Gambar III.1. Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

dokumen-dokumen yang mirip
Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II GEOLOGI REGIONAL

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

Bab V Korelasi Hasil-Hasil Penelitian Geolistrik Tahanan Jenis dengan Data Pendukung

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

GERAKAN TANAH DI CANTILLEVER DAN JALUR JALAN CADAS PANGERAN, SUMEDANG Sumaryono, Sri Hidayati, dan Cecep Sulaeman. Sari

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung.

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI. SKRIPSI... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. HALAMAN PERSEMBAHAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

Bab IV Akuisisi, Pengolahan dan Interpretasi Data

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH KLABANG

BAB II GEOLOGI REGIONAL

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) :

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau tandus (Vera Sadarviana, 2008). Longsorlahan (landslides) merupakan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

BAB IV STUDI LONGSORAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah Bagian 1: Tata cara pemeriksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengenalan Gerakan Tanah

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Arsyad (dalam Ahmad Denil Efendi 1989 : 27) Mengemukakan bahwa tanah

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH KABUPATEN GARUT BAGIAN SELATAN, PROVINSI JAWA BARAT. Eka Kadarsetia

Transkripsi:

Bab III Tinjauan Daerah Penelitian III.1. Fisiografi dan Geomorfologi Daerah Secara regional, fisografi Jawa Barat terbagi atas 4 bagian besar, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949), sebagaimana terlihat pada Gambar III.1. Desa Cinyasag, Kabupaten Ciamis terletak pada Zona Bogor bagian timur, yang terbentang memanjang barat - timur melalui kota Bogor sampai Bumiayu di Jawa Tengah. Pada lembar Geologi Indonesia, daerah penelitian termasuk dalam Lembar Tasikmalaya oleh T. Budhitrisna, yang dicirikan oleh beberapa corak morfologi. Daerah Penelitian Gambar III.1. Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) III.1.1 Zona Dataran Pantai Jakarta Daerah ini memanjang ke timur dari ujung barat Pulau Jawa, mengikuti pantai utara Jawa Barat ke kota Cirebon, dengan lebar sekitar 40 km. Morfologi daerah 27

ini umumnya datar, kebanyakan ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar gunungapi muda. III.1.2 Zona Bogor Zona Bogor terletak di sebelah selatan Dataran Pantai Jakarta. Daerah ini memanjang dari barat ke timur melalui kota Bogor, Purwakarta menerus ke Bumiayu di Jawa Tengah, dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Zona Bogor umumnya mempunyai morfologi berbukit-bukit yang umumnya memanjang barat - timur di sekitar kota Bogor, sedangkan pada daerah sebelah timur Purwakarta perbukitan ini membelok ke selatan, membentuk perlengkungan di sekitar kota Kadipaten. Van Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai antiklinorium. Beberapa intrusi telah membentuk morfologi yang lain pula yang umumnya mempunyai relief lebih terjal. Sedangkan aliran sungai umumnya ke arah utara bersifat subsekuen terhadap jurus perlipatan. Namun ada beberapa tempat sungainya membentuk pola dendritik, disebabkan sifat batuan yang dilaluinya tidak berlapis dan monoton. III.1.3 Zona Bandung Batas antara Zona Bogor dengan Zona Bandung yang berada di selatannya, tidak terlalu jelas di lapangan, karena tertutup oleh endapan gunungapi muda. Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa zona ini merupakan depresi diantara gunung-gunung (intermontagne depression). Zona ini melengkung dari Pelabuhan Ratu mengikuti Lembah Cimandiri menerus ke timur melalui kota Bandung, dan berakhir di Segara Anakan di muara S. Citanduy, dengan lebar antara 20-40 km. III.1.4 Zona Pegunungan Selatan Batas zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dengan Zona Bandung di beberapa tempat sangat mudah dilihat, seperti misalnya di Lembah Cimandiri. Di sini batas tersebut merupakan perbedaan morfologi yang menyolok dari perbukitan bergelombang pada Lembah Cimandiri, langsung berbatasan dengan dataran 28

tinggi dari Pegunungan Selatan, dengan beda tinggi sekitar 200 m (Pannekoek, 1946). Morfologi Pegunungan Selatan Jawa Barat telah dipelajari secara mendalam oleh Pannekoek (1946), dan menekankan pentingnya dua generasi morfologi, yakni : morfologi Pra-Miosen Akhir dan morfologi Resen. Kedua satuan morfologi ini dibatasi oleh ketidak selarasan. III.1.5 Morfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian dikontrol oleh struktur (sesar, lipatan) dan vulkanik. Geomorfologi yang dikendalikan oleh struktur seperti sesar dan lipatan, disebut Satuan Denudasi Struktur. Satuan ini terhampar sangat luas dengan variasi topografi dan kemiringan lereng serta litologi yang beragam. Sementara itu satuan morfologi yang dikendalikan oleh penyebaran hasil letusan gunungapi dikenal dengan Satuan Denudasi Vulkanik. Litologi satuan ini relatif homogen, berupa endapan hasil letusan gunungapi (Van Zuidam, 1985). 07 0 00 07 0 30 108 0 00 Gambar III.2. 108 0 30 Kenampakan morfologi daerah penelitian dari citra satelit (Google Earth) Berdasarkan kenampakan bentang alamnya, Van Zuidan (1985) membagi morfologi daerah penelitian dan sekitarnya menjadi beberapa sub satuan denudasi, yakni S1, S2, S3, V10, dan V11. Sub satuan S1 terbentang di sebelah baratdaya lokasi penelitian dengan kemiringan lereng relatif landai (10 0-30 0 ). Morfologi sub 29

satuan ini tersusun oleh batuan dengan tingkat kekerasan lunak sedang, seperti batulempung, batupasir berselangseling batulempung. Sub satuan S2 memiliki bentuk morfologi dan sifat batuan yang hampir sama dengan S1. S2 terbentang di sebelah timurlaut lokasi penelitian yang dibatasi oleh tebing-tebing yang terjal dengan pola aliran sungai yang dikontrol oleh litologi. Sementara itu S3 memanjang dari baratlaut sampai tenggara melewati daerah penelitian. Bentuk morfologi merupakan perbukitan yang luas dengan kemiringan lereng antara 20 0-70 0. Batuan penyusunnya merupakan batuan keras seperti batupasir, breksi volkanik, perselingan batulempung dan batupasir. Sub satuan V10 terbentang di sebelah utara lokasi penelitian dengan bentuk morfologi berupa dataran luas yang memiliki kemiringan sekitar 3 0-10 0. Morfologi ini tersusun oleh batuan dengan tingkat kekerasan lunak, seperti endapan tufa yang menyusun perbukitan bergelombang rendah. Sedangkan V11 terhampar dari barat ke baratdaya melewati kampung Kondang (salah satu lokasi pengambilan data). Morfologinya berupa perbukitan terjal dengan kemiringan lereng 20 0-80 0 dengan batuan penyusun yang memiliki tingkat kekerasan sedang keras, seperti lahar dan breksi. Pola aliran sungai adalah dendritik karena kemenerusan aliran sungai tidak dipengaruhi oleh struktur geologi. Erosi yang paling intensif terjadi pada Sungai Cigede. Daerah Cinyasag yang termasuk dalam sub satuan S3 dan V11 berada pada kaki lereng Gunung Cijulang (±1393m) sebelah tenggara, yang membentuk perbukitan melandai (Gambar III.3) ke arah sungai S. Cigede yang bermuara ke S. Cijulang dengan pola aliran sungai sub dendritik dan bersifat mengalir tidak mengenal musim seperti terlihat pada Gambar III.4. Ketinggian daerah penelitian berkisar antara 600 sampai 755 meter di atas permukaan laut, sedangkan puncak-puncak bukitnya antara lain: Pasir Heulang (±731m), Pasir Simpur (±550 m) dan Gunung Datar (±735 m). 30

Gambar III.3. Gambaran morfologi daerah penelitian (Pusat vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung, 2005) PETA LOKASI DAERAH PENELITIAN GERAKAN TANAH DI DESA CINYASAG, KEC. PANAWANGAN, KAB. CIAMIS - JAWA BARAT Cirikip Lokasi Penelitian Gambar III.4. Pola aliran sungai daerah enelitian (Pusat vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung, 2005) 31

III.2. Stratigrafi dan Struktur Geologi Berdasarkan peta geologi lembar Tasikmalaya stratigrafi dibedakan jenisnya, antara lain: Endapan Permukaan terdiri atas Endapan Undak dan Aluvium; Batuan Sedimen tersusun oleh beberapa Formasi, yaitu Formasi Jampang, Formasi Pemali, Batugamping Kalipucang, Formasi Halang, Anggota Gununghurip, Formasi Bentang, Anggota Sukaraja, Formasi Tapak, dan Formasi Kaliwangu; Batuan Gunungapi juga tersiri atas beberapa Formasi, yaitu Formasi Cijulang, Hasil Gunungapi Tua, Hasil Gunungapi Muda, dan Breksi Gunungapi Galunggung; dan Batuan Terobosan terdiri atas Dasit, Diorit, dan Andesit. Sedangkan di sekitar daerah penelitian terdapat tiga Formasi utama yang umum dijumpai, yaitu Formasi Halang, Formasi Cijulang dan Hasil Gunungapi Tua (Gunung Sawal). Formasi Halang merupakan batuan sedimen yang terdiri atas: perselingan batupasir, batulempung dan batulanau dengan sisipan breksi dan batupasir gampingan yang memiliki ketebalan melebihi 400 m. Batuan umumnya berwarna kelabu sampai kehijauan, berlapis baik, keras dan padat. Pada Formasi Halang, tersingkap Anggota Gunung Hurip yang tersusun oleh breksi gunungapi, batupasir, serpih, dan konglomerat dengan tebal sekitar 200 400 m. Batuan umumnya berwarna kelabu berlapis baik. Sedangkan Formasi Cijulang terdiri atas breksi gunungapi bersisipan lava, tufa, dan batupasir tufaan dengan ketebalan paling besar 1000 m. Breksi berwarna kelabu, keras dan pejal berkomponen andesit. Satuan ini tertutup oleh Hasil Gunungapi Gunung Sawal tak selaras di bagian timurlaut. Breksi gunungapi tersebut menumpang di atas batulempung dan batulanau secara tidak selaras. Hal ini dapat dilihat dalam kolom stratigrafi yang ditampilkan pada lampiran B1. Struktur geologi yang ada di daerah ini berupa patahan naik (sesar naik) menyudut lancip dengan arah baratlaut selatan menenggara, terletak di bagian utara kampung Kondang yang melalui daerah Sadapaingan Citanduy seperti terlihat pada Gambar III.5. Pengaruh dan akibat sesar tersebut terlihat jelas di lapangan bahwa adanya batulempung dan batulanau pada jurus dan kemiringan lapisan 32

yang besar atau tidak beraturan di beberapa lokasi dan terdapat gawir gerakan tanah lama sehingga mempengaruhi kekerasan batuan dan kestabilan lereng. Gambar III.5. Peta Geologi Daerah Penelitian (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung, 2005) III.3. Tata Guna Lahan Pada umumnya, tata guna lahan daerah penelitian adalah perkebunan campuran (berupa pohon albasia, kopi, bambu dan beberapa jenis tanaman produktif lainnya); di lereng bagian bawah merupakan permukiman (Kondang, Cirikip dan Cinyasag); jalur jalan raya, dan persawahan yang subur, seperti terlihat pada Gambar III.6a,b. Kondisi air permukaan di daerah penelitian cukup melimpah, yaitu dengan adanya anak-anak sungai yang berasal dari Gunung Cijulang dan saluran irigasi yang melalui daerah penelitian mengarah ke Sungai Cigede. Selain itu, masyarakat setempat mengembangkan peternakan ikan air tawar yang membutuhkan sirkulasi air permukaan yang cukup (Gambar III.6c). Berdasarkan hasil pengamatan curah hujan daerah penelitian antara tathunn 2000 sampai 2006 di stasiun penakar hujan di Kecamatan Panawangan yang berjarak lebih kurang 1 km, menunjukkan bahwa curah hujan terendah terjadi pada bulan April sampai September, yaitu sekitar 142,00 201,00 mm/bln. Sedangkan 33

intensitas curah hujan bulanan tertinggi antara bulan Oktober sampai Maret adalah 279,00 mm/bln sampai 578,50 mm/bln. Gambar III.6. (a) (b) (c) Keadaan daerah penelitian; (a) Morfologi perbukitan dengan berbagai macam tumbuhan, (b) tanaguna lahan sebagai persawahan, (c) kolam atau tambak air tawar sebagai salah satu kegunaan lahan III.4. Gerakan Tanah Gerakan tanah atau dikenal dengan tanah longsor didefinisikan sebagai hasil proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan terjadinya perpindahan material pembentuk lereng yang berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau campuran material tersebut bergerak ke daerah yang lebih rendah atau keluar lereng oleh gaya gravitasi. Tanah longsor dapat terjadi pada lereng-lereng yang hambat geser tanah/batuannya lebih kecil daripada berat massa tanah atau batuan itu sendiri. Misalnya pada daerah tebing, sungai, danau, reservoar, dan dasar laut yang berbentuk lereng pegunungan. Proses terjadinya tanah longsor, yakni: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot (berat) tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperang sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng. Menurut Sadisun (2004), tanah longsor adalah pergerakan massa tanah atau batuan secara gravitasional yang dapat terjadi secara perlahan maupun secara tibatiba, dengan dimensi yang sangat bervariasi berkisar dari beberapa meter hingga ribuan kilometer. Tanah longsor dapat terjadi secara alami ataupun dipicu oleh 34

adanya ulah manusia. Terjadiannya tanah longsor sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan di sekitar lereng, penataan air yang tidak memadai dan pembukaan lahan dari lahan kering ke lahan basah terutama pada daerah lereng yang terjal. Meskipun penyebab utama terjadinya tanah longsor ini adalah gaya gravitasi (gaya tarik bumi) yang mempengaruhi suatu lereng yang terjal, namun ada beberapa faktor lain yang turut memegang peranan penting akan terjadinya tanah longsor, antara lain: pengaruh air, faktor kemiringan lereng, struktur geologi dan kegempaan. Selain daripada itu, ada beberapa hal yang dapat memicu terjadinya tanah longsor, yaitu: 1. Tanah yang kurang padat dan batuan yang kurang kuat 2. Tataguna lahan yang berupa persawahan dan ladang berpindah. 3. Susutnya muka air danau dan bendungan 4. Adanya pembebanan dan timbunan material pada tebing 5. Bekas gerakan tanah lama dan tempat pembuangan sampah 6. Penggundulan hutan dan erosi, dll. Terjadinya tanah longsor tidak lepas dari faktor kegagalan lereng secara mendadak dan faktor aliran material/massa. Dengan demikian tanah longsor dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu: falls (jatuhan pecahan tanah dan batuan), slides (longsoran tanah dan batuan), dan flows (longsoran yang mengalir seperti cairan kental (Allan & Ludman, 1982). III.4.1 Falls Falls adalah gerak pecahan batuan (besar/kecil) yang terlepas dari batuan dasar dan jatuh bebas. Biasanya terjadi pada tebing-tebing terjal, dimana material tidak stabil, sehingga dapat langsung jatuh atau membentur-bentur dinding tebing sebelum sampai di bawah tebing. Contoh falls sering dijumpai pada tebing-tebing di pinggir laut (Gambar III.7)dan pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan. 35

Gambar III.7. Jatuhan atau runtuhan batu (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007) III.4.2 Slides Slides adalah material yang bergerak masih agak koheren dan bergerak di atas suatu permukaan bidang. Bidang luncurannya dapat berupa bidang rekahan, kekar atau bidang perlapisan yang sejajar dengan lereng. Slides dibedakan menjadi a) Rockslide (longsoran massa batuan dengan bentuk plat) dan b) Slump (longsoran massa dengan permukaan melengkung) yang biasa disebut dengan longsor rotasi sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar III.8. A B Gambar III.8. Slides: a) Gerakan Blok Batu, dan b) Longsoran Rotasi (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007) III.4.3 Flows Flow (aliran) terjadi apabila material bergerak menuruni lereng sebagai cairan kental dengan cepat dan umumnya dijumpai berupa campuran sedimen, air dan udara dengan memperhatikan kecepatan dan konsentrasi sedimen yang mengalir. Yang sering terjadi adalah 1) aliran lumpur (mud flow) atau biasa disebut longsor translasi, 2) aliran debris (debris flow) dengan banyak air dan utamanya partikel 36

halus, dan 3) rayapan (creep). Tipe gerak tanah ini umumnya terjadi di daerah yang curah hujannya tinggi. Kecepatan alirannya tidak hanya bergantung pada kecuraman lereng akan tetapi juga pada kandungan air. 1 2 3 Gambar III.9. Flows: 1) Longsoran translasi, 2) Aliran bahan rombakan, dan 3) Rayapan tanah (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007) Sedangkan menurut Varnes (1978), pengelompokan tanah longsor terdiri atas 6 jenis utama, yaitu: Falls, Slides terbagi lagi menjadi rotasi (rotational) dan translasi (translational), Topples (robohan), Flows terdiri atas aliran bahan rombakan (debris flow), longsoran bahan salju (debris avalanche), aliran material bumi (earthflow), aliran lumpur (mudflow), dan rayapan (creep), lateral spreads (sebaran lateral), dan Complex (gabungan). Pengelompokan tanah longsor ini dapat dilihat pada tabel III.1 dan Gambar III.10 37

Tabel III.1 Jenis-jenis tanah longsor menurut versi Varnes (1978) TYPE OF MATERIAL TYPE OF MOVEMENT ENGINEERING SOILS BEDROCK Predominantly Coarse Predominantly Fine FALLS Rock fall Debris fall Earth fall TOPPLES Rock topple Debris topple Earth topple SLIDES ROTATION TRANSLATIONAL Rock slide Debris slide Earth slide LATERAL SPREADS Rock spread Debris spread Earth spread FLOWS Rock Flow Debris Flow Earth Flow (deep creep) (soil creep) COMPLEX Combination of two or more principal types of movement Gambar III.10. Beberapa ilustrasi jenis utama tanah longsor (Highland & Johnson, 2004) 38

Dengan dukungan data-data geologi, geomorfologi, hidrologi, dan flora di suatu daerah, tanah longsor dapat diperkirakan akan terjadi dengan mengenal gejalagejala umum seperti berikut: Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing. Biasanya terjadi setelah hujan. Munculnya mata air baru secara tiba-tiba. Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. III.4.4 Tahapan Mitigasi Bencana Tanah Longsor Pemetaan Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana. Penyelidikan Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana pengembangan wilayah. Pemeriksaan Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penaggulangannya. Pemantauan Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Sosialisasi Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atau masyarakat umum, tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannnya. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain: mengirimkan poster, booklet, dan leaflet atau dapat juga secara langsung kepada masyarakat dan aparat pemerintah. 39

Pemeriksaan bencana longsor Bertujuan mempelajari penyebab, proses terjadinya, kondisi bencana dan tata cara penanggulangan bencana di suatu daerah yang dilanda bencana tanah longsor. Potensi tanah longsor yang dapat terjadi sewaktu-waktu di daerah penelitian juga dapat diteliti dengan memanfatkan teknologi geofisika. Oleh karena itu pada bab IV akan dipaparkan hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian metoda geofisika tahanan jenis, sehingga kondisi geologi bawah permukaan bumi dapat diprediksi. Selain itu, keterkaitannya dengan hasil-hasil yang diperoleh dari metoda lainnya akan dibahas di akhir tesis ini. III.5. Hasil Pantauan GPS Pada daerah penelitian nampak di lapangan adanya gerakan tanah. Walaupun tidak dapat dirasakan secara langsung, tapi efeknya dapat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya kerusakan pada infrastruktur. Kerusakan yang terjadi dapat dilihat pada gambar III.11 berikut. Pepohonan miring Nendatan (Crack) Jalan berundulasi Tiang rumah patah dan miring Pondasi rumah patah & miring Bangunan retak Gambar III.11. Gambaran kerusakan infrastruktur di sekitar lokasi penelitian 40

Hasil pemantauan gerakan tanah di daerah penelitian dengan menggunakan GPS dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada bulan Oktober 2005 kemudian dilanjutkan oleh ITB pada bulan Mei 2006 dan bulan Januari 2007. Pengamatan dilakukan pada beberapa stasiun atau titik pantau, namun hanya stasiun M1, M3, dan M4 yang ditampilkan pada tesis ini. Titik-titik tersebut yang berdekatan dengan lokasi pengambilan data Geolistrik, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar III.12. 2 1 Gambar III.12. Lokasi stasiun pengamatan GPS (Peta kontur dibuat Pusan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2005) Pada pengambilan data GPS, diperlukan suatu titik kontrol yang mempunyai kedudukan diperkirakan tidak dapat bergerak sebagai acuan pengamatan. Titik kontrol yang digunakan dalam pemantauan di desa Cinyasag ini, diberi nama GD dengan koordinat geodetik 7 o 05 54.03632 LS, 108 o 22 21.01283 BT atau dalam koordinat UTM (209752.1967 m, 9214556.7557 m). Data hasil pengukuran GPS yang telah dikoreksi dalam beberapa tahap dan pergeseran posisi titik pantau dari periode ke periode pengukuran, dapat dilihat pada tabel di lampiran A2. 41

Pergeseran posisi yang terjadi pada setiap stasiun karena di daerah penelitian terjadi gerakan tanah yang sifatnya merambat dan perlahan. Besarnya pergeseran tergantung dari kecepatan gerakan tanah disekitar stasiun/titik pantau. Besarnya kecepatan gerakan tanah banyak dipengaruhi oleh kemiringan lereng dan labilnya material akibat pelapukan tanah dan batuan oleh air di daerah tebing yang curam. Walaupun kemiringan lereng tidak terlalu terjal, akan tetapi proses pelapukan sangat kuat akibat dari banyaknya air permukaan yang tertampung pada kolam ikan, sawah, saluran irigasi dan sungai yang mengalir di sekitar daerah penelitian. Besar dan arah vektor pergeseran posisi stasiun/titik pantau yang tercantum dalam lampiran A2, dapat dicari dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut: Besar vektor pergesearan A A x + A y 2 2 = (5.1) Arah vektornya terhadap arah utara (sumbu y) Ax α = A tan (5.2) Ay Besar resultan pergeseran dari periode 1 ke periode 3 2 x y y R = A + B, R = ( A + B ) + ( A + B ) 2 (5.3) x Selain dari tabel dalam lampiran A2, vektor pergeseran titik pantau secara skematik dapat dilihat pada Gambar III.13. Dimana titik M1 dari periode Oktober 2005 hingga Mei 2006 bergeser sejauh 1,4 cm dengan jurus N 38 0 07 48 E, pada periode Mei 2006 sampai Januari 2007 bergerak sejauh 0.1 cm dengan jurus N 274 0 45 36 E, sehingga resultan pergeseran dari periode Oktober 2005 sampai Januari 2007 sebesar 1,4 cm dengan orientasi N 33 0 55 12 E atau dengan kata lain M1 bergerak relatif ke arah timurlaut. Kemudian dari pada itu, titik M3 bergerak relatif ke arah timur (N 86 0 16 12 E) sejauh 5,2 cm dan M4 bergerak sejauh 12,0 cm ke arah timurlaut (N 54 0 06 36 E). 42

Gambar III.13. Skema pergerakan titik pantau dengan menggunakan GPS (Sitorus, 2007) Arah gerakan M3 searah dengan arah kemiringan lereng, yakni relatif ke arah timur. Hal ini didukung oleh adanya kesinambungan nendatan dari lokasi pertama hingga titik M3 terlihat di lapangan. Titik M3 bergerak sejauh 5,2 cm selama 15 bulan atau mempunyai kecepatan bergerak sebesar 4,14 cm/thn. 43