II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Bio Ekologi Herpetofauna 2.1. Taksonomi Taksonomi Reptil Taksonomi Amfibi

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

Amfibi mempunyai ciri ciri sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II AMFIBI, REPTIL & PENGETAHUAN ANAK-ANAK TENTANG AMFIBI DAN REPTIL

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan salah satu di antara lima kelas hewan bertulang belakang,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA

BAB II REPTIL PADANG PASIR ASIA. 2.1 Padang Pasir

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. binatang atau fauna) adalah makhluk hidup yang paling beragam di planet.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

II. TINJAUAN PUSTAKA. Spesies ini terdiri dari tanaman dan hewan yang dianggap menjadi salah satu agen

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

TAHAP. Kehidupan Reptilia. Meneroka Orbit Membongkar. Buku Sneak Peak! Menaakul

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra, H.S Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga.

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

I. PENDAHULUAN. buaya, Caiman, buaya, kura-kura, penyu dan tuatara. Ada sekitar 7900 spesies

Individu adalah satu makhluk hidup, misalnya seekor semut, seekor burung dan sebuah pohon.

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA, BANDUNG

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

BIOLOGI VERTEBRATA. Rizka Apriani Putri, M.Sc JURDIK BIOLOGI, FMIPA UNY Rizka Apriani Putri, M.Sc

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

Ekonomi Pertanian di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

Evaluasi (untuk guru) Pilihan Ganda

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

Klasifikasi Udang Air Tawar Peranan Udang Air Tawar dalam Ekosistem

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENGERTIAN BIOMA suhu kelembaban angin altitude latitude topografi

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup serta perbedaan-perbedaannya. Allah SWT menerangkan. dirasakan, dan dipikirkan oleh manusia. 1

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Soal ujian semester Ganjil IPA kelas X Ap/Ak. SMK Hang Tuah 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

BAB V EKOSISTEM, BIOSFER & BIOMA

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman dalam spesies, antara spesies dengan ekosistem (Konvensi Persatuan Bangsa Bangsa, 1994). Menurut Indrawan, Primack, dan Supriatna (2007), keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan: 1. Keanekaragaman spesies. Semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan protisia serta spesies dari kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak atau multiseluler). 2. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu spesies, baik diantara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individuindividu dalam satu populasi. 3. Keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing.

8 Keanekaragaman spesies atau jenis dapat digunakan untuk menandai jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies diantara jumlah total individu yang ada. Hubungan ini dapat dinyatakan secara numerik sebagai indeks keragaman. Jumlah spesies dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies tampaknya bertambah bila komunitas semakin stabil. Gangguan yang parah menyebabkan penurunan yang nyata dalam keragaman (Michael, 1994: Firdaus dkk, 2014). B. Reptil Reptil merupakan sekelompok vertebrata yang menyesuaikan diri di tempat yang kering. Penandukan atau cornificatio kulit dan squama atau carpace untuk menjaga banyak hilangnya cairan dari tubuh pada tempat yang kasar (Jasin, 1984). Menurut Savage (1998), reptil memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Filum Sub-filum Kelas Sub Kelas Super Ordo Ordo : Animalia : Chordata : Vertebrata : Reptilia : Eureptilia : Lepidosauria, Testudines, Archosauria :Testudines, yaitu kura-kura; Squamata, yaitu kadal, ular, dan amphisbaenia; Rhynchocephalia, yaitu Tuatara dan Crocodylia, yaitu buaya.

9 Reptil memiliki sejumlah ciri khusus, misalnya: tubuh mereka yang tertutupi oleh struktur yang disebut sisik. Reptil merupakan hewan berdarah dingin, yang berarti tidak dapat menghasilkan panas pada tubuh sendiri, sehingga membutuhkan sinar matahari langsung untuk menghangatkan tubuh, serta berkembang biak dengan cara bertelur (Hikmah, 2011). Reptil merupakan kelompok hewan ectothermic, yaitu hewan yang suhu tubuhnya sangat tergantung pada suhu lingkungan di sekitarnya. Reptil membutuhkan sumber panas dari luar tubuhnya untuk meningkatkan suhu tubuh agar dapat beraktivitas secara normal. Untuk meningkatkan suhu tubuh hingga mencapai suhu yang sesuai, biasanya reptil berjemur di bawah sinar matahari atau menyerap panas dari permukaan batu atau tanah yang hangat. Sebaliknya untuk menurunkan suhu tubuhnya atau mengatur suhu tubuhnya agar tetap optimum, reptil biasanya berlindung di bawah naungan atau mengubah bentuk tubuhnya untuk mengurangi penguapan. Regulasi suhu tubuh tersebut sangat ideal bagi reptil yang hidup di daerah tropik namun sangat tidak menguntungkan bagi reptil di daerah dingin (Ario, 2010). Menurut Bauer (1998), ordo Squamata dibagi lebih lanjut menjadi tiga sub ordo, yaitu: Sauria/Lacertilia atau kadal; Amphisbaenia; dan Serpentes/Ophidia atau ular. Kadal merupakan kelompok terbesar dalam reptil. Kadal terdiri dari 3.751 jenis dalam 383 genus dan 16 famili, atau 51% dari seluruh jenis reptil (Halliday dan Adler, 2000). Amphisbaenia terdiri dari empat famili dan dibagi menjadi 21 genus dan 140 jenis, atau sekitar 2% dari seluruh reptil. Ular atau Serpentes terdiri dari

10 2,389 jenis, 471 genus, 11 famili atau sekitar 42% dari seluruh jenis reptil (Halliday dan Adler, 2000). Herpetofauna di Indonesia tidak banyak dikenal, baik dari segi taksonomi, ciri-ciri biologi, maupun ekologinya. Informasi tentang daerah penyebaran suatu jenis sangat sedikit. Iskandar dan Erdelen (2006), menyatakan informasi terbaru dari hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan memperlihatkan jumlah tersebut masih jauh di bawah keadaan yang sebenarnya. Kemungkinan besar Indonesia merupakan negara dengan jumlah amfibi dan reptil terbesar di dunia namun penelitian amfibi dan reptil di Indonesia jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan negara tetangga. C. Habitat Habitat merupakan suatu lingkungan tertentu dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme disebut daya dukung habitat (Irwanto, 2006). Satwa liar membutuhkan pakan, air, dan tempat berlindung dalam hidupnya dari panas matahari dan pemangsa serta tempat untuk bersarang, beristirahat dan memelihara anaknya. Seluruh kebutuhan tersebut diperolehnya dari lingkungan atau habitat di mana satwa liar hidup dan berkembangbiak. Suatu habitat yang baik akan

11 menyediakan seluruh kebutuhan satwa liar untuk hidup dan berkembangbiak secara normal, sehingga menjamin kelestarian satwa liar tersebut dalam jangka panjang. Reptil dapat hidup di dalam dan di permukaan tanah, celah-celah batu, di bawah puing-puing, tajuk pohon, padang rumput, gurun pasir, rawa, danau, sungai dan laut (Duellman dan Heatwole, 1998). Menurut Margareta, Rahayuningsih, dan Abdullah (2012), gangguan manusia secara tidak langsung dapat terjadi pada habitatnya. Makin meningkatnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, mengakibatkan berubahnya komposisi organisme di dalam ekosistem, yang pada gilirannya menjadi ancaman bagi kehidupan fauna. Pada umumnya hewan akan meninggalkan habitatnya yang telah berubah, bahkan dapat mati karena tidak dapat menemukan makanan yang cocok. D. Repong Damar Pengelolaan Repong Damar di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) adalah salah satu contoh pengelolaan lahan hutan yang perlu mendapat perhatian. Hal ini karena, Repong Damar merupakan salah satu contoh keberhasilan agroforestri yang dikelola oleh masyarakat lokal yang pada umumnya masih sangat tradisional. Pekon Pahmungan terletak di tepi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan merupakan hutan lindung yang sudah dimanfaatkan untuk wisata ekologi. Repong damar merupakan istilah yang digunakan masyarakat lokal dalam menyebut kebun damar. Alasan masyarakat menggunakan istilah repong

12 adalah karena indentik dengan monokultur, sedangkan Repong Damar tidak hanya terdiri dari damar saja melainkan terdapat jenis tanaman lainya seperti durian, duku, manggis, semak belukar, kayu-kayuan, obat-obatan dan lain sebagainya (Winarti, 2013). Repong Damar menggunakan sistem pengelolaan tanaman perkebunan yang dibudidayakan dan dikelola oleh masyarakat Lampung Krui (Mulyani, 2008). Luas hamparan hijau yang dominan berupa repong damar itu ditaksir telah melampaui 10.000 ha dan menghasilkan resin damar sekitar 10.000 ton pada tahun 1994 (Michon & de Foresta, 1994). E. Ciri-Ciri Reptil Reptil memiliki ciri-ciri khusus (Hikmah, 2011): 1. Tubuh dibungkus oleh kulit kering yang menanduk (tidak licin) biasanya dengan sisik beberapa ada yang memiliki kelenjar di permukaan kulit. 2. Mempunyai dua pasang anggota yang masing-masing mempunyai lima jari dengan kuku-kuku yang cocok untuk lari, mencengkram, dan naik pohon. 3. Skeleton mengalami penulangan secara sempurna tempurung kepala mempunyai satu occipital condyl. 4. Jantung tidak sempurna, terdiri atas empat ruangan. 5. Pernafasan selalu dengan paru-paru pada penyu bernafas dengan kloaka. 6. Suhu tubuh tergantung pada lingkungan.

13 7. Fertilisasi terjadi dalam tubuh, biasanya memiliki alat kopulasi, berselaput kulit lunak atau bercangkok tipis. Reptil adalah hewan bertulang belakang yang bersisik dan bernapas dengan paruparu. Ciri utama reptil adalah tubuhnya yang ditutupi dengan sisik-sisik rata atau berduri yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi air melalui kulitnya. Berbeda dengan ikan, sisik reptil tidak saling terpisah. Sisik-sisik tersebut tersusun dari protein yang disebut keratin. Keratin pada manusia merupakan protein penyusun kuku jari tangan dan kaki (McLaren dan Rotundo, 1985), serta tidak terdapat rambut atau bulu pada reptil (Grzimek, 1975). F. Persebaran Reptil Penyebaran reptil di dunia dipengaruhi jumlah cahaya matahari pada daerah tersebut. Jenis reptil yang terdapat di Indonesia berasal dari Ordo Testudinata, Squamata (kadal dan ular), dan Crocodylia (Halliday dan Adler, 2000). Testudinata tersebar di seluruh dunia di daerah tropis dan sub tropis. Kura-kura terdapat di semua wilayah perairan laut (Halliday dan Adler, 2000). Indonesia terdapat sekitar 39 jenis kurakura, yang terdiri dari enam jenis penyu, enam jenis labi-labi, dua jenis baning atau kura-kura darat, dan 25 jenis kura-kura air tawar (Iskandar dan Colijn, 2000). Ordo Sauria tersebar di Kanada Selatan sampai Tierra del Fuego, dari Norwegia Utara sampai Selandia Baru, dan juga kepulauan di Laut Atlantik, Pasifik dan Indian (Halliday dan Adler, 2000).

14 Ular tersebar di seluruh dunia kecuali daerah kutub, Islandia, Irlandia, dan Selandia Baru. Ular tersebar di seluruh Indonesia, karena Indonesia termasuk daerah lautan (Halliday dan Adler, 2000). Ular laut tersebar pada bagian tropis laut Pasific, laut India, Indonesia sampai Australia Utara, dan Amerika Selatan (Mattison, 2005). Buaya tersebar di benua Asia, Australia, Amerika dan Afrika, di Asia mencakup Indonesia sampai Cina, India dan di bagian Utara Australia. Buaya di Afrika terdapat di bagian Tengah dan Selatan, serta Amerika Selatan, Tengah, dan bagian Tenggara Amerika Serikat (Halliday dan Adler, 2000). Jenis buaya di Indonesia ditemukan dua genus yaitu Crocodylus dan Tomistoma (Iskandar, 2000). Amfibi dan reptil mempunyai daerah persebaran yang sangat luas di dunia, menempati semua benua kecuali Antartika, dapat dijumpai dari laut, sungai, darat, tepi pantai, hutan dataran rendah sampai pegunungan, namun demikian bukan berarti setiap jenis amfibi dan reptil dapat dijumpai di semua tempat. Beberapa jenis amfibi dan reptil memiliki daerah sebaran yang sempit dan terbatas, kadang hanya dijumpai pada tipe habitat spesifik, sehingga jenis-jenis yang mempunyai habitat spesifik sangat baik digunakan sebagai jenis indikator terjadinya perubahan lingkungan. Satu dari banyak komponen yang menjadi aspek pengelolaan adalah herpetofauna (kelompok spesies dari reptil dan amfibi) yang ada di dalam kawasan konservasi. Sebagaimana telah diketahui, keberadaan herpetofauna di dalam sebuah kawasan berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem dan penanda indikator perubahannya, dengan peranannya di alam antara lain, pengendali hama (jenis-jenis pemakan tikus

15 dan juga serangga) dan tentunya sebagai sumber plasma nutfah. Herpetofauna juga merupakan kelompok satwa yang dapat menarik perhatian (atraktif) (Setiawan, 2013).