APAKAH TARIF PAJAK BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGGUNA NORMA SUDAH ADIL? STUDI KASUS PEDAGANG ECERAN MINUMAN DI JAKARTA BARAT LAPORAN SKRIPSI Oleh Anne Valerye Janias 1301042045 UNIVERSITAS BINA NUSANTARA JAKARTA 2013
TUGAS WORKING PAPER Setiap negara mempunyai norma dan aturan yang berlaku. Sehingga hal ini memungkinkan masyarakat melakukan pelanggaran. Tarif pajak yang sudah ditetapkan kadang-kadang berubah-ubah dan kurang memberi kepastian, itu yang membuat tarif pajak di negara Indonesia kurang adil bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Akibatnya masyarakat mungkin mencoba untuk menghindar membayar pajak yang sudah ditetapkan. Sistem pemungutan pajak yang di pakai di Indonesia adalah sistem self assessment yang dimaksud dengan sistem self assessment tersebut adalah wajib pajak di beri wewenang untuk menghitung, membayar dan melapotkan pajak terhutangnya sendiri. Didikung oleh landasan teori yang ada di bawah ini. Fungsi pajak itu ada dua, yaitu: 1. Fungsi Budgetair, pajak sebagai dana bagian pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Contoh : pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pengawai, belanja barang, pemeliharaan dan bangunan fasilitas umum. 2. Fungsi Regulerend, pajak untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang social dan ekonomi. Contoh : dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Official Assesment System Adalah sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : a. Wewenang untuk membentuk besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus. b. Wajib pajak bersifat pasif c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assesment System Menurut Mardiasmo (2009:7): Adalah sistem pemungutan pajak yang meberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terhutang. Ciri-cirinya : a. Wewenang unutuk menetukan besarnya pajak terhutang ada pada wajib pajak sendiri. b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang. c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3. Witholding System Adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
memotong atau memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terhutang ada pada pihak ketiga, pihak lain selain fiskus dan wajib pajak. Adapun pengertian pengusaha kena pajak, orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Untuk menjadi pengusaha kena pajak wajib bagi orang pribadi atau badan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) dengan ketentuan: 1. Setiap Orang Pribadi atau Badan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila Peredaran usaha atau Omzet dalam 1 (satu) tahun lebih dari Rp.600.000.000,-. 2. Bagi Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai Peredaran usaha atau Omzet dalam 1 (satu) tahun tidak lebih dari Rp.600.000.000,-. dapat mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan disebut Pengusaha Kecil Kena Pajak. 3. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Tarif pajak penghasilan yang sesuai dengan pasal 17 Undang-undang pajak penghasilan no 38 tahun 2008 adalah: Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak Sampai dengan Rp. 50.000.000 5% Diatas Rp. 50.000.000 sampai dengan Rp. 250.000.000 15% Diatas Rp. 250.000.000 sampai dengan Rp. 25% 500.000.000 Diatas Rp. 500.000.000 30% Undang-undang Pasal 14 Ayat 1 menjelaskan bawah norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jendaral Pajak dan disempurnakan terus-menerus: Penggunaan Norma Perhitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal: 1. Tidak terdapat dasar perhitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau 2. Pembukuan atau catatan peredaran bruto wajib pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar. Norma Perhitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma Perhitungan akan sangat membantu wajib pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk mengitung penghasilan neto. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Objek penelitian yang diambil adalah objek penelitian hanya untuk wajib pajak pedagang eceran minuman di Jakarta barat. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dimana metode kualitatif ini menggunakan penelitian dengan mengumpulkan data dengan menggunakan metode pengumpulan data dan wawancara kepada wajib pajaknya langsung untuk mendapatkan informasi yang akurat. Disini di bahas tentang latar belakang asas keadilan terhadap kebijakan penghitungan penghasilan neto dimana, Indonesia adalah negara berkembang dengan administrasi perpajakan yang belum maju dan sumber daya yang belum memadai, dimulai dengan menggunakan system presumptive yang salah satunya adalah penerapan norma perhitungan penghasilan neto yang masih berlaku sampai sekarang. Dalam norma penghasilan neto maka Penghasilan wajib pajak bukan didasarkan atas penghasilan sebenarnya yang didapatkan oleh wajib pajak, tetapi nilai lain yang digunakan untuk menentukan penghasilan tersebut. Hal ini membuat penghitungan penghasilan norma tersebut berbeda dengan sistem self-assessment. Alasan untuk menggunakan norma perhitungan penghasilan neto di Indonesia lebih ditekankan kepada kemudahan administrasi perpajakan wajib pajak. Sebagaimana dikutip oleh Sari (2012) dalam wawancara dengan Staf Pelaksana di Sub Direktorat Potong Pungut Direktorat Jenderal Pajak maka dapat disimpulkan bahwa pengguna norma
lebih ditekankan pada asas kemudahan administrasi bagi wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan khususnya wajib pajak orang pribadi yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan. Selanjutnya administrasi yang sederhana diperlukan dalam pelaksanaan pemungutan pajak, namum dalam pemungutan tersebut unsur keadilan merupakan bagian yang harus diperhatikan. Melihat perkembangan perpajakan di Indonesia maka unsur kesederhanaan masih menjadi isu utama bagi wajib pajak orang pribadi pengguna norma yang relatif meningkat dari tahun ke tahun sebagaimana ditampilkan dalam table berikut: Table 4.1 Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Melaporkan SPT Tahunan Menggunakan Norma Dan Pembukuan Tahun Pajak 2008-2012 Tahun SPT Tahunan Norma SPT Tahunan Pembukuan 2008 3,060,113 90,852 2009 4,095,391 97,911 2010 4,294,224 100,062 2011 4,328,584 101,107 2012 4,330,909 101,123 Total Keseluruhan Dari Masing-masing 20,109,221 491,055 SPT Sumber: yang di ambil dari Humas Direkrotar Jenderal Pajak
Dimana dapat dilihat di tabel 4.1 wajib pajak lebih banyak menggunakan norma penghitungan ketimbang menggunakan pembukuan. Selain lebih memudahkan wajib pajak untuk menghitung pajak terutangnya, norma lebih mempermudah wajib pajak yang kurang mengerti menggunakan perhitungan pembukuan. Kesulitan kebijakan norma penghitungan penghasilan neto di Indonesia dilihat dari asas keaadilan yang sudah ada di Indonesia sendiri. Asas keadilan merupakan salah satu hal yang penting bagi wajib pajak orang pribadi dalam pelaksanaan kebijakan perpajakan. Sistem perpajakan akan dapat berjalan dengan baik dan didukung oleh rakyat apabila dikenakan secara adil, yaitu pembayaran pajak dilakukan sesuai dengan kemampuan pembayar pajak. Dengan harapan pemungutan pajak dapat menguntungkan banyak pihak. Sehingga dengan terpenuhnya keadilan maka masyarakat dapat membayar pajak secara suka rela. Permasalahan yang terdapat di Indonesia adalah rendahnya kepatuhan wajib pajak tentang membayar pajak menggunakan pembukuan. Karena pembukuan masih menjadi salah satu penghambat bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajaknya. Penyelenggaraan pembukuan yang dilakukan oleh wajib pajak hal yang sangat dibutuhkan di dalam sistem self-assessment. Wajib pajak dapat melakukan perhitungan, menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajaknya. Masalah yang timbul adalah keadilan pemerintah untuk memungut pajak, sehingga sebenarnya menyelenggarakan pembukuan itu sangat memberatkan wajib pajak. Hal ini disebabkan karena tidak semua wajib pajak mengerti menggunakan sistem atau prinsip pembukuan yang sesuai dengan peraturan perundang-udangan perpajakan. Karena ketidaktahuan wajib pajak soal pembukuan kebanyakan dari mereka menggunakan jasa konsultan
untuk membuat pembukuan. Maka dari itu pemerintah membuat kebijakan norma penghitungan penghasilan neto untuk memudahkan wajib pajak melakukan kewajiban perpajakan yang seharusnya dibuat oleh wajib pajak dan tidak harus melaksanakan pembukuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanga pajak karena pembukuan masih terlalu kompleks bagi wajib pajak yang tidak mengerti dengan melakukan perhitungan menggunakan pembukuan. Norma penghitungan penghasilan neto, mempunyai penerapan untuk pengguna norma yang sangat memberikan informasi yang sangat positif bagi wajib pajak, yang artinya bahwa pengenaan pajak dengan cara memakai persentase norma dari penghasilan bruto untuk menghasilkan penghasilan neto yang merupakan salah satu cara mudah dalam penerapannya. Mengingat keterbatasan wajib pajak untuk menghitung pajak dengan cara memakai perhitungan laba rugi yang didasarkan pada prinsip-prinsip akuntansi yang lazim dan dapat diterima atau dalam arti pengertian sempitnya pembukuan. Sejalan dengan berjalannya waktu muncul norma penghitungan penghasilan neto karena ketidak mampuan wajib pajak dalam menyelenggarakan pembukuan yang benar dan lengkap sesuai dengan undang-undang perartutan perpajakan. Di Indonesia wajib pajak bebas memilih perhitungan pajak yang diinginkan. Perhitungan pajak yang berlaku di Indonesia, ada yang berdasarkan norma dan ada juga yang berdasarkan pembukuan. Besarnya perhitungan norma peredaran bruto dalam satu tahun, bisa dilihat dalam Pasl 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilann: (2) Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Penyelasan Pasal 14 Ayat (2): (2) Norma Penghitungan penghasilan neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, wajib pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Besarnya persentase norma penghitungan penghasilan neto menunjukkan respon ketidak setujuan dengan membuat pernyataan yang tidak adil dan tidak wajar. Karena beberapa dari wajib pajak yag mempunyai usaha menyatakan tarif norma terlalu tinggi dan tidak wajar. Besarnya pemerintah menetapkan persentase norma penghitungan penghasilan neto yang untuk pedagang eceran sebesar 30% (tiga puluh persen), sedangkan secara praktis dalam bisnis margin yang kita punya secara bersih dari usaha dagang tidak mengalami kenaikan yang berarti, bahkan tidak ada kecenderungan naik.
Kepatuhan pajak seharusnya dilakukan secara suka rela merupakan salah satu pencapaian untuk menilai sistem perpajakan di Indonesia sudah maju. Sebenarnya norma penghitungan penghasilan neto sudah mempunyai azas kepastian, jika didalamnya mempunyai kejelasan dan ketegasan sehingga siapa saja wajib pajak yang dapat memanfaatkan fasilitas dan besarnya persentase yang diberikan pemerintah tidak dapat interpretasikan bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Jelas disebutkan di pasal 14 UU PPh yang memberikan kemudahan berupa norma pengitungan penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 yang dibebaskan dari kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan. Adapun kekurangan dari kebijakan norma penghitungan penghasilan neto di Indonesia. Para ahli sering memberikan pernyataan tentang bagaimana cara mengevaluasi menggunakan metode yang memajaki wajib pajak dengan cara presumptive taxation yang mempunyai arti dan tujuan kehadirannya, alat yang efektif menjadi masalah dengan golongan yang sulit untuk dipajaki. Metode perkiraan yang mempunyai sifat alami tentang metode alternatif yang lebih sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan kewajiban pajak dari wajib pajak ketika aplikasi yang sulit digunakan. Metode perkiraan yang mempunyai sifat tidak konsisten dan berbeda dengan azas-azas administrasi perpajakan yang baik. Norma penghitungan penghasilan neto bertujuan untuk memperjelas Pasal Undang-Undang 36 Tahun 2008: Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma penghitungan penghasilan neto di Indonesia juga memiliki kelemahan, yaitu: 1. Sistem yang bertentangang oleh Indonesia adalah sistem self assessment Sistem self assessment memberikan kemudahan terhadapat wajib pajak, dasarnya hanya memberikan wajib pajak untuk menghitung, melaporkan dan membayar kewajiban pajak secara sendiri. Penghitungan yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto hanya berarti untuk pengenaan pajak secara tidak langsung yang ditetapkan dengan otoritas pajak. 2. Cara Yang Di Lakukan Wajib Pajak Untuk Menghadari Pajaknya Penghitungan menggunakan norma dapat mendorong supaya wajib pajak patuh, penggunaan peredaran bruto sebagai dasar pengenaan pajak yang memiliki celah untuk melaporkan pendapatan yang tidak sesuai. Direktorat Jenderal Pajak harus melakukan tugasnya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Wajib pajak menghindari pemeriksaan pajak dengan cara membuat surat pemberitahuan pajak kurang bayar supaya setoran pajak pada akhir tahun membuat surat pemberitahuan pajak nihil. Norma penghitungan adalah alat untuk memudahkan wajib pajak untuk melaporkan pajaknya, wajib pajak yang belum terlalu paham mengenai pembukuan dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan sesuai dengan peraturan perpajakan. Tetapi kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan di Indonesia masih belum terlalu relevan. Oleh karena itu norma penghitungan penghasilan neto dilaksanakan bersama-sama dengan pemeriksaan.
Kesimpulan dan saran yang terdapat dalam penelitian ini adalah: Simpulan Kesimpulan akhir yang didapat setelah membahas dan mendalami konsep-konsep serta pemikiran dari bab-bab sebelumnya berkenaan dengan pokok permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Dengan adanya perubahan tarif dan norma penghitungan penghasilan neto untuk wajib pajak orang pribadi pada tahun 2000 belum mendapatkan hasil yang optimal. Selisih yang terdapat pada orang pribadi dengan penerimaan pajak yang secara akurat masih menjadi selisih yang cukup jauh. Hal yang dapat dilihat dari jumlah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar belum terjangkau secara administrasi yang memiliki potensi pajak. 2. Perubahan tarif pajak pada tahun 2000 dirasa wajar dan adil oleh wajib pajak orang pribadi, tetapi perubahan persentase norma penghitungan penghasilan neto pada tahun 2000 untuk pedagang eceran masih belum dirasa adil bagi wajib pajak orang pribadi, karena kenaikan persentase yang terlalu tinggi dapat membuat wajib pajak tidak patuh untuk melaporkan penjualan usaha sebenarnya. 3. Administrasi penerapan norma penghitungan penghasilan neto masih memberikan celah bagi wajib pajak untuk melakukan manupulasi data untuk tidak melaporkan pajak dalam keadaan yang sebenarnya. Self-assessment memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, melaporkan dan menyetor pajaknya. Fungsi pengawasan administrasi pajak yang memberikan efek jera kepaada wajib pajak.
Saran Ada beberapa saran yang dianjurkan untuk menjadi bahan pertimbangan dalam kebijakan administrasi perpajakan baik untuk wajib pajak maupun untuk Direktorat Jendral Pajak secara praktisi untuk perpajakan di Indonesia, yaitu: 1. Direktorat Jendral Pajak sebaiknya meninjau kembali mengenai persentase norma penghitungan penghasilan neto yang naik drastis, tapi kenaikan tersebut tidak dapat mempengaruhi pajak penghasilan terutang wajib pajak dengan prilaku wajib pajak yang merespon untuk menurunkan omsetnya untuk mencapai pembayaran pajak yang diinginkan oleh wajib pajak. 2. Fungsi Direktorat Jenderal Pajak yang mendorong wajib pajak dengan menghitung menggunakan persentase norma penghitungan penghasilan neto yang tinggi agar wajib pajak menghitung menggunakan pembukuan, sebaiknya Direktorak Jendral Pajak dapat memberikan penyuluhan dan menyediakan standar baku pembukuan yang lazim untuk pendagang eceran, karena wajib pajak kurang memahami menggunakan pembukuan dengan pelayanan yang prima. 3. Penekanan sanksi kepada wajib pajak yang melakukan tindak pidana pajak seberat-beratnya berdasarkan undang-undang perpajakan, agar wajib pajak yang melakukan kecurangan dapat merasakan titik jera dengan adanya sanksi perpajakan tersebut.