BAB I PENDAHULUAN. opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Namun demikian, masih banyak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Artinya bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang untuk

BAB. I PENDAHULUAN. Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa: Pengelolaan Barang Milik Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk penyelenggaraan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai manajemen maupun alat informasi bagi publik. Informasi akuntansi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang. Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah merupakan hal yang. pemberi pelayanan publik kepada masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan seiring

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Bagian Pendahuluan ini akan menguraikan rencana penelitian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. hal pengelolaan keuangan dan aset daerah. Berdasarkan Permendagri No. 21 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Dengan diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pemerintah daerah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. akuntabel, dalam hal ini adalah tata kelola pemerintahan yang baik (good

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Rochmansjah (2010) ditandai dengan adanya penyelenggaraan manajemen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam rangka mewujudkan suatu tata kelola pemerintahan yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia. ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

BAB I PENDAHULUAN. pun berlaku dengan keluarnya UU No. 25 tahun 1999 yang telah direvisi UU No. 33 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. bersih dan berwibawa. Paradigma baru tersebut mewajibkan setiap satuan kerja

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. melalui UU No. 22 Tahun Otonomi daerah memberikan Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Penyusunan laporan keuangan merupakan salah satu kriteria dalam sistem reward. yang dapat menunjukkan kondisi sebenarnya.

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. dengan Good Government Governance (GGG). Mekanisme. penyelenggaraan pemerintah berasaskan otonomi daerah tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. komitmen Pemerintah Pusat dalam perbaikan pelaksanaan transparansi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini masyarakat Indonesia semakin menuntut pemerintahan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 pasal 32 ayat 1 dan 2 tentang keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok. pemerintahan daerah, diubah menjadi Undang-Undang (UU) No.

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah masih menemukan fenomena penyimpangan informasi laporan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. menyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara

BAB I PENDAHULUAN. korupsi baik di level pusat maupun daerah menjadi penyebab utama hilangnya

BAB I PENDAHULUAN. oleh masyarakat umum (Ritonga, 2012:173). Aset tetap dapat diklasifikasikan

BAB I PENDAHULUAN. dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan sejak tahun 1999-an

BAB I PENDAHULUAN. prinsip- prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui

BAB I INTRODUKSI. Bab I dalam penelitian ini berisi tentang latar belakang, konteks riset, rumusan

BAB I PENDAHULUAN. melalui laporan keuangan pemerintah daerah yang digunakan sebagai dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. berlangsung secara terus menerus. Untuk bisa memenuhi ketentuan Pasal 3. Undang-Undang No.17 tahun 2003 tentang keuangan, negara

BAB I PENDAHULUAN. yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah. Pemerintah Daerah memerlukan

PENGARUH PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH TERHADAP PENGAMANAN ASET DAERAH (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Gorontalo)

BAB I PENDAHULUAN. Pada sistem pemerintahan yang ada di Indonesia, setiap pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Menyusun laporan keuangan merupakan sebuah kewajiban bagi setiap

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. Setelah penulis menggali dan mengganalisis data temuan BPK RI Perwakilan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa

BAB I PENDAHULUAN. kegiatannya. Optimalisasi serta peningkatan efektivitas dan efisiensi di

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam pengelolaan keuangan negara. yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi,

BAB 1 INTRODUKSI. Pengakuan merupakan proses pemenuhan kriteria pencatatan suatu

BAB I PENDAHULUAN. untuk menerapkan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dapat diartikan sebagai bentuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good governance government), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak Indonesia mulai memasuki era reformasi, kondisi pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan pengawasan. Kualitas audit

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Fenomena hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan

BAB I PENDAHULUAN. Laporan keuangan merupakan hasil kegiatan operasional. Laporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Manajemen perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi isu yang sangat penting di pemerintahan Indonesia. Salah satu kunci

PENGENDALIAN INTERNAL BARANG MILIK DAERAH (BMD) PADA DINAS PPKAD KABUPATEN TEGAL

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara.tata kelola pemerintahan yang baik (Good

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka reformasi di bidang keuangan, pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Idealnya Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) mendapatkan opini

INDIKATOR DAN TOLAK UKUR KINERJA BELANJA LANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. lemah dan pada akhirnya laporan keuangan yang dihasilkan juga kurang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan tuntutan transparansi dan akuntabilitas sebagai

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Reformasi manajemen keuangan negara di Indonesia diawali lahirnya

BAB I PENDAHULUAN. yang baik (good governance government), telah mendorong pemerintah pusat dan

Bab 1 PENDAHULUAN. dilanjutkan dengan pertanyaan penelitian, tujuan, motivasi, dan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. penting. Otonomi daerah yang dilaksanakan akan sejalan dengan semakin

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban keuangan pemerintah. Pemerintah daerah diwajibkan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. menunjukan kualitas yang semakin baik setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air, dan ruang di angkasa, termasuk kekayaan alam yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 2016, serta pengamatan langsung kondisi tahun 2017 diperoleh simpulan hasil sebagai

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, pemerintah Indonesia berusaha untuk mewujudkan tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik (good governance),

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan Pemerintahan di Propinsi Ben

BAB I PENDAHULUAN. audit, hal ini tercantum pada bagian keempat Undang-Undang Nomor 15 Tahun

ANALISIS HASIL AUDIT LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/LEMBAGA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pemeriksaan laporan keuangan/auditing secara umum adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. satu dasar penting dalam pengambilan keputusan. Steccolini (2002;24) mengungkapkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi sektor publik adalah organisasi yang bertujuan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. internal, intuisi, pemahaman terhadap SAP dan pengetahuan tentang pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ghia Giovani, 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang tingkat pengungkapan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Idealnya Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Namun demikian, masih banyak pemerintah daerah yang mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2015 BPK RI dapat dilihat opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) pada tahun 2014 sebagai berikut: terhadap 504 LKPD Tahun 2014, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian atas 251 LKPD, opini Wajar Dengan Pengecualian atas 230 LKPD, opini Tidak Wajar atas 4 LKPD, dan opini Tidak Memberi Pendapat atas 19 LKPD. Menurut Gutomo (2014), permasalahan yang menghambat belum diperolehnya opini WTP dari hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah cukup beragam, namun fenomena yang terjadi lebih sering disebabkan masalah dari pengelolaan aset tetap yang tidak akuntanbel sehingga penyajian aset tetap di neraca tidak dapat diyakini kewajarannya oleh auditor. Pengelolaan barang milik daerah dilakukan dari siklus perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Menurut Yusuf (2010: 38), salah satu penyebab tidak bagusnya pengelolaan aset daerah adalah karena saat penganggaran salah dalam menentukan jumlah belanja modal. Berdasarkan PSAP No. 7 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 paragraf 5, dijelaskan bahwa biaya perolehan aset tetap meliputi harga beli aset tetap ditambah semua biaya yang dikeluarkan 1

2 sampai aset tetap siap untuk digunakan. Biaya yang dikeluarkan diluar harga beli, misalnya biaya transportasi, biaya uji coba, biaya konsultan perencanaan, konsultan pengawas dan pengembangan software, dan lain-lain. Komponenkomponen tersebut harus dianggarkan dalam APBD sebagai belanja modal dan bukan sebagai belanja operasional. Sehingga jika biaya-biaya tersebut dianggarkan sebagai belanja operasional maka harus dilakukan konversi harga, agar didapatkan harga perolehan aset tetap yang wajar (Yusuf, 2010: 38). Selain penganggaran belanja modal, permasalahan pengelolaan barang milik daerah juga terkait masalah penganggaran belanja pemeliharaan aset tetap. Menurut Yusuf (2010: 35), Setiap aset tetap daerah yang dibeli perlu diimbangi dengan pemeliharaan aset agar aset yang ada tetap terawat dan umur ekonomisnya dapat bertambah. Berdasarkan Permendagri No. 17 Tahun 2007 pasal 7 dinyatakan bahwa dalam menyusunan anggaran belanja pemeliharaan untuk tahun berjalan, seharusnya mengacu pada kondisi aset tetap pada tahun sebelumnya. Pemerintah daerah harus mengetahui kondisi barang milik daerah (rusak berat, rusak ringan atau baik) yang akan dipelihara sehingga dapat dengan jelas mengetahui berapa jumlah dana yang akan dibutuhkan untuk memelihara aset tetap agar dapat digunakan untuk kegiatan pemerintahan. Menurut Abdullah (2009), proses pemeliharaan aset tetap harus didukung dengan pencatatan pemeliharaan aset dalam upaya agar tidak terjadi fenomena ghost expenditures yaitu alokasi untuk pemeliharaan selalu dianggarkan secara incremental meskipun banyak aset yang sudah tidak berfungsi atau hilang. Hal ini terjadi karena tidak adanya transparansi dalam penghapusan dan pemidahtanganan aset-aset pemerintah. Untuk aset yang sudah lama dan tidak

3 dapat digunakan secara optimal lagi oleh pemerintah daerah, aset tersebut dapat dilakukan penghapusan, selain itu secara ekonomis lebih menguntungkan bagi daerah apabila dihapus, karena biaya operasional dan pemeliharaannya lebih besar dari manfaat yang diperoleh. Namun dalam pelaksanaan penghapusan dan pemindahtanganan, masih terdapat penghapusan dan pemindahtanganan yang tidak sesuai dengan mekanisme yang berlaku karena pelaksanaannya tidak berdasarkan peraturan yang ada dan dapat menimbulkan kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang ataupun tindakan untuk menguntungkan diri sendiri yang akan merugikan daerah (www.palu.bpk.go.id). Selain itu kendala lain dari proses penghapusan aset daerah adalah prosedur penghapusan yang dipandang rumit oleh pemerintah daerah karena banyak persyaratan yang dipenuhi agar dapat disetujuinya penghapusan suatu barang milik daerah dan membutuhkan waktu yang lama (www.setdaprovkaltim.info). Menurut Sugito (2014), penyebab lain yang menyebabkan terkendalanya pengelolaan barang milik daerah yang baik adalah saldo per jenis aset tetap di neraca SKPD (dan konsolidasiannya) tidak didukung dengan rincian per jenis aset tetap per SKPD. Pengakuan aset tetap oleh Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK)-SKPD dan/ atau bidang akuntansi di Bendahara Umum Daerah (BUD) atas transaksi belanja barang, belanja modal, belanja lainnya, atau dari hibah tidak sama dengan pencatatan yang dilakukan oleh pengurus barang di SKPD. Untuk mengatasi permasalahan perbedaan pencatatan aset tetap di buku inventaris dengan neraca keuangan di SKPD sebenarnya memerlukan rekonsiliasi secara berkala antara PPK-SKPD dengan pengurus/ penyimpan barang dan antara bagian

4 akuntansi di Bendahara Umum Daerah (BUD) dengan bidang administrasi barang milik daerah. Menurut Gutomo (2014), permasalahan aset tetap pemerintah daerah pada umumnya terkait adanya barang milik daerah tidak dicatat, barang milik daerah yang tidak ada justru masih dicatat, barang milik daerah dicatat tapi tidak didukung dengan dokumen kepemilikan yang sah. Hal ini terjadi dikarenakan aset tetap daerah jumlahnya terlalu banyak dalam kuantitas, juga diakibatkan data pencatatan yang sudah belasan atau bahkan puluhan tahun lamanya. Selain itu juga, kelemahan dari segi aset tetap ini juga muncul karena pada masa lalu pemerintahan daerah memposisikan pengelolaan barang milik daerah tidak lebih penting dari pengelolaan keuangan dan menumpukan seluruh permasalah pengelolaan barang kepada pengurus barang Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Berdasarkan artikel pada www. kepriprov.go.id, permasalahan lain dari pengelolaan aset tetap di pemerintah daerah adalah masalah pengelolaan aset yang berasal dari hibah barang milik negara (HBN) asal kegiatan dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Permasalahan ini, menurut Respationo (2014) disebabkan penyelesaian aset daerah yang bersumber dari kegiatan dekonsentrasi dan tugas perbantuan tidak segera ditindaklanjuti karena penyerahan aset dari pemerintah pusat kepada daerah terhambat dari segi administrasinya. Masalah administrasi ini menyebabkan keberadaan aset negara tersebut sulit terlacak keberadaannya. Padahal, jika pemerintah daerah dapat segera menguasai aset tersebut, maka pemerintah dapat segera menguasai dan memelihara aset tersebut. Sesuai dengan permendagri No 71 Tahun 2013 pada pasal 36 dinyatakan bahwa barang yang

5 diperoleh dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan barang milik Negara, dan bisa dihibahkan kepada pemerintah daerah. Adapun beberapa permasalahan pengelolaan barang milik daerah yang terjadi pada pemerintah daerah dapat disimpulkan sebagai berikut. Tabel. 1.1. Permasalahan Aset Tetap Pemerintah Daerah Secara Umum No Permasalahan 1 Jumlah belanja modal seharusnya berdasarkan total biaya perolehan aset tetap dan dibuat dalam satu mata anggaran. 2 Penentuan jumlah anggaran pemeliharaan untuk tahun berjalan, seharusnya mengacu pada kondisi aset tetap pada tahun sebelumnya bukan secara incremental 3 Aset tetap ada fisik tidak tercatat, tercatat tidak ada fisik, tidak didukung dengan dokumen kepemilikan 4 Prosedur penghapusan yang dipandang rumit oleh pemerintah daerah karena banyak persyaratan yang dipenuhi 5 Pengelolaan aset yang berasal dari hibah barang milik negara (HBN) asal kegiatan dekonsentrasi dan tugas perbantuan yang belum dihibahkan kepada daerah. Pada tahun 2012 Pemerintah Kota Tebing Tinggi memperoleh opini Tidak Memberi Pendapat (disclaimer) pada laporan keuangannya diakibatkan permasalahan ketidaksesuaian nilai aset tetap di neraca dengan nilai aset tetap pada buku inventaris barang. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2007 pasal 29 paragraf 1, bahwa laporan barang milik daerah digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca Pemerintah Daerah, jadi seharusnya jumlah pada neraca dan jumlah pada buku inventaris barang milik daerah adalah sama.

6 Permasalahan tersebut mengakibatkan Pemerintah Kota Tebing Tinggi harus memperbaiki jumlah aset tetap di neraca dengan melakukan inventarisasi barang milik daerah dan mendapat pendampingan dari BPKP perwakilan Provinsi Sumatera Utara. Kesulitan yang dirasakan oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam menyusun kembali aset tetap di neraca adalah mengumpulkan data aset tetap serta menilai aset tetap. Untuk aset yang telah lama dibeli dicatat dengan nilai yang tidak wajar yaitu biasanya Rp.1 dalam buku inventaris. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Tebing Tinggi bekerja sama dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) melakukan penilaian ulang aset-aset yang tidak wajar nilainya agar memperoleh nilai wajarnya. Pada tahun 2013, Pemerintah Kota Tebing Tinggi memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada laporan keuangannya dan masih terdapat permasalahan aset didalamnya. Salah satu permasalahan pengelolaan aset tetap pada Pemerintah Kota Tebing Tinggi adalah rekonsiliasi antara bagian keuangan, bagian administrasi barang milik daerah dan pengurus barang SKPD belum memadai. Dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tersebut, dapat dilihat bahwa Penatausahaan barang milik daerah ini akan berdampak pada penatausahaan keuangan daerah karena laporan barang milik daerah merupakan bahan untuk menyusun neraca daerah. Pada tahun 2014 Pemerintah Kota Tebing Tinggi memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragrap Penjelasan (WTP DPP) dan masih terdapat permasalahan aset tetap pada paragraf penjelasan tersebut. Pelaksanaan pengelolaan barang milik daerah dapat berjalan dengan efektif dan efisien jika seluruh pegawai yang menangani sistem barang milik

7 daerah mengerti dan memahami tentang sistem barang milik daerah tersebut. Inayah (2010) menunjukkan bahwa faktor kualitas staf yang menjadi pelaksana pengelola barang milik daerah akan mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan pengelolaan aset daerah. Faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan aset daerah di Kota Tangerang memiliki hubungan yang kuat, karena indikator yang menjadi tolok ukur sumber daya yaitu pembagian kewenangan berjalan baik, informasi cukup karena komunikasi berjalan efektif, serta fasilitas fisik dan financial yang memadai. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Azhar (2013), yang menunjukkan bahwa kualitas aparatur daerah tidak berpengaruh terhadap manajemen aset daerah, dikarenakan banyak pengurus barang yang belum memenuhi syarat pendidikan tertentu, kurangnya sosialisasi terhadap pengelola barang di SKPD Pemko Banda Aceh mengenai tata cara pengelolaan aset daerah, pengurus barang tidak mengetahui tugas dan fungsinya terkait dengan pengelolaan barang milik daerah, dan peraturan daerah tentang pengelolaan barang milik daerah belum disusun secara rinci dan disesuaikan dengan kondisi daerah dalam mengatur pengelolaan barang milik daerah di Pemerintah Kota Banda Aceh. Proses yang panjang dalam pengelolaan barang milik daerah tentunya harus didasari pada regulasi agar tidak terjadi suatu kecurangan atau kesalahan dalam pencatatan barang milik daerah. Pedoman pelaksanaan secara teknis dari pengelolaan barang milik daerah, dijabarkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 ditegaskan kepada

8 daerah untuk ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Barang Milik Daerah diatur dengan Peraturan Daerah berpedoman pada kebijakan pengelolaan Barang Milik Daerah. Azhar (2013) membuktikan adanya pengaruh yang signifikan antara regulasi dengan manajemen aset daerah, karena regulasi merupakan alat bagi aparatur dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk mendukung pelaksanaan manajemen aset daerah. Menurut Munaim (2012) Hambatan utama yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pengelolaan barang milik daerah bukan terletak pada regulasi yang ada, namun lebih pada pemahaman dan kepatuhan aparatur terhadap regulasi tersebut. Sistem teknologi informasi manajemen dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan regulasi pengelolaan barang milik daerah. Sistem teknologi informasi manajemen akan memudahkan penatausahaan barang milik daerah secara akurat dan cepat. Hasil penelitian Azhar (2013), bahwa sistem informasi berpengaruh signifikan terhadap manajemen aset. Konsekuensinya pada pengurus barang selaku pelaksana teknis pengelola barang dalam melakukan penatausahaan barang milik daerah harus mampu dan mahir dalam mengoperasikan aplikasi SIMDA- BMD sekaligus memahami prosedur penatausahaan barang milik daerah sesuai dengan Permendagri 17 tahun 2007. Komunikasi pemerintahan digunakan untuk mengelola hubungan aparatur dan bertujuan agar aparatur mengetahui dan memahami apa yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakan dan agar eksekutif pemerintah mendapatkan informasi dari pegawai tentang hasil pelaksanaan pekerjaan yang kesemuanya bermanfaat untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi pemerintah secara efektif dan efisien. Hasil penelitian Inayah (2010) menunjukkan adanya hubungan antara

9 variabel komunikasi dalam memengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan barang milik daerah. Inayah (2010) mengacu kepada teori Edward III, dalam menentukan indikator yang dijadikan tolok ukur dalam mengukur variabel komunikasi dalam implementasi kebijakan publik, yaitu penyaluran komunikasi, kejelasan informasi, konsistensi dan mekanisme koordinasi. Komitmen pimpinan sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan pengelolaan barang milik daerah. Komitmen pimpinan digunakan sebagai variabel moderating karena dalam prakteknya, pimpinan SKPD sering menomor duakan masalah pengelolaan aset daerah (Simamora, 2012). Menurut Kumorotomo (2012), salah satu isu kebijakan terkait pengelolaan aset adalah Kepala SKPD lebih berperan sebagai pengguna anggaran dan sering sekali lupa bahwa mereka juga diamanatkan sebagai pengguna/ kuasa pengguna barang yang bertanggungjawab atas pengelolaan barang di SKPD. Menurut Yusuf (2014: 47), disamping kompetensi sumber daya yang memadai untuk mengelola barang milik daerah, diperlukan juga komitmen pimpinan yang terus mendorong pengurus barang bekerja sesuai dengan visi dan misi yang diharapkan. Penerapan sistem teknologi informasi memerlukan komitmen pimpinan agar menyediakan peralatan dari hardware,software dan jaringan yang memadai untuk kelancaran proses penatausahaan barang milik daerah. Komitmen dari pimpinan diperlukan juga dalam pelaksanaan regulasi. Menurut Gusman (2012), sebagus apapun suatu peraturan disusun, tanpa adanya komitmen dari pimpinan untuk menerapkan peraturan tersebut maka peraturan tersebut tidak akan berhasil dalam penerapannya. Oleh karena itu, kepatuhan pada regulasi yang dilakukan

10 oleh para pelaksana pengelola barang milik daerah membutuhkan komitmen pimpinan. Komunikasi dalam pelaksanaan pengelolaan barang milik daerah memerlukan komitmen pimpinan. Sejalan dengan pendapat Sugito (2014) bahwa Kepala SKPD selaku pengguna barang milik daerah kurang memiliki komitmen dalam pengelolaan barang milik daerah. Hal ini dapat terlihat bahwa ada perbedaan data antara Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) yang dilaporkan oleh pengurus barang kepada pengelola aset dengan data dari bagian keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya komunikasi yang baik dalam pengelolaan asset di SKPD, yaitu antara pengurus barang, penyimpan barang dan seksi akuntansi di bagian keuangan, karena laporan aset yang dibuat oleh ketiga petugas tersebut berbedabeda, masing masing petugas membuat laporan sesuai dengan data yang diterimanya dan tidak ada pengecekan satu sama lain. Sebaliknya, jika kepala SKPD mau berkomitmen dalam pengelolaan barang milik daerah, seharusnya bisa mengkordinasikan pengurus/penyimpan barang dan seksi akuntansi agar berkomunikasi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan laporan dengan cara rekonsiliasi. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti termotivasi untuk mengkaji lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pengelolaan barang milik daerah pada SKPD Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan komitmen pimpinan sebagai variabel moderating. Adapun yang dipandang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kualitas aparatur daerah, kepatuhan pada regulasi, sistem informasi manajemen, dan komunikasi yang diduga mempengaruhi kualitas

11 pengelolaan barang milik daerah di Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) Pemerintah Kota Tebing Tinggi. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut : 1. Apakah kualitas aparatur daerah, kepatuhan pada regulasi, sistem informasi manajemen, dan komunikasi berpengaruh terhadap kualitas pengelolaan barang milik daerah di SKPD Pemerintah Kota Tebing Tinggi secara simultan dan parsial? 2. Apakah komitmen pimpinan dapat memoderasi hubungan antara kualitas aparatur daerah, kepatuhan pada regulasi, sistem informasi manajemen, dan komunikasi dengan kualitas pengelolaan barang milik daerah di SKPD Pemerintah Kota Tebing Tinggi? 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis pengaruh kualitas aparatur daerah, kepatuhan pada regulasi, sistem informasi manajemen, dan komunikasi terhadap kualitas pengelolaan barang milik daerah di SKPD Pemerintah Kota Tebing Tinggi secara simultan dan parsial 2. Untuk menganalisis komitmen pimpinan sebagai pemoderasi hubungan antara kualitas aparatur daerah, kepatuhan pada regulasi, sistem informasi

12 manajemen, dan komunikasi dengan kualitas pengelolaan barang milik daerah di SKPD Pemerintah Kota Tebing Tinggi. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan adalah: 1. Bagi peneliti, sebagai pengetahuan dan pemahaman mengenai kualitas pengelolaan barang milik daerah. 2. Bagi akademis/ peneliti selanjutnya, sebagai pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya mengenai pengelolaan barang milik daerah. 3. Bagi Pemerintah Kota Tebing Tinggi diharapkan bisa memberikan kontribusi dalam mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan barang milik daerah serta dapat menjadi masukan dalam mengambil keputusan terkait pengelolaan barang milik daerah. 1.5. Originalitas Penelitian Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Azhar (2013) dengan judul: Pengaruh kualitas aparatur daerah, regulasi dan sistem informasi terhadap manajemen aset pada SKPD Pemerintah Banda Aceh. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya (tabel 1.1.) adalah : 1. Penelitian sebelumnya menggunakan kemampuan kualitas aparatur daerah, regulasi dan sistem informasi sebagai variabel independen, dan manajemen aset sebagai variabel dependen. Sementara penelitian ini kualitas aparatur daerah, kepatuhan pada regulasi, sistem informasi manajemen, dan komunikasi sebagai variabel independen, komitmen pimpinan sebagai

13 variabel moderating dan kualitas pengelolaan barang milik daerah sebagai variabel dependen. 2. Penelitian sebelumnya menggunakan LKPD tahun 2012. Pada penelitian ini menggunakan LKPD audited dari tahun 2012, 2013 dan 2014 sebagai objek penelitian. 3. Lokasi dan waktu penelitian yang digunakan pada penelitian sebelumnya adalah SKPD di Pemerintah Kota Banda Aceh tahun 2013. Pada penelitian ini lokasi penelitiannya adalah SKPD di Pemerintah Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara tahun 2015. Tabel 1.2 Originalitas Penelitian Uraian Penelitian Terdahulu Penelitian Saat Ini Variabel Independen Kualitas aparatur daerah, regulasi dan sistem informasi Kualitas aparatur daerah, kepatuhan pada regulasi, sistem informasi manajemen, dan komunikasi Variabel Dependen Manajemen aset daerah Kualitas pengelolaan barang milik daerah Variabel Moderating Tidak ada Komitmen pimpinan Lokasi Penelitian Pemerintah Kota Banda Aceh Pemerintah Kota Tebing Tinggi Waktu Penelitian 2013 2015