PENALARAN HUKUM (LEGAL REASONING) 1) Oleh : H. Enju Juanda, S.H., M.H.

dokumen-dokumen yang mirip
KONSTRUKSI HUKUM DAN METODE INTERPRETASI HUKUM

PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM INDONESIA. Abstrak

1 Pasal 105 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 2 Salinan Putusan nomor 0791/ Pdt.G/2014/PA.Kab.Mlg, h. 4.

MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 21 PENEMUAN HUKUM (BAGIAN 3)

BAB. V PENEMUAN, PENAFSIRAN DAN PEMBENTUKAN HUKUM

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Civil Law adalah sistem hukum yang banyak dianut oleh negara-negara Eropa

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

TEORI INTERPRETASI HUKUM (Upaya Mencari Prinsip Keadilan dan Maksud Hukum)

PERADILAN: PROSES PEMBERIAN KEADILAN DI SUATU LEMBAGA YANG DISEBUT PENGADILAN:

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

TANGGUNG JAWAB PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA KENDARAAN RODA EMPAT DI KOTA GIANYAR

KONTRAK SEBAGAI KERANGKA DASAR DALAM KEGIATAN BISNIS DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut juga berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROPINSI SUMATERA BARAT DENGAN CV. SARANA BARU PADANG SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SILABUS MATA KULIAH : PHI PROGRAM S-1

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VIII/2010 Tentang UU Pengadilan Anak Sistem pemidanaan terhadap anak

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perkawinan mempunyai nilai-nilai yang Sakral dalam agama, karena

BAB I PENDAHULUAN. esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwachmatigheit) dan

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

C. HUKUM MENURUT TEMPAT BERLAKUNYA

BAB I PENDAHULUAN. berhadapan dengan keterbatasan ketersediaan lahan pertanahan.

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

BAB III SUMBER HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat sebagai suatu kumpulan orang yang mempunyai sifat

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

SILABI MATAKULIAH. Alokasi Waktu (Menit) Mahasiswa mampu. Strategi Pembelajaran. Brainstorming Concept

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam penulisan hukum ini sebagai berikut: menggunakan telepon seluler pada saat berkendara adalah langsung

PENTINGNYA PENCANTUMAN KETIDAKBERHASILAN UPAYA PERDAMAIAN (DADING) DALAM BERITA ACARA SIDANG DAN PUTUSAN

BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan apabila menghadapi masalah hukum. Class action merupakan contoh

. METODE PENELITIAN. yang digunakan sebagai dasar ketentuan hukum untuk menganalisis tentang apakah

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

PEMBUKTIAN ANAK DENGAN BAPAK BIOLOGISNYA MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO : 46/PUU-8/2010

Lex Administratum, Vol. V/No. 7/Sep/2017

Oleh: I Made Adi Estu Nugrahan I Gusti Ketut Ariawan I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

PENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Semua akta adalah otentik karena ditetapkan oleh undang-undang dan juga

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan negara merupakan salah satu asas pokok. pembentukan pemerintah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

HAK WARIS ANAK HASIL PROSES BAYI TABUNG DITINJAU DARI KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. Mewaris adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

SUMBER-SUMBER HUKUM dalam TATA HUKUM INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan dalam segala bidang selalu ditingkatkan dari waktu ke

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK GUNA BANGUNAN. Hak guna bangunan dalam pengertian hukum barat sebelum dikonversi berasal dari hak

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

A. Penerapan Bantuan Hukum terhadap Anggota Kepolisian yang. Perkembangan masyarakat, menuntut kebutuhan kepastian akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah SWT telah menghiasi alam semesta ini dengan rasa cinta dan kasih

SISTEM PEWARISAN APABILA PEWARIS DAN AHLI WARISNYA MENINGGAL DUNIA PADA SAAT BERSAMAAN DITINJAU BERDASARKAN KITAB UNDANG -UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

Oleh : Made Bagus Galih Adi Pradana I Wayan Wiryawan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA NORMA HUKUM DENGAN ASAS HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

Transkripsi:

PENALARAN HUKUM (LEGAL REASONING) 1) Oleh : H. Enju Juanda, S.H., M.H. Abstrak Advokat harus mempunyai kemampuan dalam Penalaran Hukum (Legal Reasoning) yang baik, agar dalam melaksanakan layanan hukum tersebut dapat memberikan argumentasi atau alasan hukum yang baik dan jelas. Legal Reasoning adalah pencarian reason tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan suatu perkara/kasus hukum yang dihadapinya, bagaimana seorang Advokat memberikan argumentasi hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Legal Reasoning harus memahami sumbersumber- sumber hukum formil, yaitu undang-undang, kebiasaan dan adat, perjanjian, traktat, yurisprudensi tetap dan doktrin. Sumber Hukum Utama dalam Hukum Positif Indonesia adalah Peraturan Perundang-undangan (Hukum Tertulis), akan tetapi seringkali Peraturan Perundang-undangan (Hukum Tertulis) tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Untuk mengisi kekosongan Peraturan Perundangundangan (Hukum Tertulis) dan pencarian dari arti dan makna dari suatu peraturan perundangan-undangan, dalam ilmu hukum dikenal dengan Konstruksi Hukum dan Interpretasi (Penafsiran Hukum). Konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu Analogi (Abstraksi), Determinasi (Penghalusan Hukum) dan Argumentum A Contrario. Kata Kunci : Advokat, penalaran hukum. Abstract Advocates must have the ability in Legal Reasoning (Legal Reasoning) is good, in order to implement the legal services can provide arguments or legal reasons good and clear. Legal Reasoning is the search for "reason" about the law or the basic search on how a judge decides a case / case law that it faces, how an Advocate provides legal arguments and how a legal expert legal reasoning. Legal Reasoning must understand the source-formal legal sources, namely legislation, habits and customs, agreements, treaties, established jurisprudence and doctrine. Top Legal Resources in Indonesia Positive Law is legislation (Written Law), but often Legislation (Written Law) left behind by the development community. To fill the void Legislation (Written Law) and the search of the meaning and significance of a statutory laws and regulations, in the science of law known as the Construction Law and Interpretation (Interpretation of Laws). Construction consists of three (3) forms: Analogy (Abstraction), Determination (smoothing Law) and Argumentum A Contrario. Keywords: advocate, legal reasoning. 1) Dosen Fakultas Hukum Universitas Galuh. 157

I. Pendahuluan Bahwasannya seorang Praktisi Hukum Advokat profesinya adalah memberikan layanan jasa hukum secara Litigasi yaitu pemberian jasa hukum dalam penyelesaian perkara melalui Badan Peradilan atau Non Litigasi yaitu pemberian jasa hukum yang antara lain Konsultasi Hukum (Advis Hukum), Pendapat Hukum (Legal Opinion), Membuat Perjanjian, Merubah Perjanjian, penyelesaian suatu persengketaan di luar Pengadilan melalui musyawarah perdamaian dan jasa hukum lainnya. Agar dalam pemberian jasa-jasa hukum tersebut dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya kiranya seorang Praktisi Hukum Advokat harus mempunyai kemampuan dalam Penalaran Hukum (Legal Reasoning) yang baik, agar dalam melaksanakan layanan hukum tersebut dapat memberikan argumentasi atau alasan hukum yang baik dan jelas. Apapun yang dimaksud dengan Legal Reasoning (Penalaran Hukum) menurut Komari, adalah pencarian reason tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan suatu perkara/kasus hukum yang dihadapinya, bagaimana seorang Advokat memberikan argumentasi hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. M. Arsyad Sanusi, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam sebuah artikelnya berjudul Legal Reasoning Dalam Penafsiran Konstitusi mengemukakan Golding menyebutkan sebagai berikut : Term Legal Reasoning dapat digunakan dalam dua arti yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologis yang dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus yang dihadapinya. Sedangkan, legal reasoning dalam arti sempit berkaitan dengan argumentasi yang melandasi suatu keputusan. Artinya legal reasoning dalam arti sempit ini menyangkut kajian logika dari suatu putusan, yaitu hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan putusan, serta ketepatan alasan atau pertimbangan yang mendukung putusan tersebut. 158

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas bagi Praktisi Hukum Advokat dalam menjalankan profesinya tentunya akan mendapatkan peristiwa hukum yang dialami oleh masyarakat (Klien) dan terhadap peristiwa hukum yang dialami oleh Kliennya tersebut seorang Advokat harus memberikan solusi hukumnya. Untuk memberikan solusi hukumnya seorang Advokat melakukan Legal Reasoning (Penalaran Hukum). Agar dalam melakukan Legal Reasoning (Penalaran Hukum) dilakukan dengan baik, maka harus memahami sumber-sumber hukum terutama sumber hukum formil. Mengenai sumber hukum formal dalam berbagai kepustakaan hukum menyebutkan sebagai berikut : 1. Undang-undang Undang-undang tersebut apabila dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 terdiri dari sebagai berikut : a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia. c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. d. Peraturan Pemerintah. e. Peraturan Presiden. f. Peraturan Daerah Provinsi. g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 2. Kebiasaan dan Adat. 3. Perjanjian 4. Traktat 5. Yurisprudensi tetap 6. Doktrin. 159

Sehingga dengan demikian bagi seorang Praktisi Hukum Advokat, apabila mendapatkan peristiwa hukum dari klien, maka dalam memberikan layanan jasa hukumnya dengan melakukan Legal Reasoning (Penalaran Hukum) dengan mendasarkan kepada sumber-sumber hukum tersebut. II. Pembahasan Konstruksi Hukum dan Interpretasi / Penafsiran Hukum Sumber Hukum Utama dalam Hukum Positif Indonesia adalah Peraturan Perundang-undangan (Hukum Tertulis), akan tetapi seringkali Peraturan Perundang-undangan (Hukum Tertulis) tertinggal oleh perkembangan masyarakat, dalam hal ini ada peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat akan tetapi tidak terdapat pengaturannya dalam Peraturan Perundang-undangan (Hukum Tertulis) sehingga terjadi kekosongan Peraturan Perundang-undangan untuk menyelesaikan persoalan yang kongkrit terjadi dalam masyarakat atau adakalanya Peraturan Perundang-undangannya (Hukum Tertulis) ada tetapi tidak jelas sehingga memerlukan pencarian terhadap arti dengan makna dari Peraturan Perundang-undangan tersebut. Untuk mengisi kekosongan Peraturan Perundang-undangan (Hukum Tertulis) dan pencarian dari arti dan makna dari suatu peraturan perundanganundangan, dalam ilmu hukum dikenal dengan Konstruksi Hukum dan Interpretasi (Penafsiran Hukum). Konstruksi Hukum adalah cara mengisi kekosongan peraturan perundangundangan dengan asas-asas dan sendi-sendi hukum. Konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu Analogi (Abstraksi), Determinasi (Penghalusan Hukum) dan Argumentum A Contrario. 160

1. Analogi adalah penerapan sesuatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dalam ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain. Contoh : Menurut Pasal 1576 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menentukan bahwa Jual Beli Tidak Memutuskan Sewa Menyewa. Ketentuan tersebut kiranya dapat dijelaskan dengan sebuah contoh sebagai berikut : A menyewakan rumah kepada B selama 2 tahun mulai 01 Januari 2016 sampai dengan 31 Desember 2017 dengan harga sewa sebesar Rp. 20.000.000,- Pada tanggal 01 Desember 2016 A menjual rumah yang sedang disewa oleh B kepada C. Terhadap permasalahan tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1576 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah Perjanjian Sewa menyewa antara A dengan B tetap berjalan sampai 31 Desember 2017. Tetapi bagaimana apabila A menukar rumah yang sedang disewa oleh B dengan mobil C, sedangkan dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Hukum Tertulis) tidak terdapat ketentuan yang menentukan bahwa Tukar Menukar Tidak Memutuskan Sewa Menyewa. Terhadap persoalan tersebut Pasal 1576 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat diterapkan secara Analogi, terhadap perbuatan hukum tukar menukar rumah yang dilakukan oleh A dengan C meskipun dalam Peraturan 161

Perundang-undangan (Hukum Tertulis) tidak ada ketentuan yang menentukan Tukar Menukar Tidak Memutuskan Sewa Menyewa karena antara Jual Beli dengan Tukar Menukar mempunyai kesamaan yaitu dapat memindahkan hak milik, dalam hal ini rumah A dibeli oleh C berakibat rumah milik A beralih menjadi milik C, begitu pula rumah A ditukar dengan mobil C mengakibatkan rumah milik A beralih menjadi milik C. Perbuatan hukum lain yang sama dengan jual beli yang dapat mengakibatkan beralihnya hak milik adalah Hadiah, Hibah dan Warisan. 2. Penghalusan hukum yaitu dengan tidak menerapkan atau menerapkan hukum secara lain daripada ketentuan hukum tertulis yang ada atau memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolaholah tidak ada pihak yang disalahkan. Contoh : - Di suatu jalan terjadi tabrakan antara kendaraaan yang dikemudikan B, akibat tabrakan tersebut kendaraan A dan B sama-sama rusak. Apabila A menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga dapat menuntut ganti rugi terhadap A, oleh karena keduanya salah dalam menjalankan kendaraannya maka sama-sama harus saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu kompensasi antara keduanya. - Sebuah delman melewati persimpangan jalan dengan rel kereta api. Tabrakan terjadi dalam keadaan pintu kereta api tidak tertutup karena penjaga pintu kereta api itu tertidur dan delman lewat saja karena kusirnya mengantuk. Berdasarkan penghalusan hukum penjaga pintu dan kusir delman diputuskan salah semua. 3. Argumentum A Contrario adalah ungkapan pengingkaran terhadap hal yang sebaliknya. Misalnya dalam hukum perkawinan ada ketentuan bahwa seorang wanita yang telah bercerai dari suaminya, tidak diperbolehkan 162

melaksanakan pernikahan dengan laki-laki lain sebelum lewat waktu 100 hari, maka ketentuan masa tunggu tersebut tidak berlaku bagi seorang lakilaki. Sedangkan yang dimaksud dengan Interpretasi atau Penafsiran Hukum adalah cara mencari arti dan makna suatu peraturan perundangundangan. Penafsiran dapat dilakukan antara lain : 1. Interpretasi bahasa atau tata bahasa : (Grammatikale Intepretatie). Di sini ketentuan atau kaidah hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa sebagaimana diartikan oleh orang biasa yang menggunakan bahasa secara biasa (sehari-hari). Peralatan rumah tangga dan alat angkutan misalnya harus diartikan secara wajar dalam hubungannya dengan perkara yang diperiksa pengadilan. Ini tidak menghalangi kemungkinan penggunaan istilah yang lebih teknis bila hal itu diperlukan. Contoh : kendaraan (air) : Segala alat angkutan orang atau barang, yang bergerak dari suatu tempat ke tempat lain di atas atau di bawah permukaan air. 2. Penafsiran Historis atau Sejarah Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah daripada undang-undang yang bersangkutan. Penafsiran historis ini dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut : a. Penafsiran Menurut Sejarah Pembuatan Undang-undang (Wetshistorische Interpretatie) Penafsiran wetshistorische ini juga dinamakan penafsiran sempit dan hanya menyelidiki apakah maksud pembuat undang-undang dalam menetapkan peraturan perundang-undangan itu atau siapa yang membuat rancangan untuk undang-undang, apa dasar-dasarnya, apa yang diperdebatkan dalam sidang-sidang Lembaga Legislatif (DPR, DPRD, Propinsi, DPRD Daerah Kabupaten/Kota) dan sebagainya sehingga undang-undang itu dapat ditetapkan secara resmi. 163

b. Penafsiran Menurut Sejarah Hukum (Rechtshistorische Interpretatie) Penafsiran historis ini dinamakan penafsiran yang luas, karena penafsiran wetshistorische termasuk di dalamnya. Penafsiran menurut sejarah hukum ini menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu pernah berlaku atau dari sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku atau dari sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku di negara lain, misalnya KUH Perdata yang berasal dari Burgerlijk Wetboek (BW) Negeri Belanda. BW ini berasal dari Code Civil Prancis atau Code Napoleon. Masuknya Code Civil Prancis ke Negeri Belanda (BW) berdasarkan asas kankordansi sama halnya dengan masuknya BW Negeri Belanda ke Indonesia sebagai negara jajahan juga melalui asas konkordansi (Concordantie Reginsel). 3. Penafsiran Sistematis Yang dimaksud dengan penafsiran sistematis, ialah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang dimaksud dalam Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan. Contoh : - Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa. Untuk mengetahui pengertian orang dewasa kita dapat melihat ketentuan Pasal 330 KUH Perdata yang memberikan batas belum berumur 164

21 tahun, akan tetapi meskipun belum berumur 21 tahun apabila telah kawin orang tersebut dikualifikasikan telah dewasa. Jadi dalam hal ini ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata ditafsirkan secara sistematis dengan ketentuan Pasal 330 KUH Perdata. 4. Penafsiran Sosiologis Penafsiran sosiologis ialah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan sosial yang di dalam masyarakat agar penerapan hukum dapat sesuai dengan tujuannya ialah kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masyarakat. Contoh penafsiran sosiologis : - Dalam Pasal 362 KUH Pidana, ditegaskan larangan untuk mencuri barang kepunyaan orang lain. Bunyi Pasal 362 KUH Pidana sebagai berikut Barangsiapa mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selamalamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900. Apakah yang dimaksud dengan barang itu? Mula-mula pengertian barang ialah segala yang bisa dilihat, diraba dan dirasakan secara riil. Waktu itu listrik tidak termasuk sebagai barang dan pencuri listrik tidak dapat dihukum berdasarkan Pasal 362 KUH Pidana. Kemudian penafsiran sosiologis berlaku terhadap listrik yang dianggap sebagai barang, karena listrik itu mempunyai nilai. Untuk mengadakan proyek perlistrikan diperlakukan penafsiran sosiologis atas listrik, maka siapa yang mengkait kabel listrik PLN di jalan, dapat dikatakan melakukan pencurian dan berlaku Pasal 362 KUH Pidana. 165

5. Penafsiran Otentik Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi (authentieke interpretatie atau officieele interpretatie) ialah penafsiran secara resmi. Penafsiran yang dilakukan oleh Pembuat Undang-Undang sendiri. Penafsiran otentik dapat dilihat dalam penjelasan Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan. 6. Penafsiran Perbandingan Penafsiran perbandingan ialah suatu penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, antara hukum nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial. a. Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, mungkin hukum lama cocok untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Umpamanya beberapa hukum dan asas hukum adat, yang menggambarkan unsur kekeluargaan, dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional. b. Hukum nasional sendiri dengan hukum asing. Pada hukum nasional terdapat kekeurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil hukum asing/negara lain apakah hukum asing itu cocok dan sesuai dengan kepentingan nasional. III. Kesimpulan Berdasarkan uraian sebagaimana telah diuraikan di atas kiranya seorang Praktisi Hukum Advokat dalam menjalankan Profesinya baik secara Litigasi maupun Non Litigasi untuk memberikan layanan hukum dengan melakukan Legal Reasoning (Penalaran Hukum) berdasarkan sumber-sumber Hukum Formal yang ada, Konstruksi Hukum dan Interpretasi / Penafsiran Hukum. 166

DAFTAR PUSTAKA Ahmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia (PIH dan PTHI), Tarsito, Bandung, 1991. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I Pengantar Ilmu Hukum (Semester Ganjil), Balai Pustaka, Jakarta, 1992. Komari, Penalaran Hukum (Legal Reasoning) (Argumentasi dan Perumusan Pertimbangan Hukum), 18 Juli 2012. Mochtar Kusumaatmadja dan Arip B. Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum. M. Arsyad Sanusi, Legal Reasoning Dalam Penafsiran Konstitusi. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2009. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Yudha Bhakti Ardiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Van Apeldooran, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982. 167