BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Tata Cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RESPON DINAMIS STRUKTUR PADA PORTAL TERBUKA, PORTAL DENGAN BRESING V DAN PORTAL DENGAN BRESING DIAGONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desain untuk pembangunan strukturalnya, terutama bila terletak di wilayah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang aman. Pengertian beban di sini adalah beban-beban baik secara langsung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di dalam merencanakan dan mendesain suatu struktur beton bertulang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen struktur yang harus diperhatikan. penggunaan suatu gedung, dan ke dalamnya termasuk beban-beban pada lantai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBANDINGAN ANALISIS RESPON STRUKTUR GEDUNG ANTARA PORTAL BETON BERTULANG, STRUKTUR BAJA DAN STRUKTUR BAJA MENGGUNAKAN BRESING TERHADAP BEBAN GEMPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aman secara konstruksi maka struktur tersebut haruslah memenuhi persyaratan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang lebih bawah hingga akhirnya sampai ke tanah melalui fondasi. Karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

T I N J A U A N P U S T A K A

BAB II DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser membentuk struktur kerangka yang disebut juga sistem struktur portal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. itu sendiri adalah beban-beban baik secara langsung maupun tidak langsung yang. yang tak terpisahkan dari gedung.

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beton berlulang merupakan bahan konstruksi yang paling penting dan merupakan

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PBI 1983, pengertian dari beban-beban tersebut adalah seperti yang. yang tak terpisahkan dari gedung,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. KAJIAN LITERATUR. tahan gempa apabila memenuhi kriteria berikut: tanpa terjadinya kerusakan pada elemen struktural.

BAB III STUDI KASUS 3.1 UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tingkat kerawanan yang tinggi terhadap gempa. Hal ini dapat dilihat pada berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III PEMODELAN STRUKTUR

ANALISA KINERJA STRUKTUR BETON BERTULANG DENGAN KOLOM YANG DIPERKUAT DENGAN LAPIS CARBON FIBER REINFORCED POLYMER (CFRP)

PENGARUH DINDING GESER TERHADAP PERENCANAAN KOLOM DAN BALOK BANGUNAN GEDUNG BETON BERTULANG

BAB IV ANALISIS & PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PERMODELAN STRUKTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang aman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser horisontal dan momen guling akibat beban lateral. Secara umum, Dinding

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Surat Pernyataan Kata Pengantar DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN

BAB 1 PENDAHULUAN. metoda desain elastis. Perencana menghitung beban kerja atau beban yang akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah daerah rawan gempa, untuk mengurangi resiko korban

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beban mati, beban hidup dan beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan. tak terpisahkan dari gedung (SNI ).

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN

BAB III LANDASAN TEORI. dasar ke permukaan tanah untuk suatu situs, maka situs tersebut harus

PERBANDINGAN PERILAKU ANTARA STRUKTUR RANGKA PEMIKUL MOMEN (SRPM) DAN STRUKTUR RANGKA BRESING KONSENTRIK (SRBK) TIPE X-2 LANTAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 [12] Perbandingan umum antara sistem struktur dengan jumlah tingkat

MODIFIKASI PERENCANAAN MENGGUNAKAN SISTEM RANGKA BRESING KONSENTRIS KHUSUS PADA GEDUNG APARTEMEN METROPOLIS

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN. dilakukan setelah mendapat data dari perencanaan arsitek. Analisa dan

Analisis Perilaku Struktur Pelat Datar ( Flat Plate ) Sebagai Struktur Rangka Tahan Gempa BAB III STUDI KASUS

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang aman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur

Vol.17 No.2. Agustus 2015 Jurnal Momentum ISSN : X

Peraturan Gempa Indonesia SNI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

3. BAB III LANDASAN TEORI

PERENCANAAN GEDUNG BETON BERTULANG BERATURAN BERDASARKAN SNI DAN FEMA 450

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

03. Semua komponen struktur diproporsikan untuk mendapatkan kekuatan yang. seimbang yang menggunakan unsur faktor beban dan faktor reduksi.

RESPON DINAMIS STRUKTUR BANGUNAN BETON BERTULANG BERTINGKAT BANYAK DENGAN KOLOM BERBENTUK PIPIH

PERENCANAAN SISTEM RANGKA PEMIKUL MOMEN KHUSUS PADA KOMPONEN BALOK KOLOM DAN SAMBUNGAN STRUKTUR BAJA GEDUNG BPJN XI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkantoran, sekolah, atau rumah sakit. Dalam hal ini saya akan mencoba. beberapa hal yang harus diperhatikan.

BAB III LANDASAN TEORI. Kuat perlu dihitung berdasarkan kombinasi beban sesuai dengan SNI

PERENCANAAN PORTAL BAJA 4 LANTAI DENGAN METODE PLASTISITAS DAN DIBANDINGKAN DENGAN METODE LRFD

ANALISIS PERILAKU STRUKTUR PELAT DATAR ( FLAT PLATE ) SEBAGAI STRUKTUR RANGKA TAHAN GEMPA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan SNI Untuk mendukung penulisan tugas akhir ini

Desain Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNIVERSITAS INONESIA EVALUASI FAKTOR REDUKSI GEMPA PADA SISTEM GANDA RANGKA RUANG SKRIPSI AUDI VAN SHAF ( X)

PERANCANGAN STRUKTUR HOTEL AMARIS SIMPANG LIMA SEMARANG

BAB II LANDASAN TEORI. kestabilan struktur dalam menahan segala pembebanan yang dikenakan padanya,

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KONSEP DAN METODE PERENCANAAN

B A B I I TINJAUAN PUSTAKA. getaran elastis yang dipancarkan ke segala arah dari titik runtuh (rupture point).

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG KANTOR SEWAKA DHARMA MENGGUNAKAN SRPMK BERDASARKAN SNI 1726:2012 DAN SNI 2847:2013 ( METODE LRFD )


BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Kondisi geografis Indonesia terletak di daerah dengan tingkat kejadian gempa

BAB III LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kriteria Desain Di dalam merencanakan dan mendesain suatu struktur beton bertulang, harus diperhatikan kriteria-kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan apakah struktur tersebut dapat diterima untuk penggunaan yang diinginkan atau untuk maksud desain tertentu. Kriteria desain untuk struktur bangunan tahan gempa yang mensyaratkan bahwa bangunan harus didesain agar mampu menahan beban gempa 500 tahunan atau gempa rencana ditetapkan sebagai gempa dengan kemungkinan terlewati besaranya selama umur struktur bangunan 50 Th adalah sebesar 2%, pasal 4.1.1.Ketentuan pendetailan menurut SNI 1726-2012 menggunakan pasal 7 yang disyaratkan untuk nilai koefisien modifikasi respons tertinggi R dari sistem rangka yang terhubung. Kriteria-kriteria yang harus diperhatikan dalam merencanakan dan mendesain struktur diantaranya yaitu: 2.1.1 Kemampuan layan Struktur harus direncanakan mampu memikul beban rancang serta aman tanpa kelebihan tegangan pada material dan mempunyai deformasi yang masih dalam daerah yang diizinkan. Dengan memilih ukuran serta bentuk elemen struktur dan bahan yang digunakan, taraf tegangan pada struktur dapat ditentukan pada taraf yang dipandang masih dapat diterima dan aman, hal ini merupakan kriteria kekuatan dan merupakan dasar yang sangat penting. Defleksi atau deformasi besar dapat diasosiasikan dengan struktur yang tidak aman, tetapi hal ini tidak selalu demikian. Deformasi dikontrol oleh kekakuan struktur dan kekakuan sangat bergantung pada jenis, berat dan distribusi bahan pada struktur. 2.1.2 Efisiensi Kriteria ini mencakup tujuan desain struktur yang relatif lebih ekonomis. Ukuran yang sering digunakan adalah banyak material yang diperlukan II-1

untuk memikul beban yang diberikan dalam ruang pada kondisi dan kendala yang ditentukan. 2.1.3 Konstruksi Tinjauan konstruksi sering juga mempengaruhi pilihan struktural dimana perakitan elemen-elemen struktural akan efisien apabila materialnya mudah dibuat dan dirakit. Suatu gedung yang berdiri tegak pasti memiliki sistem struktur tertentu, baik itu sistem rangka (frame), sistem corewall/shearwall, atau sistem ganda. Sistem tersebut dibuat dengan tujuan mampu memikul beban-beban yang akan diterima bangunan, baik itu beban mati, beban hidup atau beban lateral (gempa) untuk menentukan apakah gedung itu aman. 2.2 Syarat Desain Ada beberapa syarat desain yang harus dipenuhi konstruksi suatu gedung, syarat-syarat dalam mendesain suatu struktur diantaranya yaitu: 2.2.1 Kekuatan Struktur harus kuat terhadap gaya-gaya dan beban-beban yang bekerja padanya seperti beban mati, beban hidup, beban angin dan beban gempa. Syarat kekuatan ini mencakup seluruh elemen struktur, baik pelat,kolom, balok dan shearwall. Cara mengeceknya sesuai dengan perilaku elemenelemen tersebut. Sebagai contoh kolom, mencari terlebih dahulu diagram interaksi dan menetukan dimana titik Pu, Mu maksimum pada diagram interaksi tersebut, jika titik tersebut berada diluar dan di bawah keadaan balance maka terjadi kegagalan tarik. Jika berada di luar sebelah atas keadaan balance maka terjadi kegagalan tekan. Sedangkan pada balok dan pelat, di cek dengan mengukur kemampuan balok dengan ukuran dan tulangan terpasang kemudian dibandingkan dengan momen yang terjadi. Bila momen kapasitas balok diatas momen yang terjadi di lapangan, baik itu tekan maupun tarik, maka balok dan pelat tersebut aman. II-2

2.2.2 Kekakuan Dalam perencanaan suatu gedung perlu diperhitungkan kekakuannya agar didapat struktur yang kaku dan tidak mudah rusak saat terjadi gempa serta aman dari faktor tekuk. Suatu struktur harus memiliki kekakuan yang cukup sehingga pergerakanya dapat dibatasi. Kekakuan struktur dapat diukur dari besarnya simpangan antar lantai (drift) bangunan, semakin kecil simpangan struktur maka bangunan tersebut akan semakin kaku. Kekakuan bahan dipengaruhi oleh modulus elastisitas bahan dan ukuran eleman tersebut. Dan modulus elastisitas berbanding lurus dengan kekuatan bahan, maka semakin kuat bahan maka bahan tersebut juga semakin kaku. Pada SNI 1726-2012 menetapkan kinerja batas ultimit suatu gedung dengan tujuan untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan struktur yang akan membawa korban jiwa manusia. 2.2.3 Stabilitas Dalam mendesain struktur perlu juga diperhatikan kestabilannya terhadap momen-momen yang bekerja padanya seperti momen guling, momen geser dan gaya uplift. Konsep dari kestabilan adalah jika benda itu bergerak dan dapat kembali lagi seperti semula. Elemen kolom harus stabil karena kolom merupakan struktur utama penopang gedung. Kolom dapat mengalami tekuk atau buckling, keadaanyapun berbeda-beda, namun jika kolom itu dapat kembali pada keadaan semula maka kolom tersebut dikataan stabil. 2.2.4 Daktilitas Daktilitas, daktail atau liat adalah kemampuan struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca elastic yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung masih dapat berdiri walaupun sudah diambang II-3

keruntuhan. Deformasi elastic adalah deformasi yang apabila bebanya dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan kembali kepada bentuknya yang semula. Deformasi plastis (inelastic) adalah deformasi yang apabila bebanya dihilangkan maka deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada kondisi yang plastis ini struktur akan mengalami deformasi yang bersifat permanen atau struktur tidak dapat kembali kepada bentuknya yang semula. Pada struktur yang daktail meskipun terjadi deformasi yang permanen tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan. Gambar 2.1 Deformasi Elastis pada Struktur Gambar 2.2 Deformasi Plastis (inelastic) II-4

2.3 Tinjauan Sistem Struktur Sistem struktur dasar penahan beban lateral secara umum dibedakan atas : 2.3.1 Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) SRPM adalah singkatan dari Sistem Rangka Pemikul Momen atau dalam istilah internasional adalah Moment Resisting Frame. SRPM adalah suatu sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap,sistem rangka ruang dimana komponenkomponen struktur balok, kolom dan join-joinya menahan gaya-gaya yang bekerja melalui aksi lentur, geser dan aksial. Istilah SRPM sering terdapat pada pembahasan mengenai struktur gedung tahan gempa. Istilah ini juga digunakan pada peraturan-peraturan SNI yang membahas tata cara perencanaan bangunan gedung baik bangunan dengan struktur beton, baja maupun bangunan tahan gempa lainnya. SRPM merupakan salah satu pilihan pada saat melakukan perencanaan sebuah bangunan tahan gempa. Adapun karakteristik dari Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) antara lain : Beban lateral khususnya gempa, ditransfer melalui mekanisme lentur antara balok dan kolom. Sehingga peranan balok, kolom, dan sambungan balok kolom memiliki peranan penting. Tidak menggunakan dinding geser, walaupun terdapat dinding, dinding tersebut tidak direncanakan untuk menahan beban lateral. Tidak menggunakan bresing (bracing)/ pengaku. Untuk struktur baja, penggunaan bresing kadang sangat diperlukan terutama pada arah sumbu lemah kolom. Dalam hal ini, bangunan tersebut dapat dianalisis sebagai SRPM pada arah sumbu kuat kolom, dan sistem bresing pada arah lainnya. Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) memiliki tiga tingkatan Dibedakan atas: II-5

a. Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa/SRPMB, (Ordinary Moment Resisting Frame, OMRF) b. Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah/SRPMM, (Intermediate Moment Resisting Frame, IMRF) c. Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus/SRPMK, (Special Moment Resisting Frame, SMRF) 2.3.2 Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) biasa digunakan di daerah dengan resiko gempa tinggi. Pada sistem struktur SRPMK, kualitas pendetailan pada daerah sendi-sendi plastis perlu didetail secara khusus. Berikut perbedaan SRPMK dengan Sistem Rangka pemikul Momen lainnya : Pada SRPMK sendi plastis terbentuk pada seluruh balok pemikul gempa sebelum terjadi keruntuhan dan terdapat detailing khusus pada balok, kolom, dan joint balok-kolom. Pada SRPMM sendi plastis harus terbentuk, akan tetapi bangunan sudah runtuh sebelum semua balok mengalami sendi plastis dan detailing pada balok dan kolom tidak spesifik / khusus seperti pada SRPMK. Pada SRPMB tidak terjadi sendi plastis pada balok dan tidak terdapat detailing khusus seperti pada SRPM lainnya. SRPMK memperhitungkan kapasitas geser pada kolom dan balok untuk menghindari tekuk inelastic premature pada balok dan menjamin terjadinya sendi plastis pada balok, sedangkan di daerah luar sendi plastis tidak perlu didetail secara khusus. Adapun syarat terjadinya sendi plastis setidaknya ada 3 yaitu: Balok tidak boleh mengalami kegagalan geser di daerah tumpuan karena selain momen lentur yang besar, gaya geser di daerah tumpuan balok pun sangat besar. II-6

HBK (Hubungan Balok Kolom) tidak boleh gagal pada saat mentransfer gaya-gaya yang cukup besar dari balok ke kolom. Kolom harus lebih kuat dari pada balok. Sehingga pada SRPMK muncul istilah Strong Column & Weak Beam. Dapat digambarkan sebagai berikut mengenai kronologis sendi plastis pada Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus. Jika beban V bertambah, momen lentur juga bertambah, simpangan lantai atap pun bertambah. Ketika terjadi sendi plastis yang pertama, pada saat itu mulai terjadi perubahan perilaku struktur. Salah satu yang bisa diamati adalah simpangan lantai atap, yaitu Delta (D). Delta sudah tidak linear lagi terhadap V. Begitu pula ketika V semakin besar, terbentuk lagi sendi plastis kedua, ketiga, dan seterusnya. Hingga akhirnya semua ujung-ujung balok mengalami sendi plastis. Besarnya Delta pun semakin bertambah. II-7

Jika semua ujung balok telah mengalami sendi plastis dan ternyata momen terbesar terdapat di ujung bawah kolom. Berarti selanjutnya kolom yang akan mengalami sendi plastis. Jika kolom telah menjadi sendi maka keruntuhan pun terjadi. 2.3.3 Sistem Dinding Struktural (SDS) Adalah dinding yang diproporsikan untuk menahan kombinasi gaya geser, momen dan gaya aksial yang ditimbulkan gempa. Dibedakan atas: a. Dinding Struktural Beton Biasa (SDSB) b. Dinding Struktural Beton Khusus (SDSK) 2.3.4 Tinjauan Sistem Struktur dengan SNI 03-1726-2012 Dasar sistem struktur utama yang tercantum dalam SNI 1726:2012 tabel 9, sistem penahan gaya gempa lateral dan vertical dasar harus memenuhi salah satu tipe yang ditunjukan dalam table tersebut. jenis struktur dibedakan menjadi 8 sistem dan subsistem, yaitu: a. Sistem Dinding Penumpu (Bearing Wall System ) Sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul oleh dinding geser atau rangka bresing. b. Sistem Rangka Gedung (Building Frame System ) II-8

Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing. c. Sistem Rangka Pemikul Momen (Moment Resisting Frame System )Sistem rangka struktur yang pada dasarnya memiliki rangka pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul rangka pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur. d. Sistem Ganda dengan rangka pemikul momen khusus yang mampu menahan paling sedikit 25 persen gaya gempa yang ditetapkan. e. Sistem ganda dengan rangka pemikul momen menengah mampu menahan paling sedikit 25 persen gaya gempa yang ditetapkan. f. Sistem interaktif dinding geser-rangka dengan rangka pemikul momen beton bertulang biasa dan dinding geser beton bertulang biasa. g. Sistem kolom kantilever didetail h. Sistem baja tidak didetail secara khusus untuk ketahan seismiks, tidak termasuk system kolom kantilever. 2.3.5 Sistem Ganda (Dual System) Sistem ganda (dual system) disebut juga dengan struktur hibrida merupakan kontribusi gabungan dari frame dan dinding struktural, sistem dual dapat menggabungkan kelebihan dari unsur penyusunnya. Frame berinteraksi dengan dinding, frame memberikan signifikan disipasi energi di bawah dan deformasi inelastis di tingkat atas bila diperlukan, dinding struktural mengeksekusi kekakuan yang luar biasa di tingkat bawah bangunan. (Paulay dan Priestley, 1992) Konsep sistem dual diyakini telah tumbuh dari pengamatan bangunan yang selamat dari gempa bumi San Fransisco 1906. Seorang Insinyur struktur San Fransisco dan Anggota Seismologi Henry Degenkolb, memilih struktur tahan gempa dengan sistem utama untuk kekakuan dan sistem cadangan untuk ketangguhan adalah penduk awal dari apa yang akan menjadi sistem dual modern, sejak saat itu banyak bangunan bertingkat dipelajari setelah itu (Degenkolb 1994). Sistem ganda pertama kali dimodifikasi pada tahun 1959 dalam Buku Biru (Tabel 23-C) dan 1961 UBC (Tabel 23-F) yang berisi sebagai II-9

berikut: Bangunan dengan sistem bresing horizontal lengkap mampu menahan semua gaya lateral dimana space frame yang bila diasumsikan bertindak independen adalah mampu menahan minimal 25% dari total lateral yang diperlukan Sistem ganda merupakan gabungan dari sistem pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan sistem rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah yang mampu memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral bekerja dan sisanya dipikul oleh dinding geser. Dalam sistem ganda, untuk masuk dalam kualifikasi sebagai sistem ganda pada tingkat lantai menurut ASCE 7 (2002) frame saat konstituen harus mampu menolak minimal 25% dari gaya gempa desain (Misalnya total geser lantai seismik), gaya horizontal didistribusikan berdasarkan kontribusi kekakuan semua dinding geser dan frame yang merupakan bagian dari sistem tenaga menolak-seismik. Dinding geser harus jauh lebih kaku dibanding frame saat dilantai terendah, mereka cenderung untuk mengumpulkan lebih dari 75% kekuatan gempa desaign. Dalam kasus tersebut, dengan aturan asce 7, dinding geser harus semata-mata bertanggung jawab untuk menolak 100% dari kekuatan gempa di masing-masing lantai terendah sebagai bagian dari suatu bangunan sistem portal. Nilai R yang direkomendasikan untuk sistem ganda dengan rangka SRPMK, adalah 8,5. Bangunan dengan sistem ikatan ganda yang terdiri dari momen-menolak space frame dan dinding geser atau bingkai bersiap menggunakan kriteria desain berikut: a. Rangka ruang lengkap berupa SRPM ( Sistem Rangka Pemikul Momen ) yang penting berfungsi memikul beban gravitasi b. Pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah dan mampu memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral dan sisanya dipikul oleh dinding geser. II-10

c. Kedua sistem harus direkomendasikan untuk memikul beban secara bersama-sama dengan memperhitungkan interaksi sistem ganda. 2.4 Pembebanan Dalam suatu perancangan struktur bangunan perlu adanya gambaran gaya-gaya dan aksi yang bekerja pada struktur,sehingga struktur dapat mencapai titik aman. Beban-beban yang bekerja pada suatu kontruksi bangunan bertingkat adalah sebagai berikut: 2.4.1 Beban mati (Dead Load/DL) Beban mati merupakan beban yang bekerja pada struktur bangunan yang terdiri dari keseluruhan beban bangunan itu sendiri dan beban-beban yang ditambahkan pada bangunan sebagai fungsi yang akan dicapai dari perencanaan bangunan tersebut oleh pemilik. Sesuai SNI 1727:2013, yabg termasuk beban mati adalah seperti dinding, lantai, atap, plafon, tangga dan finishing. Di dalam tugas akhir ini, studi kasus beban mati yang diberikan pada struktur meliputi : a. Berat sendiri (pelat, balok, kolom, dan dinding ) b. Berat penutup lantai (keramik & screed/ adukan) c. Langit-langit (plafon gypsum dan rangkanya) d. Perlengkapan gedung yang bersifat tetap (installasi mekanikal elektrikal) 2.4.2 Beban hidup LL (Live Load) Beban hidup merupakan beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu gedung, termasuk beban dari barang-barang yang dapat dipindah, mesin dan peralatan yang berpindah-pindah. Nilai beban yang diberikan pada struktur untuk perencanaan berbeda-beda sesuai fungsi yang akan diambil dari bangunan itu sendiri, misalnya untuk tempat tinggal, perkantoran, pertokoan, ataupun tempat ibadah. Beban hidup pada lantai gedung diambil menurut SNI 1727:2013 seperti terlihat pada Tabel 2.1 II-11

Tabel 2.1 Beban Hidup Gedung (SNI 1727:2013) II-12

II-13

2.4.3 Beban Gempa (Earthquake Load) Beban dinamik adalah beban dengan variasi perubahan intensitas beban terhadap waktu yang cepat. Beban gempa adalah beban yang timbul akibat pecepatan getaran tanah pada saat gempa terjadi. Analisis yang digunakan dalam perencanaan gempa ini adalah metode analisis respons spektrum. Respon spektrum adalah suatu spektrum yang disajikan dalam bentuk grafik/plot antara periode getar struktur T, lawan respon-respon maksimum berdasarkan rasio redaman dan gempa teretentu. Respon respon maksimum dapat berupa simpangan maksimum (spectral displacement, SD) kecepatan maksimum (spectral velocity, SV) atau percepatan maksimum (spectral acceleration, SA) massa struktur single degree of freedom (SDOF), ( Widodo, 2001). Spektrum perecepatan II-14

akan berhubungan dengan gaya geser maksimum yang bekerja pada dasar struktur. Terdapat dua macam respons spektrum yang ada yaitu respons spektrum elastic dan respon spektrum inelastik. Spektrum elastik adalah suatu spektrum yang didasarkan atas respon elastik suatu struktur, sedangkan spektrum inelastik (juga di sebut desain respons spektrum) adalah respon spektrum yang discaledown dari respons spectrum elastic dengan nilai daktilitas tertentu. Gambar 2.3 - Spektrum respons desain Sumber: Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung SNI 1726:2012. Dalam tugas akhir ini factor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan respon spectrum adalah sebagai berikut: a. Faktor kategori resiko bangunan gedung adalah kategori II (SNI 1726_2012) b. Faktor keutamaan gempa (Ie) untuk kategori resiko II nilai factor gempa adalah 1.0 c. Percepatan tanah Ss,S1 II-15

Ss adalah parameter respons spectral percepatan gaya gempa maksimum yang dipertimbangkan risiko tertarget (MCEr), periode pendek. Dari peta zonasi gempa Indonesia kementerian pekerjaan umum wilayah Tangerang Selatan nilai Ss adalah 0.735 g Gambar. 2.4 Peta untuk Ss Sumber: Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung SNI 1726 2012 Sedangkan S1 adalah parameter respons spectral percepatan gaya gempa maksimum yang dipertimbangkan risiko-tertarget (MCEr) periode 1 detik. Untuk nilai S1 di wilayah Tangerang Selatan adalah 0.318 g II-16

Gambar. 2.5 Peta untuk S1 Sumber: Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung SNI 1726 2012. Nilai S1 adalah 0.29g dengan T=1.0 detik, kelas situs SE. d. Faktor koefisien respons (R), parameter kuat lebih system (Ωo), factor pembesaran defleksi (Cd). Dalam tugas akhir ini rencana system struktur yang digunakan adalah system struktur ganda, dimana beban gravitasi yang bekerja dipikul sepenuhnya oleh rangka (space frame) sedangkan beban lateral (gempa) dipikul bersama oleh rangka dan dinding geser (shear wall) 2.5 Kombinasi beban untuk metode ultimit Struktur, komponen-komponen struktur dan elemen-elemen pondasi harus dirancang sedemikian rupa sehingga kuat rencananya sama atau melebihi pengaruh beban-beban terfaktor sesuai dengan Tata Cara Perencanaan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung SNI 2847:2013 dengan kombinasi sebagai berikut: U = 1.4D U = 1.2D + 1.6L + 0.5(Lr atau R) II-17

U = 1.2D + 1.6L (Lr atau R) + (L atau 0.5W) U = 1.2D + 1.0W + L + 0.5(Lr atau R) U = 1.2D + 1.0E + L U = 0.9D + 1.0W U = 0.9D + 1.0E Dimana: D = Beban mati (dead load). L = Beban hidup (live load) Lr = Beban hidup pada atap (roof live load) R = Beban air hujan (rain load) W = Beban angin (wind load) E = Beban gempa : beban ekivalen yang bekerja pada struktur akibat pergerakan tanah pada peristiwa gempa. Pengecualian, faktor beban untuk L pada kombinasi c,d dan e boleh diambil sama dengan 0.5 kecuali untuk ruangan garasi, ruangan pertemuan dan semua ruangan yang nilai beban hidupnya lebih besar daripada 500 kg/m2. 2.6 Kolom Kolom merupakan elemen struktur yang menahan gaya aksial dan momen lentur 2.6.1 Pengertian dan prinsip dasar kolom Kolom adalah batang tekan vertical dari rangka (frame) structural yang memikul beban dari balok. Kolom meneruskan beban-beban dari elevasi atas ke elevasi yang lebih bawah hingga akhirnya sampai ke tanah melalui pondasi. Karena kolom merupakan komponen tekan, maka keruntuhan pada satu kolom merupakan lokasi kritis yang dapat menyebabkan collapse (runtuhnya) lantai yang bersangkutan dan juga runtuh total (ultimate total collapse) seluruh strukturnya. (Nawy, 1990). II-18

Jika kolom pendek sengkang persegi dibebani sampai runtuh, sebagian dari beton pembungkus akan gompal dan, kecuali jika sengkang dipasang sangat berdekatan, tulangan longitudinal akan menekuk segera setelah sokongan lateralnya (beton pembungkus) hilang. Keruntuhan seperti ini seringkali dapat terjadi tiba-tiba, dan lebih sering terjadi dalam struktur yang menerima beban gempa (McCormac, 2004). Apabila beban pada kolom bertambah, maka retak akan banyak terjadi di seluruh tinggi kolom pada lokasi-lokasi tulangan sengkang. Dalam keadaan batas keruntuhan (limit state of failure), selimut beton di luar sengkang (pada kolom bersengkang) atau di luar spiral (pada kolom berspiral) akan lepas sehingga tulangan memanjangnya akan mulai kelihatan. Apabila bebannya terus bertambah, maka terjadi keruntuhan dan tekuk local (local buckling) tulangan memanjang pada panjang tak bertumpu sengkang atau spiral. Dapat dikatakan dalam keadaan batas keruntuhan, selimut beton lepas dahulu sebelum lekatan baja-beton hilang (Nawy, 1990). 2.6.2 Kolom beban eksentris Apabila beban tekan P berimpit dengan sumbu memanjang kolom, berarti tanpa eksentrisitas, perhitungan teoritis menghasilkan tegangan tekan merata pada permukaan penampang melintangnya. Sedangkan apabila gaya tekan tersebut bekerja di suatu tempat berjarak e terhadap sumbu memanjang, kolom cenderung melentur seiring dengan timbulnya momen M = P(e). Jarak e dinamakan eksentrisitas gaya terhadap sumbu kolom. Tidak sama halnya seperti pada kejadian beban tanpa eksentrisitas, tegangan tekan yang terjadi tidak merata pada seluruh permukaan penampang tetapi akan timbul lebih besar pada suatu sisi terhadap sisi lainnya (Dipohusodo, 1994). Kolom akan melentur akibat momen, dan momen tersebut akan cenderung mengakibatkan tekanan pada satu sisi kolom dan tarikan pada II-19

sisi lainnya. Gambar 2.2 memperlihatkan kolom yang memikul beban Pn. Dalam beberapa bagian dari gambar beban ditempatkan pada eksentrisitas yang semakin besar (sehingga menghasilkan momen yang lebih besar) sampai alhirnya dalam bagian (f) kolom menerima momen lentur yang besar sehingga pengaruh beban aksial diabaikan. Setiap kasus dari keenam kasus tersebut dibahas secara singkat dalam paragraph berikut dengan huruf (a) samapi dengan (f) menunjuk pada huruf yang sama seperti pada gambar. Keruntuhan kolom dianggap terjadi jika regangan beton mencapai 0,003 atau jika tekanan tarik baja mencapai fy (McCormac, 2004). (a) Beban aksial besar dan momen diabaikan. Untuk situasi ini, keruntuhan akan terjadi oleh hancurnya beton, dengan semua tulangan dalam kolom mencapai tegangan leleh dalam tekanan. (b) Beban aksial besar dan momen kecil sehingga seluruh penampang tertekan. Jika suatu kolom menerima momen lentur kecil (yaitu, jika eksentrisitas kecil), seluruh kolom akan tertekan tetapi tekanan di satu sisi akan lebih besar dari sisi lainnya. Tegangan tekan maksimum dalam kolom akan sebesar 0,85 fc dan keruntuhan akan terjadi oleh runtuhnya beton dan semua tulangan tertekan. (c) Eksentrisitas lebih besar dari kasus (b) sehingga tarik terjadi pada satu sisi kolom. Jika eksentrisitas ditingkatkan dari kasus sebelumnya, gaya tarik akan mulai terjadi pada satu sisi kolom dan baja tulangan pada sisi tersebut akan menerima gaya tarik yang lebih kecil dari tegangan leleh. Pada sisi yang lain tulangan akan mendapat gaya tekan. Keruntuhan akan terjadi karena hancurnya beton pada sisi yang tertekan. (d) Kondisi beban berimbang. Saat eksentrisitas terus ditambah, akan tercapai suatu kondisi dimana tulangan pada sisi tarik akan mencapai leleh dan pada saat bersamaan beton pada sisi lainnya akan mencapai tekan maksimum 0,85 fc. Situasi ini disebut kondisi pada beban berimbang. II-20

(e) Momen besar, beban aksial relatif kecil. Jika eksentrisitas terus ditambah, keruntuhan terjadi akibat tulangan meleleh sebelum hancurnya beton. (f) Momen lentur besar. Pada kondisi ini, keruntuhan terjadi seperti halnya pada sebual balok. Gambar 2.6 Kolom Menerima Beban dengan Eksentrisitas yang Terus Diperbesar (McCormac, 2004) 2.6.3 Kolom pendek Keruntuhan kolom dapat terjadi apabila tulangan bajanya leleh karena tarik, atau terjadinya kehancuran pada beton yang tertekan. Selain itu dapat pula kolom mengalami keruntuhan apabila terjadi kehilangan stabilitas lateral, yaitu terjadi tekuk. Apabila kolom runtuh karena kegagalan materialnnya (yaitu lelehnya baja atau hancurnya beton), kolom diklasifikasikan sebagai kolom pendek (short column). Apabila panjang kolom bertambah, kemungkinan kolom runtuh karena tekuk semakin besar. Dengan demikian ada suatu transisi dari kolom pendek II-21

(runtuh karena material) ke kolom panjang (runtuh karena tekuk) yang terdefinisi dengan perbandingan panjang efektif kl u dengan jari-jari girasi r. Tinggi l u adalah panjang tak tertumpu (unsupported length) kolom, dan k adalah factor yang bergantung pada kondisi ujung kolom, dan kondisi adakah penahan deformasi lateral atau tidak (Nawy, 1990). 2.6.4 Keruntuhan tekan dan keruntuhan tarik Berdasarkan besarnya regangan pada tulangan baja yang tertarik, penampang kolom dapat dibagi menjadi dua kondisi awal keruntuhan, yaitu: 1. Keruntuhan tarik, yang diawali dengan lelehnya tulangan yang tertarik. 2. Keruntuhan tekan, yang diawali dengan hancurnya beton yang tertekan. Kondisi balanced terjadi apabila keruntuhan diawali dengna lelehnya tulangan yang tertarik sekaligus juga hancurnya beton yang tertekan. Apabila Pn adalah beban aksial dan Pnb adalah beban aksial pada kondisi balanced, maka: Pn < Pnb Pn = Pnb P n > P nb Keruntuhan tarik Keruntuhan balanced Keruntuhan tekan Dalam segala hal, keserasian regangan (strain compatibility) harus tetap terpenuhi (Nawy, 1990). 1. Keruntuhan balanced pada penampang kolom persegi Jika eksentrisitas semakin kecil, maka akan ada suatu transisi keruntuhan tarik utama ke keruntuhan tekan utama. Kondisi keruntuhan balanced tercapai apabila tulangan tarik mengalami II-22

regangan lelehnya Ey dan pada saat itu pula beton mengalami regangan batasnya dan mulai hancur. 2. Keruntuhan tarik pada penampang kolom persegi Awal keadaan runtuh dalam hal eksentrisitas yang besar dapat terjadi dengan lelehnya tulangan baja yang tertarik. Peralihan dari keruntuhan tekan ke keruntuhan tarik terjadi pada e = e b. Jika e lebih besar dari eb atau Pn < Pnb, maka keruntuhan yang terjadi adalah keruntuhan tarik yang diawali oleh lelehnya tulangan tarik. 3. Keruntuhan tekan pada penampang kolom persegi Agar dapat terjadi keruntuhan yang diawali dengan hancurnya beton, eksentrisitas e gaya normal harus lebih kecil daripada eksentrisitas balanced e b dan tegangan pada tulangan tariknya lebih kecil daripada tegangan leleh, yaitu fs < fy. II-23