I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu mm di wilayah pegunungan dan 2.50 ribu mm di wilayah dataran, pada kondisi normal 70 persen curah hujan tejadi pada musim penghujan dan 30 persen pada musim kemarau. Kelembaban relatif 80 persen dan suhu rata-rata harian 25 o C di wilayah dataran dan 18 o C di pegunungan. Air mengalir dari pegunungan Wayang dengan ketinggian sekitar 2.20 ribu meter diatas permukaan laut (dpl) dan panjang kurang lebih 300 kilometer. Pada ketinggian 26.50 meter dpl sungai Citarum dihubungkan dengan 4 sungai ke barat dan 4 sungai ke timur yang dibuat dengan nama Kanal Tarum Barat dan Kanal Tarum Timur dan Kanal Tarum Utara, yang menggambarkan batas hidrolis Daerah Aliran Sungai Citarum. Sepanjang sungai Citarum terdapat 3 waduk yang dibangun secara seri, dimulai dari hilir Waduk Jatiluhur yang dikenal dengan Waduk Juanda dibangun pada tahun 1968 kemudian di wilayah hulunya Waduk Cirata pada tahun 1988 dan terakhir Waduk Saguling yang berada paling hulu pada tahun 1996. Selain sebagai pengaman Waduk Jatiluhur, kedua waduk yang terletak di bagian hulu bertujuan menyediakan listrik dengan kapasitas masing-masing 1000 MW (8x125 MW) dan 700 MW (4x175 MW). Pembangunan Waduk Jatiluhur pada awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahterakan masyarakat dengan penyediaan pangan melalui peningkatan produktivitas lahan dan pemanfaatan sumberdaya air sungai Citarum. Pembangunan Daerah Irigasi Jatiluhur secara khusus bertujuan untuk (1) mengairi wilayah Karawang, Bekasi, Subang dan Indramayu dengan total
2 areal irigasi seluas 240 ribu hektar dan dapat ditanami padi dua kali setahun, (2) PLTA yang menghasilkan tenaga listrik dengan kapasitas terpasang 150 MW, (3) penyedia air untuk domestik, munipical dan industri di wilayah perkotaan termasuk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, (4) menyediakan tempat dan air bersih untuk usaha perikanan di kawasan waduk Juanda, (5) tersedianya tempat rekreasi dan wisata air di kawasan waduk Juanda, dan (6) penyedia air bersih bagi Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, 80 persen air baku PAM DKI berasal dari waduk Juanda. Wilayah yang dilayani sistem pangairan Jatiluhur, dengan air yang berasal dari Waduk Jatiluhur (Ir. Juanda), biasa disebut Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur. Wilayah ini terbagi dalam 3 wilayah layanan yakni Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Guna menampung semua aliran Sungai Citarum dan 4 sungai ke barat dan 4 sungai ke timur yang terintegrasi dengan sistem DI Jatiluhur, Sungai Citarum dihubungkan oleh Kanal Tarum Barat, Kanal Tarum Timur dan Kanal Tarum Utara. DI Jatiluhur merupakan daerah penghasil pangan nasional dengan kontribusi sebesar 6 persen (BPS, 2004). Berkaitan dengan program ketahanan pangan, wilayah tersebut selayaknya mendapat prioritas dalam pengelolaan sumberdaya air, mengingat pemenuhan air untuk peningkatan produktivitas tanaman pangan sangat diperlukan. Hal ini disebabkan berbagai teknologi pertanaman dalam rangka peningkatan produksi membutuhkan air sebagai sumberdaya harus tersedia. Penggunaan air irigasi di Jawa Barat meningkat 26 juta meter kubik per tahun, atau sekitar 43 persen dari potensi yang ada (Affandi, 1996). Antara tahun 2000 dan 2015, diestimasikan bahwa 200 ribu hektar di Jawa Barat akan dikonversi dari sawah ke pemakaian lainnya. Konversi sawah menjadi wilayah perkotaan, bukan berarti permintaan sumberdaya air menurun. Permintaan air
3 irigasi akan menurun tetapi permintaan air untuk kebutuhan domestik, munipical dan industri justru meningkat (Kurnia et.al., 2000). Letak dan wilayah DI Jatiluhur yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, secara langsung terpengaruh akibat perkembangan wilayah perkotaan dan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Perkembangan wilayah perkotaan dan penduduk menyebabkan peningkatan permintaan air perkotaan (non pertanian). Permintaan air non pertanian yang paling signifikan berasal dari wilayah terhilir DAS Citarum, yakni wilayah DKI Jakarta dan Bekasi. Kebutuhan air di wilayah ini tidak dapat dipenuhi oleh sungai-sungai yang ada tetapi memerlukan transfer air dari DAS yang berdekatan dengan wilayah tersebut. DAS Citarum sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan air di wilayah tersebut melalui Saluran Induk Tarum Barat, ditambah dengan sungai lainnya yang terletak di wilayah Timur dan Barat. Ketersediaan air di wilayah Tarum Barat sangat dipengaruhi ketersediaan air dari sumber setempat dan Waduk Jatiluhur, dimana keduanya sangat bergantung pada musim atau curah hujan. Ketersediaan air dalam jumlah yang cukup ternyata tidak menjamin dapat memenuhi permintaan dari sektor-sektor pengguna air. Ketika musim kering (April September), dimana permintaan air irigasi meningkat sehubungan dengan berkurangnya ketersediaan air sumber setempat baik yang berasal dari sungai-sungai kecil maupun curah hujan, sedangkan permintaan air non pertanian cenderung tetap dari waktu ke waktu dan ketersediaan air di waduk lebih sedikit berakibat meningkatnya kompetisi antar sektor pengguna air. DI Jatiluhur secara kumulatif memiliki sumberdaya air yang cukup besar, namun kenyataannya sering terjadi kelangkaan air (water scarcity) dan mendorong kerentanan (vulnerability) sistem produksi pertanian seperti
4 kekeringan dan kebanjiran. Penyebabnya antara lain adalah tingginya keragaman ketersediaan air dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatan yang belum efisien. Pada kondisi kelangkaan air dalam jumlah (quantity), mutu (quality) dan kemerataan (equity) atau kontuinitas (continuity) serta kemampuan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan air akan sangat mempengaruhi produksi pertanian tanaman pangan khususnya padi serta ketersediaan air bagi penduduk perkotaan dan industri. Kontribusi air yang demikian tinggi ternyata belum diimbangi dengan pemanfaatan air yang efisien dalam sistem produksi pertanian, sektor pertanian di DI Jatiluhur memanfaatkan air sebanyak 86 persen dari total ketersediaan air. Pengelolaaan sumberdaya air di wilayah hilir DI Jatiluhur menjadi sangat serius untuk dipikirkan ketika pertambahan penduduk, kebutuhan pangan, perluasan wilayah perkotaan, pertumbuhan industri yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Pengelolaan dan penggunaan air yang tidak efisien perlu diupayakan agar penggunaannya bersifat kompetitif dan dapat digunakan secara berurutan (sequential uses), sehingga kapasitas pemanfaatan dari sumberdaya tersebut dapat diterapkan dalam sistem irigasi, bagaimana penggelontoran drainase yang berasal dari seorang petani dapat merupakan ketersediaan air bagi petani lainnya. Molden et.al. (2001) membagi tahapan pengembangan suatu DAS menjadi tiga tahap, yakni (1) Pengembangan, pada tahapan ini air yang tersedia berlimpah sehingga masih memungkinkan dilakukan ekspansi penggunaan air dengan membangun infrastruktur yang baru, (2) Utilisasi, pada tahapan ini infrastruktur telah tersedia, kompetisi antar sektor pengguna air kecil dan lebih memperhatikan perbaikan layanan kepada pengguna, dan (3) Alokasi, air yang tersedia terbatas, sudah tidak memungkinkan melakukan pengembangan guna
5 peningkatan ketersediaan dan kompetisi antar sektor pengguna air tinggi, pengelola memilih memenuhi permintaan air yang valuasinya tinggi. Apabila dihubungkan dengan tahapan pengembangan air Molden et.al. (2001), DI Jatiluhur sudah masuk dalam tahap alokasi, terutama untuk wilayah Tarum Barat, dimana antara air yang digunakan sudah mendekati air yang tersedia, serta kecenderungan pengelola memprioritaskan pemenuhan kebutuhan air dengan valuasi yang tinggi. Dalam menghadapi peningkatan permintaan air dari berbagai sektor dalam kondisi ketersediaan air yang semakin terbatas, diperlukan suatu penelitian bagaimana pengelolaaan sumberdaya air di DI Jatiluhur agar dapat mengalokasikan air dengan efisien serta memenuhi kebutuhan semua sektor dan memberikan benefit sosial yang optimum. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah DI Jatiluhur dilihat dari berbagai gejala yang timbul akibat pertumbuhan penduduk wilayah hilir yang pesat, peningkatan permintaan air non pertanian, konversi lahan pertanian ke non pertanian, valuasi air non pertanian yang lebih tinggi dari valuasi air pertanian, yang mempengaruhi keputusan pengelola dalam mengalokasikan sumberdaya air ke berbagai sektor pengguna serta stok air di Waduk Jatiluhur Pertambahan jumlah penduduk DKI Jakarta sekitar 1 persen per tahun atau sebanyak 38.29 ribu jiwa, membutuhkan tambahan air bersih sebanyak 689.18 meter kubik per tahun atau 57.43 ribu meter kubik per bulan. Begitu juga dengan Kota dan Kabupaten Bekasi sebagai wilayah penyangga DKI, mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan DKI. Pertambahan penduduk Kota Bekasi dalam 5 tahun terakhir sebesar 3 persen atau terjadi pertambahan
6 35.70 ribu jiwa, membutuhkan tambahan air bersih sebanyak 642.58 ribu meter kubik per tahun atau 53.55 ribu meter kubik per bulan. Pertambahan penduduk Kabupaten Bekasi dalam 5 tahun terakhir sebesar 2 persen atau sekitar 55.15 ribu jiwa, membutuhkan tambahan air bersih sebanyak 997.52 ribu meter kubik per tahun atau 83.13 ribu meter kubik per bulan. Kebutuhan air bersih per bulan untuk ketiga wilayah tersebut sebanyak 194.11 ribu meter kubik per bulan. Apabila konversi air baku ke air bersih sebesar 75 persen berarti dan kehilangan air baku di saluran Tarum Barat sebesar 5 persen, berarti dibutuhkan 271.75 ribu meter kubik per bulan. Perkembangan perkotaan yang pesat yang disertai dengan berkembangnya industri juga membutuhkan air untuk proses produksinya. Kebutuhan air industri meningkat setiap tahunnya, di Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi dalam 5 tahun terakhir meningkat sebesar 15 persen per tahun, atau sebesar 549.51 ribu meter kubik per tahun atau sebesar 45.80 ribu meter kubik per bulan. Akibat peningkatan permintaan air untuk PDAM dan industri, menimbulkan permasalahan dalam alokasi air untuk sektor-sektor pengguna air lainnya terutama sektor pertanian. Walaupun lahan pertanian di wilayah tersebut mengalami penurunan atau konversi tetapi masih merupakan pengguna air terbesar sekitar 70 persen dari air yang tersedia di Tarum Barat (Kurnia et.al., 2000). Penetapan tarif air baku non pertanian menggambarkan valuasi air non pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan air pertanian. Tarif air baku PDAM Kota dan Kabupaten sebesar Rp. 45.00, PAM DKI Rp. 100.00 dan industri Rp. 50.00 per meter kubik, sedangkan air irigasi Rp.0.00 (gratis). Permasalahan ini makin terlihat pada musim kemarau dimana tinggi muka air (TMA) di Waduk Juanda mengalami penurunan akibat rendahnya curah
7 hujan di wilayah hulu waduk, sehingga pasokan air ke wilayah hilir mengalami penurunan. Keadaan ini diperburuk karena sumber-sumber yang berasal dari sungai setempat mengalami kekeringan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan semua sektor pengguna air sangat bergantung pada pasokan air dari Waduk Juanda. Kelangkaan air di musim kemarau menyebabkan kompetisi antar sektor pengguna air, dan makin jelas terlihat di wilayah Bendung Bekasi, bendung yang terletak paling hilir dari saluran Tarum Barat yang berbatasan langsung dengan wilayah DKI Jakarta, dan sebagai sumber air baku untuk PAM DKI. Alokasi sumberdaya air merupakan masalah ekonomi, ketika menentukan besarnya alokasi dalam kondisi kelangkaan. Kelompok pengguna terdiri dari kelompok konsumtif dan non-konsumtif, kelompok konsumtif menggunakan air melalui proses diversi (diversion) baik melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah, maupun pendegradasian kualitas air secara langsung (pencemaran), sedangkan kelompok non konsumtif menggunakan air sebagai media seperti medium pertumbuhan ikan, PLTA dan tempat rekreasi (Fauzi, 2004). Alokasi sumberdaya air untuk kelompok konsumtif, harus memenuhi kriteria (1) efisiensi, (2) equity, dan (3) sutainability (keberlanjutan). Efisiensi tujuannya yakni biaya penyediaan air yang rendah penerimaan sumberdaya yang tinggi dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Equity tujuannya agar semua masyarakat mempunyai akses terhadap sumberdaya air dan sustainability tujuannya menjaga cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan meminimalkan pencemaran air (Fauzi, 2004). Kelompok pengguna di wilayah DI Jatiluhur merupakan kelompok konsumtif yakni sektor pertanian, domestik (PDAM) dan industri, dimana air yang
8 telah disalurkan ke sektor-sektor tersebut tidak dimanfaatkan kembali dan langsung dibuang ke laut. Selain kriteria alokasi sumberdaya air diatas, Howe et.al. (1986) diacu dalam Fauzi (2004) menambahkan kriteria alokasi air antara lain (1) fleksibilitas dalam penyediaan air sehingga sumberdaya air dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan, (2) keterjaminan (security) bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga air dapat dimanfaatkan seefisien mungkin, dan (3) akseptabilitas politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh masyarakat. Berkaitan dengan kriteria diatas, terdapat beberapa mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni Queuing System (sistem antrian), water pricing, alokasi publik dan user based allocation serta berbasis pasar (water market). Alokasi yang dilakukan Perum Jasa Tirta II (PJT II) selama ini dengan memenuhi kebutuhan dari ketiga sektor pengguna tanpa memperhitungkan sebagai suatu kegiatan ekonomi, dimana dari aktivitas alokasi air ini menghasilkan benefit baik bagi pengguna maupun pengelola atau yang dikenal dengan benefit sosial. Pengalihan status pengelola merubah pandangan pengelola terhadap sektor pertanian sebagai pengguna air terbesar yang tidak memberikan kontribusi dan membutuhkan biaya yang besar dalam penyalurannya (Perum Jasa Tirta II, 2003). Aktivitas alokasi air yang dilakukan PJT II dan aktivitas penggunaan air oleh pengguna merupakan kegiatan ekonomi yang menghasilkan benefit sosial, dengan kendala ketersediaan sumberdaya air di wilayah, dianalisa dengan pemecahan masalah optimasi. Analisis optimasi juga dapat dipergunakan sebagai dasar penilaian dampak eksternalitas alokasi sumberdaya air dari
9 pendekatan biaya kesempatan (opportunity cost), mengingat fungsi air waduk bersifat multiguna. Ketersediaan (stock) air di Waduk Jatiluhur ditentukan oleh inflow Sungai Citarum sebagai sumber utama dan curah hujan yang terjadi baik di wilayah hulu maupun di waduk dan aktivitas alokasi air. Aktivitas alokasi sumberdaya air ditetapkan sebagai variabel keputusan (decision variable) dan stock air di Waduk Jatiluhur ditetapkan sebagai state variable. Alokasi sumberdaya air tidak hanya mempengaruhi pendapatan atau penerimaan pengguna maupun pengelola tetapi juga ketersediaan air di waduk dihubungkan dengan kelestarian waduk. Permasalahan penelitian yang muncul yakni alokasi sumberdaya air manakah yang mampu mendatangkan manfaat sosial bersih maksimum serta menjaga stock air yang mendukung kelestarian waduk? Berdasarkan pertimbangan dimensi waktu, permasalahan yang terkait yakni bagaimana fenomena optimasi intertemporal pada wilayah hilir dan ketersediaan air yang mendukung kelestarian waduk? Keragaman yang terkait dengan alokasi sumberdaya air adalah berbagai kategori pengguna yang berhubungan langsung dengan kuantitas sumberdaya air yang dibutuhkan. Sektor pertanian dikategorikan dalam 5 golongan sawah yang menunjukkan kebutuhan air dihubungkan dengan tahapan pertumbuhan dan jadwal penanaman (musim tanam), sektor domestik dikategorikan berdasarkan kapasitas pengolahan air bersihnya dan industri berdasarkan kuantitas air yang dibutuhkan. Kategori pengguna inipun dipertimbangkan dalam mengkaji dampak alokasi sumberdaya air. Dalam perspektif ekonomi sumberdaya dan lingkungan, valuasi ekonomi dalam bentuk nilai uang yang terkait dengan pengelolaan, pengembangan, dan konservasi sumberdaya alam maupun lingkungan dimaksudkan untuk mengukur penambahan (gains) dan kehilangan (loss) dari kegunaan lingkungan (Randall, 1981).
10 Dengan demikian maka permasalah penelitian yang terkait dengan aktivitas alokasi sumber daya air di wilayah hilir DI Jatiluhur, berapakah nilai ekonomi dampak eksternal alokasi sumber daya air ke pengguna terhadap ketersediaan air di waduk dan berapakah nilai ekonomi dampak eksternal alokasi sumber daya air optimal terhadap stok waduk? Bertitiktolak dari fenomena hubungan antara keputusan alokasi sumber daya air maka terdapat permasalahan penelitian: bagaimanakah perilaku optimalisasi intertemporal berkaitan dengan perubahan permintaan air baku (PDAM dan Industri) serta perubahan harga (komoditas dan air baku PDAM) dan ketersediaan air di waduk? Kajian ini diharapkan mampu membangun kerangka kerja ekonomi antar sub-sistem yang terintegrasi pada sistem DI Jatiluhur, serta menganalisis skenario perubahan variabel ekonomi dan teknis terhadap pengelolaan sumberdaya air di wilayah DI Jatiluhur. Implikasi yang diharapkan adalah perbaikan pengelolaan DI Jatiluhur di masa yang akan datang, dimana perencana mengetahui hubungan antara perubahan variabel ekonomi dan teknis yang akan merubah stok waduk, serta faktor-faktor yang mempengaruhi biaya eksternal alokasi sumberdaya air. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan permasalahan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan membangun model pengelolaan sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur dengan menyatukan bendungbendung yang ada di wilayah Tarum Barat sebagai satu unit pengambil keputusan, serta menilai benefit yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya air yang tersedia di wilayah ini. Tujuan khusus penelitian adalah:
11 1. Membangun model alokasi air di bendung-bendung di DI Jatiluhur (Model DIJ), khususnya wilayah Tarum Barat dan membandingkannya dengan alokasi aktual yang dilakukan Perum Jasa Tirta II. 2. Mengevaluasi dampak perubahan variabel teknis dan ekonomi terhadap dinamika alokasi optimum 3. Mengevaluasi dampak alokasi optimum terhadap ketersediaan air dan nilai ekonomi air di waduk. Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya air di DI Jatiluhur dan memelihara keberlanjutan operasional serta kelestarian waduk Juanda. 2. Memperkaya khasanah kajian perspektif ekonomi sumberdaya. 3. Melengkapi kajian pengelolaan DI Jatiluhur yang telah dilakukan oleh oleh berbagai pihak, yang lebih menekankan pendekatan hidrolis dan ekologis. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mencakup wilayah hilir Daerah Irigasi Jatiluhur, khususnya wilayah Tarum Barat, wilayah yang dialiri saluran induk Tarum Barat, mulai dari Bendung Curug sampai ke Bendung Bekasi. Wilayah yang diamati, wilayah yang berada di utara saluran induk Tarum Barat, yang dilayani Bendung Curug, Cibeet, Cikarang dan Bekasi. Tanaman pangan yang diamati padi karena merupakan komoditi dominan dan mendapat prioritas utama dalam program ketahanan pangan. Sedangkan areal pertanaman hanya areal irigasi teknis dengan klasifikasi lahan yang ditetapkan oleh PJT II. Suplai air yang diperhitungkan berdasarkan pada aliran permukaan yang disuplai dari Bendung Curug sedangkan air tanah tidak termasuk dalam suplai air
12 tersebut, khusus untuk sektor pertanian ditambah dengan curah hujan di wilayah tersebut dan diakumulasikan menjadi sumber setempat. Kebutuhan air meliputi kebutuhan air pertanian, domestik dan industri. Kebutuhan air pertanian khususnya untuk tanaman padi sesuai dengan penetapan kebutuhan air oleh PJT II, berdasarkan periode tanam dan masa tumbuh serta klasifikasi lahan. Kebutuhan air domestik dan industri berdasarkan pada data historis suplai air dari PJT II ke sektor-sektor tersebut dalam 5 tahun sebelumnya, dengan asumsi bahwa semua permintaan dapat dipenuhi oleh PJT II. Sektor industri dan PDAM hanya yang terdaftar dan dilayani oleh PJT II. Perumusan masalah optimasi dalam penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam merangkum fenomena di lapang, beberapa fenomena yang tidak diakomodasikan dalam model analisis, adalah: 1. Benefit sosial air bagi masyarakat di wilayah Tarum Barat pada umumnya. 2. Keragaman kualitas air berdasarkan pada lokasi pengguna (hulu hilir). 3. Keragaman teknologi usahatani yang diterapkan menurut wilayah dan musim. 4. Keragaman investasi dan teknologi pengolahan air bersih PDAM di setiap wilayah. 5. Keragaman jenis industri, variasi produk, fungsi produksi spesifik menurut setiap perusahaan di semua wilayah.