BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah anugrah yang diberikan Tuhan kepada setiap pasangan. Tak

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam tiga tahun terakhir ini, jumlah kasus kekerasan seksual terus

BAB I PENDAHULUAN. awal dekade 1980-an. Mereka adalah anak-anak yang hidup terpisah dari

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara tentumengenal yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam diri manusia selalu terdapat ketidak puasan, oleh sebab itu ia akan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat

BAB I PENDAHULUAN. semua kalangan. Problematika anak dapat disebut juga sebagai unfinished agenda,

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

I. PENDAHULUAN. budaya, masyarakatnyapun memiliki keunikan masing-masing. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai pengertian yang berbeda. Dimana secara yuridis-formal, kejahatan

I. PENDAHULUAN. Konsep good governance adalah konsep yang diperkenalkan oleh Bank Dunia

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kasus-kasus kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini menunjukkan adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. dikenal dengan child abuse disebut juga child maltreatment merupakan

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. ini dilatarbelakangi oleh masih terjadi kasus kekerasan terhadap anak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. Abu Ahmadi, psikologi Sosial, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 239.

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminatif. Sebaliknya, mereka bukanlah. manusiawi dari pihak siapapun atau pihak manapun.

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar adalah orang-orang terdekat anak, bahkan tidak jarang adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB 1 PENDAHULUAN. bermain/oddler, masa usia prasekolah, usia sekolah, remaja sampai dewasa. Anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Mendengar terjadinya sebuah kekerasan dalam kehidupan sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, pembahasan mengenai anak merupakan suatu kajian yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kekerasan seksual anak (KSA) adalah masalah kesehatan masyarakat

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk akan selalu diiringi oleh bertambahnya kebutuhan. Pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terutama bagi perempuan dewasa, remaja, maupun anak anak. Kasus kekerasan seksual

BAB I PENDAHULUAN Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pasar narkoba terbesar di level Asean. Menurut United Nation Office on Drugs and

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. serasi, selaras dan seimbang. Pembinaan dan perlindungan anak ini tak

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan pada bab IV maka ada beberapa hal yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

KASUS ETIKA PROFESI KASUS ANGELINE. Pembunuhan Berencana Angeline

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksplanatif dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. semua yang diciptakan olehnya senantiasa berpasang-pasangan. Keadaan ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam dirinya untuk menikah dan membangun rumah tangga bersama pasangannya.

BAB I PENDAHULUAN. Semua pihak menyetujui bahwasannya peran anak (Role Of The. Child) Anak adalah harapan masa depan. Akan tetapi faktanya anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. panti tidak terdaftar yang mengasuh sampai setengah juta anak. Pemerintah

Menjadi manajer di rumah sendiri, jauh lebih terhormat

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, pribadi yang akibatnya mengganggu dan merugikan pihak lain.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang diberitakan oleh Antara Jum at, 18 November 2011, Ketua

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak. membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan aset masa depan yang sangat berharga, dapat dikatakan

BAB I PENDAHULUAN. kasih sayang, dan perlindungan oleh orangtuanya. Sebagai makhluk sosial, anakanak

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, pada tahun 2010 tercatat 48 % kekerasan terjadi pada anak,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. (2010 hingga 2014) sebanyak kasus anak terjadi di 34 provinsi dan

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak

BAB I PENDAHULUAN. dan terpercaya merupakan sesuatu yang sangat dubutuhkan oleh. masyarakat. Kebutuhannya itu dapat terpenuhi bila mengkonsumsi produk

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kepribadiannya. Sebagai bentuk pengembangan diri

BAB I PENDAHULUAN. PMKS secara umum dan secara khusus menangani PMKS anak antara lain, anak

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan aset dan sebagai bagian dari generasi bangsa. Anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

Saat ini masyarakat mengalami depresi sosial skala tinggi. Depresi ini lahir karena tidak ada pegangan hidup.

BAB 1 PENDAHULUAN. pelanggaran mendasar atas hak-hak anak. Tekanan fisik dan emosi yang. yang mereka alami bukan karena kehendaknya.

BAB I PENDAHULUAN. masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. sebagai tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga. Maka rumah tangga

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan (Huraerah, 2012: 21). Kekerasan terhadap anak seringkali diidentifikasi dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan seksual dan fisikal. Padahal, kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Karenanya istilah child abuse atau perlakuan salah terhadap anak bisa terentang mulai dari yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse) dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdemensi kekerasan stukrural (Huraerah, 2012: 22). Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak. Tahun 2013 sebanyak 3.023 kasus pelanggaran hak anak terjadi di Indonesia dan 58 persen atau 1.620 anak jadi korban kejahatan seksual. Jika dibandingkan tahun 2012, jumlah tahun 2013 meroket tajam hingga mencapai 60 persen. Dilihat dari klasifikasi usia, dari 3.023 kasus tersebut, sebanyak 1.291 kasus (45 persen) terjadi pada anak berusia 13 hingga 17 tahun, korban berusia 6 hingga 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 persen), dan usia 0 hingga 5 tahun sebanyak 849 kasus atau 29 persen (http://megapolitan.kompas.com.anak. Jadi.Korban.Kekerasan.Seksual. Diakses pada tanggal 18 Februari 2014 pukul 22.00).

Hasil pendataan berita media massa yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), menemukan bahwa tindak kekerasan seksual lebih banyak menimpa anak perempuan dengan angka ratio 1:7 bila dibandingkan anak laki-laki. Sementara itu studi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak Jatim (LPA Jatim) yang menginventarisasi berita yang diekspos harian Jawa Pos, menemukan angka perbandingan antara anak perempuan dan anak laki-laki yang menjadi korban tindak kekerasan seksual adalah 3:7. Adapun di harian Memorandum, angka perbandingan yang diperoleh adalah 2:8. Ini berarti dari sekitar 10 anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, maka diperkirakan 7-8 di antaranya adalah anak perempuan (Suyanto, 2010: 50). Tindak kekerasan terhadap anak-anak potensial terjadi di semua lapisan masyarakat, namun jauh lebih umum terjadi di golongan masyarakat yang lebih rendah. Untuk kasus kekerasan seksual, terutama biasanya potensial terjadi di keluarga miskin karena tekanan kebutuhan hidup dan kondisi lingkungan sosial di sekitarnya memang memungkin kasus ini terjadi (Perton, dalam Suyanto, 2010: 52). Salah satu kasus di awal tahun 2013 terjadi kasus kematian anak perempuan keluarga pemulung berusia 11 tahun, (RI) yang di duga menjadi korban kekerasan seksual (Media Indonesia, 2013: 15). Berbagai berita yang diidentifikasi LPA Jatim, memang sebagian besar tidak diketahui dengan pasti bagaimana latar belakang ekonomi korban. Namun di sebagian berita dengan jelas disebutkan bahwa korban umumnya adalah berasal dari golongan masyarakat miskin. Di harian Jawa Pos, diketahui 17,5% korban adalah berasal dari kelas miskin. Sementara itu, untuk korban yang berasal dari kelas menengah ke atas hanya 8,7%. Di harian Memorandum polanya hampir sama yaitu 18,7% korban adalah dari golongan masyarakat miskin dan 12,2% berasal dari kelas menengah ke atas. Untuk kasus child abuse, seperti kekerasan seksual pada anak, diperlakukan kasar, dan sebagainya pada dasarnya memang potensial terjadi di lingkungan komunitas yang sederhana, termarginalisasi dan miskin, karena gaya hidup,

kondisi lingkungan dan ruang untuk terjadinya peristiwa itu memang lebih terbuka (Suyanto, 2010: 54). Dilihat dari asal tempat tinggal korban, studi yang dilakukan LPA Jatim menemukan sebagian besar anak yang menjadi korban tindak kekerasan dan dilanggar hak-haknya adalah mereka yang bertempat tinggal di kota besar. Di harian pagi Jawa Pos, ditemukan sekitar 62, 1% korban tindak kekerasan seksual bertempat tinggal di kota besar. Demikian pula, dari 230 berita harian pagi Memorandum yang telah dipilih, ternyata 57,8% menyebutkan bahwa tempat tinggal korban sebagian besar adalah di kota besar. Pedesaan, tercatat hanya sekitar 5% saja, dan untuk kota kecil dan menengah sekitar 35%. Dalam hal ini, ada dua hal yang mungkin dapat dijelaskan. Pertama, karena akses media massa memang lebih menjangkau daerah perkotaan daripada kota kesil atau daerah pedesaan apalagi yang terpencil. Kedua, karena secara sosiologis lingkungan sosial di kota besar memang lebih keras, lebih kejam, dan kontrol sosialpun relatif lebih longgar karena adanya situasi anomi, dan hubungan interpersonal antar warga yang sifatnya kontraktual atau bahkan penuh konflik (Suyanto, 2010: 55). Identifikasi yang dilakukan pada dua surat kabar di Jawa Timur yakni Jawa Pos dan Memorandum memperlihatkan bahwa sebagian besar status pelaku kaitannya dengan korban adalah orang lain dan tetangga korban. Harian Jawa Pos memeberitakan terdapat sekitar 54,4% pelaku yang berstatus orang lain dan sebanyak 14,6% sebagai tetangga korban. Sementara itu, harian Memorandum membuat sekitar 40% orang lain dan 27,4% pelaku sebagai tetangga korban. Data ini dengan demikian menunjukkan bahwa korban tindak kekerasan seksual umumnya adalah orang yang tergolong dekat dengan pelaku. Setidaknya, oleh pelaku korban sudah tidak di anggap sebagai orang lain, sehingga hanya dengan sedikit rayuan, janji di iringi dengan paksaan dan ancaman mereka dapat melakukan aksinya (Suyanto, 2010: 65).

Pelaku kekerasan yang umumnya adalah orang yang telah dikenal baik oleh korban maupun keluarga, membuat korban tidak sepenuhnya menyadari bahaya yang mengancamnya. Sebelumnya, para pelaku ini memiliki jarak yang dekat dengan anak. Namun kedekatan jarak ini justru digunakan oleh pelaku untuk melancarkan maksud buruknya. Akibatnya anak kehilangan keyakinan terhadap lingkungan terdekat yang dimilikinya. Hal ini dapat menimbulkan efek yang lebih buruk karena anak menjadi kehilangan kemampuan untuk menentukan batas-batas lingkungan pribadinya. Anak mungkin menjadi takut untuk memiliki kedekatan dengan orang lain. Dengan keadaan seperti itu maka akan muncul bentuk perilaku sosial yang kurang sehat seperti kehilangan kepercayaan pada orang lain, menarik diri, merasa kesepian, bahkan dapat mengarah pada gangguan perilaku dan emosi yang lebih berat seperti kecemasan dan depresi. Pada situasi psikologis, sosial, dan ekonomi yang normal, secara teoritis kecil kemungkinan seorang individu akan tergolong untuk melakukan tindak kekerasan seksual pada anak-anak. Tetapi jika kondisi tersebut tidak dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan dan harapan individu, niscaya kekecewaan, frustasi, depresi, dan stres akan mudah menyerang kehidupan individu. Situasi ekonomi yang memprihatinkan, pendapatan yang rendah, tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara layak bukan tidak mungkin dapat memicu terjadinya depresi dan frustasi yang pada gilirannya akan dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual pada anak. Meski tidak dapat diketahui secara langsung korelasi di antara kondisi tersebut tetapi data yang berhasil di himpun dari Harian Jawa Pos dan Memorandum memperlihatkan bahwa secara persentatif cukup banyak pelaku tindak kekerasan seksual dan pelanggaran terhadap hak anak berasal dari golongan masyarakat miskin. Sumber dari Jawa Pos menyebutkan sekitar 21,45 pelaku tindak kekerasan seksual berasal dari golongan masyarakat miskin dan sekitar 25,5% pelaku tindak kekerasan seksual yang berhasil di ekspos oleh Harian

Memorandum memiliki latar belakang sosial dan ekonomi rendah. Sementara itu, hanya sekitar 9,7% pelaku tindak kekerasan yang di ekspos harian Jawa Pos dari kalangan masayarakat menengah ke atas dan sekitar 14,3% yang berhasil diekspos oleh harian Memorandum (Suyanto, 2010: 61). Banyak kasus ditengarai bahwa pendidikan pelaku tindak kekerasan seksual terhadapa anak kebanyakan adalah rendah. Individu yang berpendidikan rendah di samping cenderung kurang bijak dalam menyikapi masalah dan memiliki cara pandang serta berfikir yang terbatas mereka umumnya juga tidak terlalu berfikir panjang tentang resiko atau akibat dari perilakunya. Dalam banyak hal perasaan rikuh, sungkan, atau malu pada lingkungan sosialnya terkadang tidak terlalu dianggap serius oleh mereka. Sering kali mereka beranggapan bahwa perilaku atau tindakan yang mereka lakukan tidak akan diperhatikan oleh orang lain karena mereka sadar akan posisinya yang cenderung rendah di masyarakat. Seolah mereka sah-sah saja untuk melakukan segala perbuatan atau tindakan di dalam lingkungannya. Bahkan, tindak kekerasan seksual yang mereka lakukan terhadap anakanakpun dianggap sebagai hal biasa (Suyanto, 2010: 62). Dilihat dari ruang tempat terjadinya kekerasan seksual dan pelanggaran terhadap hak anak, studi ini menemukan bahwa lingkungna keluarga ternyata justru menjadi tempat yang paling rawan bagi anak-anak. Dari 103 kasus yang berhasil dikumpulkan LPA Jatim dari Harian Jawa Pos, 39,8% di antaranya, menyebutkan bahwa lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak adalah di lingkungan keluarga. Demikian pula yang terjadi di berita-berita yang dikumpulkan dari Harian Memorandum. Dari 230 kasus yang berhasil diidentifikasi, 53,5% melaporkan bahwa tindak kekerasan yang dialami anak-anak ternyata terjadi di lingkungan keluarganya sendiri. Ini berarti, bahaya yang mengancam anak-anak ternyata bukan dari orang lain atau para penjahat profesional yang tidak di kenal korban, tetapi justru ancaman itu kerap kali muncul dari orang-orang yang dekat dengan korban, atau

bahkan orang-orang yang semula diharapkan dapat menjaga dan tempat berlindung. Sebagai contoh figur ayah yang biasanya dibayangkan selalu penuh kasih sayang kepada anakanaknya. Tak sekali-dua kali media masa memberitakan peristiwa seorang ayah yang gelap mata kemudian memperkosa anaknya sendiri tanpa belas kasihan (Suyanto, 2010: 66). Salah satu faktor terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak adalah kemiskinan. Fenomena kemiskinan merupakan keadaan yang mengkhawatirkan, dimana Indonesia termasuk negara dengan jumlah orang miskin yang cukup besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang atau 12,36 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat secara nasional jumlah orang miskin hingga bulan September 2012 sebanyak 28,59 juta orang atau 11,66 persen (Analisa, 2013: 28). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per September 2013 di Indonesia mencapai 28,55 juta orang atau 11,47 persen (Analisa, 2014: 1). Kemiskinan sesungguhnya tidak hanya terkait dengan aspek ekonomi saja, tetapi aspek lain juga mempengaruhi. Kemiskinan juga di sebabkan lemahnya aspek moral, sosial dan aspek budaya serta aspek pembangunan yang belum merata. Logikanya orang miskin umumnya pendapatan kecil dan tidak menentu (Anwas, 2013: 84). Kemiskinan seringkali bergandengan dengan rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Lemahnya penengakan hukum dan praktik budaya bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan seksual terhadap anak (Huraerah, 2012: 23). Kota Medan sendiri menduduki urutan keempat kasus kekerasan seksual, dimana 62 persen kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat anak. Kesimpulan ini diperoleh dari penelitian yang dilakukan di 24 kota besar di Indonesia yang sudah mewakili di seluruh Indonesia. Hal itu di ungkapkan oleh Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia. Kota

Medan menduduki urutan keempat karena banyaknya kasus kekerasan setelah Jakarta, Makasar, dan Jawa Barat (Tribun Medan, 2012: 14). Data yang dilansir dari media cetak dan elektronik serta kasus yang ditangani Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Pusaka Indonesia yang konsen dalam isu perlindungan anak di Sumut, menunjukkan setidaknya ada 236 korban kekerasan terhadap anak. Kasus pencabulan menempati urutan pertama 138 korban, disusul dengan kasus penganiayaan 46 korban dan kasus pemerkosaan 14 korban, selebihnya kasus pencurian, pembunuhan, penculikan, penelentaran. Usia anak yang menjadi korban tersebut bergerak dari 4 tahun sampai 18 tahun. Namun yang paling dominan menjadi korban adalah mereka-mereka yang berusia 6-8 tahun 66 korban, 15-18 tahun sebanyak 107 korban. Kota Medan merupakan tempat urutan korban terbesar mencapai 101 Korban, 74 kasus diantaranya merupakan korban pencabulan dan pemerkosaan, disusul Deli Serdang 34 korban, Tebing Tinggi 11 korban (Analisa, 2014: 4). Kota Medan, juga terdapat banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam upaya perlindungan terhadap kekerasan pada anak dan perempuan, salah satunya adalah Yayasan Pusaka Indonesia. Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut dibantu empat divisi yakni Divisi Anak dan Perempuan, Divisi Pengembangan Komunitas, Divisi Kewirausahaan Sosial, dan Divisi Informasi dan Komunikasi. Yayasan Pusaka Indonesia dalam Divisi Anak dan Perempuan, salah satu programnya adalah melakukan upaya untuk melawan dan mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap anak dan perempuan termasuk perdagangan anak dan perempuan. Klien yang di tangani Yayasan Pusaka Indonesia kebanyakan adalah anak berusia delapan sampai tujuh belas tahun yang mengalami tindak kekerasan seksual. Salah satu faktor tindak kekerasan seksual itu terjadi karena anak mudah sekali terbujuk dengan rayuan pelaku, misalnya anak akan diberikan uang apabila anak menuruti permintaan si pelaku. Pelaku tindak kekerasan seksual pada anak biasanya orang yang terdekat dengan anak yaitu ayah, pacar, dan tetangga. Lokasi tempat terjadinya

kekerasan seksual tidak jarang berada di lingkungan sekitar anak, yaitu lingkungan rumah dan sekolah. Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual pada Anak Dampingi Yayasan Pusaka Indonesia. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka Indonesia? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan peneliitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka Indonesia. 1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: a. Pengembangan konsep-konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan permasalahan Kekerasan Seksual pada Anak b. Pengambangan kebijakan dan model pelayanan pihak yang terkait

1.4 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan uraian metodologi penelitian yang terdiri dari tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan uraian sejarah geographis dan gambaran umum tentang lokasi dimana penelitian melakukan penelitian. BAB V : ANALISA DATA Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran atas penelitian yang dilakukan