. Instrumen ini berupa pengkajian yang terdiri dari 16 aspek, yaitu aspek kerja, hubungan, pola asuh, kejadian, emosional, perilaku, fisik, dukungan, sosial, pengaturan diri sendiri, pemecahan masalah, selingan, kesehatan, penundaan, perfeksionis, harga diri, depresi, dan kecemasan. Pengkajian pada instrumen juga terdapat tanda dan gejala yang biasanya terjadi pada seseorang yang mengalami stres sehingga instrumen ini cukup lengkap dan mendetail (Smith, 2003 dalam Putri, 2012).

26 2.3 Terapi Reminiscence 2.3.1. Pengertian Terapi Reminiscence Terapi Reminiscence ditemukan oleh Erik Erikson (1963), yang menekankan pentingnya bagi individu yang sudah memasuki usia tua untuk mencapai rasa intergritas diri dengan melihat kembali kehidupan mereka dan mengumpulkan perasaan, tujuan serta makna hidup. Nursing Interventions Classification (NIC) mendefinisikan terapi Reminiscence sebagai intervensi yang dilakukan dengan mengingat peristiwa masa lalu, perasaan, dan pikiran untuk memfasilitasi kesenangan, kualitas hidup, dan beradaptasi dengan kondisi saat ini. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Banon, 2011) menambahkan terapi ini dapat menjadi intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah psikososial. Terapi Reminiscence diterapkan pada lansia melalui proses motivasi dan diskusi tentang pengalaman masa lalu yang dialami dan upaya penyelesaian masalah yang dilakukan pada saat itu (Glod, 1998; Meiner dan Lueckenotte, 2006 dalam Banon, 2011). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terapi Reminiscence merupakan suatu terapi yang dapat diberikan pada lansia sebagai upaya untuk mengatasi masalah psikososial dengan cara memotivasi dan memberikan perhatian terhadap kenangan atau pengalaman masa lalu dan upaya penyelesaian masalah yang dilakukan pada saat itu serta dapat disharingkan kepada keluarga, kelompok, ataupun staf keperawatan.

27 2.3.2. Manfaat Terapi Reminiscence National Guideline Clearinghouse (2008, dalam Stinson, 2009) menyatakan terapi Reminiscence dapat memfasilitasi penyesuaian lansia terhadap proses penuaan dengan membantu lansia memikirkan kembali dan memperjelas pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan studi penelitian telah menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan psikologis setelah mendapat intervensi Reminiscence. Menurut Banon (2011), melalui proses mengenang, lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat mekanisme pertahanan diri. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Syarniah, 2010) menambahkan bahwa terapi Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan membantu individu mencapai kesadaran diri dan memahami diri, beradaptasi terhadap stres dan melihat bagian dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Menurut Bohlmeijer (2007 dalam Utami, 2013), terapi Reminiscence dapat menjadi treatment psikologis yang menarik bagi para lansia karena membuat mereka mempunyai ikatan masa lalu baik yang bersifat umum maupun yang khusus. Reminiscence juga dapat berfokus pada mengevaluasi kembali, memecahkan konflik pada masa lalu, menemukan arti kehidupan dan memperkirakan koping adaptif yang bisa dilakukan sebelumnya. Terapi Reminiscence tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengalaman yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga dapat meningkatkan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain, memberikan stimulasi

28 kognitif, meningkatkan komunikasi dan dapat menjadi suatu terapi yang efektif untuk gejala depresi (Bohlmeijer, 2003; Haight & Burnside, 1993; Ebersole, 2005 dalam Syarniah, 2010). Bohlmeijer (2007, dalam Utami, 2013), menambahkan bahwa terapi reminiscence memiliki enam fungsi, yaitu integrative (menemukan arti dan keberlanjutan kehidupan); instrumental (menggunakan pemecahan masalah masa lalu untuk pemecahan masalah di masa kini); transmissive (menceritakan cerita yang merupakan petunjuk-petunjuk kehidupan kepada anak muda); escapist (mengingat keindahan masa lalu untuk melupakan sejenak hal-hal yang tidak menyenangkan di masa sekarang); obsessive (memikirkan ulang permasalahanpermasalahan tak terpecahkan pada masa lalu); dan narrative (mempertahankan ingatan-ingatan mengenal orang-orang penting dalam kehidupan pribadi). 2.3.3. Tipe Terapi Terapi Reminiscence Menurut Kennard (2006, dalam Syarniah, 2010), terapi Reminiscence dapat dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu: a. Simple atau Positive Reminiscence Tipe ini merefleksikan informasi dari pengalaman dan perasaan yang menyenangkan di masa lalu. Cara menggali pengalaman tersebut dengan menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial antara klien dan terapis yang bertujuan untuk meningkatkan adaptasi dan memelihara harga diri.

29 b. Evaluative Reminiscence Tipe ini biasanya digunakan sebagai pendekatan dalam menyelesaikan masalah, seperti pada terapi life review. c. Offensive Defensive Reminiscence Tipe ini dapat menggali informasi yang tidak menyenangkan dan dapat menyebabkan atau menghasilkan perilaku dan emosi, serta menimbulkan resolusi terhadap informasi yang penuh konflik dan tidak menyenangkan. 2.3.4. Media dalam Terapi Reminiscence Media yang digunakan dalam terapi Reminiscence yaitu benda-benda yang berhubungan dengan kenangan/ masa lalu lansia. Menurut Collins (2006), media yang dapat digunakan yaitu Reminiscence kit yang berisi barang-barang di masa lalu seperti majalah, peralatan memasak, dan peralatan kebersihan, selain itu dapat juga menggunakan foto-foto pribadi, alat untuk memutar musik atau video, video dan kaset, buku, pulpen, stimulus bau seperti kopi, stimulus rasa, dan bahan-bahan lain untuk menstimulasi sentuhan. 2.3.5. Pelaksanaan Terapi Reminiscence Penelitian yang dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek Individual Reminiscence terhadap harga diri dan depresi pada lansia di India, terapi Reminiscence dapat dilakukan secara individu yang dibagi menjadi 8 sesi dan dilaksanakan selama 8 hari meliputi, 1 hari untuk pre-assessment, 6 hari untuk terapi Reminiscence, dan hari terakhir dilakukan post-assessment. Terapi Reminiscence dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap sesinya, baik tanpa

30 pedoman maupun yang sudah terstruktur. Tiap sesi terapeutik dimulai dengan fase pengantar selama 5-10 menit yang meliputi memberikan salam, membiarkan klien memilih tempat yang nyaman untuk pelaksanaan terapi, menanyakan keadaan umum klien, memberikan deskripsi singkat terkait sesi sebelumnya, dan memperkenalkan tema baru. Pada fase kerja setiap sesi, klien akan mengingat dan mengumpulkan kembali memori-memori yang berhubungan dengan tema setiap sesinya kira-kira selama 10 menit. Selama mengumpulkan dan sharing memori menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Berbagai stimulus dapat digunakan untuk mengembalikan memori yang sesuai dengan tema dari tiap sesi. Di akhir fase (kira-kira selama 5 menit) meliputi menjawab pertanyaan jika klien bertanya, mengemukakan kembali tema utama dan memori dari sesi tersebut, sharing pengalaman antara klien dan fasilitator, rencana untuk sesi selanjutnya (Poorneselvan & Steefel, 2014). Terapi Reminiscence yang dikembangkan oleh Syarniah (2010) terdiri dari 5 sesi yaitu: a. Sesi 1: berbagi pengalaman masa anak-anak. Pada sesi ini pengalaman masa anak lebih difokuskan pada pengalaman yang berkaitan dengan permainan yang paling disenangi dan pengalaman tentang guru yang paling disenangi pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa tersebut. b. Sesi 2: berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi ini topik yang didiskusikan lebih ditujukan pada hobi yang dilakukan bersama temanteman sebaya dan pengalaman rekreasi bersama teman pada masa remaja tersebut.

31 c. Sesi 3: berbagi pengalaman masa dewasa. Focus pada sesi ini adalah pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan dan makanan yang disukai. d. Sesi 4: berbagi pengalaman keluarga di rumah. Pada sesi ini topik kegiatan terapi menakup pengalaman merayakan hari raya agama bersama anggota keluarga dan bergaul dengan tetangga. e. Sesi 5: evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 4 untuk mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain. Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini merupakan modifikasi dari terapi Reminiscence yang sudah dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) dan Syarniah (2010). Tipe terapi yang digunakan yaitu simple atau positive Reminiscence terkait pengalaman dan perasaan yang menyenangkan di masa lalu. Terapi ini akan dilaksanakan dalam tujuh kali pertemuan yaitu satu kali pertemuan untuk pre-test, lima pertemuan untuk pelaksanaan 5 sesi terapi Reminiscence, dan pertemuan terakhir untuk post-test. Terapi Reminiscence dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap sesinya. Pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut: a. Pertemuan 1: melakukan perkenalan, menjelaskan tujuan dari intervensi yang akan diberikan dan memberikan informed consent dan dilakukan pretest.

32 b. Pertemuan 2 (Terapi Sesi 1): berbagi pengalaman masa anak-anak. Mengungkapkan memori terkait asal atau keterkaitan hubungan dari keluarga dengan menggunakan foto atau gambar keluarga, klien dapat menggambar genogram dari keluarga asal, nama-nama anggota keluarga, dan urutan kelahirannya. Dapat menceritakan pengalaman masa anak-anak yang berkaitan dengan permainan yang paling disenangi, pengalaman yang menyenangkan pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa tersebut, mendiskusikan foto atau gambar keluarga pada masa anak-anak, dan kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti acara perayaan, mengunjungi tempat-tempat saat masih anak-anak. c. Pertemuan 3 (Terapi Sesi 2): berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi ini topik yang didiskusikan terkait teman-teman baik atau teman sebaya, olahraga, hobi, prestasi yang pernah diraih, dan pengalaman rekreasi bersama teman pada masa remaja. d. Pertemuan 4 (Terapi Sesi 3): berbagi pengalaman masa dewasa. Stimulus dapat berupa perkerjaan pertama, peristiwa atau pengalaman-pengalaman, hubungan yang terkait dengan pekerjaan, perubahan pekerjaan, dan pensiun. Selain itu, dapat pula mendiskusikan foto atau gambar dan makanan yang paling disukai pada masa itu. e. Pertemuan 5 (Terapi Sesi 4): berbagi pengalaman keluarga di rumah dan kegiatan sosial. Pada sesi ini topik kegiatan terapi menakup pengalaman bersama keluarga, saat pertama bertemu dengan pasangan, menikah, harihari yang menyenangkan dari kehidupan berkeluarga, merayakan hari raya

33 agama bersama anggota keluarga, kegiatan yang sering dilakukan di masyarakat, pertunjukkan atau hiburan yang sering ada di masyarakat, dan transportasi serta media-media elektronik di jaman tersebut. f. Pertemuan 6 (Terapi Sesi 5): evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 5 untuk mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain. g. Pertemuan 7: dilakukan post-test dengan wawancara menggunakan kuesioner. Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence dalam penelitian ini lebih lanjut akan dijelaskan pada Lampiran 5. 2.4 Hubungan Terapi Reminiscence dengan Stres Pada Lansia Semua individu menghadapi stres setiap hari, dan sebagian besar menghadapi stres yang signifikan selama masa hidup mereka (Perese, 2012). Stres yang dihadapi oleh lansia dapat berasal dari berbagai situasi. Ketidaksiapan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam proses penuaan dapat menjadi sumber akumulasi dari stres (Indriana, 2008). Stres lebih lanjut ditambah oleh fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak lagi efisien (Lau, 2004 dalam Devi, 2012).

34 Terapi Reminiscence dapat menjadi suatu mekanisme untuk mengatasi perubahan. Dalam terapi ini individu berbagi kenangan dengan orang lain, dimana hal ini dapat membantu individu dalam mencapai integritas diri dan harga diri. Melalui proses ini lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat mekanisme pertahanan diri. Terapi Reminiscence yang diberikan pada lansia dapat meningkatkan harga diri dan kepuasan hidup lansia, meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap stres melalui kemampuan penyelesaian masalah dan meningkatkan hubungan sosial berdasarkan keunikan dan prestasi yang dimiliki lansia (Banon, 2011). Selain itu, menurut Muhlbauer, Chrisler, Denmark (2014), terapi Reminiscence yang terstruktur merupakan intervensi kognitif-perilaku yang efektif untuk mengurangi depresi pada orang lansia. Depresi sendiri dapat terjadi salah satunya akibat paparan stres secara jangka panjang (Astri, 2012). Dasar teoritis untuk terapi reminiscence adalah teori kontinuitas yang menyatakan bahwa individu yang mengalami perubahan dalam hidup mereka mencoba untuk memahami perubahan dengan mengingat orang, kejadian, dan pengalaman dari masa lalu mereka. Proses mengingat perubahan masa lalu atau tantangan dan pengetahuan, keterampilan, dan strategi yang mereka gunakan untuk mengatasi perubahan menghasilkan rasa kontinuitas dalam hidup mereka dan kemampuan untuk menggunakan metode koping yang biasa digunakan untuk beradaptasi dengan adanya perubahan (Parker, 1995; Atchley, 1989; dalam

35 Perese, 2012). Selama proses terapi reminiscence, individu didorong untuk berbicara tentang kenangan yang menyenangkan dalam hidup mereka di masa yang sebelumnya. Saat mereka mengingat pengalaman positif dari masa lalu, seseorang yang telah memasuki usia tua dapat menggunakan pengetahuan umum, keterampilan, dan strategi untuk beradaptasi dengan stressor penuaan. Selain itu, ketika kenangan dibagi dengan orang lain, mereka akan memberikan bukti koping yang sukses di masa lalu dan membangun identitas individu sebagai individu yang kompeten (Parker, 1995; Perese, Rohloff, & Ryan, 2008; Watt & Cappeliez, 2000 dalam Perese, 2012). Penelitian yang dilakukan Chou, Lan, dan Chao (2008) mengenai Application of individual Reminiscence therapy to decrease anxiety in an elderly woman with dementia. Hasil yang ditemukan setelah diberikan terapi reminiscence, responden terlihat lebih menunjukkan ekspresi bahagia di wajahnya, bersedia untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih lisan, memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain, dan jarang menggunakan obat untuk membantunya tidur. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbaikan pada emosi negatif dan kecemasan. Penelitian eksperimental yang dilakukan Fallot (1980 dalam Banon, 2011) mengenai terapi Reminiscence sebagai metode terapeutik pada 30 wanita dari berbagai usia. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan mood yang positif setelah mendapat terapi Reminiscence. Cappliez, dkk (2007 dalam Banon, 2011) dalam penelitiannya tentang fungsi reminscence dan regulasi emosi pada lansia meliputi pemecahan masalah, persiapan kematian, pengalaman kehidupan,

36 kegagalan masa lalu, kebosanan dan memelihara keakraban. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan emosi positif pada lansia yang berpengaruh secara signifikan terhadap kecemasan, depresi dan kualitas hidup. Penelitian tersebut menunjukan bahwa melalui terapi Reminiscence, lansia dapat lebih mengekspresikan dirinya sendiri, lebih banyak berinterkasi dengan orang lain, meningkatkan harga diri, dan meningkatkan mood positif untuk mengatasi kondisi stres.