BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor perkebunan sebagai bag ian dari. pengolahan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi nyata.

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

REVITALISASI PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

Ringkasan. 1. Pendahuluan. Undang Fadjar 2, M.T. Felix Sitorus 3, Arya Hadi Dharmawan 4, S.M.P. Tjondronegoro 5

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

ABSTRACT. Key words : agricultural production system, agrarian structure, social structure, peasant community, cocoa ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

Mendorong Petani Kecil untuk Move Up atau Move Out dari Sektor Pertanian

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. adalah masalah keterbatasan modal yang dimiliki oleh para petani. Permasalahan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENGANTAR. masa yang akan datang. Selain sebagai sumber bahan pangan utama, sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris, yang ditunjukkan oleh luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

Pelaksanaan Revitalisasi Pertanian

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

TEKNIK KONVERSI KOPI ROBUSTA KE ARABIKA PADA LAHAN YANG SESUAI. Oleh Administrator Selasa, 02 April :00

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh :

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya.

BAB II PENDEKATAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. ARAH, MASA DEPAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN. petani ikan dan sebagainya. Menurut Loekman (1993:3) Besarnya fungsi sektor pertanian bagi masyarakat Indonesia tentu saja harus

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. berlebih, yang bisa mendatangkan suatu devisa maka barang dan jasa akan di ekspor

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tidak terlepas dari perekenomian yang berbasis dari sektor

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ARAHAN PENGEMBANGAN USAHATANI TANAMAN PANGAN BERBASIS AGRIBISNIS DI KECAMATAN TOROH, KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

Hermanto (1993 ; 4), menyebutkan bahwa pembangunan pertanian termasuk didalamnya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan,

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. terdapat di Indonesia, baik sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman di

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang agraris artinya pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan kakao di Indonesia telah menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam memenuhi kelangsungan hidup (survival) dan membuat kehidupan yang lebih baik (a better living). Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2007) menunjukkan bahwa luas tanaman kakao menduduki posisi ke tiga setelah tanaman sawit dan karet (lampiran 1.1.). Tanaman tersebut dikembangkan melalui dua pendekatan, yaitu perkebunan rakyat yang diusahakan oleh entitas petani dan perkebunan besar yang diusahakan oleh entitas perusahaan. Meskipun terdapat dua pendekatan, sebagian besar perkebunan kakao di Indonesia dikembangkan melalui pendekatan perkebunan rakyat. Pada tahun 2006, luas perkebunan kakao rakyat mencapai 1.219.633 hektar (92.3 persen dari total perkebunan kakao di Indonesia) dan jumlah petani yang mengusahakannya mencapai 1.237.119 rumah tangga (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Selain itu, sebagian besar (86,34 persen) perkebunan kakao rakyat dibangun oleh petani secara swadaya atau tanpa fasilitasi pihak lain (lampiran 1.2.) Peranan tersebut akan semakin penting karena prospek pasar kakao masih terus meningkat dan sumberdaya agraria (lahan) yang dapat digunakan untuk mengusahakan tanaman kakao masih tersedia walaupun jumlahnya semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh terus bertambahnya luas sumberdaya agraria yang ditanami kakao dan jumlah petani yang mengusahakan tanaman kakao (Lampiran 1.3.). Oleh sebab itu, tanaman kakao bersama-sama dengan tanaman karet dan sawit masuk dalam program revitalisasi perkebunan 1. Namun demikian, di sisi lain ternyata para petani kakao (perkebunan kakao rakyat) umumnya hanya menguasai lahan yang relatif sempit. Data Direktorat 1 Revitalisasi perkebunan merupakan program pemerintah yang berupaya mempercepat pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan. Pelaksanaan program ini didukung adanya kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah serta dilibatkannya perusahaan perkebunan sebagai mitra pengembangan, khususnya dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Melalui program ini petani mendapatkan kredit dengan bunga lunak (sebesar 10 %, dimana selisih antara bunga komersial dengan bunga kredit disubsidi pemerintah). Dalam kurun waktu empat tahun (2007-2010) Direktorat Jenderal Perkebunan mencanangkan program revitalisasi perkebunan seluas dua juta ha untuk tanaman kakao, karet, dan kelapa sawit (Dirjenbun, 2007). 1

Jenderal Perkebunan (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 ternyata ratarata luas kebun kakao setiap rumahtangga petani hanya sebesar 0,98 hektar 2. Selain itu, para petani mengusahakan tanaman kakao dalam bentuk usaha keluarga (farm household) dan hasil produksi yang mereka peroleh umumnya untuk mencukupi kebutuhan pokok (konsumsi) keluarga. Oleh sebab itu, meskipun produk yang dihasilkan petani kakao merupakan produk untuk diekspor (produk komersial/perdagangan), namun sangat mungkin mereka masih berada pada tingkat hidup subsisten, sehingga secara keseluruhan sebenarnya kehidupan petani kakao hanya sejajar dengan peasant sebagaimana dikonsepkan Shanin (1990) atau smallholder sebagaimana dikonsepkan Netting (1993). Sebagai komoditas komersial, sebenarnya kakao yang diproduksi para petani ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hilir yang berada di wilayah maju/pusat, bahkan sebagian besar berada di negara maju 3. Oleh sebab itu, di dalam komunitas petani kakao terjadi pertemuan antara kekuatan moda produksi kapitalis yang datang dan diarahkan dari luar (dari aras supra lokal atau wilayah pusat/negara maju/centre) dengan kekuatan moda produksi non-kapitalis yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang dalam komunitas petani (aras lokal atau wilayah pinggiran/wilayah terbelakang/periphery). Adanya perubahan penerapan moda produksi yang dipraktekkan oleh komunitas petani kakao akan mendorong perubahan realitas sosial lainnya, terutama realitas sosial yang proses perubahannya terkait erat dengan praktek moda produksi seperti struktur agraria, struktur sosial masyarakat agraris serta kesejahteraan dalam komunitas petani. Dugaan ini sangat mungkin terjadi karena menurut 2 Berkaitan dengan distribusi pemilikan kebun, sebagai contorh penelitian Fadjar dkk. (2006) pada Lima Desa di Kabupaten Pidie-Nangroe Aceh Darussalam menunjukkan bahwa proporsi petani kakao yang memiliki kebun kakao seluas 2 ha atau lebih sangat sedikit, yaitu hanya 11%. Padahal bila kebun tidak dipelihara secara intensif (produktivitas hanya 500 kg/ha/tahun), pendapatan dari 2 ha kebun kakao hanya cukup mencapai garis kemiskinan (untuk keluarga dengan jumlah anggota 5 orang). Sementara itu, sebagian besar petani lainnya hanya memiliki kebun kakao seluas 1 - < 2 ha (57%) dan kurang dari 1 ha (29%). Bahkan sebanyak 3% petani kakao tidak memiliki lahan atau hanya mengusahakan kebun milik petani lain. Sejalan dengan temuan tersebut, hasil penelitian D.H Penny di Desa Srihardjo (Sajogyo, 2002) mengungkapkan bahwa separuh penduduk di lapisan bawah yang tak cukup luas tanahnya masih tergolong miskin. 3 Pada tahun 2002 (Ditjenbun, 2003), sebanyak 78 % produksi kakao Indonesia diekspor (412.360 ton) ke berbagai negara maju seperti Amerika Serikat (40% dari total ekspor) dan negara-negara di Benua Eropa. Data Ditjenbun juga menunjukkan bahwa sebanyak 77 % dari kakao yang diekspor masih berupa bahan mentah (biji kakao). 2

Shanin (1990) dan Ray (2002) struktur sosial-ekonomi pedesaan bukan merupakan sesuatu yang stabil, dan timbulnya perubahan (tersebut) dapat dipengaruhi oleh terjadinya perubahan moda produksi. Di Indonesia, fenomena munculnya perbedaan struktur sosial masyarakat agraris yang berkaitan dengan perbedaan penerapan moda produksi sudah banyak dikaji di daerah pedesaan Jawa. Hasil penelitian Soentoro (1980) dan Kano (1984) di daerah pedesaan Jawa menunjukkan bahwa penggunaan moda produksi yang relatif komersial (pada usahatani tebu) telah mendorong proses perubahan penguasaan sumberdaya agraria (lahan) yang mendorong terbentuknya masyarakat agraris yang terpolarisasi. Sebaliknya, di daerah pedesaan Jawa lain yang hanya menggunakan moda produksi relatif subsisten (pada usahatani padi) ternyata proses perubahan penguasaan sumberdaya agraria mengarah ke bentuk masyarakat agraris yang terstratifikasi. Sementara itu, di daerah pedesaan luar Jawa, penelitian serupa belum banyak dilakukan. Penelitian serupa semakin perlu dilakukan di pedesaan luar Jawa mengingat : 1) Pada saat ini, para petani di luar Jawa mengembangkan usahatani dengan komposisi tanaman yang berbeda dibanding tanaman yang dikembangkan para petani di pedesaan Jawa, dan 2) Jumlah penduduk di luar Jawa terus meningkat sedangkan luas sumberdaya agraria baru yang dapat digunakan masyarakat pedesaan untuk lahan pertanian semakin berkurang sehingga perubahan struktur agraria dan struktur sosial masyarakat agraris dapat berlangsung lebih cepat. 1.2. Perumusan Masalah Menurut Taylor, 1979 dan Schuurman dalam Ray (2002) umumnya moda produksi berubah dari moda produksi non-kapitalis (komunal) menuju moda produksi kapitalis (kelas). Akan tetapi, pada masyarakat kontemporer di belahan dunia bukan Barat, perubahan moda produksi yang terjadi tidak menghasilkan moda produksi kapitalis melainkan hanya mencapai moda produksi transisional. Sejalan dengan pendapat tersebut, perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas petani kakao yang juga berada di belahan dunia bukan Barat sangat mungkin belum mencapai moda produksi kapitalis tetapi baru mencapai moda produksi transisional. Realitas ini dapat terjadi karena laju kekuatan moda 3

produksi kapitalis mendapat hambatan dari lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang masih memberi jalan pada praktek moda produksi non-kapitalis yang sejak lama sudah diterapkan para petani. Walaupun demikian, sejalan dengan pendapat Russel (1989) ternyata moda produksi transisional yang hadir dalam masyarakat kontemporer di belahan bukan barat tidak seragam. Secara lebih rinci ragam moda produksi transisional yang berpotensi hadir adalah seperti berikut: 1) beberapa moda produksi hadir secara bersamaan tetapi salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya, 2) terdapat beberapa praktek moda produksi yang berbeda tetapi hadir secara berdampingan, 3) di antara bagian wilayah masyarakat terdapat praktek moda produksi yang berbeda, 4) terdapat moda produksi baru yang ciri-cirinya merupakan gabungan ciri-ciri dari lebih satu moda produksi Pada saat moda produksi baru yang lebih kapitalis (moda produksi transisional) semakin dominan, maka pada saat itu akan terjadi perubahan struktur agraria. Perubahan struktur agraria tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownship) menuju penguasaan perorangan (private ownship). Suatu perubahan dari hak setiap orang untuk memanfaatkan sumberdaya agraria menjadi hanya sebagian orang yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria sehingga terjadi ketidaksamaan akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria. Realitas tersebut kemudian akan memberi jalan pada proses diferensiasi struktur sosial masyarakat agraris (struktur sosial-ekonomi). Sebagaimana dikemukakan para pakar dan banyak hasil penelitian sebelumnya (Tabel 2.7.), secara kontekstual akan muncul dua kemungkinan bentuk struktur sosial masyarakat agraris, yaitu stratifikasi (bertambah banyaknya lapisan masyarakat) dan polarisasi (terkutubnya masyarakat dalam dua lapisan). Pada komunitas petani kakao, bentuk struktur mana yang akan muncul sangat tergantung pada hasil pertemuan antara moda produksi kapitalis yang diperkenalkan dari luar (aras supra lokal/- wilayah maju/center) dengan moda produksi non-kapitalis yang sebelumnya sudah lama berkembang dalam komunitas petani (aras lokal/wilayah pinggiran/ periphery) serta tergantung pada perubahan struktur agraria yang terjadi. Lebih lanjut, transformasi struktur agraria yang diikuti oleh perubahan struktur sosial masyarakat agraris tersebut akan mendorong berlangsungnya peru- 4

bahan akses petani dalam memperoleh penghasilan dari sumberdaya agraria sehingga kemudian terjadi perubahan kesejahteraan petani. Di satu pihak perubahan tersebut diharapkan akan berimplikasi pada meningkatnya peluang berusaha petani sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Akan tetapi, di pihak lain, perubahan tersebut sangat mungkin berimplikasi pada munculnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani (terjadi ketimpangan kesejahteraan), bahkan sangat potensisial memperburuk kondisi kesejahteraan keluarga petani. Melalui proses polarisasi masyarakat agraris (berbasis penguasaan lahan), jumlah kaum tani yang terlepas atau kehilangan kontrol terhadap kekuatan produksi sumberdaya agraria akan semakin banyak. Dalam posisi tersebut mereka hanya menjadi buruh tani yang kehidupannya sangat tergantung pada pihak lain yang memiliki kekuatan produksi sumberdaya agraria. Sementara itu, melalui proses stratifikasi masyarakat agraris, meskipun tidak terjadi pengkutuban masyarakat agraris (lapisan petani pemilik sumberdaya agraria yang kaya dan lapisan buruh tani yang miskin) tetapi melalui proses tersebut sangat potensial terjadi pemiskinan petani, baik melalui proses eksploitasi sendiri (self-exploitation) yang berlangsung dalam komunitas petani atau melalui eksplotasi yang dilakukan oleh aktor dari luar komunitas petani (aras supra-lokal) terhadap komunitas petani. Oleh sebab itu, bila kekuatan produksi sumberdaya agraria yang dikuasai petani tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) serta pengurangan lebih lanjut menimbulkan malnutrisi dan kematian dini, maka dalam keluarga petani sedang terjadi problema 4 kesejahteraan. Secara garis besar, pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani. Secara lebih spesifik, dalam konteks adanya perubahan praktek moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis 4 Dalam penelitian ini istilah problema kesejahteraan dimaknai sejalan dengan istilah bencana minimum sebagaimana digunakan Scott (1989). Problema ini akan terjadi bila kekuasaan petani atas sumberdaya lahan tidak mampu memberikan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) sehingga pengurangan lebih lanjut akan menimbulkan malnutrisi dan kematian dini. 5

(penuh) namun potensial terhenti pada moda produksi transisional (moda produksi komersial) karena ditahan oleh realitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifik, maka beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh penelitian ini adalah : 1) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi memberi jalan pada transformasi struktur agraria? 2) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferen-siasi sosial masyarakat agraris: apakah menimbulkan gejala polarisasi atau stratifikasi sosial?, 3) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani : apakah pemerataan atau ketimpangan?, serta 4) bagaimana dan sejauhmana realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik mengarahkan transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong terjadinya diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani? Sebenarnya hasil penelitian Sitorus (2002) di komunitas petani kakao yang bermukim sekitar kawasan hutan di Sulawesi Tengah dapat memberikan jawaban atas sebagian pertanyaan tersebut. Hasil penelitian Sitorus menunjukkan bahwa perubahan moda produksi yang dijalankan petani kakao 5 telah medorong berlangsungnya perubahan struktur agraria, dan perubahan tersebut menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi 6. Demikian halnya hasil penelitian Li (2002) pada komunitas petani masyarakat terasing 7 yang menempati dataran tinggi di Sulawesi Tengah menunjukkan adanya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong terjadinya struktur sosial masyarakat agraris yang polarisasi. 5 Menurut Sitorus (2002) moda produksi petani berubah dari moda produksi susbsisten yang berlangsung pada usahatani padi menjadi moda produksi komersial yang berlangsung pada usahatani kakao. 6 Gejala polarisasi tersebut, menurut Sitorus (2002), ditunjukkan oleh meningkatnya posisi petani Bugis (penduduk pendatang), dari petani tidak memiliki tanah menjadi petani pemilik yang tanahnya semakin luas. Sebaliknya, posisi petani Kaili (penduduk lokal) semakin melemah, dari petani pemilik menjadi petani tak bertanah. Lebih lanjut, perubahan struktur agraria tersebut mengakibatkan kondisi semakin melemahnya jaminan kesejahteraan bagi petani Kaili. Oleh sebab itu, mereka mencari alternatif jaminan kesejahteraan dengan menanam kakao di kawasan hutan. 7 Sebagaimana dikutip Li (2007), Departemen Sosial mendefiniskan masyarakat terasing sebagai masyarakat yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, punya komitmen yang kuat terhadap kebiasan dan kepercayaan lokal, kekuarangan (minim) fasilitas kesehatan; perumahan; pakaian; pendidikandan trasportasi. Kemudian definisi tersebut oleh Li dilengkapi sebagai berikut : mempunyai ciri-ciri budaya yang unik, sebagian besar menempati hutan, pegunungan. 6

Akan tetapi, di pihak lain, banyak hasil penelitian seperti Shanin dalam Hashim (1988) serta Hayami dan Kikuchi (1987) yang mengungkapkan bahwa proses perubahan stuktur agraria yang terjadi pada komunitas petani (peasant) tidak menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi tetapi menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi. Hal ini di antaranya terjadi karena laju perkembangan moda produksi kapitalis pada kaum tani ditahan oleh berbagai relaitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifik yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang pada komunitas petani (pada aras lokal). Berkaitan dengan masih adanya dua kemungkinan realitas yang berbeda tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan bentuk perubahan struktur agraria dan perubahan struktur sosial masyarakat agraris komunitas petani yang akan diteliti berbeda dengan hasil penelitian Sitorus maupun Li jika realitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifiknya berbeda. Lebih lanjut hal ini juga sangat mungkin akan menyebabkan perbedaan dalam peta kesejahteraan keluarga/komunitas petani. Pemikiran tersebut sejalan dengan pemikiran Teori Kritis (Guba dalam Denzin dan Lincoln, 2000) yang mengemukakan bahwa realitas sosial merupakan realisme historis atau merupakan kenyataan yang dibentuk oleh lingkungan spesifiknya, maka sangat mungkin adanya suatu realitas sosial yang berbeda bila lingkungan spesifik tersebut berbeda. Dalam penelitian yang dilaksanakan Sitorus (2002) lingkungan spesifik komunitas petani kakao yang diteliti adalah : 1) berada dekat kawasan hutan yang relatif luas sehingga para petani mempunyai peluang memperluas kebun kakao ke wilayah hutan, dan 2) pada komunitas tersebut tidak pernah ada campur tangan (fasilitasi) program pemerintah dalam pengembangan kebun kakao rakyat, 3) anggota komunitas yang diteliti mempunyai latarbelakang etnis berbeda tetapi mereka berada dalam wilayah desa yang sama. Sementara itu, dalam penelitian yang dilaksanakan Li (2002) lingkungan spesifik komunitas petani kakao adalah : 1) sumber daya agraria yang dikuasai petani hanya ditanami kakao, 2) komunitas petani berada di wilayah ekosistem dataran tinggi, dan 3) komunitas petani lokal yang diteliti termasuk kelompok masyarakat yang relatif tertinggal. 7

Sementara itu, lingkungan komunitas petani kakao yang akan diteliti berbeda dengan lingkungan komunitas petani kakao yang diteliti Sitorus maupun Li terutama dalam dua hal berikut. Pertama, di tiga komunitas petani kakao yang akan diteliti (dua komunitas di Sulawesi Tengah, dan satu komunitas di NAD), pemerintah pernah melakukan campur tangan (fasilitasi) melalui program pengembangan perkebunan kakao bagi para petani 8. Kedua, setiap komunitas petani (desa) yang diteliti hampir seluruhnya merupakan warga yang berasal dari satu etnis, sehingga perbandingan realitas sosial antar etnis dilakukan dengan membanding antar komunitas yang berada di desa yang berbeda. Ketiga, komunitas etnis lokal yang berada di Sulawesi Tengah merupakan komunitas desa yang sudah lama melakukan sistem pertanian menetap, bukan masyarakat terasing atau masyarakat terpencil (menurut konsep Departemen Sosial) yang menjalankan praktek pertanian berpindah. 1.3. Pertanyaan Penelitian Secara garis besar, pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani. Kemudian secara lebih spesifik, dalam konteks adanya transformasi praktek moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis (penuh) namun terhenti pada moda produksi transisi (moda produksi komersial) karena ditahan oleh realitas lingkungan/ kekuatan sosial spesifik, maka beberapa pertanyaan lebih rinci yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam komunitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan moda produksi non-kapitalis? 8 Menurut Soentoro (1980), perbedaan pemanfaatan pelayanan pemerintah menyebabkan perbedaan kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih baik sehingga semakin merenggangkan golongan kaya dan miskin di pedesaan. 8

2. Bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan berlangsungnya transformasi struktur agraria, 3. Bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris : apakah struktur sosial masyarakat agraris semakin terpolarisasi atau semakin terstratifikasi? 4. Bagaimana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan petani : apakah dalam komunitas petani terjadi beragam status kesejahteraan petani? 5. Lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstekstual berperan mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani. Adapaun tujuan penelitian yang lebih rinci dirumuskan sebagai berikut : 1. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam komunitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan moda produksi non-kapitalis 2. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan bagi berlangsungnya perubahan struktur agraria, 9

3. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris: apakah struktur sosial masyarakat agraris dimaksud semakin terpolarisasi atau semakin terstratifikasi? 4. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana diferensiasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani, 5. Menganalisis lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstektual berperan mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan komunitas petani? 1.5. Kegunaan Penelitian Secara umum, hasil studi ini diharapkan akan memberikan kontribusi bagi pengembangan pengetahuan sosial-ekonomi pertanian pedesaan, terutama pengetahuan sosiologi pedesaan tentang proses pertemuan antara transformasi kapitalisme yang tercakup dalam pengembangan tanaman komersial perkebunan di pedesaan dengan realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang sebelumnya sudah berkembang dalam masyarakat serta implikasinya terhadap perubahan struktur agraria (struktur sosial petani) serta terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan petani berbasis sumberdaya lahan atau berbasis perkebunan kecil. Berlandaskan pengetahuan tersebut, diharapkan proses perumusan kebijakan pembangunan pertanian pedesaan yang lebih cermat menjadi semakin mungkin diwujudkan. Lebih lanjut, hal tersebut akan mendukung berlangungnya proses perencanaan dan implementasi program pembangunan pertanian pedesaan yang lebih efektif dan lebih tepat sasaran. Ketersediaan data dan informsi tentang moda produksi, struktur agraria, serta diferensiasi sosial dan kesejahteraan komunitas petani yang lebih mendalam dan lebih lengkap diharapkan dapat menjadi landasan bertolak bagi pihak-pihak yang akan menjalankan peranan sebagai fasilitator dalam perumusan atau pelaksanaan program pembangunan komunitas petani. Dengan rumusan dan implementasi program secara akurat, diharapkan program tersebut tidak berdampak pada meningkatnya kesenjangan kesejahteraan di 10

antara keluarga petani (dalam komunitas) maupun antara komunitas petani (aras lokal) dengan pihak terkait lain (aras supra lokal) 9. Secara khusus, data dan informasi tersebut dapat dijadikan landasan bertolak dalam merumuskan program reforma agraria 10 dan program revitalisasi perkebunan yang sama-sama mulai digulirkan tahun 2007. Kedua program tersebut perlu diletakkan dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dimana reforma agraria menjadi pembuka jalan bagi pekebun (terutama pekebun miskin) untuk menguasai sumberdaya agraria dan revitalisasi perkebunan sebagai supporting system yang memberikan jalan kepada para pekebun untuk menguasai permodalan; teknologi dan input pertanian lainnya 11. 9 Modernisasi pertanian dalam program Revolusi Hijau hanya memperbaiki nasib petani lapisan atas di desa, sedangkan petani gurem dan buruh tani belum terangkat arus pembangunan tersebut sehingga mereka tetap tertinggal (Sajogyo, 2002) 10 Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, menyampaikan bahwa sejak tahun 2007 pemerintah akan menggulirkan program reforma agraria, yakni pendistribusian tanah untuk rakyat Dialokasikannya tanah bagi rakyat termiskin (yang berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah terlantar, tanah milik negara yang Hak Guna Usahanya habis, maupun tanah swapraja) dimaknai Presiden sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 12 Januari 2007). 11 Berbagai studi menyimpulkan bahwa peningkatan produktifitas atau investasi kedalam sektor agribisnis dalam struktur ekonomi pertanian yang timpang tidak dapat menghapuskan kemiskinan (Morales, 2001). Dilain pihak, kebijakan pertanahan yang hanya berorientasi teknis administratif yang sempit dan terisolir dari proses pembangunan lebih luas tidak dapat memperbaiki nasib petani miskin. Misalnya penetapan hak formal terhadap tanah (sertifikat) tidak akan membantu tanpa diletakkan di dalam kerangka supporlting system yang memberikan jalan pada petani miskin untuk menguasai infrastruktur dan input pertanian (Deininger & Binswanger, 2001) 11