BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

2. Strongyloides stercoralis

Identifikasi dan Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Anak Babi di Bali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

xvii Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

IDENTIFIKASI CACING NEMATODA PADA SALURAN PENCERNAAN BABI DI MAKASSAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

AKURASI METODE RITCHIE DALAM MENDETEKSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BABI

Taenia saginata dan Taenia solium

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N E M A T H E L M I N T H E S

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan yang lainnya sehingga mendorong manusia untuk memberi perhatian lebih.

Gambar 1. Perluasan lesi pada telapak kaki. 9

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

Buletin Veteriner Udayana Vol. 5 No. 2 ISSN : August Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di

TREMATODA PENDAHULUAN

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

Transkripsi:

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Babi Babi merupakan hewan monogastrik yang memiliki kesanggupan dalam mengubah bahan makanan secara efisien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang memadai. Ditinjau dari pola makanannya, babi termasuk hewan omnivora, yaitu hewan pemakan segala jenis pakan, baik yang berasal dari binatang atau tumbuh tumbuhan. Karena pola makannya yang dapat memanfaatkan berbagai jenis sumber pakan tersebut, babi dapat dipelihara secara ekstensif dan diberbagai tempat, dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber pakan setempat. Bahkan karena kemampuannya dalam mencerna berbagai jenis pakan, tidak jarang babi diberi makan sisa sisa makanan manusia atau berbagai jenis limbah. Dengan demikian dikatakan bahwa pemeliharaan ternak babi relatif lebih mudah dilakukan bila ditinjau dari segi penyediaan pakannya. Selain itu, babi mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim yang beragam (Ardana dan Putra, 2008). Babi berdasarkan jenisnya dapat dikelompokkan menjadi : sus vitatus, sus scrofa yang tersebar di seluruh kawan hutan di Indonesia dan sus barbatus (babi berjenggot) hanya terdapat di beberapa daerah seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua (Regan, 2009). Sedangkan babi yang dipelihara saat ini berasal dari babi hutan. Ditinjau dari segi produktifitas, babi merupakan hewan yang prolifik, yaitu mampu menghasilkan banyak anakan dalam setahun. Kondisi pemeliharaan

8 ternak pada umumnya dan babi pada khususnya, untuk di Indonesia, tampaknya belum memadai untuk tercapainya produktifitas yang optimum, walaupun ternak babi yang dipelihara dewasa ini sudah dapat dikategorikan sebagai babi ungul yang didatangkan (diimpor) dari luar negeri, seperti babi Landrace, Saddleback, Yorkshire, Duroc dan lain sebagainya (Kanisius, 1985). Beberapa jenis penyakit pada babi khususnya penyakit parasiter oleh cacing masih banyak ditemukan di lapangan, antara lain Nematodiosis. Penyakit ini disebabkan oleh cacing dari klas nematoda atau cacing gilig. Infeksi cacing ini menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi, karena menyebabkan pertumbuhan ternak menjadi tidak optimal (Silalahi dan Sinaga, 2010). Program pencegahan penyakit sangat diperlukan agar babi bebas dari infeksi khususnya parasit. Seunggul apapun ternak yang dipelihara serta sebaik apapun manajemen pemeliharaannya, semuanya itu akan kurang bila aspek kesehatan hewan kurang diperhatikan, dalam artian manajemen pencegahan penyakit tidak dilaksanakan sepatutnya oleh peternak (Ardana dan Putra, 2008). 2.2 Sistem Pemeliharaan Ternak Babi di Bali Sistem pemeliharaan ternak babi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu sistem pemeliharaan tradisional, semi intensif dan intensif (Kanisius, 1981). Sistem pemeliharaan tradisional dan semi intensif adalah sistem pemeliharaan yang paling umum dilakukan oleh masyarakat di Bali (Yasa, et al., 2005).

9 Sistem pemeliharaan tradisional adalah sistem pemeliharaan yang dilakukan secara sederhana. Pemberian pakan babi pada sistem pemeliharaan tradisional ini pada umumnya berasal dari limbah pertanian dan industri turunan dari pertanian itu sendiri, serta limbah rumah tangga. Babi yang dipelihara secara tradisional biasanya di ikat di areal belakang pekarangan rumah. Pemberian pakan tidak teratur dan biasanya ditempatkan pada palung atau tempat pakan yang mudah dipindah-pindahkan serta kurang terjaga kebersihannya. Dalam sistem pemeliharaan semi intensif ternak dikandangkan pada kandang permanen dengan lantai dan dinding kandang yang terbuat dari semen dan atapnya dari seng atau asbes. Cara pemeliharaan dan ransum pakan yang diberikan belum tersusun dengan baik dalam pemenuhan gizi serta tidak adanya pemberian obat cacing dan vaksin. Sedangkan pada peternakan dengan sistem pemeliharaan intensif, manajemen yang diterapkan lebih baik dari sistem pemeliharaan semi intensif (Kanisius, 1981). 2.3 Karakteristik Nematoda Saluran Pencernaan Babi 2.3.1 Ascaris suum Ascaris suum termasuk ke dalam Phylum Nemathelminthes, Subclass Secernentea, Ordo Ascaridida dan Family Ascarididae. Cacing ini merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada ternak babi, terutama babi muda diseluruh dunia (Soulsby, 1982). Kejadian ascariasis sangat tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis (Chan, 1997

10 dalam Tsuji, et al., 2003). Cacing ini berparasit pada usus halus (Soulsby, 1982). Ascaris suum memiliki tiga bibir tipis di ujung anterior. Terdapat peninggian bergerigi yang dibentuk oleh deretan gigi yang bentuknya mirip dengan segitiga bertepi lurus sama sisi pada permukaan dalam masingmasing bibir. Cacing jantan panjangnya 15-25 cm dan berdiameter 3-4 mm, dengan spikulum sama besar dan kuat dengan panjang sekitar 2 mm dan mempunyai 69-75 papila kaudal. Betinanya 20-40 cm dengan diameter 5-6 mm, dengan vulva terletak di sekitar 1/3 panjang tubuh dari ujung anterior (Levine, 1990). Telur cacing berukuran 55-75 x 35-50 µm, mempunyai dinding yang tebal serta mempunyai ciri khas yaitu bagian luarnya dilapisi oleh albumin yang tidak rata sehingga membentuk tonjolan yang bergerigi (Bornay, 2006). Ascaris suum memiliki siklus hidup langsung. Cacing betina mengeluarkan telur 1-1,6 juta setiap hari di dalam usus dan keluar bersama tinja. Telurnya tidak bersegmen ketika sampai di tanah, dan membutuhkan 13-18 hari untuk menjadi infektif di bawah kondisi optimal, atau 31-40 hari pada 18-20 C. Stadium infektif Ascaris suum yaitu larva stadium ke dua yang masih di dalam kulit telur. Babi terinfeksi dengan menelan telur-telur infektif dan kemudian menetas di dalam usus. Larva menembus dinding usus dan migrasi menuju hati melalui sistem porta hepatik. Larva stadium dua tersebut kemudian bermigrasi dan berkembang di dalam hati, menyilih menjadi stadium ke tiga dalam 4-5 hari. Kemudian menuju jantung dan

11 paru-paru melalui aliran darah. Larva tersebut berkembang lebih lanjut pada paru-paru, menyilih menjadi stadium ke empat setelah 5-6 hari, dan kemudian bergerak perlahan dari alveoli ke bronkiola, bronki, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar 12 hari sesudah infeksi. Larva dibatukkan, tertelan, dan mencapai usus kecil dan kemudian menjadi dewasa. Banyak larva stadium ke empat ditemukan dalam usus halus 2-3 minggu sesudah infeksi. Masa prepaten 7-9 minggu, dan sedikit sekali cacing dewasa yang hidup lebih dari satu tahun (Levine, 1990). Pada stadium larva, ascaris suum dapat mengakibatkan terbentuknya jejas berwarna putih di bawah kapsul hati (milk spot), bronchitis, dan pneumonia. Sedangkan cacing dewasa dalam usus halus dengan jumlah yang banyak sering menyebabkan penyumbatan pada usus, sehingga terjadi kolik dan iritasi hingga enteritis sehingga timbul gejala diare, demam dan anemia. Selain itu teramati kelemahan umum seperti dehidrasi, penurunan berat badan dan kekurusan (Urquhart, et al., 1985). 2.3.2 Trichuris sp Trichuris suis merupakan cacing dari Phylum Nemathelminthes, Class Adenophorea, Ordo Trichurida, dan Family Trichuridae (Soulsby, 1982). Trichuris suis adalah cacing cambuk pada babi. Ia dijumpai di dalam sekum dan kolon babi di seluruh dunia. Ia mirip dengan Trichuris trchiura pada manusia. Bagian anterior yang ramping sekitar dua pertiga panjang tubuh pada kedua jenis kelamin. Panjang cacing jantan 30-40 mm, dengan

12 spikulum 2,0-3,35 mm dan selubung spikulum dipersenjatai dengan sebuah spina. Cacing betina 35-50 mm, dengan telur berukuran 50-56 x 21-25 mikron (Levine, 1990). Siklus hidup Trichuris suis langsung, dimana tidak ada induk semang antara, dan infeksinya dengan cara termakannya telur yang berisi larva stadium kedua. Telur infektif yang sudah berembrio sangat resisten dan dapat tetap hidup untuk beberapa bulan atau tahun. Perkembangan di dalam induk semang definitif tampaknya berlangsung di dalam lumen usus, dan masa prepaten cacing ini yaitu sekitar 2-3 bulan. Cacing dijumpai terutama di dalam sekum, melekat pada mukosa dengan ujung depannya seperti sebuah jarum (Levine, 1990). Gangguan oleh parasit ini biasanya terbatas pada organ sekum (usus buntu) dan kolon saja dan dapat terjadi diare 19 hari setelah infeksi. Tandatanda penurunan berat badan dimulai dari hari ke-29 infeksi, dan terus berlanjut sampai hewan tersebut mati. Pada infeksi ringan akan terjadi penurunan kondisi akibat diare yang kronis, penurunan bobot badan, anemia serta gejala ikutan lainnya (Soulsby, 1982). 2.3.3 Strongyloides ransomi Cacing Strongyloides ransomi merupakan cacing yang berasal dari Ordo Rhabditida dan Family Strongyloididae (Soulsby, 1982). Stongyloides ransomi terdapat diseluruh dunia pada mukosa usus halus babi. Cacing betina partenogenetik parasitik panjangnya 3,3-4,5 mikron dan berdiameter 54-62 mikron, dan menghasilkan telur berembrio

13 berbentuk elips, berkulit tipis, berukuran 45-55 x 26-35 mikron. Cacing jantan hidup bebas mempunyai panjang 868-899 mikron dengan spikulum melengkung yang panjangnya 26-29 mikron dan gubernakulum dengan panjang 18-19 mikron. Cacing betina hidup bebas panjangnya 1,0-1,1 mm. Dengan masa prepaten yaitu 3-7 hari (Levine, 1990). Transmisi larva melalui kolostrum merupakan rute infeksi yang paling umum pada anak babi yang sedang menyusui. Cacing dewasa khususnya cacing betina bersembunyi di dalam usus dan menyebabkan iritasi hingga peradangan. Infeksi host dapat terjadi baik dengan penetrasi kulit dan menelan larva infektif. Periode prepatennya yaitu 6 9 hari. Pada saat kebuntingan dan melahirkan akan merangsang munculnya kembali dari larva yang kemudian dapat menginfeksi anak babi melalui kolostrum. Dalam jangka satu minggu setelah kelahiran anak babi, telur cacing bisa ada di dalam kolostrum mereka yang dapat berkembang dalam waktu 24 jam untuk menjadi larva infektif. Dalam infeksi yang ringan, hewan tidak menunjukkan tanda tanda. Pada infeksi yang berat gejala yang muncul berupa diare berdarah, anemia, kekurusan dan kematian mendadak pada anak babi mungkin akan terjadi. Selama fase migrasi infeksi gejala berupa batuk, nyeri otot, sakit perut dan muntah dapat diamati (Kaufmann, 1996). 2.3.4 Hyostrongylus rubidus Hyostrongylus rubidus adalah salah satu spesies cacing dari ordo strongylida yang penting dalam peternakan babi. Cacing ini dikenal juga dengan nama Red Stomach Worm atau cacing lambung merah

14 (Johnstone. 2000, dalam Agustina. 2013). Hyostrongylus rubidus ditemukan hampir diseluruh daerah peternakan babi diseluruh dunia dan menginfeksi semua umur babi (Lintock. 1966). Secara umum cacing ini memiliki panjang rata-rata 5-10 mm dan tubuhnya langsing (Johnstone. 2000, dalam Agustina. 2013). Cacing jantan panjangnya 4-7 mm dan mempunyai spikulum dengan panjang 127-134 mikron dan gubernakulum 68-71 mikron. Cacing betina panjangnya 5-9 mm dan mempunyai telur berukuran 60-76 x 31-38 mikron. Vulva pada cacing betina berada 1/6 bagian posterior tubuh (Levine. 1990). Hyostrongylus rubidus disebut cacing lambung merah karena memiliki warna merah yang didapat dari makanannya berupa darah, cacing ini menghisap darah pada permukaan lambung babi (Johnstone. 1997, dalam Agustina. 2013). Tempat predileksi cacing Hyostrongylus rubidus adalah di dalam lambung babi. Babi akan terinfeksi jika larva cacing stadium III mencemari pakan dan termakan oleh babi. Larva infektif stadium III yang termakan, masuk ke dalam lambung dan menembus ke dalam kelenjar lambung. Disana dia tumbuh dan berkembang hingga menjadi larva stadium IV dan akan muncul sebagai cacing muda dalam 17 hari setelah terjadi infeksi, untuk menjadi dewasa dan siap berkembang biak dipermukaan mukosa lambung. Periode prepaten cacing Hyostrongylus rubidus selama kira-kira 3 minggu. Siklus hidup diluar inang terjadi mulai telur cacing dikeluarkan saat babi defekasi. Telur cacing akan berkembang menjadi larva stadium I,

15 stadium II dan stadium III. Pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan dari telur hingga mencapai stadium III yang infektif membutuhkan waktu selama 7-14 hari (Johnstone. 2000, dalam Agustina. 2013). Temperatur optimal dalam penetasan telur adalah 15-25 ºC. Larva cacing sangat aktif bergerak dan tidak berada pada satu tempat dalam feses saja tetapi juga bisa tersebar pada areal peternakan dan padang rumput (Roepstorff dan Nansen, 1998). Babi yang digembalakan atau diberi makan dedaunan akan mudah tertular cacing ini (Kendall and Small, 1974). Babi yang terinfeksi oleh cacing Hyostrongylus rubidus akan menunjukkan gejala klinis berupa menurunnya kondisi tubuh, kelemahan, tidak ada koordinasi, kekurusan, kepucatan selaput lendir akibat anemia, tapi biasanya babi jarang mengalami diare (Roepstorff dan Nansen, 1998). Babi yang mengalami infeksi cacing dalam jumlah yang banyak dapat mengalami kematian (Levine, 1990). Untuk mendiagnose penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan feses dengan menemukan telur tipe strongyl atau menemukan parasitnya ketika melakukan bedah bangkai. Tapi bentuk telur cacing Hyostrongylus rubidus sama dengan bentuk telur cacing nodul (Oesophagostomum dentatum) (Pighealth, 2006). 2.3.5 Oesophagustomum Spp Terdapat beberapa spesies cacing Oesophagostomum yang menyerang babi antara lain Oesophagostomum dentatum, Oesophagostomum brevicaudum, Oesophagostomum georgianum, dan Oesophagostomum

16 quadrispinulatum (Levine, 1990). Spesies yang paling umum dijumpai pada babi adalah Oesophagostomum dentatum, cacing ini tersebar diseluruh dunia (Merck, 2003). Keempat jenis cacing ini sangat mirip, sehingga tidak ada gunanya memandang mereka terpisah. Kemungkinan Oesophagostomum dentatum merupakan cacing yang paling umum, tetapi infeksi campuran merupakan hal yang biasa dijumpai (Levine, 1990). Oesophagostomum dentatum juga dikenal dengan nama cacing nodul. Nama cacing nodul berasal dari nodul yang dibentuk oleh stadium larva dari Oesophagostomum. Nodul ini terbentuk dari jaringan fibrosis yang dirangsang oleh reaksi sistem immunologis induk semang pada lapisan mukosa dari dinding usus besar yaitu caecum dan colon dalam usaha membatasi larva cacing (Corwin and Tubbs, 1993). Cacing jantan panjangnya 6-10 mm dan berdiameter 200-500 mikron. Mereka mempunyai spikulum dengan panjang berturut-turut 1,15-1,3 mm; 1,0-1,2 mm; 1,0-1,1 mm dan 0,9-1,0 mm. Panjang cacing betina 6-14 mm, dengan telur berukuran 50-80 x 35-70 mikron (Levine, 1990). Vesicle chepalic sangat menonjol, tapi alae cervical pada kenyataannya tidak ada. Papila cervical mengarah ke bagian posterior dari oesophagus. Submedian dari rancangan kepala sangat jelas didepan, seperti halnya sembilan elemen dari mahkota luarnya. Mahkota bagian dalam terdiri dari delapan belas elemen (Soulsby, 1982). Cacing Oesophagostomum dentatum berpredileksi dalam lumen usus besar babi yaitu caecum dan colon (Levine, 1990). Infeksi cacing

17 Oesophagostomum dentatum berlangsung pada saat babi memakan tumbuh-tumbuhan atau pakan yang mengandung larva infektif (Kusumamihardja, 1992). Larva infektif yang tercerna akan mengalami pergantian kulit dalam usus halus dan sehari setelah infeksi larva menembus dinding usus yakni pylorus sampai ke rectum. Disini ekdisis ketiga mengambil tempat dan larva tumbuh hingga mencapai panjang antara 1,5-2,5 mm, sekarang mereka telah memiliki capsul bucalis sub-globular dengan gigi dorsal dibagian dasar, dan alur cervical sangat jelas. Umumnya larva kembali ke lumen usus setelah 5-7 hari dan bermigrasi menuju colon, dimana mereka akan tumbuh menjadi dewasa setelah mengalami ekdisis keempat. Telur ditemukan pertama kali keluar bersama feses penderita setelah 41 hari terjadi infeksi (Soulsby, 1982). Diluar tubuh induk telur mengalami awal segmentasi. Dinding telur yang tipis, terdiri dari lapisan dinding sebelah luar yang tersusun dari bahan kitin dan membran vitellinus di dalamnya (Soulsby, 1982). Telur Oesophagostomum dentatum yang keluar bersama tinja akan menetas dalam waktu 24-48 jam dalam tanah yang lembab dengan suhu sekitar 26ºC (Kusumamihardja, 1992). Setelah menetas, larva berada pada stadium I, yaitu bentuk rhabditiform. Makanan larva adalah bakteri dari lingkungan sekitarnya, kemudian terus tumbuh dan menyilih menjadi larva stadium II. Bentuk rhabditiform esophagus berangsur berkurang, kemudian tumbuh menjadi larva yang kutikulanya masih tetap berasal dari stadium

18 sebelumnya dan bersifat infeksius (stadium III). Larva infektif stadium III tidak makan bakteri dari alam sekitarnya, tetapi memperoleh makanannya dari granula makanan yang tersimpan di dalam sel-sel intestinum. Stadium infektif dicapai pada kondisi optimum selama 6-7 hari dan stadium prainfektif sama sekali tidak tahan dengan kekeringan (Soulsby, 1982). Kemampuan hidup larva pada padang rumput tergantung pada faktor lingkungan. Penyebaran yang signifikan akan terjadi pada kondisi lingkungan yang sesuai yaitu musim panas dikombinasi dengan tumbuhtumbuhan sebagai pelindungnya. Penyebaran sangat menurun pada saat temperatur rendah dan sepanjang musim kemarau, dimana terdapat sedikit tumbuh-tumbuhan (Roepstorff and Murrell, 1996). Babi yang terinfeksi oleh cacing Oesophagostomum spp akan menunjukkan gejala klinis berupa hambatan pertumbuhan, kelemahan, kekurusan, menurunnya produksi susu, anemia, enteritis, dan diare (Roepstorff dan Nansen. 1998). Cacing ini juga dapat menimbulkan kematian pada babi (Soulsby, 1982). 2.3.6 Globocephalus urosubulatus Globocephalus urosubulatus termasuk ke dalam Phylum Nemathelminthes, Ordo Strongylida, dan Family Globocephalidae (Levine, 1994). Cacing jantan dewasa memiliki panjang 3,5 5 mm dan cacing betina 4,5 8 mm (Nanev, 2007). Memiliki ciri khas bucal kapsul yang dipakai untuk menempel pada dinding mukosa usus (Talbot, 1972). Telur

19 berdinding tipis dan mengandung larva dengan ukuran panjang 52 56 µm dan lebar 26 35 µm (Flynn and Barker, 2007). Telur dapat berada dalam kotoran dan untuk berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga membutuhkan waktu sekitar 12 18 hari. Infeksi terjadi dengan menelan larva tahap ketiga atau dengan penetrasi transcutan. Migrasi larva melalui jantung, paru paru, tenggorokan, kerongkongan, usus (Kaufmann, 1996). Gejala klinis yang muncul bisa berupa anemia, hypoproteinemia, penurunan berat badan progresif dan kekurusan dapat terjadi pada infeksi berat (Kaufmann, 1996). Untuk mendiagnosa dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis yang nampak dan untuk menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan feses secara mikroskopis untuk menentukan adanya telur cacing dari Globocephalus yang berdinding tipis dan mengandung larva (Talbot, 1972). 2.3.7 Gnathostoma hispidum Gnasthostoma hispidum merupakan cacing dari Subclass Secernentea, Ordo Spirurida, Superfamily Physalopteroidea dan Family Gnathostomidae (Soulsby, 1982). Cacing ini berbentuk bulat berwarna kemerahan dan transparan. Berpredileksi di dalam lambung babi di Eropa, Asia (Soulsby, 1982) Afrika dan Amerika Serikat (Daengsvang et al, 1964), selain itu juga bisa menginfeksi babi hutan, manusia (Robert dan Janovy, 2000) dan ular (Choi et al., 2007). Cacing jantan berukuran 26 x 1,8 mm sedangkan betinanya berukuran 35 x 2,3 mm. Ciri khas (karakteristik) cacing ini adalah ditemukan bagian yang mengalami

20 konstriksi (penyempitan) diantara kepala dan tubuhnya, sehingga cacing ini seolah olah memiliki leher dan kepala yang berlobus besar. Pada daerah kepala terdapat bibir yang tebal dan empat buah kelenjar cervical. Ciri khas lainnya adalah terdapatnya duri duri dengan ujung bercabang yang menutupi seluruh tubuhnya (Sandjaja, 2006). Siklus hidup, telur akan keluar dari tinja babi yang terinfeksi, telur akan menetas di dalam air dan larva satu yang terbebas akan mencari hospes antara yaitu sejenis udang (Cyclop) dan berkembang menjadi larva dua. Cyclop kemudian dimakan oleh hospes transport seperti ikan, katak, atau ular dan berkembang menjadi larva 3 yang bersifat infektif. Apabila hospes transport dimakan oleh hospes definitif yaitu babi, maka larva 3 akan berkembang menjadi larva 4 (cacing muda) dan akhirnya menjadi dewasa di dalam lambung babi (Sandjaja, 2006).