1 I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Karies gigi merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yang dapat mengenai email, dentin, dan sementum. Penyakit ini disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik yang meragikan karbohidrat yang menempel pada permukaan gigi. Hasil peragian tersebut menghasilkan asam yang dapat mendemineralisasi jaringan keras gigi dan diikuti oleh kerusakan bahan organiknya, sehingga terbentuk kavitas (Kidd dan Bechal, 1992). Bagian mahkota gigi yang terkena karies harus dibuang dan direstorasi dengan bahan tumpatan yang sesuai. Salah satu bahan tumpatan yang sering digunakan untuk restorasi gigi adalah Semen Ionomer Kaca (SIK) yang pertama kali dikembangkan oleh Wilson dan Kent pada tahun 1972 (Nujella dkk, 2012). SIK memiliki biokompatibilitas yang baik, mampu melepaskan fluorida, dan berikatan dengan struktur gigi secara kimiawi (Ferracane, 2001). Reaksi pengerasan SIK merupakan reaksi asam basa yang melibatkan tiga tahap, yaitu disolusi, gelasi, dan pengerasan. Tahap disolusi dimulai saat pengadukan serbuk dan cairan. Selama tahap ini, terjadi pelepasan ion H + dari asam poliakrilat dan bereaksi dengan lapisan luar kaca. Lapisan luar kaca kemudian melepaskan ion Ca 2+ dan Al 3+. Tahap gelasi ditandai dengan ion Ca 2+ dan rantai poliasam yang saling berikatan silang membentuk kalsium poliakrilat (Singh, 2007). Muatan negatif dari rantai poliasam matriks ionomer juga berikatan dengan ion kalsium pada struktur gigi sehingga menghasilkan garam poliakrilat (Albers, 2002). Tahap pengerasan merupakan kelanjutan dari tahap gelasi yang
2 membentuk jembatan garam aluminum yang secara perlahan meningkatkan derajat ikatan silang sehingga lebih kuat dan menyebabkan pengerasan semen (Casamassimo dkk., 2013). Pada tahun 1976, SIK yang telah ditemukan Wilson dan Kent mengalami modifikasi dan diperkenalkan kepada dunia tahun 1988 sebagai Semen Ionomer Kaca Modifikasi Resin (SIKMR) (Van Noort, 2007). Semen ini dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan SIK konvensional dan memanfaatkan keuntungan resin komposit (Bonsor dan Pearson, 2013). Bahan ini unggul dalam beberapa sifat apabila dibandingkan dengan SIK konvensional, misalnya lebih tahan terhadap kelembaban saat permulaan proses pengerasan (Ferracane, 2001). Tahap awal reaksi pengerasan semen ini sama seperti pada SIK konvensional yang melibatkan reaksi asam-basa. Reaksi pengerasan dilanjutkan dengan aktivasi sinar tampak yang mengawali polimerisasi monomer resin 2- hidroksietil metakrilat (HEMA). SIKMR juga memiliki sifat resisten terhadap kontaminasi awal oleh kelembaban, pelekatan ke enamel dan dentin yang baik, serta estetika yang lebih baik apabila dibandingkan dengan SIK konvensional (Strassler, 2011). SIK konvensional dan SIKMR mempunyai kemampuan untuk berikatan secara kimiawi pada material polar, seperti tulang, email, dan dentin melalui ikatan ionik antara gugus karboksil ( COO-) dari asam poliakrilat dengan ion kalsium pada substrat (Khoroushi dan Keshani, 2013). SIKMR memiliki sifat pelekatan yang sedikit berbeda dengan SIK konvensional. Penambahan HEMA ke dalam semen menambah pelekatan antara semen dan struktur gigi. HEMA
3 merupakan adhesion-promoting agent yang sangat bagus karena sifat hidrofilitasnya yang dapat meningkatkan pembasahan dentin (Geraldeli, 2012). HEMA akan berpenetrasi ke dalam ruang di antara jaringan kolagen menghasilkan retensi mikromekanik pada interfasial semen dan gigi setelah penyinaran sehingga kemampuan pelekatan SIKMR lebih besar dibandingkan SIK konvensional (Yiua dkk., 2004; Nujella dkk., 2013). Berdasarkan penelitian Preoteasa dkk. (2011), pelekatan yang lebih baik dengan struktur gigi diperoleh pada SIKMR dibandingkan konvensional karena sudut kontaknya yang lebih kecil dalam pembasahan substrat. Viskositas yang lebih rendah pada SIKMR meningkatkan penetrasi resin ke dalam struktur gigi (Vojinovic dkk., 2010). Saliva merupakan salah satu komponen penyusun rongga mulut yang berperan penting untuk pencernaan, proses mastikasi, pengecapan, fungsi bicara, penelanan, menyediakan mineral, dan melindungi jaringan mukosa (Chavez dkk., 2001). Derajat keasaman saliva dalam keadaan normal berkisar antara 6,4-7 (Stewart dkk., 2010). Komponen terbesar penyusun saliva adalah air (Khurana, 2008). SIK mampu menyerap air sebesar 2% dalam waktu seminggu (Hadi dkk., 2010). Penambahan HEMA yang bersifat hidrofilik ke dalam SIKMR dapat menginduksi terjadinya penyerapan air yang seiring dengan waktu mengakibatkan ekspansi tumpatan dan reduksi dari ketahanan pemakaian (Mount dkk., 2002). Air akan diserap oleh semen dan disimpan dalam matriks, apabila melebihi kapasitas polimer akibatnya akan terjadi ekspansi (Toledano dkk., 2013). Perendaman yang terlalu lama membuat monomer yang tidak bereaksi (residual) akan bermigrasi keluar, sehingga membentuk ruang kosong yang akan diisi oleh molekul air
4 menyebabkan penurunan daya tahan semen terhadap asam (Toledano dkk., 2013). Serat kolagen yang tidak sepenuhnya dilapisi oleh resin, mempunyai potensi untuk mengalami hidrolisis khususnya pada margin restorasi (Thomopoulos dkk., 2013). Derajat keasaman saliva dipengaruhi oleh irama siang dan malam, konsumsi obat-obatan tertentu yang mempengaruhi laju alir saliva, dan jenis diet. Dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung asam dan karbohidrat. Jenis karbohidrat, seperti sukrosa dan glukosa, yang terdapat di dalam makanan dan minuman dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam laktat. Salah satu bakteri yang mampu memfermentasi gula menjadi asam laktat adalah Streptococcus mutans (Roeslan, 2002). Asam laktat tersebut yang akan menurunkan keasaman (ph) mulut pada nilai ph sekitar 5. Nilai ph tersebut merupakan nilai ph kritis yang dapat menyebabkan kerusakan apatit, maka dampaknya pada tumpatan juga diduga akan lebih besar (Mount, 2005; Maganur dkk., 2010). Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian Wulandari (2005), bahwa kekuatan geser SIK tipe I mengalami penurunan jika direndam dalam saliva ph 5. Area sekitar margin restorasi SIK konvensional maupun modifikasi resin mudah terdemineralisasi oleh larutan asam kariogenik disebabkan pelepasan ion fluorida yang sangat sedikit pada area tersebut (Prati dkk., 2003). Menurut Fejerskov dan Kidd (2008), ketika ph mulut asam maka enzim bicarbonate anhydrase dalam saliva akan mengkatalisasi reaksi antara ion hidrogen bebas dari asam dan ion bikarbonat. Reaksi tersebut menghasilkan air
5 dan karbondioksida yang akan dilepas ke rongga mulut, sehingga ph saliva secara perlahan-lahan kembali ke ph normal dalam waktu kurang lebih 30-60 menit. Individu dengan laju alir saliva yang rendah, maka kapasitas buffernya menurun dan rentan terhadap asam. Hal tersebut menyebabkan ph saliva akan membutuhkan waktu lebih dari 4 jam untuk perlahan-lahan kembali ke ph normal. Konsentrasi ion hidrogen yang tinggi dapat memutus ikatan ionik antara ion kalsium dan rantai karboksil ( COO-) pada daerah interfasial dentin dan SIK akibat difusi asam (Wulandari, 2005). Perendaman dalam asam laktat juga mampu merusak ikatan antara SIKMR dan email (Wang dkk., 2011). Perendaman dalam saliva ph asam yang mengandung konsentrasi ion hidrogen lebih tinggi dapat menimbulkan potensi lebih besar untuk berikatan dengan gugus karboksil yang disebabkan sifat nukleofilik (kemampuan untuk menangkap ion hidrogen) gugus karboksil (Sugiyo, 2013). Van Noort (1994) menyatakan bahwa lepasnya pelekatan atau ikatan yang terjadi pada perbatasan atau persambungan disebabkan nukleasi di sepanjang perbatasan atau persambungan. Saliva dengan ph netral tidak mengalami ionisasi sempurna untuk menghasilkan ion hidrogen(h + ) dan ion hidroksida(oh - ), sehingga tidak berpotensi berikatan dengan gugus karboksil (Sugiyo, 2013). Sama halnya dengan gigi, bahan tumpatan harus mempunyai kekuatan yang cukup untuk menahan tekanan mastikasi. Kekuatan untuk melawan tekanan mastikasi sebuah gigi merupakan gabungan dari kekuatan tekan, kekuatan tarik, dan kekuatan geser (Killcast dan McKenna, 2004). Semua gaya yang diterima
6 pada tumpatan akan didistribusikan pada daerah interfasial (Nujella, 2012). Pelekatan antara dua bahan biasanya diukur dari kekuatan tarik atau kekuatan geser. Kekuatan geser merupakan ketahanan maksimum suatu material dalam menahan beban yang menyebabkan gerakan geser pada material tersebut sebelum terlepas (Craig dan Ward, 1997). Kekuatan pelekatan yang cukup merupakan salah satu aspek mendasar dalam prosedur restoratif yang berkontribusi pada kesuksesan restorasi gigi (Maeda dkk., 2009). B.Perumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan, timbul permasalahan apakah terdapat perbedaan kekuatan geser pelekatan SIK konvensional dan SIKMR pada dentin dalam perendaman saliva ph 7 dan 5. C.Keaslian Penelitian Menurut pengetahuan dari penulis, sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai perbedaan kekuatan geser pelekatan SIK konvensional dan SIKMR pada dentin dalam perendaman saliva ph 7 dan 5. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan hampir sama, namun bahan yang digunakan berbeda. Wulandari (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh lama perendaman semen ionomer kaca tipe I dalam saliva ph 5 terhadap kekuatan geser pelekatan pada dentin. Nujella dkk (2012) melakukan penelitian mengenai perbandingan kekuatan geser pelekatan SIK konvensional, SIKMR, kompomer, dan resin komposit pada dentin.
7 D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kekuatan geser pelekatan SIK konvensional dan SIKMR pada dentin dalam perendaman saliva ph 7 dan 5. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberi referensi penggunaan jenis SIK yang lebih tahan lama terutama pada pasien dengan kecenderungan mempunyai ph saliva yang rendah, sehingga diperoleh hasil perawatan yang lebih baik. Ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan, diharapkan hasil penelitian ini memberi sumbangan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran gigi.