BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mampu memproduksi matriks ekstraseluler yang disebut Extracelluler Polymeric

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. maupun yang berasal dari alam (Karadi dkk., 2011). dibandingkan obat modern (Hastari, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. hidup jutaan penduduk di berbagai negara maju dan berkembang. Menurut WHO,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan tumbuhan berkhasiat, sehingga banyak dimanfaatkan dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. penyakit menemui kesulitan akibat terjadinya resistensi mikrobia terhadap antibiotik

I. PENDAHULUAN. Bentuk jeruk purut bulat dengan tonjolan-tonjolan, permukaan kulitnya kasar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Rongga mulut manusia tidak terlepas dari berbagai macam bakteri, diantaranya

minyak mimba pada konsentrasi 32% untuk bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, 16% untuk bakteri Salmonella typhi dan 12,5% terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dari saluran napas bagian atas manusia sekitar 5-40% (Abdat,2010).

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. patogen pada manusia. Sekitar 30% dari populasi manusia dikolonisasi oleh

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. positif yang hampir semua strainnya bersifat patogen dan merupakan bagian dari

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare merupakan penyebab yang banyak menimbulkan kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit periodontitis (Asmawati, 2011). Ciri khas dari keadaan periodontitis yaitu gingiva kehilangan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Pseudomonas adalah bakteri oportunistik patogen pada manusia, spesies

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan jenis tumbuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas. Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

BAB 1 PENDAHULUAN. Disentri basiler yang berat pada umumnya disebabkan oleh Shigella

I. PENDAHULUAN. maupun tujuan lain atau yang dikenal dengan istilah back to nature. Bahan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan

mencit dalam menurunkan jumlah rerata koloni Salmonella typhimurium (Murtini, 2006). Ekstrak metanol daun salam juga terbukti mampu menghambat

pertumbuhan dengan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang tampak pada Rf = 0, 67 dengan konsentrasi mulai 3% untuk Escherichia coli dan 2%

PENDAHULUAN. semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan dilakukan pengembangan

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06

PENDAHULUAN. terdiri atas penyakit bakterial dan mikotik. Contoh penyakit bakterial yaitu

BAB I PENDAHULUAN. terutama disebabkan oleh kurangnya kebersihan. Penanganan penyakit yang

BAB I. A. Latar Belakang Masalah. baik bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan. Tanaman obat

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi penyebab kematian satu juta orang di negara berkembang terutama terjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. diisolasi dari saluran akar yang terinfeksi dengan pulpa terbuka adalah obligat

BAB I PENDAHULUAN. pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti mycobacterium, staphylococcus,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan tanaman herbal sebagai alternatif pengganti obat masih sebagian

I. PENDAHULUAN. merupakan bentuk pengobatan tertua di dunia. Setiap budaya di dunia

bahan-bahan alami (Nascimento dkk., 2000).

BAB I PENDAHULUAN. Dari catatan sejarah dapat diketahui bahwa fitoterapi atau terapi menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan

BAB I PENDAHULUAN. telah sangat berkembang, salah satunya adalah sediaan transdermal. Dimana sediaan

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu cermin dari kesehatan manusia, karena merupakan

BAB I PENDAHULUAN. serta pemulihan kesehatan. Hal ini disebabkan karena tanaman banyak

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan dalam infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), faringitis sendiri

BAB I PENDAHULUAN. lebih banyak dibandingkan dengan Negara maju. Indonesia dengan kasus

BAB 1 PENDAHULUAN. pernapasan bagian atas adalah batuk pilek biasa, sakit, radang tenggorokan,

BAB I PENDAHULUAN. folikel rambut dan pori-pori kulit sehingga terjadi peradangan pada kulit.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah

BAB I PENDAHULUAN. menyerang masyarakat disebabkan oleh berbagai miroba (Sintia, 2013).

Daya Antibakteri Ekstrak Tumbuhan Majapahit (Crescentia cujete L.)Terhadap Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu survey yang dilakukan oleh World Heatlh. Organization (WHO) dilaporkan bahwa lebih dari 80%

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat yang potensial dengan keanekaragaman hayati yang

I. PENDAHULUAN. berkhasiat obat (biofarmaka) dan kurang lebih 9606 spesies tanaman obat

AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

BAB I PENDAHULUAN. penyakit diare. Diare menjadi penyakit berbahaya dengan peringkat ke-3

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan obat-obatan tradisional khususnya tumbuh-tumbuhan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Candida albicans merupakan jamur yang dapat menginfeksi bagian- bagian

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lumut. Tumbuhan lumut merupakan sekelompok tumbuhan non vascular yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak mengkudu terhadap daya

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak zaman nenek moyang sampai sekarang, masyarakat banyak

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bakteri memiliki dua formasi kehidupan, yaitu formasi sel sesil (sel yang melekat pada permukaan) dan planktonik (Paraje, 2011). Bakteri yang melekat ini akan membentuk mikro koloni, yang akan mengatur perkembangan membentuk biofilm. Pada awalnya mungkin hanya tersusun satu tipe bakteri saja, tetapi seiring perkembangannya akan tersusun beberapa tipe bakteri yang hidup dalam komunitas yang kompleks (Deacon, 1997). Sekitar 99% bakteri berada dalam bentuk sesil dan hanya 1 % dalam bentuk planktonik. Selain itu, biofilm mempunyai keunggulan dibandingkan sel planktonik dimana dia lebih tahan terhadap bahan antimikroba, temperatur, ph dan lainnya sampai beberapa ribu kali. Maka akan sangat efektif bila pengendalian dan pemanfaatan mikroba dilakukan terhadap mikro lingkungan biofilm ini. Kasus infeksi yang berkaitan dengan biofilm diperkirakan sebanyak 65%. Permasalahan biofilm penting ditangani karena bakteri biofilm yang tumbuh dapat menyebabkan infeksi kronis yang resisten terhadap terapi antibiotik dan stressor lainnya (Paraje, 2011). Infeksi masih menempati urutan teratas penyebab penyakit dan kematian di negara berkembang, termasuk Indonesia. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur, dan dapat terjadi di masyarakat maupun di rumah sakit (Wahjono, 2007). Infeksi mikroba khususnya yang dapat merugikan manusia dapat dikontrol oleh antimikroba. Mikroba dapat membuat suatu pertahanan dengan membentuk biofilm, yaitu suatu lapisan sel mikroba yang melekat di sebuah permukaan dan 1

tertanam dalam matriks eksopolisakarida yang dihasilkan sendiri oleh mikroorganisme tersebut (Saad et al., 2013). Biofilm merupakan bentuk struktural dari sekumpulan mikroorganisme yang dilindungi oleh matrik ekstraseluler yang disebut Extracellular Polymeric Substance (EPS), dimana EPS merupakan produk yang dihasilkan sendiri oleh mikroorganisme tersebut dan dapat melindungi dari pengaruh buruk lingkungan. Matrik ini berupa struktur benang-benang bersilang satu sama lain yang dapat berupa perekat bagi biofilm (Prakash, Veeregowda and Krishnappa, 2003). Biofilm saat ini diakui sebagai mediator utama infeksi, dengan perkiraan 80% kejadian infeksi berkaitan dengan pembentukan biofilm (Archer et al., 2011). Biofilm sebagai pertahanan bakteri sulit diberantas dengan antibiotik dengan demikian bakteri patogen dalam bentuk biofilmnya dapat menimbulkan masalah serius bagi kesehatan manusia (Lee et al., 2013). Selain itu, biofilm bakteri dapat terbentuk pada permukaan sistem perairan alami, pipa air, jaringan tubuh, permukaan gigi, alat medis dan implan. Pembentukan biofilm pada alat medis dan implan seperti kateter, alat katup jantung, alat pacu jantung, sendi buatan, serta lensa kontak menjadi masalah serius di dunia medis (Chen et al., 2013). Biofilm dari Staphylococcus aureus terlihat dalam kasus infeksi kronik seperti ulkus pada kaki penderita diabetes, venous statis ulcer dan pressure sores. Infeksi luka pada pasien dengan ulkus kronik vena kaki ditemukan kultur positif Staphylococcus aureus sebanyak 88-93,3% dari sejumlah infeksi yang ditemukan. Kaki penderita diabetes yang telah terinfeksi Staphyloccus aureus memiliki peningkatan dua kali lipat waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan (Bowling et al., 2009). Biofilm juga memiliki merupakan penyebab utama infeksi Indwelling Medical Device (IMD). Biofilm memiliki kemampuan untuk menghindar dari respon imun 2

dan peningkatan fenotip resistensi bakteri terhadap resistensi bakteri terhadap antimikroba membuat biofilm dalam kasus IMD sangat sulit untuk ditangani (Pace, Rupp and Finch, 2006). Biofilm bersifat polimorfik dan perubahan struktur menyesuaikan jumlah nutrisi, yang ditunjukkan oleh percobaan dengan pemberian konsentrasi glukosa yang berbeda. Ketika konsentrasi glukosa tinggi, mikrokoloni tumbuh dengan cepat menghasilkan peningkatan ketebalan biofilm secara signifikan. Ketika konsentrasi glukosa rendah, biofilm berkurang dan struktur sebelumnya diperbaiki (Maric and Vranes, 2007). Kemampuan pembentukan biofilm merupakan salah satu faktor virulensi Staphylococcus aureus yang dapat menyebabkan peningkatan toleransi terhadap antibiotik dan desinfektan serta resistensi terhadap fagositosis dan sel-sel imunokompeten lain (Hoiby et al., 2010; Lee et al., 2013). Staphylococcus aureus dilaporkan telah resisten terhadap berbagai antibiotik diantaranya penisilin, oksasilin dan antibiotik beta laktam lainnya (Mardiastuti et. al,, 2007). Selain sulitnya mengobati penyakit terkait biofilm dengan terapi antibiotik konvensional, pengobatan lebih lanjut terhalang oleh resistensi antibiotik yang meningkat di kalangan patogen sehingga menyebabkan peningkatan kesulitan pengendalian penyakit. Resistensi antibiotik pada Staphylococcus aureus seperti resistensi metisilin adalah salah satu masalah kesehatan yang paling mendesak. Pendekatan alternatif selain terapi antibiotik konvensional sangat dibutuhkan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri pembentuk biofilm (Chen et al., 2013). Oleh karena itu diperlukan senyawa anti pembentukan biofilm. Bintaro merupakan salah satu tanaman yang memiliki banyak khasiat untuk berbagai pengobatan. Bintaro memiliki banyak khasiat untuk berbagai pengobatan. Bintaro dapat dimanfaatkan sebagai analgesik, 3

antikonvulsan, kardiotonik, dan antihipertensi (Chang et al., 2000). Di Thailand, kulit kayu bintaro digunakan sebagai antipiretik, pencahar dan dalam pengobatan disuria. Bagian bunga bintaro diterapkan untuk mengobati wasir (Khanh, 2001). Penelitian Rahman, Paul dan Rahman (2011) menyatakan bahwa ekstrak metanol akar bintaro mempunyai aktivitas antibakteri dan diuretik. Ekstrak metanol kulit batang bintaro menunjukkan aktivitas antioksidan (Kuddus, Rumi dan Masud, 2011). Daun bintaro juga mempunyai potensi sebagai antikanker (Syarifah et al., 2010). Biji bintaro kebanyakan bersifat toksik yang mengandung cerberin sebagai kardenolid utama (Lapphokhieo et al., 2004). Tanaman bintaro memiliki 50% kasus tanaman toksik dan 10% total kasus toksisitas di Kerala, India (Gailard, Krishnomoorthy and Bevalot). Hasil uji toksisitas ekstrak total n-heksana dan metanol diperoleh nilai LC 50 11,50 ppm dan 9,33 ppm, ini menunjukkan bahwa ekstrak total metanol bersifat sangat toksik. Serta adanya kemampuan ekstrak total metanol untuk membunuh 50% hewan uji karena suatu sampel dianggap toksik terhadap uji kematian larva udang jika konsentrasi maksimum 1.000 ppm dengan LC 50 500 ppm (Zetra & Parasetya, 2007). Aktivitas toksisitas dari ekstrak total metanol diduga karena adanya senyawa aktif yang bersifat toksik. Penelitian Rahman, Paul dan Rahman (2011) terhadap ekstrak metanol akar bintaro mempunyai aktivitas antibakteri pada beberapa bakteri Gram positif dan Gram negatif. Penelitian Ahmed et al., (2008) menunjukkan ekstrak metanol biji bintaro mampu menghambat beberapa bakteri seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus saprophyticus, Streptococcus pyogenes, Salmonella typhi, Shigella flexneri, dan Shigella dysentriae. 4

Daun dan buah bintaro juga mengandung polifenol, disamping itu kulit batangnya mengandung tanin (Salleh, 1997; Tarmadi et al., 2007). Golongan senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) dengan pelarut etanol 70% yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi dengan metode bioautografi adalah fenolik dan kardenolida (Wulandari, 2014). Penelitian Wulandari (2014), uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol 70% daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) terhadap Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus menggunakan beberapa konsentrasi yakni 0,25%, 0,5%, 1%, 2% dan 4%. KHM yang didapatkan dari penelitian Wulandari (2014) tersebut adalah KHM dengan konsentrasi 4%. Pengujian aktivitas anti bakteri dari penelitian Wulandari (2014) menggunakan metode dilusi padat. Strategi yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan biofilm adalah dengan menggabungkan agen antimikroba dengan zat yang mampu merusak lapisan permukaan pertumbuhan bakteri. Permasalahan biofilm dapat dikendalikan dengan strategi antimikroba secara kimia, fisika, dan biologi (Cortés et al, 2011). Antibiotik yang dilaporkan memiliki sifat yang sensitif terhadap Staphylococcus aureus adalah tetrasiklin dengan konsentrasi 8 mg/l (Samiullah et al., 2014). Persen rendemen yang dihasilkan pada ekstraksi daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) dengan menggunakan pelarut pelarut etanol 10,53%, etil asetat sebesar 5,35%, pelarut heksan sebesar 2,08%. (Hashim et al., 2009). Berdasarkan uraian di atas dan belum adanya penelitian mengenai aktivitas antibiofilm ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) maka pada penelitian ini akan dilihat efek pemberian ekstrak daun bintaro 5

(Cerberra odollam Gaertn.) terhadap pembentukan biofilm Staphylococcus aureus secara in vitro. Daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) dikeringkan, dihaluskan menjadi serbuk simplisia, distandarisasi dan kemudian diekstraksi dengan etanol hingga didapatkan ekstrak. Ekstrak distandarisasi secara spesifik dan nonspesifik kemudian dilanjutkan dengan skrining fitokimia metode tabung. Ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) dibagi menjadi beberapa konsentrasi berdasarkan penelitian Wulandari (2014) dan diuji aktivitasnya sebagai antibakteri dengan metode difusi sumuran dan mikrodilusi kemudian diuji aktivitas antibiofilm dengan metode Microtiter Plate Assay. Aktivitas antibakteri metode difusi dapat dilihat melalui Daerah Hambat Pertumbuhan (DHP), aktivitas antibakteri metode mikrodilusi dapat dilihat dari Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) sedangkan pada aktivitas antibiofilm dapat dilihat dari % penghambatan biofilm. Dilakukan dengan mengamati luas DHP pada metode difusi, KHM dan KBM pada metode mikrodilusi dan % penghambatan biofilm pada metode pengujian antibiofilm. 1.2 Rumusan Masalah a. Apakah ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus? b. Apakah ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) dapat menghambat pertumbuhan biofilm Staphylococcus aureus? c. Apa jenis golongan senyawa ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.)? 6

1.3 Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) terhadap Staphylococcus aureus. b. Untuk mengetahui aktivitas ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) dalam menghambat pertumbuhan biofilm Staphylococcus aureus. c. Untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang ada pada ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.). 1.4 Hipotesis Penelitian a. Ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) memiliki aktivitas antibakteri. b. Ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) memiliki aktivitas sebagai antibiofilm. c. Senyawa metabolit sekunder pada ekstrak etanol daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) dapat diketahui. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai aktivitas ekstrak daun bintaro (Cerberra odollam Gaertn.) dalam mencegah pembentukan biofilm Staphylococcus aureus secara in vitro dan untuk penelitian selanjutnya guna mengembangkan ilmu pengetahuan. 7