BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Halim Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Keempat. Jakarta: Salemba Empat.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM DAN VARIABEL PENDUKUNG LAINNYA PADA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA MADIUN

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Reformasi yang dimulai pada awal tahun 1998 di Indonesia adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 persen.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT.

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk memperlancar hubungan antara wilayah terpencil dengan pusat-pusat pertumbuhan. Kelancaran arus barang dan jasa serta keterbukaan wilayah-wilayah potensial dapat digunakan sebagai pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Jawa Barat sebagai daerah ekonomi potensial memiliki berbagai keunggulan, diantaranya keunggulan letak geografis. Peningkatan infrastruktur transportasi diperkirakan akan menjadi stimulan bagi peningkatan investasi, baik investasi dalam negeri maupun luar negeri. Penyediaan infrastruktur transportasi yang baik seperti halnya jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya diyakini dapat memicu limpahan (spill-over) investasi dari wilayah sekitarnya ke wilayah Jawa Barat. (bisniskeuangan.kompas.com) Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jawa Barat, dapat disampaikan bahwa nilai investasi jalan, rel dan jembatan di Jawa Barat mengalami penurunan pada kurun waktu 2007-2008 dari Rp.19.261,72 milyar pada tahun 2007 menjadi Rp.12.510,90 pada tahun 2008. Terjadinya penurunan dalam investasi di sektor ini dikarenakan Pemerintah lebih memfokuskan investasi terhadap sektor pariwisata yang memang dinilai lebih mendesak. Pada tahun periode 2009 investasi pada sektor ini mengalami kenaikan menjadi Rp. Rp.30.575,88 milyar. Kenaikan investasi ini dipacu oleh peran aktif masyarakat yang mengeluhkan kondisi jalan raya sebagai faktor penentu dalam kelancaran aktivitas serta pemacu kegiatan ekonomi pada masyarakat. Upaya dalam peningkatan pelayanan terhadap publik, memang bukan hanya menjadi kewajiban Pemerintah, masyarakat juga perlu ikut serta dalam perwujudan dan pemeliharaan fasilitas publik yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat suatu daerah. Namun, tentu Pemerintah yang memegang

peran besar dalam peningkatan fasilitas dan pelayanan publik. Sebagai contoh, jalan raya di wilayah Priangan Timur terutama Tasikmalaya dan Garut mengalami kerusakan serius, sehingga kerap menjadi penyebab keterlambatan pendistribusian barang/jasa yang memiliki nilai ekonomi. Jalan Raya Ciawi Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya mengalami kerusakan serius sepanjang lima kilometer. Tentu masyarakat menginginkan adanya jalan raya yang berkualitas baik, sehingga masyarakat dapat dengan nyaman melakukan berbagai macam kegiatan ekonomi yang bergantung kepada fasilitas jalan raya dalam hal pendistribusian barang dan jasa. Sehingga, masyarakat pelaku ekonomi tidak merasa cemas akan kekurangan barang dan jasa ekonomi karena sulitnya pendistribusian tersebut, yang mungkin akan mengurangi pendapatan masyarkat pelaku ekonomi. Berikut ini adalah tabel yang menyajikan informasi mengenai jalan raya di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2012. Tabel 1.1 Kualitas Jalan Raya Pada Kabupaten / Kota Provinsi Jawa Barat 2012 NO Kabupaten/Kota Baik Sedang Rusak Rusak Berat Jumlah 1 Bogor 1286,34 131,95 29,55 301,08 1748,92 2 Sukabumi 135,88 437,35 402,33 754,80 1730,35 3 Cianjur 232,24 315,09 380,00 363,02 1290,35 4 Bandung 413,28 229,09 299,70 213,82 1155,89 5 Garut 305,00 205,25 304,51 14,00 828,76 6 Tasik 383,13 260,76 266,48 392,96 1303,32 7 Ciamis 257,25 146,59 206,42 162,03 772,30 8 Kuningan 189,75 107,51 65,08 53,77 416,10 9 Cirebon 266,93 191,77 115,31 68,35 642,36

10 Majalengka 367,59 76,14 110,47 161,40 715,60 11 Sumedang 168,16 287,21 148,08 192,61 796,06 12 Indramayu 397,45 208,78 169,79 35,86 811,87 13 Subang 340,79 359,25 105,75 248,71 1054,50 14 Purwakarta 371,99 142,54 117,32 90,35 722,20 15 Karawang 760,55 611,38 567,87 700,23 2640,03 16 Bekasi 424,43 354,61 63,72-842,77 17 Bandung Barat 424,43 354,61 63,72-842,77 18 Kota Bogor 612,19 87,82 11,81-711,82 19 Kota Sukabumi 82,65 35,58 19,83 4,47 142,53 20 Kota Bandung 687,69 177,81 319,88-1185,38 21 Kota Cirebon 142,91 4,14 0,75 0,34 148,14 22 Kota Bekasi 1125,88-198,68-1324,56 23 Kota Depok 391,86-83,59-475,45 24 Kota Cimahi 90,88 22,31 7,77 2,02 122,97 25 Kota Tasikmalaya 191,84 27,88 127,44 49,56 396,71 26 Kota Banjar 154,56 53,31 16,82-224,69 27 Jawa Barat 9992,33 4548,59 4311,93 3880,39 22733,24 Sumber : www.jabar.bps.go.id Menurut Smoke (2001) dalam Subowo dkk. (2010), dalam kurun waktu 1990-an desentralisasi keuangan daerah dan pemerintah daerah menjadi hal yang cukup trend. Namun selama ini, dalam penerapannya pemerintah daerah dianggap kurang optimal dalam membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini dapat dibuktikan dari besarnya dana yang tidak terserap mencapai 15 % dari total APBD Tahun 2007 sehingga belanja daerah

yang lebih besar tidak berkontribusi atas tingkat penyerapan anggaran tidak optimal. Menurut Harianto dkk. (2007), dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan diberbagai sektor terutama sektor publik. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya serius (pemerintah) dengan memberikan berbagai fasilitas pendukung (investasi). Konsekuensinya, pemerintah perlu untuk memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini. Desentralisasi fiskal disatu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah, tetapi disisi lain memunculkan persoalan baru, dikarenakan tingkat kesiapan fiskal daerah yang berbeda-beda. Sementara menurut Nanga (2005) dalam Harianto dkk. (2007) mengindikasikan terjadinya ketimpangan fiskal antar daerah bisa jadi hal ini mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk di kembangkan menjadi sumber PAD. Menurut Kusnandar dkk. (2009), penyerahan berbagai kewenangan dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah disertai dengan penyerahan dan pengalihan masalah pembiayaan. Sumber pembiayaan yang penting bagi Pemda adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang komponennya adalah penerimaan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan dan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan. Menurut data dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2011, DAU merupakan bagian terbesar dari dana perimbangan, yaitu sekitar 64,9%.

Menurut Siswantoro (2009), anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Dalam penjelasan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004, salah satu variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana adalah luas wilayah. Daerah dengan wilayah yang lebih luas tentulah membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas. Dengan memaksimalkan belanja modal yang difokuskan kepada sarana dan prasarana serta infrasturuktur demi kepentingan publik, dapat memacu pendapatan per kapita masyarakat. Disebabkan karena pergerakan ekonomi akan semakin lancar kegiatan ekonomi pun akan bergerak dengan perputaran yang cukup cepat, sehingga masyarakat dapat merasakan kenyamanan dalam melakukan kegiatan ekonomi. Harianto dkk. (2007) memaparkan, tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tidak akan memberikan arti apabila tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi sering di ukur dengan mengunakan pertumbuhan produk domestik bruto rumus (PDB/PDRB), namun demikian indikator ini dianggap tidak selalu tepat dikarenakan tidak mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya. Indikator lain, yaitu pendapatan per kapita dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi ini (Gasp ersz et all (2003) dalam Kuncoro (2004)). Indikator ini lebih komprehensif dalam mengukur pertumbuhan ekonomi dikarenakan lebih menekankan pada kemampuan negara/daerah untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) / Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) agar dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Indikator ini secara simultan menunjukkan apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu meningkatkan kesejahteraan seiring dengan semakin cepatnya laju pertambahan penduduk.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Harianto dkk. (2007) memamparkan, Dana Alokasi Umum mempunyai dampak yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah, dan Pendapat Asli Daerah sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Per Kapita. Namun, pertumbuhan yang terjadi masih kurang merata sehingga banyak ketimpangan/jarak ekonomi antar daerah. Menurut Murni (2009), Produk Domestik Bruto adalah hasil output produksi dalam suatu perkonomian dengan tidak memperhitungkan pemilik faktor produksi dan hanya menghitung total produksi dalam suatu perkonomian saja. Sehingga PDB dapat dihitung dengan cara : PDB = Pengeluaran Rumah Tangga + Pengeluaran Pemerintah + Pengeluaran Investasi + (Ekspor- Impor) Berdasarkan uraian yang dipaparkan diatas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan hubungan antara Dana Alokasi umum, Pendapatan Asli Daerah, dan Pendapatan per Kapita bermaskud menuangkannya ke dalam Skripsi dengan judul : HUBUNGAN ANTARA DANA ALOKASI UMUM, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN PENDAPATAN PER KAPITA DALAM PENINGKATAN PELAYANAN FASILITAS PUBLIK (Studi pada Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011) dan 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka Penulis mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana hubungan Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan per Kapita.

2. Bagaimana Peningkatan Pelayanan Publik di Provinsi/Kota di Jawa Barat tahun 2007-2011 3. Bagaimana hubungan Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan per Kapita terhadap Peningkatan Pelayanan Publik. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang dilakukan Penulis adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisa hubungan antara Dana Alokasi Umum dengan Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan per Kapita. 2. Untuk mengetahui dan menilai Peningkatan Pelayanan Publik di Provinsi/Kota Jawa Barat tahun 2007-2011 3. Untuk mengetahui dan menganalisa hubungan antara Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan per Kapita terhadap Peningkatan Pelayanan Publik. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pelajaran awal bagi penulis dalam membuat suatu penelitian dan dapat menambah wawasan penulis tentang hubungan Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Per Kapita dan Peningkatan Pelayanan Publik di Jawa Barat. 2. Bagi Pemerintah dan Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan memberikan masukan bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan Bagi Dinas Bina Marga dapat menjadi bahan dalam penignkatan pelayanan fasilitas publik. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi terpecaya dalam penyusunan penelitian lanjutan dan untuk memperluas pengetahuan dan

menumbuhkan minat dan keinginan mengadakan pengkajian dan penelitian lebih lanjut. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Data untuk penelitian ini diperoleh melalui studi lapangan (field research) Departemen Keuangan Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat yang berlokasi Jl. Asia Afrika No 79 Balong Gede Bandung Telpon (022 4231602). Adapun penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2013 sampai dengan Mei 2013.