VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

dokumen-dokumen yang mirip
VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS

GENDER DAN KETAHANAN PANGAN : SUATU KAJIAN PADA RUMAHTANGGA PETANI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

VI. ANALISIS PERAN GENDER DALAM RUMAHTANGGA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN GENDER UNTUK BEKERJA DI LUAR USAHATANI KELUARGA

Kata kunci : alokasi waktu, gender, pendapatan, ketahanan pangan

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara

V. KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN, USAHATANI DAN LATAR BELAKANG SOSIODEMOGRAFI RESPONDEN

ANALISIS PERAN GENDER DALAM PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

Latar Belakang Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012).

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

I. PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk hidup adalah kebutuhan

IV. METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB IX ANALISIS KEBERHASILAN BMT SWADAYA PRIBUMI

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemiskinan merupakan masalah yang dialami secara global dan telah

e-journal Boga, Volume 04, Nomor 09, Edisi Yudisium Periode Maret 2015, hal 71-75

VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK. partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN:

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

Diterbitkan melalui:

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

I. PENDAHULUAN. pertanian dalam arti luas mencakup perkebunan, kehutanan, peternakan dan

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

STRATEGI PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI PROVINSI DIY. Oleh : Suhadi Purwantoro, M.Si. Jurusan Pendidikan Geografi FISE UNY

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN. Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia sangat menentukan kelangsungan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. pertanian menjadi daerah permukiman, industri, dan lain-lain. Menurut BPN

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

konsumsi merupakan salahsatu indikator pengukuran tingkat ketahanan pangan. Dengan demikian, bila tingkat konsumsi rumahtangga sudah terpenuhi maka

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup semua pengertian yang

PROPORSI PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN PADA DAERAH RAWAN BANJIR DI KABUPATEN BOJONEGORO MENUJU EKONOMI KREATIF BERBASIS KETAHANAN PANGAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan

III. METODE PENELITIAN

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI PENGHASIL BERAS ORGANIK (Kasus di Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya)

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia

Transkripsi:

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI Pangan (dan gizi) merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan, khususnya dalam upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (Yulianti et al., 2002). Pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia merupakan indikator utama kesejahteraan sosial (Khumaidi, 1989). Pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam mencerdaskan bangsa. Di Indonesia, munculnya masalah gizi buruk yang terjadi di masyarakat, menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan merupakan masalah yang belum sepenuhnya tuntas. Munculnya hal ini sangat merugikan bangsa, karena dapat menyebabkan lahirnya generasi yang tidak berkualitas (Fauzi, 2007). Banyak organisasi dunia seperti Bank Dunia, FAO, WFP dan Save the Children telah berkontribusi dalam pemahaman mengenai konsep ketahanan pangan di negara berkembang. Bank Dunia mendefinisikan ketahanan pangan sebagai akses bagi semua masyarakat di setiap waktu untuk memperoleh pangan yang cukup, bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Ini berarti bahwa rumahtangga dan individu harus memiliki ketersediaan pangan, akses ke pangan dan kemampuan untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan (Edralin and Collado, 2005). Mendefinisikan dan menginterpretasikan ketahanan pangan, dan mengukurnya sehingga dapat dipercaya, valid, dan dengan biaya yang efektif ternyata telah menjadi masalah yang sulit yang dihadapi oleh para peneliti dan program yang berencana memonitor resiko ketahanan pangan (Maxwell, 1996).

174 Untuk menganalisis masalah ketahanan pangan, terdapat sekitar 200 indikator. Rindayati (2009) menegaskan bahwa mana yang akan dipilih tergantung tujuan dan kepentingan penelitian, serta ketersediaan data. Indikator ketahanan pangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah frekuensi makan, yaitu bila anggota suatu rumahtangga bisa makan paling tidak tiga kali dalam sehari, maka masuk kriteria tahan pangan. Sedangkan rumahtangga yang anggotanya makan dua kali atau kurang dari itu, masuk kriteria tidak tahan pangan. Dalam bab ini akan didiskusikan mengenai faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga petani di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), yang dikelompokkan sebagai variabel sosiodemografi gender, karakteristik rumahtangga, dan variabel usahatani. Pada awalnya diduga bahwa peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel-variabel jumlah produksi usahatani utama, jumlah produksi usahatani lainnya, biaya usahatani, penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga, penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga, ukuran rumahtangga, harga pangan pokok, akses ke pasar, akses kredit, pengetahuan pangan dan gizi ibu rumahtangga, luas lahan (milik, garapan, sewa, pinjam, lahan untuk pangan, lahan untuk kebun), dan dummy pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan. Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel tersebut dikeluarkan dari model persamaan, karena : (1) berkorelasi tinggi dengan paling tidak satu variabel independen lainnya, dan atau (2) performa variabel kurang bagus (misalnya tanda yang tidak sesuai dengan teori).

175 Setelah re-spesifikasi yang dilakukan berkali-kali terhadap model persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel-variabel (1) pendidikan laki-laki, (2) pendidikan perempuan, (3) ukuran rumahtangga, (4) penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga, (5) penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga, (6) penghasilan laki-laki dan perempuan dari kerja bersama di luar usahatani keluarga, (7) pendapatan usahatani, dan (8) dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan. Program dan hasil estimasi model ketahanan pangan rumahtangga petani dengan menggunakan metode MLE, masing-masing disajikan dalam Lampiran 12 dan 13. Dari analisis yang dilakukan terhadap model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, dapat dikatakan bahwa secara umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup bagus. Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya sebesar 94 1. Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1. Dari delapan variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat lima variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan pada taraf kepercayaan 95 persen atau tingkat kesalahan yang ditolerir (α) sebesar 5 persen. Kelima variabel tersebut adalah (1) ukuran rumahtangga, (2) pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, (3) pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga, (4) pendapatan laki-laki dan 1 Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 (konsisten pada Y=1) adalah sebesar 94 persen

176 perempuan dari kerja bersama di luar usahatani keluarga, dan (5) pendapatan usahatani. Sedangkan variabel : (1) pendidikan laki-laki, (2) pendidikan perempuan, dan (3) dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan pengaruhnya tidak signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hasil analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga disajikan dalam Tabel 17 di bawah ini : Tabel 17. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 No. Variabel Parameter Estimasi 1. PddL 0.1094 2. PddP -0.0023 3. URT -0.5131 4. Elnutkel 0.0000005 5. Epnutkel 0.0000007 6. Eplnutkel 0.0000007 7. YUT 0.0000007 8. D 3 0.9179 Keterangan : P-Value 0.1923 0.9803 0.0036* <.0001* 0.0013* 0.0022* <.0001* 0.2952 Nilai Marginal Effect (ME) 0.0273-0.0006-0.1202 0.0000001 0.0000002 0.0000002 0.0000002 0.1872 * Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05. dimana : PddL PddP URT Elnutkel Epnutkel Eplnutkel YUT D 3 = Pendidikan laki-laki (tahun) = Pendidikan perempuan (tahun) = Ukuran rumahtangga (jiwa) = Pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun) = Pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun) = Pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun) = Pendapatan usahatani keluarga (Rp/tahun) = Dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan

177 Variabel pendidikan perempuan dan laki-laki tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peluang keluarga untuk mencapai ketahanan pangan. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang tinggi, namun jika pengetahuan yang diperoleh dalam proses pendidikan tersebut tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka pendidikan tetap saja menjadi sesuatu yang berdiri sendiri tanpa memiliki pengaruh terhadap peluang pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Variabel dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan pengaruhnya tidak signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Artinya, tidak ada perbedaan peluang bagi rumahtangga yang tinggal di desa/kelurahan yang masuk kriteria tahan pangan ataupun rawan pangan untuk mencapai tahan pangan atau rawan pangan. Hasil ini sebenarnya kurang diharapkan, karena dugaan semula adalah akan ada perbedaan peluang antara desa/kelurahan tahan pangan dengan rawan pangan, dimana rumahtangga di desa/keluarahan tahan pangan akan lebih besar peluangnya untuk mencapai ketahanan pangan dibandingkan dengan rumahtangga yang ada di desa-desa rawan pangan. Namun hal tersebut di atas bisa saja terjadi, karena meskipun suatu daerah termasuk kategori tahan pangan, namun diantara warganya ada yang termasuk rawan pangan. Demikian juga sebaliknya, di daerah yang rawan pangan, tidak seluruh warganya termasuk kategori rawan pangan. Ini sesuai dengan pendapat Hayami (2000) yang menyatakan bahwa masalah kerawanan pangan dapat dialami oleh siapa saja, bahkan warga di negara-negara industri yang sudah maju dan mempunyai tingkat pendapatan yang tinggi, seperti Jepang dan Taiwan. Karena ketahanan pangan bukan hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan, tetapi

178 oleh banyak faktor. Salah satu fakta dikemukakan oleh Republika Newsroom (2009) 2, dimana terdapat 3.5 juta orang atau sekitar 4.4 persen dari penduduk Italia hidup di bawah garis kemiskinan pangan. Terlebih di Indonesia, dimana indikator dalam penentuan kategori suatu daerah termasuk tahan pangan atau rawan pangan masih menggunakan ukuran makro (kurang spesifik), tentu saja kemungkinan adanya warga yang sebenarnya tahan pangan ditemukan di daerah rawan pangan sangat mungkin terjadi. Sebaliknya juga begitu, ada kemungkinan untuk menemukan warga tidak tahan pangan di daerah-daerah yang masuk kategori tahan pangan. Terkait hal ini, BKP (2007) menyatakan bahwa suatu daerah yang termasuk dalam kelompok rawan pangan tidak berarti bahwa semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan. Sebaliknya, daerah-daerah yang masuk dalam kelompok relatif tahan pangan, tidak berarti semua penduduknya bercukupan pangan. Pemetaan yang dilakukan hanya menggambarkan kecenderungan prevalensi kerawanan pangan secara relatif. Dengan perkataan lain, daerah-daerah yang rawan pangan cenderung memiliki tingkat kerawanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah yang relatif tahan pangan. Benar apa yang dikemukakan Khumaidi (1989) bahwa adalah suatu ironi karena banyak rumahtangga di daerah perdesaan, yang sebenarnya merupakan produsen bahan pangan, mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan bahan makanan. Situasi yang sangat berat ini banyak dialami petani miskin di perdesaan. Hal ini juga didukung oleh Fauzi (2007) bahwa masalah rawan pangan juga bisa terjadi di daerah-daerah subur dan Kinseng (2009) yang menyebutkan bahwa di 2 Republika Newsroom, 09 Oktober 2009 : 3.5 Juta Rakyat Italia Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Pangan

179 negara agraris seperti Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam pendukung pertanian, juga tidak lepas dari persoalan krisis pangan. 7.1. Pengaruh Variabel Sosiodemografi Gender Hasil analisis menunjukkan bahwa dari seluruh rumahtangga responden (n=194), sekitar 42.27 persen (82 rumahtangga) masuk kategori tidak tahan pangan. Artinya, hampir separuh rumahtangga di daerah penelitian hanya makan dua kali dalam sehari. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, mengingat bahwa kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar pemenuhannya. Bila keadaan ini terus berlanjut, artinya keadaan kekurangan pangan ini bukanlah sementara, tetapi berlangsung terus menerus, maka dampaknya akan sangat besar terhadap keseluruhan proses biologis dalam tubuh, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan prestasi seseorang. Adi et al. (1999) menyebutkan bahwa frekuensi makan secara langsung akan mempengaruhi asupan zat gizi melalui konsumsi makan. Sedangkan menurut Martorell (1995) dalam Pranadji et al. (2001) bahwa konsumsi makanan itu sendiri merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Hasil yang ditemukan Harefa et al. (2001) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa 75 persen rumahtangga di dua desa penelitiannya di Kabupaten Cianjur Jawa Barat frekuensi makannya hanya dua kali dalam sehari. Ini merupakan salah satu penyesuaian yang dilakukan rumahtangga akibat kekurangan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan makan yang normal. Maxwell (1996) juga sependapat bahwa mengurangi konsumsi pangan merupakan

180 salah satu strategi yang dilakukan rumahtangga agar bisa tetap memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga. Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, maka hasil analisis menunjukkan bahwa di desa rawan pangan (n=144) terdapat 79 rumahtangga (54.86 persen ) yang masuk kategori tidak tahan pangan. Sebaliknya di desa tahan pangan (n=50), sebanyak 47 responden rumahtangga (94 persen) masuk kategori tahan pangan. Kondisi di kedua daerah penelitian menunjukkan situasi ketahanan pangan rumahtangga yang sangat berbeda. Nampaknya, faktor potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan ketersediaan berbagai infrastuktur di desa/kelurahan tahan pangan, merupakan hal yang mendorong pencapaian ketahanan pangan di daerah tersebut dibandingkan dengan desa-desa rawan pangan. Variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pencapaian ketahanan pangan rumahtangga adalah ukuran rumahtangga dan penghasilan masing-masing gender, serta penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan bersama oleh suami-isteri. Hasil ini sesuai dengan pendapat Berg (1986) bahwa pendapatan dan ukuran rumahtangga merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas pangan. 7.1.1. Ukuran Rumahtangga Informasi dalam Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa variabel ukuran rumahtangga (URT) atau jumlah anggota rumahtangga berpengaruh signifikan terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga di perdesaan dengan tanda negatif. Nilai ME dari variabel ukuran rumahtangga adalah sebesar -0.12, ini berarti bahwa jika anggota rumahtangga bertambah satu

181 orang, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan akan berkurang sebesar 0.12. Hasil ini berarti bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka peluang untuk mencapai ketahanan pangan akan semakin kecil. Madanijah et al. (2006) dan Yuliana et al. (2002) juga menemukan hasil yang sama, bahwa jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi status gizi anggota rumahtangga, yang merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Hasil penelitian Asmarantaka (2007) juga menunjukkan bahwa konsumsi pangan di tiga desa, yaitu desa pangan (padi dan ubi kayu) dan bukan pangan (desa perkebunan kopi) sangat dipengaruhi oleh jumlah keluarga. Ini sangat logis terjadi. Bila terjadi penambahan jumlah anggota keluarga tanpa dibarengi dengan peningkatan penghasilan rumahtangga, baik itu dari usahatani maupun dari luar usahatani, maka akan menyebabkan rumahtangga menghadapi resiko kekurangan pangan. Karena sejumlah sumberdaya yang dimiliki rumahtangga, harus dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang lebih banyak, akibatnya jumlah pangan yang dapat disediakan tidak akan mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga untuk dapat hidup sehat dan berprestasi. Temuan ini sesuai dengan Suhardjo (1996) dalam Pranadji et al. (2001) yang mengemukakan bahwa tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih baik dalam jumlah maupun jenis makanan, sedangkan besar keluarga berhubungan erat dengan distribusi dalam jumlah maupun ragam pangan yang dikonsumsi anggota keluarga. Terkait dengan hasil ini, nampaknya perlu upaya-upaya membatasi besar keluarga, agar ketahanan pangan rumahtangga lebih terjamin. Program yang dijalankan pemerintah selama ini, seperti Keluarga Berencana merupakan salah

182 satu alternatif yang dapat ditempuh dan digalakkan kembali. Program seperti ini sangat sesuai dengan hasil temuan dalam penelitian ini, yaitu perlunya upaya pembatasan jumlah anggota keluarga. 7.1.2. Pendapatan Gender Dari hasil analisis nampak bahwa pendapatan gender (gender income) dari luar usahatani keluarga, baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri (perempuan saja atau laki-laki saja), maupun hasil dari usaha/pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama berpengaruh signifikan dan positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Ini berarti bahwa bila penghasilan gender dari luar usahatani keluarga meningkat, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan semakin besar. Temuan ini sesuai dengan hasil-hasil studi terdahulu yang dilakukan di beberapa negara berkembang lainnya, dimana masing-masing gender memiliki peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga pertanian (FAO, Undated; Horenstein, 1989). Nilai ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Elnutkel) adalah sebesar 0.0000001, yang berarti bahwa jika pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar 0.1. Nilai ini sangat kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Nilai ME variabel pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga (Epnutkel) adalah sebesar 0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan

183 perempuan dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar 0.2. Meskipun nilai ini lebih tinggi dari ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani, namun seperti juga nilai ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, nilai ini sangat kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Tabel 17 di atas juga menunjukkan nilai ME variabel pendapatan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Eplnutkel) adalah sebesar 0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar 0.2. Seperti juga nilai ME variabel pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga, nilai ME variabel Eplnutkel sangat kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Seperti diketahui bahwa untuk meningkatkan pendapatan keluarganya, maka 34.54 persen dari responden laki-laki dan 12.89 persen dari responden perempuan bekerja di luar usahatani untuk memperoleh tambahan penghasilan rumahtangga. Pendapatan merupakan sumberdaya yang dapat meningkatkan daya beli rumahtangga dalam pemenuhan kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga. Ini menunjukkan bahwa di lokasi penelitian, faktor ekonomi tetap merupakan

184 variabel yang sangat penting yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga. Ini sejalan dengan Sauqi (2002) dan Horenstein (1989) bahwa daya beli (pendapatan) rumahtangga merupakan salah satu faktor yang signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Bahkan Hardinsyah (1996) secara eksplisit menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga, maka semakin tinggi mutu gizi makanan (MGM) keluarga, yang merupakan salah satu aspek penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga. Sementara itu, di negara-negara maju yang tingkat pendapatannya sudah tinggi, penentu utama pencapaian ketahanan pangan bukan lagi terutama pada aspek pendapatan. Hayami (2000) menegaskan bahwa setidaknya terdapat empat krisis yang dapat menyebabkan masyarakat di suatu negara mengalami kerawanan pangan, yaitu : (1) krisis kontingen, (2) krisis siklikal, (3) krisis politik, dan (4) krisis Malthusian. Yang pertama adalah krisis yang terjadi karena adanya gangguan impor pangan secara tiba-tiba akibat adanya perang atau bencana. Yang kedua dapat terjadi ketika berkurangnya suplai pangan dan meningkatnya harga akibat hasil panen yang kurang di seluruh dunia sepanjang siklus cuaca. Yang ketiga berupa embargo dari ekportir pangan karena alasan politik dunia. Yang keempat adalah penurunan suplai pangan sementara jumlah populasi meningkat, yang dapat menyebabkan terjadinya kelaparan pada skala dunia. 7.2. Pengaruh Variabel Karakteristik Usahatani Dalam analisis ini, hanya terdapat satu variabel yang dimasukkan ke dalam model dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Pada taraf kepercayaan sebesar 95 persen, variabel pendapatan usahatani berpengaruh signifikan dan positif terhadap peluang pencapaian ketahanan pangan

185 rumahtangga. Semakin besar pendapatan yang diperoleh dari usahatani keluarga, semakin besar peluang untuk bisa mencapai ketahanan pangan rumahtangga. Karena semakin besar pendapatan yang diperoleh, maka semakin besar kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga. Tabel 17 di atas menunjukkan nilai ME variabel pendapatan usahatani keluarga (YUT) adalah sebesar 0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan usahatani bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan akan bertambah sebesar 0.2. Seperti juga nilai-nilai ME pada variabel-variabel pendapatan gender, nilai ME variabel pendapatan usahatani juga nilainya kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam pendapatan usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Bila ditelusuri, pendapatan usahatani tersebut merupakan hasil pengurangan dari nilai produk usahatani keluarga dengan biaya usahatani yang harus dikeluarkan rumahtangga. Dengan kata lain, pendapatan usahatani tersebut sebenarnya merupakan gambaran dari keseluruhan nilai produk usahatani, yang di dalamnya meliputi nilai produk usahatani yang dikonsumsi sendiri oleh rumahtangga, yang dijual dan pemberian anak dan keluarga lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa faktor ketersediaan produk pangan dari usahatani memegang peranan penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga. Hasil ini sesuai dengan temuan Sauqi (2002) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di daerah rawan pangan di Lombok Tengah adalah ketersediaan pangan dalam rumahtangga, yang bisa berasal dari produksi usahatani sendiri, pemberian keluarga, pembelian maupun barter. Adi et al. (1999)

186 menegaskan bahwa ketersediaan pangan dan daya beli pangan merupakan faktor penentu ketahanan pangan. Senada dengan itu, Horenstein (1989) juga menegaskan pentingnya produksi pertanian rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga di Kenya. Bila dipilah menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, perbedaan proporsi responden di masing-masing desa yang mengkonsumsi hasil produksinya menjadi lebih jelas, yaitu 10.96 persen dari total responden di desa rawan pangan dan 88.46 persen dari total responden di desa tahan pangan. Hasil ini memberi kejelasan besarnya peran produk usahatani dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani responden. Hasil ini sesuai dengan Alderman dan Garcia (1994) bahwa ketersediaan pangan rumahtangga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, yang diukur dari status gizi anak-anak di perdesaan Pakistan. Demikian juga dengan Asmarantaka (2007) bahwa di desa kebun, konsumsi pangan dipengaruhi oleh nilai produksi kopi.