BAB 1 PENDAHULUAN. Pariwisata telah menjadi industri yang paling cepat berkembang dan salah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. salah satu prioritas pengembangan yang keberadaannya diharapkan dapat

PENGARUH BAURAN PEMASARAN TERHADAP MINAT BERKUNJUNG WISATAWAN DI OBYEK WISATA TELAGA SARANGAN KABUPATEN MAGETAN

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

KAWASAN WISATA TELAGA SARANGAN SEBAGAI WISATA PERMAINAN AIR DAN WISATA KULINER

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun Kebijkan otonomi

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 75 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memperkenalkan kebijakan otonomi daerah. Keseriusan pemerintah Indonesia

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA TIRTO ARGO DI UNGARAN

Bab i PENDAHULUAN. Tingkat II yaitu Kabupaten dan Kota dimulai dengan adanya penyerahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

HOTEL RESORT BINTANG DUA DAN PUSAT KEBUGARAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi, tetapi setelah bergulirnya reformasi maka pola sentralisasi berganti

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam tata pemerintahan di Indonesia. Penerapan otonomi daerah di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sebuah perusahaan tentunya mempunyai masalah dalam menyusun

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan daerah merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi terhadap jumlah penjualan, laba, lapangan pekerjaan,

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan peran pemerintah pusat semakin kecil, sebaliknya pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. utuh, sehingga wilayah negara Indonesia terbagi ke dalam daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan suatu penerimaan yang rutin, maka pemerintah menempatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Daerah di mana sistem pemerintahan negara yang semula. pembangunan perekonomian daerah setempat.

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata bergerak dari tiga aktor utama, yaitu masyarakat (komunitas

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia demi mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, mengingat Negara

BAB I PENDAHULUAN. daya bagi kesehjateraan manusia yakni pembangunan tersebut. Adapun tujuan nasional

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. negara ataupun bagi daerah objek wisata tersebut. antara lain unsur budaya, transportasi, akomodasi, objek wisata tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik pula. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jaya

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROSPEK PENGEMBANGAN INDUSTRI CINDERAMATA DAN MAKANAN OLEH-OLEH DI KABUPATEN MAGELANG TUGAS AKHIR TKP Oleh: RINAWATI NUZULA L2D

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan dari. program-program di segala bidang secara menyeluruh terarah dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 11 TAHUN 2008 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. pusat mengalami perubahan. Jika sebelumnya pemerintah bersifat sentralistik

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijadikan sebagai prioritas utama dalam menunjang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yaitu PAD. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD, adalah

BAB I PENDAHULUAN. namun sektor industri adalah satu dari beberapa yang bertahan dari krisis

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pajak menurut beberapa ahli antara lain :

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kontribusi Pajak Dan Retribusi Sektor Pariwisata Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak potensi dan Sumber Daya Alam (SDA) yang belum dikembangkan secara maksimal, termasuk di dalamnya adalah

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Pemerintah daerah hendaknya

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya disebut dengan UU Pemda) yang selanjutnya mengalami perubahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

EVALUASI RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PULANG PISAU NOMOR 8 TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BUPATI ACEH TIMUR BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA BUPATI ACEH TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang semakin arif dan bijaksana. Kegiatan pariwisata tersebut

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. (Bratahkusuma dan Solihin, 2001:1). Menurut Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

STUDI PEMANFAATAN PARKIR UMUM DAN PARKIR KHUSUS TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DARI SEKTOR PERPARKIRAN DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

EVALUASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara Kesatuan menganut asas

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam terselenggaranya pemerintahan daerah yang baik. Tuntutan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata telah menjadi industri yang paling cepat berkembang dan salah satu sektor unggulan perekonomian di dunia pada saat ini (Dwyer & Ray, 2010). Lebih dari 230 juta lapangan pekerjaan dan potensi ratusan milyar dollar tersedia untuk semua negara di setiap kawasan. Di negara berkembang pariwisata menjadi generator dalam penyerapan tenaga kerja dan pemasukan bagi perekonomian negara (Rubin, 2002). Namun demikian, pengelolaan sektor pariwisata sempat menimbulkan permasalahan terkait hak pengelolaan serta penggunaan hasil dari kontribusi sektor pariwisata antara pemerintah daerah dan pusat. Permasalahan tersebut dikarenakan adanya dua sudut pandang yang saling berlawanan dalam sistem manajemen pariwisata. Sistem tersebut diantaranya adalah sistem manajemen terpusat yang mendukung adanya gagasan bahwa semua sumber daya, informasi, kendali atas kebijakan berada di tangan pemerintah pusat. Sedangkan, sistem manajemen desentralisasi lebih menekankan kepada peran pemerintah lokal beserta aktor-aktor lokal (stake holders) dimana potensi pariwisata itu berada (Yuksel, 1998). Pada perkembangannya sistem manajemen pariwisata terpusat banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan. Peran pengelolaan pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah pusat dirasakan kurang maksimal. Sehingga

pengelolaan atas potensi pariwisata dengan menitikberatkan transfer kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sudah seharusnya dilakukan. Menurut Furqan & Mat Som (2010) menyatakan bahwa dalam konteks pariwisata, adanya desentralisasi dipandang sebagai alternatif strategi pembangunan daerah atau regional dalam pengelolaan potensi pariwisata secara efektif. Desentralisasi ditempatkan sebagai tanggung jawab baru pemerintah daerah dalam mengelola sektor pariwisata. Sebuah mekanisme yang lebih efektif akan terwujud dengan pengelolaan yang lebih independen, adanya kepemimpinan lokal, serta kerjasama yang baik dari stakeholders (pemerintah, komunitas pengusaha, kelompok tenaga kerja, dan sektor transportasi). Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan mampu membantu pemerintah dalam mendekatkan diri dengan rakyat. Dengan tujuan agar pelayanan terhadap masyarakat dapat diberikan secara efektif dan efisien. Di lain pihak Usman (2001) menjelaskan bahwa pada kenyataannya sistem desentralisasi dikhawatirkan akan menimbulkan sebuah kebijakan yang diskriminasi terhadap masyarakat yang berasal dari luar daerah. Hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah lebih mengutamakan putra daerahnya. Selain itu, berbagai macam jenis pajak dan pungutan akan digunakan pemerintah daerah dalam rangka mendorong pemasukan daerah yang sebesar-besarnya, karena dianggap lebih mudah dibandingkan dengan cara lainnya. Pelaksanaan otonomi daerah sendiri di Indonesia resmi disetujui melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 yang selama ini dianggap tidak memberikan keleluasan terhadap

pemerintah daerah. Hal tersebut dikarenakan semua kegiatan yang dilakukan di daerah harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Munculnya Undang- Undang otonomi daerah di Indonesia telah menjadikan daerah tingkat propinsi sebagai daerah otonom dan wilayah administrasi yang melaksanakan kewenangan dari pemerintah pusat. Dalam kaitannya dengan sektor pariwisata, kebijakan pengembangan Otonomi Pariwisata telah tercermin pada UU yang baru. Menurut Muwardi (2000) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasarkan Penjelasan umum, butir i, angka (5) bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom. Dengan pelaksanaan otonomi bidang pariwisata diharapkan kegiatan pengembangan, pengelolaan, dan pemasaran sektor pariwisata sudah menjadi tugas dan wewenang pemerintah Daerah. Pelaksanaan desentralisasi manajemen industri pariwisata ini akan mampu memberikan kemudahan dalam pelayanan, pembinaan, dan koordinasi dengan pihak pemerintah. Hal tersebut juga mampu menunjukan sebuah penyederhanaan dari sistem manajemen pariwisata, yang sebelumnya terjadi dualisme antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dimana, dualisme tersebut bagi kalangan pelaku industri pariwisata di daerah dianggap sebagai kendala dalam pengembangan usahanya. Kemampuan suatu daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, khususnya otonomi bidang pariwisata dapat dilihat pada kemampuan keuangan daerahnya. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk menggali sumbersumber keuangan, dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pemerintah harus dimaksimalkan dengan baik dan optimal. Yang dimaksud dengan keuangan daerah disini adalah setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku (Fentika, 2005). Dalam upaya peningkatan kemampuan keuangan daerah, sektor pariwisata pada saat ini memilikki peranan yang cukup penting. Kontribusi sektor pariwisata sendiri dapat dijelaskan sebagai iuran dari seseorang atau badan yang menjalankan kegiatan usaha kepariwisataan untuk diserahkan kepada badan atau perkumpulan tertentu (Gafur, 2003). Daerah yang memiliki potensi pariwisata cukup banyak, diharapkan juga akan berdampak positif terhadap pendapatan asli daerah, yaitu penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber yang berasal dari wilayahnya sendiri dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata di propinsi Jawa Timur, sektor pariwisata di Kabupaten Magetan menjadi salah satu sektor yang potensial dalam kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah. Kabupaten Magetan memiliki obyek wisata yang relatif lengkap, mulai dari obyek wisata alam, buatan,

dan obyek wisata budaya. Daya tarik wisata alam terdiri dari wisata tirta, hutan wisata, serta panorama alam, antara lain Telaga Sarangan, Telaga Wahyu, Puncak Lawu, Air Terjun Pundak Kiwo, Air Terjun Tirtosari, dan Bumi Perkemahan Mojosemi. Obyek wisata budaya terdiri dari monumen, peninggalan purbakala, adat istiadat, makam, kesenian, antara lain Candi Reog, Candi Simbatan, dan Prasasti Watu Ongko. Obyek wisata buatan yang terdiri dari taman rekreasi, pemancingan, dan gelanggang renang, antara lain Taman Ria Manunggal dan Taman Ria Kosala Tirta. Selain itu, juga dikenalkan wisata ke lokasi industri, misalnya industri kerajinan kulit, kerajinan bambu, dan kerajinan gamelan. Potensi pariwisata yang cukup bervariasi tersebut mampu memberikan dukungan terhadap perekonomian daerah Kabupaten Magetan. Lebih lanjut dapat dilihat pada realisasi pendapatan sektor pariwisata berikut ini. Sumber : Dinas Pariwisata Magetan (diolah) Gambar 1.1 Realisasi Pendapatan Sektor Pariwisata Kabupaten Magetan Tahun 2000-2011 (Juta Rp)

Pada gambar 1.1 di atas dapat diketahui bahwa pendapatan sektor pariwisata di Kabupaten Magetan menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pada tahun 2000 yang merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah, pendapatan pariwisata di Magetan mencapai angka 392,97 juta rupiah. Dari periode tahun 2000 sampai dengan 2011 pendapatan pariwisata terus mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan 22% per tahun. Pendapatan pariwisata tertinggi terjadi di tahun 2011 yang mencapai angka sebesar 2588,17 juta rupiah. Sumber pendapatan pariwisata ini masih didominasi oleh obyek wisata Telaga Sarangan. Sedangkan untuk objek wisata lainnya masih relatif kecil kontribusinya terhadap pendapatan sektor pariwisata. Salah satu faktor pendorong peningkatan pendapatan pariwisata di Kabupaten Magetan adalah dibukanya jalan tembus yang menghubungkan Magetan dengan Karanganyar. Sehingga ikut berdampak kepada kemudahan akses transportasi untuk menuju obyek wisata sarangan. Selain itu, dengan dibukanya jalan tembus tersebut membuka peluang bagi wisatawan dari luar Jawa Timur mudah untuk mengakses obyek wisata Telaga Sarangan. Sehingga sangat menarik untuk dilakukan kajian lebih lanjut terhadap sektor pariwisata di kabupaten Magetan. Pada penelitian-penelitian sebelumnya sudah banyak dilakukan analisis tentang perencanaan dan pengembangan sektor pariwisata. Namun demikian, masih sedikit penelitian yang melakukan analisis kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah. Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah selain melakukan analisis kontribusi sektor

pariwisata, juga akan dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan di sektor pariwisata itu sendiri. Periode penelitian ini dimulai dari tahun 2000 dikarenakan pada tahun tersebut merupakan awal dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah. Hal ini didasarkan dengan pernyataan Yuksel (1998) dalam studinya bahwa dengan penerapan desentralisasi manajemen pariwisata akan berdampak positif terhadap kinerja industri pariwisata di daerah itu sendiri. Oleh karena itu, judul yang diambil peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah : Analisis Kontribusi dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Sektor Pariwisata Kabupaten Magetan Pasca Otonomi Daerah. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perkembangan sektor pariwisata Kabupaten Magetan Pasca Otonomi Daerah? 2. Bagaimana kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Magetan Pasca Otonomi Daerah? 3. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi pendapatan sektor pariwisata Kabupaten Magetan Pasca Otonomi Daerah?

1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui perkembangan sektor pariwisata Kabupaten Magetan Pasca Otonomi Daerah. 2. Untuk mengetahui kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Magetan Pasca Otonomi Daerah. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan sektor pariwisata Kabupaten Magetan Pasca Otonomi Daerah 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan digunakan sebagai, antara lain : 1. Masukan dan informasi kepada pemerintah Kabupaten Magetan dan dinas terkait dalam memajukan sektor pariwisata. 2. Sarana pengetahuan serta pemahaman mengenai perkembangan sektor pariwisata dan kontribusinya terhadap perekonomian Magetan. 3. Sarana informasi dan pertimbangan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan sektor pariwisata di Magetan. 4. Dari hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan sektor pariwisata, khususnya di Kabupaten Magetan.