KARAKTERISTIK TANAH DAN LAHAN UNTUK KESESUAIAN LAHAN UBIKAYU (Manihot spp.) DI PROVINSI LAMPUNG. Muhamad Adi Nurwansyah A

dokumen-dokumen yang mirip
VARIETAS UNGGUL UBIKAYU UNTUK BAHAN PANGAN DAN BAHAN INDUSTRI

Ketergantungan kebutuhan karbohidrat pada padi seperti yang terjadi saat ini sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan ketahanan pangan nasional.

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asal dan Botani Tanaman Ubikayu

Teknologi Produksi Ubi Kayu Monokultur dan Tumpangsari Double-Row

Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budidaya Ubi kayu (Materi Pelatihan Agribisnis bagi KMPH) PETUNJUK TEKNIS

TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. A. Singkong (Manihot utillisima L.) tahunan, ubi kayu tumbuh setinggi 1-4 m dengan daun besar yang menjari dengan

TEKNOLOGI BUDIDAYA UBI KAYU UNTUK MENCAPAI PRODUKSI OPTIMAL

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI

Teknologi Budidaya Tumpangsari Ubi Kayu - Kacang Tanah dengan Sistem Double Row

Pada umumnya sebagai sumber pangan karbohidrat, pakan ternak dan bahan baku industri olahan pangan. Ke depan peranannya semakin penting dan strategis

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Ubi Kayu

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ubi kayu diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae,

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di

V. VARIETAS UNGGUL UBI KAYU

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ubikayu berasal dari Brasilia. Ilmuwan yang pertama kali melaporkan hal ini

DESKRIPSI VARIETAS UNGGUL UBI KAYU UK-1

PRODUKSI BENIH SUMBER UBIKAYU

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan sumber bahan makanan ketiga setelah padi dan jagung.

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan sesuatu hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

Teknologi Produksi Ubi Jalar

Lampiran 1. Deskripsi Varetas Adira-1

DESKRIPSI VARIETAS UNGGUL UBIKAYU UK-1

I. PENDAHULUAN. untuk tanaman pangan salah satunya yaitu ubi kayu (Manihot utilissima). Ubi

DAFTAR GAMBAR. optimal, dan yang tidak dipupuk

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

TINJAUAN PUSTAKA. pada perakaran lateral terdapat bintil-bintil akar yang merupakan kumpulan bakteri

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Dicotyledonae, Ordo : Euphorbiales, Famili : Euphorbiaceae, Ubikayu pada ubikayu merupakan akar pohon yang membesar dan

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

TANAMAN PENGHASIL PATI

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Morfologi Tanaman Teh Syarat Tumbuh

Dibajak satu atau dua kali, digaru lalu diratakan. Tanah yang telah siap ditanami harus bersih dari gulma, dan buatlah saluran-saluran drainase.

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA KUNYIT. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

Deskripsi Ubikayu Varietas Adira 1

VI. UBI KAYU. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 41

III. BAHAN DAN METODE

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dinamakan akar adventif (Duljapar, 2000). Batang beruas-ruas dan berbuku-buku, tidak bercabang dan pada bagian

III. BAHAN DAN METODE. Universitas Lampung pada titik koordinat LS dan BT

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

BAWANG MERAH. Tanaman bawang merah menyukai daerah yang agak panas dengan suhu antara

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Percobaan 3. Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Kacang Tanah pada Populasi Tanaman yang Berbeda

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

TUMPANG GILIR (RELAY PLANTING) ANTARA JAGUNG DAN KACANG HIJAU ATAU KEDELAI SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN KERING DI NTB

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Singkong ( Manihot utilissima

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus:

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny

UPAYA PEMULIHAN TANAH UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN BAHAN TANAM NILAM DI KABUPATEN MALANG. Eko Purdyaningsih, SP PBT Ahli Muda

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) ialah tumbuhan tropika dan subtropika dari

III. BAHAN DAN METODE

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila),

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Botani Tanaman Sorgum. Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Tebu

TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen Panen dan Pasca Panen

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai

UBIKAYU: VARIETAS DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

PENANAMAN Untuk dapat meningkatkan produksi hijauan yang optimal dan berkualitas, maka perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Ada beberapa hal yan

PELAKSANAAN PENELITIAN

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan

Gambar 1. Varietas TAKAR-1 (GH 4) Edisi 5-11 Juni 2013 No.3510 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

ASPEK LAHAN DAN IKLIM UNTUK PENGEMBANGAN NILAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

I. PENDAHULUAN. Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan komoditas andalan Indonesia,

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengolahan Tanah. Dari hasil data inventarisasi yang telah dilakukan di Kabupaten Gunungkidul

Transkripsi:

KARAKTERISTIK TANAH DAN LAHAN UNTUK KESESUAIAN LAHAN UBIKAYU (Manihot spp.) DI PROVINSI LAMPUNG Muhamad Adi Nurwansyah A14061926 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

ABSTRACT MUHAMAD ADI NURWANSYAH. Characteristics of Soil and Land Properties for Cassava (Manihot spp.) Land Suitability in Lampung Province. Guided by WIDIATMAKA and ATANG SUTANDI. Cassava is a crop with another name cassava. Cassava comes from Americas, exactly from Brasil. This plant can be utilized for food, feed and basic materials industries. In general, This species have the potential yield and high starch content, so it is considered the most suitable raw material for bioethanol. The quality of this plant used as raw material for bioethanol can be seen from the production of tubers and starch, so the growing requirements must be considered in order the productivity of cassava plants generated the optimum. This study aims to make the criteria of land suitability for cassava as raw material for bioethanol in Lampung province. The establishment of criteria for land suitability use the Boundary Line Method. Resulted Land suitability criteria Lampung province is compared with the criteria that have been made in Bogor and its surrounding area. This research is a continuation of previous studies. Activities undertaken consisted of field survey and laboratory analysis. Phase of the research include preliminary activities, surveys and field observations, soil and plant analysis in the laboratory, data analysis, determination of land suitability criteria, calibration age for the production of tubers and starch biomass, the model of land suitability criteria for withdrawal limits, and analysis of farming. Results of the studies indicated that the relation level of tubers and starch production and land qualities spread with such particular pattern which is convined with boundary line. The production on classed for S1, S2, and S3 with each class values by 80%, 60% and 28%, where 28% is break event point of productivity. The limit of every classes in the land evaluation criteria for each evaluated land quality could be made by creating a projection from the cutting between the boundary line and the production classes. This land evaluation criteria was an exploration study, based on the specific place and did not evaluate entirely all of the crop requirements. More data from a wider soil agroclimate zone therefore would be greatly appreciated. Key words : Cassava, Land Suitability, Boundary Line Method.

RINGKASAN MUHAMAD ADI NURWANSYAH. Karakteristik Tanah dan Lahan untuk Kesesuaian Lahan Ubikayu (Manihot Spp.) di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh WIDIATMAKA dan ATANG SUTANDI. Ubikayu merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain singkong atau cassava. Ubikayu berasal dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brasil. Tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, pakan maupun bahan dasar berbagai industri. Secara umum, jenis ubikayu yang memiliki potensi hasil dan kadar pati tinggi, sehingga dianggap paling sesuai untuk bahan baku bioetanol. Kualitas tanaman ini yang dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol dapat dilihat dari produksi umbi dan pati, sehingga persyaratan tumbuh harus diperhatikan agar produktivitas tanaman ubikayu yang dihasilkan menjadi optimum. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuat kriteria kesesuaian lahan untuk ubikayu di Provinsi Lampung. Penetapan kriteria kesesuaian lahan menggunakan metode penarikan batas Boundary Line Method dan membandingkan kriteria kesesuaian lahan Provinsi Lampung dengan kriteria yang telah dibuat di daerah Bogor dan sekitarnya. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian terdahulu. Kegiatan yang dilakukan terdiri dari survei lapangan dan analisis laboratorium. Tahapan pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan pendahuluan, survei dan pengamatan lapangan, analisis tanah dan tanaman di laboratorium, analisis data penetapan kriteria kesesuaian lahan, peneraan umur untuk produksi umbi dan biomas pati, model penarikan batas kriteria kesesuaian lahan, dan analisis usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan tingkat produksi umbi dan pati dengan unsur kualitas menyebar dengan pola tertentu yang dibatasi oleh garis luar. Dengan membuat sekat produksi untuk S1, S2, dan S3 masing-masing sebesar 80%, 60%, dan 28%, dimana nilai 28% merupakan batas BEP (titik impas produksi). Batas kriteria kelas kesesuaian lahan untuk setiap kualitas lahan yang dievaluasi dapat dibuat dengan membuat proyeksi dari perpotongan garis batas luar (boundary line) dengan sekat produksi. Kriteria kesesuaian lahan ini dibuat berdasarkan studi eksplorasi di tempat tertentu saja, dan belum semua lingkungan tumbuh tanaman dievaluasi, sehingga perlu dilakukan penambahan data dari lingkungan tumbuh yang lebih luas. Kata Kunci : Ubikayu, Kesesuaian Lahan, Metode Penarikan Batas

KARAKTERISTIK TANAH DAN LAHAN UNTUK KESESUAIAN LAHAN UBIKAYU (Manihot spp.) DI PROVINSI LAMPUNG MUHAMAD ADI NURWANSYAH A14061926 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Judul Penelitian Nama NRP : Karakteristik Tanah dan Lahan untuk Kesesuaian Lahan Ubikayu (Manihot Spp.) di Provinsi Lampung : Muhamad Adi Nurwansyah : A14061926 Disetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Widiatmaka, DAA. Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi. NIP. 19621201 198703 1 002 NIP. 19541212 198103 1 010 Diketahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003 Tanggal Lulus :

i RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Februari 1988 dari pasangan H. Hariszuan dan Hj. Misdaleni.Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai studinya di Taman Kanak-kanak (TK) Al-ikhlas pada tahun 1993 dan lulus pada tahun 1994. Setelah itu penulis melanjutkan studi ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jati Rasa I Bekasi, dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 9 Bekasi, dan lulus pada tahun 2003. Kemudian, penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 6 Bekasi, dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama dengan kelulusan SMA, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah menjalani Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun pertama di IPB, penulis diterima di Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian.Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif sebagai asisten praktikum dan aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di dalam maupun di luar kampus.

ii KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Karakteristik Tanah dan Lahan untuk Kesesuaian Lahan Ubikayu (Manihot Spp.) di Provinsi Lampung. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga kesulitan yang penulis hadapi dapat teratasi. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA. selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, bantuan, saran, dan motivasi yang diberikan selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi. selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabaran, bimbingan dan segala saran sejak dimulainya penelitian ini hingga skripsi selesai. 3. Dr. Ir. Dyah Tjanyandari, MApplSc. selaku dosen penguji skripsi atas bimbingan dan segala saran sejak dimulainya penelitian ini hingga skripsi selesai. 4. Ir. Muhammad Hikmat, MSi. selaku pembimbing penelitian atas saran-saran dan bantuan selama masa penyusunan skripsi serta penelitian. 5. Bapak Ir. Halim yang memberikan masukan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 6. Kedua orang tua penulis, Bapak Hariszuan, SH., Ibu Misdaleni, Spd., adik Dwi Kania E, Amd., dan Chindra Sari, serta saudara-saudara lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas dorongan dan motivasi yang diberikan pada penulis sehingga penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Seluruh staf Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB yang telah memberikan bantuan selama melakukan analisis di laboratorium.

iii 8. Teman-teman seperjuangan, Yasa, Cwit, Bima, Asep Barkhah, Bayu, Andi Wawaw, Adin, Dyah, Wiwin, Nurul, dan Tomi yang telah banyak membantu penulis selama masa penelitian. 9. Teman-teman satu kosan di Wisma Anggita, Angga, Mas Efri, Imam, Pak Noto, Mbak Desi, Mas Erwin, Bang Jimmy, Bang Asrul, Teh Euis, Bu Ita, dan semua teman kosan lainnya yang telah membantu. 10. Seluruh teman-teman dari Soilers 43 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas bantuan, serta doa dan semangatnya, yang tidak akan pernah dilupakan oleh penulis. 11. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih membutuhkan saran serta kritik. Namun, penulis berharap agar tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam rangka pembelajaran bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, Desember 2012 Penulis

iv DAFTAR ISI Halaman RIWAYAT HIDUP... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1. Asal dan Botani Tanaman Ubikayu... 4 2.2. Varietas Unggul Ubikayu... 6 2.3. Teknik Budidaya dan Syarat Pertumbuhan Ubikayu... 9 2.3.1. Iklim... 9 2.3.2. Media Tanam... 10 2.3.3. Persiapan Bibit... 11 2.3.4. Pola Tanam... 12 2.3.5. Pemupukan... 16 2.3.6. Hama Dan Penyakit Ubikayu... 17 2.3.7. Pemeliharaan... 18 2.3.8. Panen... 19 2.4. Potensi Ubikayu di Indonesia... 19 2.5. Pemanfaatan Ubikayu sebagai Bioetanol... 23 2.6. Tanah dan Lahan... 26 2.6.1. Pengertian Evaluasi Kesesuaian Lahan... 26 2.6.2. Kaidah Evaluasi Kesesuaian Lahan... 27 2.6.3. Asumsi-asumsi Dalam Evaluasi Lahan... 28 2.6.4. Kualitas Lahan... 29 2.6.5. Karakteristik Lahan... 29 2.6.6. Kesesuaian Lahan... 30 2.6.7. Persyaratan Penggunaan Lahan... 32 2.7. Metode Penarikan Garis Batas (Boundary Line Methods)... 33 2.8. Metode Pembatasan Minimum... 33

v III. BAHAN DAN METODE... 34 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 34 3.2. Bahan dan Alat... 34 3.3. Metodologi Penelitian... 34 3.3.1. Kegiatan Pendahuluan... 35 3.3.2. Survei dan Pengamatan Lapangan... 35 3.3.3. Analisis Tanah dan Tanaman di Laboratorium... 36 3.3.4. Pembentukan Kriteria Kesesuaian Lahan... 36 3.3.4.1. Peneraan Umur untuk Produksi Umbi dan Biomas Pati... 36 3.3.4.2. Model Penarikan Batas Kriteria Kesesuaian Lahan... 37 3.3.4.3. Analisis Usahatani... 37 3.3.5. Perbandingan Kriteria Kesesuaian Lahan... 38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 39 4.1. Kondisi Umum Daerah Penelitian... 39 4.1.1. Lampung Tengah... 40 4.1.2. Lampung Timur... 41 4.1.3. Lampung Utara... 41 4.1.4. Lampung Selatan... 42 4.2. Analisis Usahatani... 43 4.3. Hubungan antara Produksi dan Umur Contoh Tanaman... 44 4.4. Pengembangan Model Kesesuaian Lahan... 46 4.4.1. Hubungan antara Produksi dan Zone Perakaran... 48 4.4.2. Hubungan antara Produksi dan Retensi Hara... 51 4.4.3. Hubungan antara Produksi dengan Ketersediaan Hara... 54 4.4.4. Hubungan antara Produksi dan Kondisi Terrain... 58 4.4.5. Hubungan antara produksi dan Toksisitas... 59 4.5. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Ubikayu... 61 4.6. Analisis Kesesuaian Lahan Penelitian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lampung dan Jawa Barat Untuk Produksi Ubikayu... 62 4.7. Peta Kelas Kesesuaian Lahan... 65 4.8. Perbandingan Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu... 67 V. KESIMPULAN DAN SARAN... 69 5.1. Kesimpulan... 69 5.2. Saran... 70 DAFTAR PUSTAKA... 71 LAMPIRAN... 77

vi DAFTAR TABEL Halaman 1. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk pangan beserta karakteristiknya... 7 2. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk bahan baku industri beserta karakteristiknya... 9 3. Efektivitas pengolahan tanah konservasi dan produksi... 11 4. Sebaran Tanaman Ubikayu di Indonesia... 20 5. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di Indonesia... 21 6. Luas Panen Tanaman Ubikayu (Ha) di 10 Provinsi di Indonesia Tahun 2008 2012... 22 7. Produksi ubikayu (ton) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2008 2012... 22 8. Produktivitas ubikayu (kuintal/ha) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2008 2012... 23 9. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi... 23 10. Konvensi biomasa menjadi bioethanol... 24 11. Komposisi kimia umbi ubikayu... 25 12. Komposisi kimia, rasio fermentasi, dan angka konversi menjadi bioetanol 96% dari beberapa varietas ubikayu... 25 13. Analisis Usahatani Ubikayu Provinsi Lampung... 43 14. Sekat Produksi Umbi dan Pati untuk Batas Kelas Kesesuaian Lahan... 46 15. Selang nilai fraksi pasir dan liat untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 49 16. Selang nilai tekstur untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 49 17. Selang nilai C-organik untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 52 18. Selang nilai ph untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 52 19. Selang nilai KTK untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 53 20. Selang nilai N-total untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 55 21. Selang nilai P-tersedia untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 56 22. Selang nilai K dapat ditukar untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 57 23. Selang nilai lereng untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 59

vii 24. Selang nilai Al untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu... 60 25. Kriteria Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu Berbasis Produksi Umbi.. 61 26. Kriteria Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu Berbasis Produksi Pati... 62 27. Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Lampung... 63 28. Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Jawa Barat... 64 29. Luas dan Persentase Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Lampung... 66 30. Luas dan Persentase Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Jawa Barat... 67 31. Perbandingan Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian di Provinsi Lampung dan Penelitian Lain... 68

viii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tumpangsari ubikayu dengan kedelai, kacang tanah, kacang hijau, jagung dan padi gogo... 15 2. Hubungan Produksi Umbi Aktual (atas) dan Teraan Ubikayu (bawah) dengan Umur Tanaman.... 44 3. Hubungan Produksi Pati Aktual (atas) dan Teraan (bawah) Ubikayu dengan Umur Tanaman.... 45 4. Hubungan antara Produksi Umbi Tera (Atas) dan Produksi Pati (bawah) Tera dengan Tekstur Pasir... 50 5. Hubungan antara Produksi Umbi Tera (Atas) dan Produksi Pati (bawah) Tera dengan Tekstur Liat... 50 6. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan C-Organik... 52 7. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan ph... 53 8. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan KTK... 54 9. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan N-Total... 56 10. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan P-Tersedia... 57 11. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan K-dapat ditukar. 58 12. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan Lereng... 59 13. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan Al... 60 14. Peta Kesesuaian Lahan Penelitian Lampung... 65 15. Peta Kesesuaian Lahan Penelitian Lain Berdasarkan Data Penelitian Jawa Barat... 66

ix DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Blanko Pengamatan... 78 2. Lokasi Titik Pengamatan... 80 3. Data Penelitian Lapang... 81 4. Data Analisis Laboratorium dan Iklim... 82 5. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi ubikayu Jawa Barat.... 83 6. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi pati ubikayu Jawa Barat.... 83 7. Peta Administrasi Penelitian... 84 8. Peta Curah Hujan Penelitian... 84 9. Peta Geologi Penelitian... 85 10. Peta Geomorfologi Penelitian... 85 11. Peta Tanah Penelitian... 86 12. Peta Ketinggian Tempat Penelitian... 86 13. Peta Kemiringan Lereng Penelitian... 87 14. Foto Beberapa Sampel Ubikayu... 88

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ubikayu merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain singkong atau cassava. Ubikayu berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain: Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok. Ubikayu berkembang di negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke Indonesia pada tahun 1852. Indonesia merupakan negara terbesar keempat pengahasil ubikayu di dunia setelah Nigeria, Brasil, dan Thailand. Berdasarkan kontribusi terhadap produksi nasional, terdapat sepuluh provinsi utama penghasil ubikayu yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Yogyakarta yang menyumbang sebesar 89,47 % dari produksi nasional sedangkan produksi provinsi lainnya sekitar 11-12 % (Agrica, 2007). Produksi ubikayu tahun 2011 sebesar 23,5 juta ton dengan areal seluas 1,2 juta ha. Provinsi Lampung adalah daerah penghasil ubikayu terbesar (38%), diikuti Jawa Tengah (15%), Jawa Timur (13%), Jawa Barat (9%), Nusa Tenggara Timur (5%), dan DI Yogyakarta (4%) (Departemen Pertanian, 2011). Ubikayu sangat potensial untuk ditanam di Provinsi Lampung karena produktivitasnya yang cukup tinggi dan memiliki berbagai manfaat. Menurut Suprapti (2005), masyarakat Indonesia mengenal ubikayu sebagai bahan makanan pokok setelah beras dan jagung. Daunnya dapat digunakan sebagai bahan sayuran, kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar, dan umbinya dapat digunakan sebagai obat. Selain itu, umbi ubikayu merupakan sumber pati yang cukup tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar bioetanol (Kusumastuti, 2007). Di Provinsi Lampung, ubikayu memiliki arti ekonomi terpenting dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain. Kandungan pati dalam ubikayu yang tinggi sekitar 25-30% sangat cocok untuk pembuatan energi alternatif. Produksi pati yang tinggi, penanamannya yang mudah, dan mudah didapatkan menjadikan ubikayu sangat potensial dijadikan sebagai bahan dasar bioetanol.

2 Pada setiap wilayah di Provinsi Lampung terdapat keragaman kondisi lahan yang menghasilkan keragaman produktivitas. Keragaman produktivitas ubikayu antara lain disebabkan karena beragamnya sifat tanah dan lahan di areal penanaman ubikayu. Sifat tanah dan lahan terbentuk secara alamiah sebagai akibat dari proses pedogenesis (pembentukan tanah) mulai dari bahan induk yang berkembang menjadi tanah pada berbagai kondisi lahan (Thompson dan Troeh, 1973). Sehubungan dengan tingginya keragaman tersebut maka informasi yang lebih obyektif tentang kesuburan tanah di setiap jenis tanah sangat diperlukan untuk lebih mengarahkan tindakan manajemen tanah serta upaya pemeliharaan kultur teknis ubikayu. Untuk memperoleh informasi mengenai kondisi lahan pada daerah yang ditanami ubikayu, maka perlu dilakukan evaluasi lahan. Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Pada prinsipnya, evaluasi sumberdaya lahan dilakukan dengan cara membandingkan antara persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat-sifat sumberdaya pada lahan tersebut. Hasil dari evaluasi lahan bermanfaat untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga lahan dapat digunakan secara optimal dan lestari serta diperoleh kemungkinan tingkat produksi ubikayu untuk satu musim atau untuk beberapa tahun ke depan. Karena itu, evaluasi lahan merupakan salah satu mata rantai yang harus dilakukan agar rencana tataguna lahan dapat tersusun dengan baik (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Perencanaan dan pengembangan yang dilakukan untuk ubikayu di Provinsi Lampung belum dilakukan secara maksimal sehingga diperlukan penetapan kriteria kesesuaian lahan. Penetapan kriteria kesesuaian lahan tanaman ubikayu dapat dilakukan dengan menghubungkan data produksi dan kualitas/karakteristik lahan, kemudian ditarik batas kriteria kesesuaian lahan dengan cara memproyeksikan titik potong sekat produksi dengan garis batas (boundary line) pada suatu kualitas atau karakteristik lahan. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman ubikayu disusun berdasarkan data eksplorasi tanaman ubikayu di beberapa wilayah pusat produksi ubikayu yang mewakili kabupaten di Provinsi Lampung.

3 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk membuat kriteria kesesuaian lahan untuk ubikayu di Provinsi Lampung. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengevaluasi keterkaitan antara karakteristik bio-fisik lingkungan dan produktivitas komoditas ubikayu. 2. Memperoleh pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dan produksi biomassa (pati) pada ubikayu sebagai bahan baku bioetanol. 3. Menetapkan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman ubikayu di Provinsi Lampung. 4. Membandingkan Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu di Provinsi Lampung dengan kriteria di daerah lain, dalam hal ini Provinsi Jawa Barat sebagai contoh kasus.

4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asal dan Botani Tanaman Ubikayu Ubikayu berasal dari Brasilia. Ilmuwan yang pertama kali melaporkan hal ini adalah Johann Baptist Emanuel Pohl, seorang ahli botani asal Austria pada tahun 1827 (Allem, 2002). Menurut Allem (2002), asal tanaman ubikayu menyangkut tiga hal, yaitu asal botani (botanical origin), asal geografis (geographical origin) dan asal budidaya (agricultural origin). Asal botani misalnya menyangkut jenis liar tumbuhan ubikayu yang menurunkan tanaman ubikayu yang sekarang dikenal. Asal geografis menyangkut tempat dimana nenek moyang ubikayu berkembang di masa lalu, sedangkan asal budidaya berhubungan dengan tempat dimana budidaya awal tanaman ini dilakukan oleh orang-orang Indian Amerika (Amerindian). Dari hasil penelitiannya yang juga didukung hasil penelitian banyak peneliti lain, Allem (2002) menyimpulkan bahwa ubikayu berasal dari jenis liar tumbuhan Manihot flabelifolia. Nenek moyang ubikayu ini selanjutnya diduga berkembang di daerah padang rumput (sabana) Cerrado. Setelah itu domestikasi terjadi di sebagian daerah Amazon, yaitu di hutan-hutan. Lathrap (1970) dalam Allem (2002) memperkirakan bahwa domestikasi dimulai sekitar 5000 7000 tahun sebelum Masehi. Perkiraan ini diperkuat dengan temuan-temuan arkeologis di Amazon (Gibbons, 1990 dalam Allem, 2002). Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Dunia Baru, tanaman ini telah dibudidayakan di semua daerah tropis Amerika (Pattino, 1964 dalam Allem, 2002). Tanaman ini selanjutnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, terutama negara-negara di Asia dan Afrika. Tanaman ubikayu mencapai Afrika sekitar akhir pertengahan abad ke 16 (Ekanayake et al., 1997), sedangkan masuk ke Indonesia kurang jelas tepatnya tahun berapa. Menurut Rumphius, pada abad ke 17 di Maluku telah terdapat tanaman ubikayu, sedangkan Junghuhn berpendapat bahwa sampai tahun 1838 penduduk Indonesia belum mengenal ubikayu sebagai bahan makanan walaupun tumbuhan itu sudah ada di Indonesia.

5 Upaya penanaman ubikayu di Jawa mulai berhasil setelah didatangkan stek dari Paramaribo pada tahun 1858 (Darjanto dan Murjati 1980). Dalam sistematika tumbuhan, ubikayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubikayu berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar 7.200 spesies, beberapa diantaranya adalah tanaman yang mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas), umbiumbian (Manihot spp), dan tanaman hias (Euphorbia spp). Manihot esculenta Crantz mempunyai nama lain Manihot utilissima dan Manihot alpi. Semua Genus Manihot berasal dari Amerika Selatan. Brasilia merupakan pusat asal dan sekaligus sebagai pusat keragaman ubikayu. Manihot mempunyai 100 spesies yang telah diklasifikasikan dan mayoritas ditemukan di daerah yang relatif kering. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub kelas : Arhichlamydeae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot Spesies : Manihot utilissima Pohl; Manihot esculenta Crantz sin ;Manihot alpi. Sejak tahun 1978 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan telah melepas 10 varietas unggul ubikayu, namun hanya ada 4 varietas yang disarankan untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol, yaitu Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5. Keempat varietas tersebut merupakan varietas ubikayu pahit. Produksi varietas unggul ubikayu tersebut dapat mencapai 25 40 ton/ha dengan umur panen 8 sampai 10 bulan. Disamping itu, di Jawa Barat juga ada yang mengembangkan budidaya ubikayu raksasa yang dikenal dengan nama Darul Hidayah dengan tingkat produktivitas 100 150 ton/ha.

6 2.2. Varietas Unggul Ubikayu Ubikayu dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, pakan maupun bahan dasar berbagai industri. Oleh karena itu pemilihan varietas ubikayu harus disesuaikan untuk peruntukannya. Di daerah dimana ubikayu dikonsumsi secara langsung untuk bahan pangan diperlukan varietas ubikayu yang rasanya enak dan pulen dan kandungan HCN rendah. Berdasarkan kandungan HCN ubikayu dibedakan menjadi ubikayu manis/tidak pahit, dengan kandungan HCN < 40 mg/kg umbi segar, dan ubikayu pahit dengan kadar HCN 50 mg/kg umbi segar. Kandungan HCN yang tinggi dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan, sehingga tidak dianjurkan untuk konsumsi segar. Untuk bahan tape (peuyem) para pengrajin suka umbi ubikayu yang tidak pahit, rasanya enak dan daging umbi berwarna kekuningan seperti varietas lokal Krentil, Mentega, atau Adira-1. Tetapi untuk industri pangan yang berbasis tepung atau pati ubikayu, diperlukan ubikayu yang umbinya berwarna putih dan mempunyai kadar bahan kering dan pati yang tinggi. Untuk keperluan industri tepung tapioka, umbi dengan kadar HCN tinggi tidak menjadi masalah karena bahan racun tersebut akan hilang selama pemrosesan menjadi tepung dan pati, misalnya UJ-3, UJ-5, MLG-4, MLG-6 atau Adira-4. Hingga tahun 2009, Departemen Pertanian secara resmi baru melepas 10 varietas unggul dan lima di antaranya sesuai untuk pangan (Tabel 1).

7 Tabel 1. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk pangan beserta karakteristiknya Karakteristik Tahun Kadar Varietas Hasil Kadar dilepas Umur pati umbi HCN (bln) (% (Ton/ha) (mg/kg) bb) Keterangan Adira 1 1978 7-10 22 45* 27,5 - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Agak tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan bakteri hawar daun, penyakit layu Pseudomonas solanacearum, dan Xanthomonas manihotis Malang 1 1992 9-10 36,5 32-36* < 40,0 - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Toleran tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Toleran bercak daun (Cercospora sp.) -Adaptasi cukup luas Malang 2 1992 8-10 31,5 32-36* < 40,0 - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Agak peka tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Toleran penyakit bercak daun (Cercospora sp.) Darul Hidayah 1998 8-12 102,1 25-31 < 40,0 - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Agak peka tungau merah (Tetranichus sp.) - Agak peka busuk jamur (Fusarium sp.) Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010 Selain peruntukannya, pemilihan dan penerimaan suatu varietas ubikayu oleh petani dan pengguna lainnya juga ditentukan oleh umur tanaman, keragaan dan sifat ketahanannya terhadap gangguan hama dan penyakit tanaman. Pada umumnya petani sangat fanatik terhadap varietas lama maupun unggul lokal yang telah dikenal luas oleh masyarakat luas sehingga pasarnya jelas. Dari produk antara berupa tepung dan pati ubikayu dapat dikembangkan berbagai produk industri baik melalui proses dehidrasi, hidrolisis, maupun fermentasi. Sebagai bahan baku industri, jenis ubikayu yang memiliki potensi hasil tinggi, kadar bahan kering dan kadar pati tinggi, dianggap paling sesuai untuk bahan baku industri. Beberapa varietas unggul yang telah dilepas Pemerintah dan sesuai untuk bahan baku industri antara lain : Varietas Adhira-4, MLG-6, UJ-3, UJ-5, MLG-6 yang telah banyak ditanam petani di provinsi Jawa Timur dan Lampung (Tabel 2).

8 Secara umum, jenis ubikayu yang memiliki potensi hasil dan kadar pati tinggi, dianggap paling sesuai untuk bahan baku industri. Sebagai bahan baku industri, kadar HCN yang tinggi tidak menjadi masalah karena sebagian besar HCN akan hilang pada proses pencucian, pemanasan maupun pengeringan. Sifat fisik, seperti ukuran granula pati dan sifat kimia lainnya, seperti kadar amilosa/amilopektin yang berperan dalam proses gelatinisasi dan sifat amilografi, yang meliputi suhu dan waktu gelatinisasi serta viskositas puncak, belum banyak diteliti dalam kaitannya dengan produksi bioetanol. Pati dengan ukuran granula kecil dilaporkan memiliki daya serap air yang lebih baik dan lebih mudah dicerna oleh enzim (BIOTEC, 2003). Sementara rendemen glukosa yang dihasilkan, dipengaruhi oleh tinggi dan panjang rantai amilosa. Semakin panjang rantai amilosa akan dihasilkan rendemen gula yang semakin tinggi karena diduga berkaitan dengan kemudahan enzim α-amilase untuk memecah ikatan lurus 1,4 α glikosidik dibanding ikatan cabang 1,6 α glikosidik pada amilopektin (Richana et al., 2000). Pati dengan kadar amilosa tinggi lebih sesuai karena proporsi partikel pati tidak larutnya (insoluble starch particles) lebih rendah sehingga relatif lebih mudah dihidrolisis baik dengan asam maupun enzim. Oleh karena itu selain kadar pati, kadar gula total juga menentukan kesesuaiannya sebagai bahan baku etanol.

9 Tabel 2. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk bahan baku industri beserta karakteristiknya Karakteristik Varietas Tahun Umur Hasil Kadar Kadar dilepas (bln) umbi pati (% HCN Keterangan (Ton/ha) bb) (mg/kg) Adira 2 1978 8-12 22 41 124,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan penyakit layu Pseudomonas solanacearum Adira 4 1978 10 35 20-22 68,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum dan Xanthomonas manihotis UJ-3 2000 8-10 20-35 20-27 > 100,0 - Pahit- Sesuai untuk bahan baku industri- Agak tahan bakteri hawar daun (Cassava Bacterial Blight) UJ-5 2000 9-10 25-38 19-30 > 100,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri Agak tahan CBB (Cassava Bacterial Blight) Malang 4 2001 9 39,7 25-32 > 100,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.) -Adaptif terhadap hara sub-optimal Malang 6 2001 9 36,4 25-32 > 100,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.) -Adaptif terhadap hara sub-optimal Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010 2.3. Teknik Budidaya dan Syarat Pertumbuhan Ubikayu Ubikayu merupakan salah satu tanaman pangan yang dapat tumbuh dan berproduksi pada lingkungan dimana tanaman pangan yang lain seperti padi dan jagung tidak dapat tumbuh. Meskipun demikian, untuk dapat tumbuh, berkembang dan menghasilkan umbi dengan baik, ubikayu menghendaki kondisi lingkungan tertentu, baik kondisi lingkungan di atas permukaan tanah (iklim) maupun di bawah permukaan tanah. 2.3.1. Iklim Ubikayu merupakan tanaman tropis. Wilayah pengembangan ubikayu berada pada 30 o LU dan 30 o LS. Namun demikian, untuk dapat tumbuh, berkembang dan berproduksi, tanaman ubikayu menghendaki persyaratan iklim

10 tertentu. Tanaman ubikayu menghendaki suhu antara 18 o -35 o C. Pada suhu di bawah 10 o C pertumbuhan tanaman ubikayu akan terhambat. Kelembaban udara yang dibutuhkan ubikayu adalah 65% (Suharno et al., 1999). Namun demikian, untuk berproduksi secara maksimum tanaman ubikayu membutuhkan kondisi tertentu, yaitu pada dataran rendah tropis, dengan ketinggian 150 m di atas permukaan laut (dpl), dengan suhu rata-rata antara 25-27 o C, tetapi beberapa varietas dapat tumbuh pada ketinggian di atas 1500 m dpl (Anonim, 2003). Tanaman ubikayu dapat tumbuh dengan baik apabila curah hujan cukup, tetapi tanaman ini juga dapat tumbuh pada curah hujan rendah (< 500 mm), ataupun tinggi (5000 mm). Curah hujan optimum untuk ubikayu berkisar antara 760-1015 mm per tahun. Curah hujan terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya serangan jamur dan bakteri pada batang, daun dan umbi apabila drainase kurang baik (Anonim, 2003; Suharno et al., 1999). 2.3.2. Media Tanam Ubikayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah. Pada daerah di mana jagung dan padi tumbuh kurang baik, ubikayu masih dapat tumbuh dengan baik dan mampu berproduksi tinggi apabila ditanam dan dipupuk tepat pada waktunya. Sebagian besar pertanaman ubikayu terdapat di daerah dengan jenis tanah Aluvial, Latosol, Podsolik dan sebagian kecil terdapat di daerah dengan jenis tanah Mediteran, Grumusol dan Andosol. Tingkat kemasaman tanah (ph) untuk tanaman ubikayu minimum 5. Tanaman ubikayu memerlukan struktur tanah yang gembur untuk pembentukan dan perkembangan umbi. Pada tanah yang berat, perlu ditambahkan pupuk organik (Wargiono, 1979). Untuk memperbaiki struktur tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan menerapkan konservasi tanah untuk memperkecil peluang terjadinya erosi maka harus dilakukan pengolahan tanah. Pengolahan tanah berdasarkan jenis tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : 1. Tanah ringan atau gembur : tanah cukup dibajak atau dicangkul satu kali, kemudian diratakan dan dapat langsung ditanami. 2. Tanah agak berat : tanah dibajak atau dicangkul 1-2 kali, kemudian diratakan dan dibuat bedengan atau guludan, untuk selanjutnya ditanami.

11 3. Tanah berat dan berair : tanah dibajak atau dicangkul sebanyak dua kali atau lebih, kemudian dibuat bedengan atau guludan sekaligus sebagai saluran drainase. Penanaman dilakukan di atas guludan (Wargiono, 1979). Pada lahan miring atau peka terhadap erosi, pengolahan tanah harus dikelola dengan sistem konservasi, yaitu : 1. Tanpa olah tanah. 2. Pengolahan tanah minimal adalah pengolahan tanah secara larik atau individual. Pengolahan tanah ini efektif untuk mengendalikan erosi, tetapi hasil ubikayu pada umumnya rendah. 3. Pengolahan tanah sempurna dengan sistem guludan kontur. Pengolahan tanah sempurna didasarkan pada pencapaian hasil yang tinggi, biaya pengolahan tanah dan pengendalian gulma rendah serta tingkat erosi minimal. Dalam hal ini tanah dibajak dengan traktor 3-7 singkal piring atau secara tradisional (dengan ternak) sebanyak 2 kali atau satu kali yang diikuti dengan pembuatan guludan. Untuk lahan peka erosi, guludan juga berperan sebagai pengendali erosi, sehingga guludan dibuat searah kontur (Wargiono et al., 2006). Tabel 3. Efektivitas pengolahan tanah konservasi dan produksi Pengolahan tanah Hasil ubi segar (Ton/ha) Tanah tererosi (Ton/ha/tahun) Olah tanah minimal 15,0 7,6 Cangkul 1 kali 14,3 10,3 Bajak traktor 2 kali 19,0 66,8 Bajak traktor 1 kali + guludan kontur 25,4 30,8 Sumber : Suharno et al., 1999 2.3.3. Persiapan Bibit Tanaman ubikayu dibudidayakan dengan menggunakan stek batang. Perkecambahan stek tergantung pada kondisi varietas, umur tanaman, penyimpanan dan lingkungan. Teknik pengambilan stek : 1. Stek diambil dari batang bagian tengah tanaman ubikayu yang berumur 8-12 bulan. 2. Batang dapat digunakan sebagai stek apabila masa penyimpanannya kurang dari 30 hari setelah panen. Pada beberapa kultivar, seperti Rayong 3 dan Rayong 90, masa simpan stek selama 15 hari setelah panen.

12 3. Penyimpanan stek yang baik adalah dengan cara posisi batang tegak, disimpan di bawah naungan. 4. Panjang stek optimum adalah 20-25 cm, dengan jumlah mata tunas paling sedikit 10 mata. 5. Sebelum tanam, stek dapat diperlakukan dengan insektisida dan fungisida untuk mencegah serangan hama dan penyakit (Anonim, 2003). Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, maka stek harus dipilih dari tanaman yang sehat, diameter stek antara 2-3 cm dan umurnya seragam. Pada saat memotong stek, diusahakan kulit batang tidak terkelupas supaya tidak mudah kering dan daya tumbuhnya baik. 2.3.4. Pola Tanam Ubikayu dapat ditanam secara monokultur maupun tumpangsari. Pola monokultur umumnya dikembangkan dalam usahatani komersial atau usahatani alternatif pada lahan marjinal, di mana komoditas lain tidak produktif atau usahatani dengan input minimal bagi petani yang modalnya terbatas. Pola tumpangsari diusahakan oleh petani berlahan sempit, baik secara komersial maupun subsisten. Jarak tanam yang digunakan dalam pola monokultur ada beberapa macam, diantaranya adalah : 1. 1 m x 1 m (10.000 tanaman/ha), 2. 1 m x 0,8 m (12.500 tanaman/ha), 3. 1 m x 0,75 m (13.333 tanaman/ha), 4. 1 m x 0,5 m (20.000 tanaman/ha), 5. 0,8 m x 0,7 m (17.850 tanaman/ha), dan 6. 1 m x 0,7 m (14.285 tanaman/ha). Pemilihan jarak tanam ini tergantung dari jenis varietas yang digunakan dan tingkat kesuburan tanah. Untuk tanah-tanah yang subur digunakan jarak tanam 1 m x 1m; 1 m x 0,8 m; 1 m x 0,75 m maupun 1 m x 0,7 m. Sedangkan untuk tanah-tanah miskin digunakan jarak tanam rapat yaitu 1 m x 0,5 m, 0,8 m x 0,7 m.

13 Pola tumpangsari dilakukan dengan mengatur jarak tanam ubikayu sedemikian rupa sehingga ruang diantara barisan ubikayu dapat ditanami dengan tanaman lain (kacang-kacangan, jagung maupun padi gogo). Pengaturan jarak tanam ubikayu diistilahkan dengan double row (baris ganda). Ada beberapa pengaturan baris ganda pada ubikayu, diantaranya adalah : 1. Jarak tanam baris ganda 2,6 m Pada baris ganda 2,6 m ini, tanaman ubikayu ditanam dengan jarak tanam 0,6 m x 0,7 m x 2,6 m. Dimana 0,6 m merupakan jarak antar barisan dan 0,7 m merupakan jarak di dalam barisan, sedangkan 2,6 m merupakan jarak antar baris ganda ubikayu. Pada jarak antar baris ganda ubikayu ini dapat ditanami dengan tanaman jagung, padi gogo, kedelai, kacang tanah maupun kacang hijau. 2. Jarak tanam baris ganda 0,5 m x 1 m x 2 m Diantara baris tanaman ubikayu yang berjarak 2 m dapat ditanami dengan tanaman jagung, padi gogo, kedelai, kacang tanah maupun kacang hijau.

14 3. Jarak tanam baris ganda 0,5 m x 0,5 m x 4 m Diantara baris tanaman ubikayu yang berjarak 4 m tersebut dapat ditanami dengan tanaman jagung, padi gogo, kedelai, kacang tanah maupun kacang hijau. 4. Cara penanaman Waktu tanam pada MH I. Tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo ditanam dengan populasi 100%. Tanaman ubikayu ditanam 20 hari setelah tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo ditanam, dengan populasi 90% dari populasi monokultur. Jarak tanam ubikayu (60 x 70) x 260 cm. Setelah tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo yang ditanam pada MH I di panen, maka tersedia ruang di antara baris ganda ubikayu selebar 260 cm yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman kacangkacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau). Penanaman tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo kedua dilakukan pada MH II.

15 Kacang tanah atau kedelai atau kacang hijau ditanam sebanyak lima (5) baris dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm atau 35 cm x 20 cm, 1 biji/lubang (kacang tanah) atau 2 biji/lubang (kedelai atau kacang hijau), jarak tanam jagung 75 cm x 20 cm. Populasi sekitar 70% dari monokultur. Gambar 1. Tumpangsari ubikayu dengan kedelai, kacang tanah, kacang hijau, jagung dan padi gogo (Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010).

16 2.3.5. Pemupukan Waktu tanam ubikayu yang baik untuk lahan tegalan adalah pada awal musim penghujan (MH I), sedangkan pada lahan sawah tadah hujan adalah setelah panen padi (MH II), karena selama pertumbuhan vegetatif aktif (3-4 bulan pertama) ubikayu membutuhkan air. Untuk pertumbuhan selanjutnya ubikayu tidak terlalu banyak membutuhkan air. Penanaman ubikayu baik pada pola monokultur maupun tumpangsari dapat dilakukan segera setelah bibit dan lahan siap. Pada pola tumpangsari, ubikayu ditumpangsarikan dengan jagung dan tanaman kacang-kacangan seperti dengan kedelai maupun kacang tanah. Pada pola tanam ini, ubikayu ditanam bersamaan atau sehari sesudahnya. Namun sekarang tersedia beberapa teknik budidaya dengan pola tumpangsari, antara lain tanaman kacang-kacangan ditanam 1-2 minggu sebelum atau sesudah tanam ubikayu. Ubikayu merupakan tanaman yang mampu berproduksi tinggi, tetapi juga cepat menguruskan tanah. Untuk mendapatkan hasil yang tinggi, diperlukan penambahan hara yang cukup tinggi juga, tergantung pada tingkat kesuburan tanahnya. Untuk tanah-tanah berat perlu ditambahkan pupuk organik yang ditujukan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Untuk pola tanam monokultur, pupuk yang dianjurkan adalah 200 kg Urea + 100 kg KCl + 100 kg SP-36/ha. Pemupukan dilakukan dua tahap, tahap pertama diberikan pada umur 1 bulan dengan dosis 100 kg Urea + 50 kg KCL + 100 kg SP-36/ha, sedangkan sisanya diberikan pada tahap kedua yaitu pada umur 3 bulan. Untuk pola tanam tumpangsari, dosis pupuk yang dianjurkan berbeda, ubikayu dosis yang digunakan adalah 200 kg Urea/ha, 100 kg SP36/ha, 100 kg KCl/ha, sedangkan jagung dosis yang digunakan adalah 300 kg Urea/ha, 100 kg SP36/ha, 100 kg KCl/ha. Kacang tanah, kedelai, kacang hijau, acuan dosis pemupukan seperti pada budidaya monokultur (50 kg urea, 100 kg SP36, 50 kg KCl per ha). Pemupukan diberikan saat tanam. Untuk lahan masam dapat ditambah dolomit 500 kg/ha. Pemupukan dilakukan dengan cara ditugal pada jarak 5-20 cm dari pangkal batang (Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010).

17 2.3.6. Hama Dan Penyakit Ubikayu Uret (Xylenthropus) Ciri : berada dalam akar dari tanaman. Gejala : tanaman mati pada yg usia muda, karena akar batang dan umbi dirusak. Pengendalian : bersihkan sisa-sisa bahan organik pada saat tanam dan atau mencampur sevin pada saat pengolahan lahan. Tungau merah (Tetranychus bimaculatus) Ciri : menyerang pada permukaan bawah daun dengan menghisap cairan daun tersebut. Gejala : daun akan menjadi kering. Pengendalian :menanam varietas toleran dan menyemprotkan air yang banyak. Bercak daun bakteri Penyebab : Xanthomonas manihotis atau Cassava Bacterial Blight/CBG. Gejala : bercak-bercak bersudut pada daun lalu bergerak dan mengakibatkan pada daun kering dan akhirnya mati. Pengendalian :menanam varietas yang tahan, memotong atau memusnahkan bagian tanaman yang sakit, melakukan pergiliran tanaman dan sanitasi kebun Layu bakteri (Pseudomonas solanacearum E.F. Smith) Ciri : hidup di daun, akar dan batang. Gejala : daun yang mendadak jadi layu seperti tersiram air panas. Akar, batang dan umbi langsung membusuk. Pengendalian : melakukan pergiliran tanaman, menanam varietas yang tahan seperti Adira 1, Adira 2 dan Muara, melakukan pencabutan dan pemusnahan tanaman yang sakit berat. Bercak daun coklat (Cercospora heningsii) Penyebab : cendawan yang hidup di dalam daun. Gejala : daun bercakbercak coklat, mengering, lubang-lubang bulat kecil dan jaringan daun mati. Pengendalian : melakukan pelebaran jarak tanam, penanaman varietas yang tahan, pemangkasan pada daun yang sakit serta melakukan sanitasi kebun. Bercak daun konsentris (Phoma phyllostica) Penyebab : cendawan yang hidup pada daun. Gejala : adanya bercak kecil dan titik-titik, terutama pada daun muda. Pengendalian :memperlebar jarak tanam, mengadakan sanitasi kebun dan memangkas bagian tanaman yang sakit.

18 Gulma Sistem penyiangan/pembersihan secara menyeluruh dan gulmanya dibakar/dikubur dalam seperti yang dilakukan umumnya para petani Ubikayu dapat menekan pertumbuhan gulma. Namun demikian, gulma tetap tumbuh di parit/got dan lubang penanaman. Khusus gulma dari golongan teki (Cyperus sp.) dapat di berantas dengan cara manual dengan penyiangan yang dilakukan 2-3 kali permusim tanam. Penyiangan dilakukan sampai akar tanaman tercabut. Secara kimiawi dengan penyemprotan herbisida seperti dari golongan 2,4-D amin dan sulfonil urea. Penyemprotan harus dilakukan dengan hati-hati. Sedangkan jenis gulma lainnya adalah rerumputan yang banyak ditemukan di lubang penanaman maupun dalam got/parit. Jenis gulma rerumputan yang sering dijumpai yaitu jenis rumput belulang (Eleusine indica), tuton (Echinochloa colona), rumput grintingan (Cynodondactilon), rumput pahit (Paspalum distichum), dan rumput sunduk gangsir (digitaria ciliaris). Pembasmian gulma dari golongan rerumputan dilakukan dengan cara manual yaitu penyiangan dan penyemprotan herbisida berspektrum sempit misalnya Rumpas 120 EW dengan konsentrasi 1,0-1,5 ml/liter. 2.3.7. Pemeliharaan Untuk mendapatkan pertanaman ubikayu yang sehat, baik, seragam dan berproduksi tinggi, harus dilakukan pemeliharaan, meliputi penyulaman, penyiangan, pembumbuhan dan pemberantasan hama dan penyakit. Penyulaman dilakukan segera setelah diketahui adanya tanaman yang tidak tumbuh, paling lambat 1 minggu setelah tanam. Kelemahan ubukayu adalah pada fase pertumbuhan awal tidak mampu berkompetisi dengan gulma. Periode kritis atau periode tanaman harus bebas gangguan gulma adalah antara 5-10 minggu setelah tanam. Bila pengendalian gulma tidak dilakukan selama periode kritis tersebut, produktivitas dapat turun sampai 75% dibandingkan kondisi bebas gulma (Wargiono, 2007). Oleh karena itu, pengendalian gulma dilakukan pada 2 tahap, yaitu pada umur 4-5 minggu setelah tanam dan 8 minggu setelah tanam. (Anonim, 2007)

19 Pembumbunan dilakukan untuk menggemburkan tanah. Pembumbunan dilakukan pada umur 2-4 bulan (Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010). Pada umur ini tanaman ubikayu mulai melakukan pembentukan umbi, sehingga dibutuhkan tekstur tanah yang gembur untuk untuk perkembangan umbinya. Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan apabila terjadi serangan. Hama yang biasa dijumpai pada tanaman ubikayu adalah hama tungau merah yang muncul pada musim kemarau. Pemberantasan terhadap hama ini dilakukan dengan cara fumigasi menggunakan larutan belerang dicampur dengan larutan sabun. Untuk penyakit yang biasa dijumpai adalah Xanthomonas manihotis (jenis bakteri), gejala serangan : daun mengalami bercak-bercak seperti terkena air panas. Pemberantasan dilakukan dengan menggunakan bakterisida dan penyakit bercak daun (Cercospora henningsii) yang sering dijumpai menyerang daun yang sudah tua. 2.3.8. Panen Panen tergantung dari umur masing-masing varietas. Varietas ubikayu yang berumur genjah panen dapat dilakukan pada umur 6-8 bulan, sedangkan varietas berumur dalam dilakukan pada umur 9-12 bulan. Namun secara umum, panen dilakukan pada umur antara 8-12 bulan. 2.4. Potensi Ubikayu di Indonesia Tanaman ubikayu tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, namun penyebarannya terbanyak di pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 50% dan 32% dari total luas panen ubikayu di Indonesia. Di Sumatera terbanyak di Lampung (26,6 %), di Jawa terbanyak di jawa Timur (18,7 %) dan Jawa Tengah (16,7 %). Penyebaran tanaman ubikayu yang lebih rinci disajikan pada Tabel 4.

20 Tabel 4. Sebaran Tanaman Ubikayu di Indonesia Pulau Provinsi Luas Tanam (%) Sumatera Nangroe Aceh Darussalam 0,27 Sumatera Utara 3,35 Sumatera Barat 0,47 Riau 0,34 Jambi 0,26 Sumatera Selatan 0,77 Bengkulu 0,43 Lampung 30,37 Bangka Belitung 0,09 Kepulauan Riau 0,06 Jawa DKI Jakarta 0,00 Jawa Barat 9,22 Jawa Tengah 14,30 DaerahIstimewaYogyakarta 5,24 Jawa Timur 16,48 Banten 0,53 Kalimantan Kalimantan Barat 0,79 Kalimantan Tengah 0,36 Kalimantan Selatan 0,56 Kalimantan Timur 0,45 Sulawesi Sulawesi Utara 0,42 Sulawesi Tengah 0,52 Sulawesi Selatan 1,89 Sulawesi Tenggara 1,39 Gorontalo 0,04 Bali dan Nusa Tenggara Sulawesi Barat 0,23 Bali 0,86 Nusa Tenggara Barat 0,51 Nusa Tenggara Timur 7,96 Maluku dan Papua Maluku 0,62 Maluku Utara 0,82 Papua 0,13 Papua Barat 0,25 Sumber : Departemen pertanian (2011) Indonesia merupakan negara produsen ubikayu no. 4 terbesar di dunia setelah Nigeria, Brasilia dan Thailand. Luas lahan yang ditanami ubikayu di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2001 seperti yang tertera dalam data statistik pada Tabel 5, namun produksi umbi ubikayu tetap mengalami peningkatan. Dengan demikian, produktivitas tanaman ubikayu di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, Peningkatan ini mungkin

21 disebabkan tersedianya bibit yang lebih baik serta teknik budidaya yang lebih baik juga. Tabel 5. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di Indonesia Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ku/ha) 2005 1.213.460 19.321.183 159,00 2006 1.227.459 19.986.640 163,00 2007 1.201.481 19.988.058 166,36 2008 1.204.933 21.756.991 180,57 2009 1.175.666 22.039.145 187,46 2010 1.183.047 23.918.118 202,17 2011 1.184.696 (1) 24.044.025 (1) 202,96 (1) 2012 1.178.101 (4) 23.712.029 (4) 201,27 (4) (1) : angka ramalan I (4) : angka sementara Sumber : Departemen Petanian (2011) Provinsi dengan luas lahan tanaman ubikayu, produksi umbi dan produktivitas ubikayu tertinggi di Indonesia adalah provinsi Lampung. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di provinsi ini pada tahun 2008 masing-masing mencapai 316.19 Ha, 7.649.536 ton dan 242,06 kuintal/ha. Data statistik pada Tabel 6 menunjukkan sepuluh provinsi dengan luas lahan tanaman ubikayu terbesar di Indonesia, sedangkan Tabel 7 dan Tabel 8 masing-masing menunjukkan sepuluh provinsi dengan tingkat produksi dan produktivitas tertinggi. Dari data tersebut tampak bahwa tingkat produktivitas tertinggi dicapai oleh provinsi di Sumatera, kemudian di Jawa dan di Sulawesi, sedangkan tingkat produktivitas di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kalimantan Barat rendah, sehingga walaupun luas panen dan produksinya masuk dalam 10 besar, produktivitasnya tidak masuk ke dalam 10 besar.

22 Tabel 6. Luas Panen Tanaman Ubikayu (Ha) di 10 Provinsi di Indonesia Tahun 2008 2012 Tahun Provinsi 2008 2009 2010 2011 (4) 2012 (1) Lampung 318.969 309.047 346.217 368.096 357.744 Jawa Timur 220.394 207.507 188.158 199.407 194.142 Jawa Tengah 191.053 190.851 188.080 173.195 168.501 Jawa Barat 109.354 110.827 105.023 103.244 108.678 NTT 87.906 89.154 102.460 96.705 93.764 DIY 62.543 63.275 62.563 62.414 61.769 Sumatera Utara 37.941 38.611 32.402 37.929 39.467 Sulawesi Selatan 29.796 26.944 25.010 20.268 22.315 Kalimantan Barat 13.677 11.524 11.913 10.783 9.303 Sulawesi Tenggara 12.190 12.353 9.556 9.130 16.319 (1) : angka ramalan I (4) : angka sementara Sumber : Departemen Petanian (2011) Tabel 7. Produksi ubikayu (ton) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2008 2012 Tahun Provinsi 2008 2009 2010 2011 (4) 2012 (1) Lampung 7.721.882 7.569.178 8.637.594 9.193.676 9.199.157 Jawa Timur 3.533.772 3.222.637 3.667.058 4.032.081 3.205.768 Jawa Tengah 3.325.099 3.676.809 3.876.242 3.501.458 3.459.235 Jawa Barat 2.034.854 2.086.187 2.014.402 2.058.785 2.204.542 NTT 928.974 913.053 1.032.538 962.128 903.089 DIY 892.907 1.047.684 1.114.665 867.596 918.907 Sumatera Utara 736.771 1.007.284 905.571 1.091.711 1.202.094 Sulawesi Selatan 504.198 434.862 601.437 370.125 444.069 Kalimantan Barat 193.804 166.584 177.807 141.550 141.915 Sulawesi Tenggara 217.727 226.927 163.350 164.850 300.204 (1) : angka ramalan I (4) : angka sementara Sumber : Departemen Petanian (2011)

23 Tabel 8. Produktivitas ubikayu (kuintal/ha) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2008 2012 Tahun Provinsi 2008 2009 2010 2011 (4) 2012 (1) Lampung 242,09 244,92 249,48 249,76 257,14 Jawa Timur 160,34 192,65 194,89 202,20 165,12 Jawa Tengah 174,04 155,30 206,10 202,17 205,29 Jawa Barat 186,08 188,24 191,81 199,41 202,85 NTT 105,68 165,58 100,77 99,49 96,32 DIY 142,77 260,88 178,17 139,01 148,77 Sumatera Utara 194,19 102,41 279,48 287,83 304,58 Sulawesi Selatan 169,22 161,39 240,48 182,62 199,00 Kalimantan Barat 141,70 144,55 149,25 131,27 152,55 Sulawesi Tenggara 178,61 183,70 170,94 180,56 183,96 (1) : angka ramalan I (4) : angka sementara Sumber : Departemen Petanian (2011) 2.5. Pemanfaatan Ubikayu sebagai Bioetanol Ada beberapa alasan digunakannya ubikayu sebagai bahan baku bioenergi, khususnya bioetanol, di antaranya adalah ubikayu sudah lama dikenal oleh petani di Indonesia; tanaman ubikayu tersebar di 55 kabupaten dan 33 provinsi; ubikayu merupakan tanaman sumber karbohidrat karena kandungan patinya yang cukup tinggi; harga ubikayu di saat panen raya seringkali sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol diharapkan harga ubikayu lebih stabil; ubikayu akan menguatkan security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan; ubikayu toleran terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah, mampu berproduksi baik pada lingkungan sub-optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih baik pada lingkungan sub-optimal dibandingkan dengan tanaman lain (Prihandana et al., 2007). Tabel 9. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi Jenis Tumbuhan Produksi Minyak Ekivalen Energi (Liter per Ha) (kwh per Ha) kelapa sawit 3.600-4.000 33.900-37.700 jarak pagar 2.100-2.800 19.800-26.400 biji kemiri 1.800-2.700 17.000-25.500 tebu 2.450 16.000 jarak kepyar 1.200-2.000 11.300-18.900 ubikayu 1.020 6.600 Sumber : Martono dan Sasongko, 2007

24 Tabel 10. Konvensi biomasa menjadi bioethanol Biomasa (kg) Kandungan gula (Kg) Jumlah hasil bioethanol (Liter) Biomasa : Bioethanol Ubikayu 1.000 250-300 166,6 6,5 : 1 Ubi jalar 1.000 150-200 125 8 : 1 Jagung 1.000 600-700 400 2,5 : 1 Sagu 1.000 120-160 90 12 : 1 Tetes 1.000 500 250 4 : 1 Sumber : Martono dan Sasongko, 2007 Selama ini dikenal ada dua jenis ubikayu, yaitu ubikayu manis dan ubikayu pahit. Kriteria manis dan pahit biasanya berdasarkan kadar asam sianida (HCN) yang terkandung dalam umbi ubikayu. (Darjanto dan Muryati, 1980) membagi ubikayu menjadi tiga golongan sebagai berikut : a. Golongan yang tidak beracun (tidak berbahaya), mengandung HCN 20-50 mg per kg umbi. b. Golongan yangberacun sedang, mengandung HCN 50 100 mg per kg umbi. c. Golongan yang sangat beracun, mengandung HCN lebih besar dari 100 mg per kg umbi. Menurut (Grace, 1977), kandungan asam sianida semula diperkirakan berhubungan dengan varietas ubikayu, namun kemudian ternyata juga bergantung pada kondisi pertumbuhan, tanah, kelembaban, suhu dan umur tanaman. Komposisi kimia tepung dan pati ubikayu jenis pahit dan manis ternyata hampir sama, kecuali kadar serat dan kadar abu pada tepung ubikayu manis lebih tinggi dari tepung ubikayu pahit (Rattanachon et al., 2004). Selanjutnya (Rattanachon et al., 2004) menerangkan bahwa viskositas tepung dan pati ubikayu tergantung varietasnya, dan tidak ada hubungannya dengan kriteria manis atau pahit. Komposisi kimia ubikayu disajikan pada Tabel 11. Umbi ubikayu dengan kadar pati yang cukup tinggi (31%) merupakan bahan yang potensial sebagai bahan baku penghasil bioetanol. Pati yang terdapat dalam pati dihidrolisis menjadi glukosa, selanjutnya glukosa difermentasi menjadi etanol. Secara teoritis 1 g pati menghasilkan 1,11 g glukosa atau 0,567 g etanol. Dengan demikian, dari 1 ton ubikayu basah (kadar air 62,8%) dengan kandungan pati sebesar 31%, secara teoritis dapat dihasilkan gula sebanyak 344 kg atau etanol sebanyak 195

25 kg. Pada Tabel 12 dapat diketahui potensi etanol yang dihasilkan dari empat varietas unggul ubikayu di Indonesia. Varietas tersebut berpotensi menghasilkan 4,35 4,70 liter etanol per kg ubikayu segar. Kadar amilosa pati ubikayu berkisar 17 18% (Rattanachon et al., 2004). Laporan lain menyebutkan kadar amilosa pati ubikayu sekitar 14 24% (Mbougueang et al., 2008). Suhu gelatinisasi tepung ubikayu 85 89,1 o C (Owuamanam, 2007), sedangkan suhu gelatinisasi pati ubikayu 59 87 o C (Mbougueang, et al., 2008). Tabel 11. Komposisi kimia umbi ubikayu Komponen Persentase Komponen Persentase Air (%) 62,8 Mineral (mg/100g) Energi (kj 100/g) 58,0 Kalsium 20 Protein (%) 0,53 Kalium 302 Lemak (%) 0,17 Fosfor 46 Pati (%) 31 Magnesium 30 Gula (%) 0,83 Besi 0,23 Serat (%) 1,48 Abu (%) 0,84 Sumber : Bradburry and Holloway, 1988 in Westby (2002) Tabel 12. Komposisi kimia, rasio fermentasi, dan angka konversi menjadi bioetanol 96% dari beberapa varietas ubikayu No. Varietas K. Bahan Kering (%) K. Gula Total (% bb) K. Pati (% bk) R. Fermentasi (%)* 1 Adira-4 39,51 40,93 80,31 89,76 4,45 2 Malang-6 45,07 39,12 80,46 89,35 4,68 3 UJ-3 41,34 36,22 79,57 95,97 4,70 4 UJ-5 46,31 43,47 80,24 86,44 4,35 Keterangan : * Fermentasi ubikayu segar menjadi bioetanol dengan kadar 7-11% ** Etanol dengan kadar 96% (efisiensi distilasi dianggap 95%) Sumber : Ginting et al. (2006) diacu dalam Prihandana et al. (2007). Konversi Ubi Bioetanol (kg/l)** Prospek ubikayu sebagai bahan baku bioetanol di Indonesia akan lebih jelas terlihat bila dilakukan Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment) terhadap produksi etanol dari ubikayu di Indonesia. Hasil analisis ini tidak hanya memberikan gambaran yang lengkap mengenai produksi dan penggunaan etanol, namun juga membantu mengidentifikasi beberapa bidang tertentu dimana diperlukan inovasi teknologi atau kebijakan strategis agar alternatif energi ini praktis dan layak. Ada dua parameter utama yang dikaji pada proses produksi etanol sebagai energi alternatif, yaitu energi dan kinerja lingkungan. Berdasarkan

26 Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment) yang dilakukan di Thailand, produksi etanol dari ubikayu memberikan nilai positif terhadap lingkungan. Penggunaannya dalam bentuk E10 dalam keseluruhan daur hidupnya menurunkan beberapa beban lingkungan. Penurunan beban lingkungan relatif terhadap bahan bakar konvensional adalah 6,1% untuk penggunaan energi fosil, 6,0% untuk potensi pemanasan global, 6,8% untuk asidifikasi, dan 12,2% untuk pengayaan nutrisi. Jika pada proses produksi etanol juga digunakan biomassa sebagai pengganti bahan bakar fosil, maka keseluruahn daur hidup energi dan kinerja lingkungan akan lebih baik pula. 2.6. Tanah dan Lahan Tanah adalah bahan mineral yang tidak padat terletak di permukaan bumi, yang telah dan akan tetap mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktorfaktor genetik dan lingkungan yang meliputi bahan induk, iklim, organisme, dan topografi pada suatu periode waktu tertentu (Hanafiah, 2007). Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibatakibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk bagian yang telah dipengaruhi oleh berbagai akivitas flora, fauna, dan manusia baik di masa lalu maupun masa sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu (Djaenudin et al., 2003). Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan. 2.6.1. Pengertian Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau

27 kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi kesesuaian lahan adalah proses penilaian tampilan atau keragaan (performance) lahan jika digunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim dan aspek lahan lainnya, agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dari setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lain didalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan misalnya : peternakan, perikanan, dan kehutanan (Djaenudin et al., 2003). Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Hasil evaluasi lahan juga akan memberikan informasi atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang akan diperoleh (Djaenudin et al., 2003). Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya akan menimbulkan kerusakan-kerusakan pada lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi lahan dapat dilakukan dengan pendekatan dua tahap dan pendekatan pararel. Pendekatan dua tahap terdiri atas tahapan pertama adalah evaluasi lahan secara fisik dan tahapan kedua secara ekonomi. Kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi pada pendekatan paralel dilakukan secara bersamaan (FAO, 1976). 2.6.2. Kaidah Evaluasi Kesesuaian Lahan Kaidah klasifikasi kesesuaian lahan (land suitability rules) adalah aturan yang harus diikuti dalam evaluasi lahan. Aturan tersebut disusun dan ditetapkan menjadi suatu sistem evaluasi lahan. Sistem yang ditetapkan merupakan

28 kesepakatan tentang kaidah yang akan dipakai dalam evaluasi lahan. Kaidahkaidah tersebut dapat dirubah, akan tetapi harus didasarkan pada alas an-alasan yang tepat dan disepakati oleh pakar evaluasi lahan yang dapat berasal dari berbagai disiplin ilmu, seperti : perencana pertanian, ilmu tanah, agronomi, dan lain- lain. Dalam kaidah klasifikasi kesesuaian lahan perlu ditetapkan hal- hal berikut : (1) Jumlah kelas kesesuaian lahan. (2) Pengharkatan masing-masing kelas kesesuaian lahan, jumlah dan jenis parameter yang dinilai. (3) Pengharkatan (rating) terhadap parameter yang dinilai. (4) Kisaran produksi yang diharapkan untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan pada tingkat pengelolaan tertentu, serta produksi optimalnya. (5) Sistim dan prosedur dalam evaluasi lahan, asumsiasumsi misal : data, tingkat pengelolaan, dan lain- lain (Djaenudin et al., 1994). 2.6.3. Asumsi-asumsi Dalam Evaluasi Lahan Asumsi-asumsi dalam evaluasi lahan menurut (Djaenudinet al., 2003) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : menyangkut areal proyek; dan menyangkut pelaksanaan evaluasi lahan atau intepretasi serta waktu berlakunya dari hasil evaluasi lahan. Beberapa contoh asumsi yang ditetapkan untuk evaluasi lahan secara kuantitatif fisik, adalah : 1. Data tanah yang digunakan hanya terbatas pada informasi atau data dari satuan lahan atau satuan peta tanah. 2. Reliabilitas data yang tersedia : rendah, sedang, tinggi. 3. Lokasi penelitian atau daerah survei. 4. Kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi. 5. Infrastruktur dan aksesibilitas serta fasilitas pemerintah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi. 6. Tingkat pengelolaan atau manajemen dibedakan atas 3 tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. 7. Pemilikan tanah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi. 8. Evaluasi lahan dilaksanakan secara kualitatif, kuantitatif fisik atau kuantitatif ekonomi.

29 9. Usaha perbaikan lahan untuk mendapatkan kondisi potensial dipertimbangkan dan disesuaikan dengan tingkat pengelolaannya. 10. Aspek ekonomi hanya dipertimbangkan secara garis besar. 2.6.4. Kualitas Lahan Menurut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007), kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, dimana satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa karakteristik lahan. Kualitas lahan adalah sifatsifat pengenal yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Dalam evaluasi lahan sering kualitas lahan tidak digunakan tetapi langsung menggunakan karakteristik lahan, karena keduanya dianggap sama nilainya dalam evaluasi (Driessen, 1997) & PPT, 1983, dalam Djaenudin et al., 2003). Kualitas lahan dapat bersifat positif yaitu dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi suatu penggunaan, akan tetapi dapat juga memberikan pengaruh negatif dengan menimbulkan kerugian-kerugian atau dengan kata lain merupakan faktor penghambat atau pembatas terhadap penggunaan lahan tertentu. Kualitas lahan dapat berpengaruh terhadap satu atau lebih dari jenis penggunaan lahannya. Begitu pula sebaliknya penggunaan lahan dipengaruhi oleh kualitas lahan. 2.6.5. Karakteristik Lahan Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi, contohnya kemiringan lereng dan curah hujan. Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi ada yang sifatnya tunggal dan ada yang sifatnya lebih dari satu karena mempunyai interaksi satu sama lainnya. Dalam interpretasi perlu mempertimbangkan atau membandingkan lahan dengan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan, misalnya saja ketersediaan air sebagai kualitas lahan ditentukan dari bulan kering dan curah hujan rata-rata tahunan, tetapi air yang dapat diserap tanaman tentu tergantung pula pada kualitas lahan lainnya, seperti kondisi drainase atau media perakaran, antara lain tekstur

30 tanah dan kedalaman zone perakaran tanaman yang bersangkutan (Djaenudin et al., 2003). Karakteristik lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta topografi/elevasi. Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah (SPT) dari peta tanah, yang meliputi : bentuk wilayah/lereng, drainase tanah, kedalaman tanah, tekstur tanah (lapisan atas 0-30 cm, dan lapisan bawah 30-50 cm), ph tanah, KTK liat, salinitas, kandungan pirit, banjir/genangan dan singkapan permukaan (singkapan batuan di permukaan tanah). Data iklim terdiri dari curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara diperoleh dari stasiun pengamat iklim. Data iklim juga dapat diperoleh dari peta iklim yang sudah tersedia, misalnya peta pola curah hujan, peta zona agroklimat atau peta isohyet. Peta-peta iklim tersebut biasanya disajikan dalam skala kecil, sehingga perlu lebih cermat dalam penggunaannya untuk pemetaan atau evaluasi lahan skala yang lebih besar, misalnya skala semi detail (1:25.000-1:50.000). Suhu udara didapatkan dari stasiun pengamat iklim di lokasi yang akan dievaluasi atau diestimasi dengan Persamaan (Braak, 1928) jika data tidak tersedia (Ritung et al., 2002). 2.6.6. Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah penilaian dan pengelompokan atau proses penilaian atau pengelompokan lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian absolut lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Kesesuaian sebagai kenyataan adaptabilitas atau kemungkinan penyesuaian sebidang lahan bagi suatu macam penggunaan tertentu (Arsyad, 2000). Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan lahan (land capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan lahan secara umum yang dapat diusahakan disuatu wilayah. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah, maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi (Djaenudin et al., 2003).

31 Menurut kerangka FAO (1976) dalam Djaenudin et al., (2003) dikenal dua macam kesesuaian lahan, yaitu : kesesuaian lahan kualitatif dan kuantitatif. Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual maupun potensial, atau kesesuaian lahan potensial dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam istilah kualitatif, tanpa perhitungan yang tepat baik biaya atau modal maupun keuntungan. Klasifikasi ini didasarkan hanya pada fisik lahan. Kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan tidak hanya pada sifat fisik lahan tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi penggunaan lahan sekarang (present land use), tanpa masukan perbaikan. Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut : 1. Ordo : Menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan tergolng tidak sesuai (N). 2. Kelas : Menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan kedalam tiga kelas, yaitu : Kelas S1, (Sangat Sesuai) : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan. Kelas S2, (Cukup Sesuai) : Lahan mempunyai faktor pembatas yang mempengaruhi produktivitasnya, memerlukan tambahan input, biasanya dapat diatasi petani sendiri. Kelas S3, (Sesuai Marjinal) : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat dan berpengaruh terhadap produktivitas, memerlukan tambahan input yang lebih banyak dari Kelas S2, petani tidak mampu mengatasi sendiri. Lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) dibedakan kedalam dua kelas, yaitu :

32 Kelas N1, (Tidak Sesuai Saat Ini) : Lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat tetapi masih mungkin diatasi dengan biaya yang sangat besar. Kelas N2, (Tidak Sesuai Permanen) : Lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat atau sulit diatasi sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu penggunaan secara lestari. 3. Subkelas : Menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing- masing kelas. Kelas kesesuian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Dalam satu subkelas dapat mempunyai lebih dari satu faktor pembatas; untuk itu pembatas yang paling dominan dituliskan paling depan. Kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan dapat diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai dengan peranan faktor pembatas. 4. Unit : menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang diperlukan dalam pengelolaan didalam sub kelas. Satuan-satuan kesesuaian lahan berbeda satu dengan yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dan pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan detil dari pembataspembatasnya. 2.6.7. Persyaratan Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan (Land Use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Arsyad, 2000). Persyaratan penggunaan lahan adalah sekelompok kualitas lahan yang diperlukan oleh suatu tipe penggunaan lahan agar dapat berproduksi dengan baik (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Persyaratan penggunaan lahan diperlukan untuk memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi, persyaratan penggunaan lahan dikaitkan dengan kualitas lahan dan karakteristik lahan. Persyaratan karakteristik lahan masing-masing komoditas pertanian umumnya berbeda, tetapi ada sebagian yang sama sesuai dengan persyaratan tumbuh komoditas tersebut (Djaenudin et al.,2003).

33 2.7. Metode Penarikan Garis Batas (Boundary Line Methods) Boundary line methods adalah metode penarikan batas, dimana garis pembungkus diagram sebar menunjukan hubungan antara produksi dan kualitas lahan. Garis tersebut membatasi data aktual lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis pembungkus tersebut. Garis batas ini menggambarkan batas yang dapat terjadi pada produksi optimum dengan faktor-faktor pertumbuhan tertentu dan dapat digunakan untuk menetapkan kualitas lahan yang sesuai untuk menetapkan produksi optimun. Diagram sebaran hasil yang direncanakan untuk mengatasi faktor pertumbuhan tanaman umumnya mencapai puncak pada tingkat optimum dari faktor pertumbuhan tertentu, dimana garis pembatas memisahkan data dari situasi nyata dan tidak nyata. Penggambaran seperti ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kemungkinan perolehan produksi maksimum yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor pertumbuhan tertentu yang dapat ditentukan (Walworth et al., 1986). 2.8. Metode Pembatasan Minimum Keseluruhan sifat fisik yang sesuai dari area lahan untuk tipe penggunaan lahan diambil dari yang paling membatasi kualitas lahan, yaitu kualitas lahan yang nilainya sangat buruk. Metode ini memiliki keuntungan yaitu sederhana. Hukum Minimum (Law of the minimum) : Jika tingkat kualitas-kualitas lahan tergambar menurut suatu standar satuan pengurangan hasil dan faktor- faktor hasil ini tidak saling berhubungan, maka tepat dengan metoda ini akan diperoleh kelas yang sesuai. Praktek FAO secara umum, S1 sesuai untuk 80-100% dari hasil yang optimum, S2 pada 40-80%, dan S3/N pada 20-40%. Tetapi beberapa faktor fisik tidak mempengaruhi hasil, mereka hanya membuat pengelolaan menjadi lebih sulit. Kerugiannya adalah metoda ini tidak membedakan antara area lahan dengan beberapa pembatasan dan hanya memiliki satu pembatasan, selama pembatasan maksimum sama (FAO, 1976 dalam Rossiter, 1994).

34 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian terdahulu yang dilakukan di Jawa Barat. Kegiatan yang dilakukan terdiri dari survei lapangan dan analisis laboratorium. Survei lapangan dan pengamatan produksi tanaman ubikayu dilakukan di sentra perkebunan budidaya ubikayu masyarakat provinsi Lampung. Pengamatan dilakukan pada beberapa titik yang mewakili daerah, antara lain : Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, dan Lampung Utara. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pengujian Balai Besar Pascapanen Pertanian (BBPP), Cimanggu, Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober 2010. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : contoh tanah komposit, data primer, data sekunder, bahan-bahan kimia untuk analisis tanah, bahan-bahan kimia untuk analisis pati, dan bahan-bahan kimia untuk analisis amilosa. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam pengambilan contoh tanah dan pengamatan sifat fisik lapang diantaranya adalah peta-peta Provinsi Lampung, kuisioner (Lampiran 1), bor belgi, meteran, pisau lapang, sekop, garpu, munsell soil color chart, kompas, abney level, altimeter, Global Positioning System (GPS), plastik, spidol, Software Microsoft Excel, Arcview 3.3, Arcgis 9, serangkaian peralatan laboratorium untuk analisis tanah dan ubikayu. 3.3. Metodologi Penelitian Kegiatan dimulai dengan mengumpulkan informasi awal berupa data-data yang sudah ada dan tersedia, baik yang tersimpan oleh IPB, BPPT, BMKG, BALITAN, dan instansi terkait lainnya. Pengamatan morfologi tanah dilakukan melalui pengambilan sampel tanah dengan melakukan pengamatan di lima titik secara acak pada setiap kebun. Kelas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan

35 derajat dan jumlah pembatas yang dimiliki lahan untuk tanaman yang tumbuh normal. Dalam hal ini sifat-sifat tanah dibandingkan dengan faktor kelas kesesuaian lahan bagi tanaman ubikayu. Tahapan pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan pendahuluan, survei dan pengamatan lapangan, analisis tanah dan tanaman di laboratorium, analisis data penetapan kriteria kesesuaian lahan, peneraan umur untuk produksi umbi dan biomas pati, model penarikan batas kriteria kesesuaian lahan, dan analisis usahatani. 3.3.1. Kegiatan Pendahuluan Kegiatan yang dilakukan meliputi pencarian pustaka, pengumpulan datadata agrobiofisik daerah penelitian, perijinan penelitian, dan mempersiapkan bahan dan alat yang akan dibawa ke lapang. 3.3.2. Survei dan Pengamatan Lapangan Kegiatan yang dilakukan pada survei dan pengamatan lapangan meliputi : 1. Pemetaan dimulai dari pengamatan morfologi tanah melalui pemboran, penentuan titik kordinat pengamatan menggunakan GPS (Lampiran 2), dan pengambilan sampel. 2. Melakukan pengambilan contoh tanah secara komposit. 3. Melakukan analisis parameter meliputi mengukur kemiringan lereng (%) dengan menggunakan abney level, mengukur kedalaman efektif yaitu sampai kedalaman akar menembus tanah, mengukur ketersediaan udara dengan melihat kondisi drainase tanah di lapangan. 4. Melakukan pengambilan sampel umbi, batang, daun, pucuk, dan buah dari ubikayu. 5. Melakukan pengamatan morfologi ubikayu. 6. Melakukan dokumentasi sampel pada titik pengamatan. 7. Mewawancarai petani dan pemilik kebun. 8. Mengisi form data dan wawancara yang telah disediakan (Lampiran 1).

36 3.3.3. Analisis Tanah dan Tanaman di Laboratorium Analis tanah dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah. Sifatsifat yang diamati, adalah : ph (Metode ph meter 1 :1), C-Organik (Metode Walkley and Black), KTK Tanah (Metode NH4OAC ph 7.0), N-Total (Metode Kjeldhal), P tersedia (Metode Bray 1) K-dd (Metode NH4OAC ph 7.0), Al-dd (Metode Titrasi), Tekstur (pasir, debu, liat). Bahan aktif yang ditetapkan adalah pati dan amilosa (Metdode Spektrofotometer). 3.3.4. Pembuatan Kriteria Kesesuaian Lahan Data-data yang sudah diperoleh selanjutnya akan dianalisis untuk membuat kriteria kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan akan disusun dari berbagai kriteria yang diamati dilapang dan juga dari konsep kriteria kesesuaian lahan yang sudah dikembangkan. Pengelompokan data ini dikaitkan dengan produksi dan kandungan pati yang sudah diketahui. Pembuatan model kesesuaian lahan meliputi studi kondisi ekologi dan pengembangan konsep/model. Sifat biofisik didapat dari lapang dan hasil laboratorium. Tahapan dalam Pembuatan kriteria, antara lain : Peneraan umur untuk produksi dan biomas pati, model penarikan batas kriteria kesesuaian lahan, dan analisis usahatani. 3.3.4.1. Peneraan Umur untuk Produksi Umbi dan Biomas Pati Umur tanaman tidak sama sedangkan produksi sebagai fungsi dengan umur, dimana produksi yang satu dengan yang lainnya akan diperbandingkan yaitu sebagai dependent variable. Oleh karena itu produksi perlu ditera dengan umur tanaman. Metode peneraan dipakai sebagai berikut : Y = f (t) Keterangan : Y = Produksi dugaan berdasarkan umur t = Umur (tahun atau bulan) Yteraan = Ÿ + (Yi Ýi) Keterangan : Yteraan = Produksi teraan

37 Yi = Produksi aktual pada umur ke- i Ÿ = Rataan umum Ýi = Produksi dugaan pada umur ke- i. 3.3.4.2. Model Penarikan Batas Kriteria Kesesuaian Lahan Data yang sudah diperoleh dari peneraan selanjutnya dianalisis untuk menentukan batas kriteria kelas kesesuaian lahan. Kelas Kesesuaian lahan akan disusun dari berbagai karakteristik lahan yang diamati di lapang. Sebaran data ini dikaitkan dengan produksi biomassa dan produksi bioaktif yang sudah dianalisis. Pembuatan model kesesuaian lahan diterapkan terhadap kedua produksi tersebut. Dengan demikian, hasil yang diperoleh terdiri dari dua kriteria, pertama berdasarkan produksi biomassa dan kedua berdasarkan produksi bahan aktif. Namun, kriteria dengan kualitas lahan terbaik yang akan dipilih agar dapat memenuhi keduanya, baik produksi maupun kualitas tanaman. Metode penarikan batas berdasarkan titik hadang garis sekat produksi dengan garis batas (boundary line) : 1. Diagram sebar hubungan antara produksi teraan dan karakteristik lahan dibungkus oleh garis batas dimana garis tersebut membatasi data aktual di lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis tersebut. 2. Garis tersebut ada kaitannya dengan peningkatan atau penurunan produksi sesuai kualitas atau karakteristik lahan yang sedang dinilai. 3. Batas penurunan produksi dari produksi maksimum untuk Kelas S1 adalah 80%, Kelas S2 sampai 60%, dan S3 adalah 28%, dimana 28% merupakan batas BEP produksi, sehingga produksi dibawah 28% dari maksimum data sudah tidak menguntungkan. 4. Perpotongan garis antara garis batas dan tingkat produksi yang diharapkan merupakan batas kriteria penilaian kualitas lahan. 3.3.4.3. Analisis Usahatani Analisis usahatani dihitung berdasarkan perkiraan analisis budidaya tanaman ubikayu seluas 1 Ha sampai tanaman menghasilkan. Perkiraan ini

38 digunakan untuk menentukan BEP (Break Event Point ) atau titik balik modal produksi tanaman ubikayu. Kondisi ini merupakan batas bawah produksi dari kelas kesesuian lahan Sesuai Marjinal (S3). 3.3.5. Perbandingan Kriteria Kesesuaian Lahan Kriteria kesesuaian lahan untuk ubikayu dievaluasi dengan membandingkan karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman yang telah dibuat pada penelitian sebelumnya di wiliyah Bogor dan sekitarnya oleh Hidayah (2011).

39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Lampung yang beribukota di Bandar Lampung. Penelitian meliputi areal dataran seluas 35.288,35 Km 2. Secara geografis, Provinsi Lampung terletak pada : 103 0 40 105 0 50 Bujur Timur dan 6 0 45 3 0 45 Lintang Selatan. Topografi Lampung dapat dibagi dalam 5 (lima) unit topografi, yakni : 1) daerah berbukit sampai bergunung dengan kemiringan berkisar 25%, dan ketinggian rata-rata 300 m di atas permukaan laut; 2) daerah berombak sampai bergelombang dengan kemiringannya antara 8% sampai 15% dan ketinggian antara 300 m sampai 500 m dari permukaan laut; 3) daerah dataran alluvial dengan kemiringan 0% sampai 3%; 4) daerah dataran rawa pasang surut dengan ketinggian ½ m sampai 1 m; serta 5) serta daerah river basin. Vegetasi daerah dengan topografi berbukit umumnya didominasi oleh hutan primer dan sekunder yang menghijau sepanjang tahun. Kelompok lainnya adalah daerah perbukitan rendah dan dataran sempit dengan ketinggian 300-500 meter dari permukaan laut, terbentang di bagian barat Kabupaten Lampung Selatan. Daerah ini merupakan penghasil kopi dan cengkeh serta palawija. Kelompok dataran dengan elevasi 25-75 meter dari permukaan laut di bagian timur Lampung membatasi kelompok lain di Pantai Timur yang meliputi daratan rawa-rawa (flat marshes) pasang surut dengan elevasi 0,5-1 meter dari permukaan laut. Sebagian besar lahan di Provinsi Lampung merupakan kawasan hutan yaitu mencapai 833.847 Ha atau 25,26%. Selain itu merupakan daerah perkebunan (20,92%); tegalan atau ladang (20,50%); daerah pertanian, dan pemukiman. Provinsi Lampung beriklim tropis humid. Kelembaban udara rata-rata daerah ini berkisar 80-88 %. Pada bulan Nopember sampai Maret angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut. Sedangkan pada bulan Juli sampai Agustus angin bertiup dari arah Timur dan Tenggara. Suhu udara daerah Lampung pada ketinggian 30-60 meter rata-rata berkisar antara 26-28 o C untuk suhu maksimum adalah 33 o C, sedangkan suhu minimum adalah 22 o C. Beberapa lokasi atau daerah yang mempunyai iklim sejuk adalah : Kota Liwa, daerah perkebunan kopi

40 & sayuran Sekincau Lampung Barat, dengan suhu sekitar 15-22 o C serta daerah Talang Padang & Gisting terletak di kaki Gunung Tanggamus Kabupaten Tanggamus (Pemda Provinsi Lampung, 2011). Pengamatan lapang terbagi menjadi beberapa titik mewakili daerah yang memiliki karakteristik lahan yang berbeda, antara lain : 4 titik di Lampung Tengah, 7 titik di Lampung Timur, 6 titik di Lampung Utara, dan 5 titik di Lampung Selatan. Selain memiliki karakteristk lahan yang berbeda daerah pengamatan yang dipilih merupakan sentra produksi ubikayu. 4.1.1. Lampung Tengah Lampung Tengah dengan ibukota Gunung Sugih meliputi areal dataran seluas 4.789,62 Km². Secara geografis Lampung Tengah terletak pada : 104 35-105 50 BT dan 04 30-05 15 LS. Memiliki batas wilayah, antara lain : Utara berbatasan dengan : Kabupaten Lampung Utara; Selatan berbatasan dengan : Kabupaten Pesawaran; Timur berbatasan dengan : Kabupaten Lampung Timur dan Kota Metro; Barat berbatasan dengan : Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Lampung Barat. Secara umum Lampung Tengah beriklim Tropis Humid, curah hujan cukup bervariasi, yaitu berkisar antara 2.000 4.000 mm/tahun (Lampiran 8), angin laut bertiup dari Samudera Indonesia dengan kecepatan rata-rata : 5.83 Km/ jam, dan temperatur rata-rata berkisar antara 26 C 28 C. Topografi Lampung Tengah dapat dibagi dalam 4 (empat) unit topografi, yakni : 1) daerah perbukitan sampai dengan pegunungan; 2) daerah dataran aluvial; 3) daerah Rawa Pasang surut; 4) daerah river basin, yaitu DAS Way Seputih dan Way Sekampung. Geologi daerah penelitian ini sebagian besar didominasi oleh formasi Kasai (Qtk) dan Terbaggi (Qpt) (Lampiran 9). Geomorfologi didominasi oleh Denudasional (Lampiran 10). Jenis tanah yang mendominasi adalah asosiasi Hapludoxs dan Dystrudepts (Lampiran 11). Ketinggian daratan rata-rata < 200 meter dpl. Kemiringan lereng rata-rata 0-3%.

41 4.1.2. Lampung Timur Lampung Timur dengan ibukota Sukadana meliputi areal dataran seluas 5.325.03 Km². Secara geografis Lampung Timur terletak pada : 104 15-105 20 BT dan 04 37-05 37 LS. Memiliki batas wilayah, antara lain : Utara berbatasan dengan : Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang; Selatan berbatasan dengan : Kabupaten Lampung Selatan; Timur berbatasan dengan : Laut Jawa; Barat berbatasan dengan : Kota Metro dan Kabupaten Lampung Tengah. Kabupaten Lampung Timur terbagi menjadi lima unit topografi, antara lain : 1) daerah perbukitan sampai dengan pegunungan ; 2) daerah berombak sampai bergelombang dgn kemiringan 8-15% pada ketinggian 50-200 m dpl.; 3) daerah Alluvial, ketinggian 25-75 m dpl, dengan kemiringan 0-3%; 4) daerah Rawa pasang surut, dengan ketinggian 0.5-1 m dpl; 5) daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Way Seputih, Way Sekampung dan Way Jepara. Ketinggian daratan di daerah ini rata-rata <200 meter dpl dan memiliki lereng rata-rata 0-3%. Temperatur rata-rata berkisar antara 23 C 34 C, Curah hujan 2.800 2.900 mm/tahun (Lampiran 8). Geologi daerah penelitian ini sebagian besar didominasi oleh formasi Qbs dan Terbanggi (Qpt) (Lampiran 9). Geomorfologi didominasi oleh Denudasional dan Vulkanik (Lampiran 10). Jenis tanah yang mendominasi adalah Asosiasi Hapludoxs & Dystrudepts dan Asosiasi Hapludults & Dystrudepts (Lampiran 11). 4.1.3. Lampung Utara Lampung Utara dengan ibukota Kotabumi meliputi areal dataran seluas 2.725.63 Km². Secara geografis Lampung Utara terletak pada : 104 30-105 08 BT dan 04 34-05 06 LS. Memiliki batas wilayah, antara lain : Utara berbatasan dengan : Kabupaten Way Kanan; Selatan berbatasan dengan : Kabupaten Lampung Tengah; Timur berbatasan dengan : Kabupaten Lampung Tengah; Barat berbatasan dengan : Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Way Kanan.

42 Kabupaten Lampung utara memiliki topografi yang merupakan rangkaian Bukit Barisan yang terdiri dari Lereng-lereng curam dan terjal (7% dari luas Kabupaten Lampung Utara) dengan ketinggian mulai dari 450-1.500 meter dpl. Kawasan tersebut ditutupi oleh vegetasi hutan primer/sekunder. Di bagian Timur tertutup vulkanis awan gelap, terbentang daerah persawahan dan perkebunan. Di bagian utara terdapat lapisan sedimen vulkanis dan celah (fisaves errution) yang menghasilkan minyak bumi di dalam 4 seri lapisan pelembang (Pelembang Bed) yang ditandai dengan singkapan endapan tufa masam. Temperatur rata-rata berkisar antara 30 C, Curah hujan 2300 2400 mm/tahun (Lampiran 8), curah hujan tertinggi di Kec. Bukit Kemuning dan terendah di Kecamatan Kotabumi Utara. Geologi daerah penelitian ini sebagian besar didominasi oleh formasi Palau Sebesi (Qhv) dan Kasai (Qtk) (Lampiran 9). Geomorfologi didominasi oleh Denudasional dan Vulkanik (Lampiran 10). Jenis tanah yang mendominasi adalah Asosiasi Hapludoxs & kandiudults dan Asosiasi Hapludoxs & Dystrudepts (Lampiran 11). 4.1.4. Lampung Selatan Lampung Selatan dengan ibukota Kalianda meliputi areal dataran seluas 2.109.74 Km². Secara geografis Lampung Selatan terletak pada : 105 08-105 45 BT dan 05 15-06º10 LS. Memiliki batas wilayah, antara lain : Utara berbatasan dengan : Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur; Selatan berbatasan dengan : Selat Sunda. Timur berbatasan dengan : Laut Jawa; Barat berbatasan dengan : Samudera Hindia. Kabupaten Lampung Selatan memiliki topografi yang dibagi menjadi 3 bagian : dataran rendah umumnya terletak di daerah sekitar pantai; Tanah rawa terletak di daerah-daerah pesisir pantai Timur, dan pantai Timur Palas; Dataran tinggi yang bergunung-gunung, hampir bagian terbesar terletak di sebelah Selatan. Curah hujan rata-rata 2100 2800 mm/tahun (Lampiran 8). Geologi daerah penelitian ini sebagian besar didominasi oleh formasi Lampung (QTI) (Lampiran 9). Geomorfologi didominasi oleh Denudasional dan Fluvial (Lampiran 10). Jenis tanah yang mendominasi adalah Asosiasi Hapludoxs &

43 Dystrudepts, Asosiasi Hapludoxs & Kandiudults, dan Asosiasi Hedraquents dan Sulfaquents (Lampiran 11). 4.2. Analisis Usahatani Analisis usahatani diperlukan agar mendapatkan titik impas atau Break Event Point. Hal ini berarti pada produksi tersebut usaha budidaya tanaman ubikayu tidak mengalami keuntungan maupun kerugian. Kondisi ini merupakan batas bawah produksi dari kelas kesesuian lahan Sesuai Marjinal (S3). Asumsi yang digunakan dalam usaha analisis ubikayu sebagai berikut : Tabel 13. Analisis Usahatani Ubikayu Provinsi Lampung Biaya Produksi Harga satuan Jumlah unit Biaya Total 1 Sewa lahan/ha Rp 3.500.000 1 Rp 3.500.000 2 Bibit/stek Rp 50 10.000 Rp 500.000 3 Pupuk - Organik ton/ha Rp 1.000.000 1.0 Rp 1.000.000 - Urea kg/ha Rp 2.000 200 Rp 400.000 - Sp-36 kg/ha Rp 2.500 100 Rp 250.000 - Kcl kg/ha Rp 3.500 150 Rp 525.000 4 Pestisida kg/ha Rp 50.000 2 Rp 100.000 5 Pajak dan peralatan Rp 500.000 1 Rp 500.000 6 Tenaga kerja - Pengolahan lahan per hari kerja Rp 30.000 70 Rp 2.100.000 - Penanaman per hari kerja Rp 30.000 15 Rp 450.000 - Pemupukan per hari kerja Rp 30.000 35 Rp 1.050.000 - Penyiangan dan pembubunan per hari kerja Rp 30.000 40 Rp 1.200.000 Jumlah Biaya Produksi Rp 11.575.000 Pendapatan Rata-rata produksi umbi aktual (ton/ha) Rp 800.000 21,98 Rp 17.581.091 Rata-rata produksi pati aktual (ton/ha) Rp 4.000.000 8,83 Rp 35.315.070 Produksi umbi teraan maksimum (ton/ha) 51,41 Rp 41.130.842 Produksi pati teraan maksimum (ton/ha) 13,77 Rp 11.016.934 Keuntungan Rp 29.555.842 Parameter Kelayan (B/C ratio) 2,55 BEP umbi (ton/ha) 14,47 BEP pati (ton/ha) 2,89 BEP umbi teraan maksimum (%) 28,14% BEP pati teraan maksimum (%) 21,01% Berdasarkan perhitungan analisis usahatani ubikayu yang disajikan pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa persentase kelas kesesuaian lahan Sesuai

44 Marjinal (S3) untuk produksi umbi dan pati tidak jauh berbeda, yaitu 28,14% dan 21,01%. Nilai tersebut didapatkan dari hasil perbandingan tingkat titik impas (BEP) dengan produksi teraan. 4.3. Hubungan antara Produksi dan Umur Contoh Tanaman Adanya keragaman antara umur contoh tanaman dan produksi, sedangkan produksi sebagai fungsi dengan umur, dimana produksi yang satu dengan yang lainnya akan diperbandingkan yaitu sebagai dependent variabel, maka produksi perlu ditera oleh umur tanaman. Hubungan antara produksi dan umur tanaman digambarkan pada diagram sebar yang tertera pada Gambar 2. Grafik hubungan ini didapatkan dari membandingkan data produksi aktual umbi dengan data sebaran umur (Lampiran 3). Setelah mendapatkan gafik hubungan produksi dan umur maka akan diketahui sebaran data yang diperoleh sehingga dapat diketahui garis fungsi dari sebaran data tersebut. Peneraan dilakukan untuk membangun model hubungan antara produktivitas ubikayu dengan karakteristik biofisik lingkungan. Produksi umbi (Ton/ha) 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 y = 4,439x 0,7676 R² = 0,056 0 2 4 6 8 10 Umur (bulan) Produksi umbi tera (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 (a) y = -0,483ln(x) + 25,061 R² = 5E-05 0 2 4 6 8 10 Umur (bulan) (b) Gambar 2. Hubungan Produksi Umbi Aktual (a) dan Teraan Ubikayu (b) dengan Umur Tanaman.

45 Produksi pati umbi (Ton/ha) Produksi pati tera (Ton/ha) 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 15,00 10,00 5,00 0,00 y = 0,6956x 2-8,2535x + 31,725 R² = 0,3611 0 2 4 6 8 10 Umur (bulan) (a) y = 0,0291ln(x) + 8,7714 R² = 3E-06 0 2 4 6 8 10 Umur (bulan) (b) Gambar 3. Hubungan Produksi Pati Aktual (a) dan Teraan (b) Ubikayu dengan Umur Tanaman. Dari Gambar 2a koefisien determinan R 2 sangat kecil namun cenderung produksi umbi dan pati dipengaruhi oleh umur dengan pola kurva kuadratik. Sedangkan Gambar 2b menunjukan produksi umbi yang telah ditera dengan umur, sehingga variasi produksi tidak dipengaruhi oleh umur namun dipengaruhi oleh faktor lingkungan semata. Dengan menggunakan persamaan y = 4,439x 0,7676 pada produksi, maka akan didapatkan produksi tera berdasarkan rumus : Yti = 24,12 + ( Yi 4,439x 0,7676 ) Yti = Produksi teraan ke- i Yi = Produksi aktual pada umur ke- i X = Umur (bulan) Begitu juga untuk produksi pati tera Gambar 3a, dengan menggunakan persamaan y = -0,483ln(x) + 25,061, maka didapat persamaan Yti = 8,83 + (Yi 0,483ln(x) - 25,061). Gambar 3b menunjukan produksi pati yang telah ditera

46 dengan umur. Hasil perhitungan produksi umbi dan pati teraan disajikan pada Lampiran 3. Untuk menentukan kualitas lahan yang dipersyaratkan untuk kesesuaian lahan, maka sekat produksi umbi untuk Kelas S1 (sangat sesuai) adalah = 80% dari produksi tera maksimum yaitu 41,13 ton/ha, sekat produksi untuk S2 (kelas cukup sesuai) adalah = 60% dari produksi tera maksimum yaitu 30,85 ton/ha, dan sekat produksi untuk S3 (kelas agak sesuai/sesuai marginal) adalah = 28,14% dari produksi maksimum yaitu 18,08 ton/ha. Sedangkan untuk sekat produksi pati Kelas S1 (sangat sesuai) adalah = 80% dari produksi tera maksimum yaitu 11,02 ton/ha, sekat produksi untuk S2 (kelas cukup sesuai) adalah = 60% dari produksi tera maksimum yaitu 8,26 ton/ha, dan sekat produksi untuk S3 (kelas agak sesuai/sesuai marginal) adalah = 21,01% dari produksi maksimum yaitu 7,26 ton/ha (Tabel 14). Kelas kesesuaian lahan didapatkan berdasarkan perhitungan analisis usahatani yang dibatasi oleh S3 (kelas kesesuian lahan Sesuai Marjinal) dengan nilai persentase umbi dan pati sebesar 28,14% dan 21,01%. Nilai tersebut didapatkan dari hasil perbandingan produksi teraan dengan tingkat titik impas (BEP). Tabel 14. Sekat Produksi Umbi dan Pati untuk Batas Kelas Kesesuaian Lahan Persentase Produksi Tera Ton/ha Kelas Kesesuaian Lahan Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 41.13 11.02 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 30.85 8.26 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 18.08 7.26 4.4. Pengembangan Model Kesesuaian Lahan Kualitas lahan yang akan dinilai dalam model kesesuaian lahan, yaitu : 1. Zona perakaran, meliputi : Tekstur. 2. Retensi hara, meliputi : KTK, ph tanah dan C-Organik. 3. Toxisitas, meliputi : Kejenuhan Al. 4. Ketersediaan hara, meliputi : P 2 O 5, N-Total dan K 2 O. 5. Kondisi terain, meliputi : Lereng. Model ini dikembangkan dari kerangka berpikir Walworth et al., (1986) yang menjelaskan bahwa para peneliti/ahli tanah Amerika telah mencoba selama

47 bertahun-tahun untuk mengidentifikasi dan mengukur faktor-faktor yang berhubungan dengan produksi tanaman. Mereka memiliki alasan jika suatu hubungan yang unik antara faktor tumbuh tunggal dengan hasil panen atau kualitasnya dapat ditentukan, maka dengan faktor yang optimal akan mendapatkan produksi tanaman yang jauh lebih baik. Akan tetapi, kebanyakan hubungan dengan penetapan nilai kritis untuk tujuan diagnosa seringkali berada pada kondisi-kondisi yang tidak berbeda yaitu hanya satu faktor tumbuh yang divariasikan sedangkan faktor lainnya sama. Oleh karena itu, penetapan dengan nilai kritis tidak bersifat universal untuk diterapkan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut digunakan persentase hasil (produksi relatif), karena kombinasi hasil dari tanah yang berbeda atau tempat yang berbeda lebih menunjukkan kompleksnya hubungan antara faktor tumbuh tanaman dengan lingkungan. Jika satu satuan tentang berbagai variasi faktor pertumbuhan yang dapat diatur pada banyak tempat, maka kumpulan data yang ditemukan dari pengamatan bervariasi dapat dihasilkan. Diagram sebaran hasil yang direncanakan untuk mengatasi faktor pertumbuhan tanaman untuk data seperti itu pada umumnya mencapai puncak pada tingkat optimum dari faktor tumbuhan tertentu. Hal tersebut harus cocok dengan garis yang membatasinya, dengan begitu dapat memisahkan data dari situasi nyata (yang mungkin diperoleh) dan tidak nyata (tidak mungkin diperoleh). Garis Batas (Boundary Line) ini yang kemudian membatasi suatu kasus. Penggambaran seperti ini akan sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kemungkinan perolehan produksi maksimum yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor pertumbuhan tertentu yang dapat ditentukan. Itu merupakan suatu hal yang sederhana untuk menempatkan puncak dari garis tersebut, dimana sesuai dengan tingkatan optimal dari faktor tumbuh yang sedang dinilai. Pada hubungan produksi umbi dan kualitas lahan maupun hubungan antara produksi biomassa pati dan kualitas lahan menunjukkan adanya keterkaitan yang bersifat sangat nyata (**), nyata (*) dan tidak nyata. Penentuan keterkaitan ini didasarkan pada jumlah nyata (N) pada masing-masing hubungan dan tabel nilainilai nyata r dan R dalam Steel dan Torrie (1991) dengan satu peubah bebas, dimana nilai R 2 tergantung dari banyaknya N.

48 Dalam menetapkan Kelas Kesesuaian Lahan untuk tanaman Ubikayu, diambil kriteria hubungan yang paling baik dari produksi terrain dan produksi pati (pati) dengan Zona Perakaran, Retensi Hara, Ketersediaan Hara dan Kondisi Terrain, yaitu kriteria yang dapat memenuhi kebutuhan minimal dari salah satu produksi. 4.4.1. Hubungan antara Produksi dan Zone Perakaran Hubungan antara produksi dan zone perakaran yaitu : kelas tekstur yang tertera pada Gambar 4. Berdasarkan hubungan antara produksi dengan kelas tekstur, didapat persamaan untuk produksi tera y = -0,483ln(x) + 25,061 dan persamaan produksi pati tera y = 0,0291ln(x) + 8,7714, sedangkan sekat produksi umbi untuk S1-S2 = 80%, S2-S3 = 60%, S3-N = 28%, dan sekat produksi pati untuk S1-S2 = 80%, S2-S3 = 60%, S3-N = 21%. Pola yang didapatkan dari hubungan produksi umbi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan dengan tekstur adalah parabola. Hal ini dikarenakan tekstur memiliki titik optimum. Untuk hubungan antara produksi dengan tekstur, pada pasir di dapat persamaan produksi tera y-left = 21,834ln(x) - 20,435 dan y-right = -0,8001x + 73,476, sedangkan persamaan produksi pati tera y-left = 1,4105x 2-19,89x + 77,629 dan y-right = -1,0466x + 77,525. Pada liat persamaan produksi tera y-left = 0,8695x + 2,8734 dan y-right = -0,0354x 2 + 2,7564x + 8,133 sedangkan persamaan produksi pati teranya y-left = 1,2395x 0,6721 dan y-right = -0,4016x + 35,323. Sekat batas untuk tekstur berdasarkan produksi umbi disajikan pada Tabel 15 dan 16.

49 Tabel 15. Selang nilai fraksi pasir dan liat untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu Persentase Fraksi Pasir (%) Kelas Kesesuaian Lahan Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 8 63 9 61 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 5 66 6 65 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 1 70 2 71 Persentase Fraksi Liat (%) Kelas Kesesuaian Lahan Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 29 65 12 64 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 18 73 9 72 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 13 76 5 75 Tabel 16. Selang nilai tekstur untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu Kelas Kesesuaian Lahan Sangat sesuai/cukup sesuai Cukup sesuai/sesuai marjinal Sesuai marjinal/ Tidak sesuai Persentase Kelas Tekstur Umbi Pati Umbi Pati C, SC, SiC, C, SC, SiC, S1/S2 80% 80% SiCL, Si, L, SiCL, Si, L, CL CL S2/S3 60% 60% SCL, SL SCL, SL S3/N 28% 21% LS, C, S LS, C, S Keterangan : C = Clay; L = Loam; S = pasir (Sand); Si = debu (Silt), SL = lempung berpasir (Sandy loam); pasir berlempung (Loamy Sand); SC = liat berpasir (Sandy Clay); SCL = Lempung Liat Berpasir; SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu.

50 Produksi umbi teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 y = 21,834ln(x) - 20,435 R² = 0,9809 y = -0,8001x + 73,476 R² = 0,9978 0 20 40 60 80 Pasir (%) Produksi pati teraan (Ton/ha) 15,00 10,00 5,00 0,00 (a) y = 1,4105x 2-19,89x + 77,629 R² = 0,9058 y = -1,0466x + 77,525 R² = 1 0 20 40 60 80 Pasir (%) (b) Gambar 4. Hubungan antara Produksi Umbi Tera (a) dan Produksi Pati (b) Tera dengan Tekstur Pasir Produksi umbi teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 y = 0,8695x + 2,8734 R² = 0,9974 y = -0,0354x 2 + 2,7564x + 8,133 R² = 0,9217 0 20 40 60 80 Liat (%) Produksi pati teraan (Ton/ha) 15,00 10,00 5,00 0,00 (a) y = 1,2395x 0,6721 R² = 0,9905 y = -0,4016x + 35,323 R² = 0,9724 0 20 40 60 80 Liat (%) (b) Gambar 5. Hubungan antara Produksi Umbi Tera (a) dan Produksi Pati (b) Tera dengan Tekstur Liat

51 4.4.2. Hubungan antara Produksi dan Retensi Hara Hubungan antara Produksi tanaman Ubikayu dan retensi hara seperti : C- organik, ph H 2 O, dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) ditunjukkan Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8. Dengan metode yang sama seperti yang diterapkan pada penetapan kriteria zona perakaran, maka didapatkan persamaan produksi tera untuk C-organik y = 7,2525x 2 + 28,925x - 16,578 dan produksi pati tera y = - 11,189x 2 + 40,369x - 23,754. Hasil dari perhitungan mendapatkan sekat batas produksi tera S1 dan S2 untuk C-organik adalah 1,01 %, S2 dan S3 adalah 0,40 %, dan S3 dengan N adalah 0 %. Sedangkan sekat batas produksi pati tera S1 dan S2 adalah 1,08 %, S2 dan S3 adalah 0,53 %, S3 dan N adalah 0 % (Tabel 17). Pola yang didapatkan dari hubungan produksi umbi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan dengan C-organik adalah berbanding lurus. Hal ini dikarenakan pengaruh C-organik terhadap produksi adalah positif. Pada ph, persamaan yang diperoleh untuk produksi umbi tera y-left = 31,274x - 119,34 dan y-right = -49,223x + 315,87, sedangkan produksi pati tera y- left = -7,7428x 2 + 83,507x - 211,16 dan y-right = -12,011x + 79,831. Hasil dari perhitungan mendapatkan sekat batas produksi tera S1 dan S2 untuk ph adalah 4,71 atau 5,62, S2 dan S3 pada 4,47 atau 5,87, dan S3 dengan N 4,38 atau 5,97. Sedangkan sekat batas produksi pati S1 dan S2 pada ph 4,77 atau 5,55, S2 dan S3 pada 4,54 atau 5,84, S3 dan N adalah 4,42 atau 5,95 (Tabel 18). Pola yang didapatkan dari hubungan produksi umbi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan dengan ph adalah parabola. Hal ini dikarenakan ph memiliki titik optimum. Persamaan produksi tera untuk KTK adalah y = 8,0507x - 46,305 dan produksi pati tera y = -0,1686x 2 + 5,7096x - 27,644. Hasil dari perhitungan mendapatkan sekat batas produksi tera S1 dan S2 untuk KTK adalah 9,33 me/100g, S2 dan S3 adalah 6,97 me/100g, S3 dan N adalah 3,67 me/100g, sedangkan sekat batas produksi pati tera S1 dan S2 adalah 9,52 me/100g, S2 dan S3 adalah 7,32 me/100g, dan S3 dengan N adalah 4,08 me/100g (Tabel 19). Pola yang didapatkan dari hubungan produksi umbi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan dengan KTK adalah berbanding lurus. Hal ini dikarenakan pengaruh KTK terhadap produksi adalah positif.

52 Tabel 17. Selang nilai C-organik untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu Kelas Kesesuaian Lahan Persentase C-org (%) Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 1,01 1,08 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 0,40 0,53 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 0,00 0,00 Produksi umbi teraan (Ton/ha) Produksi pati teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 y = 7,2525x 2 + 28,925x - 16,578 R² = 0,9154 0 1 2 3 4 5 6 (a) C-org (%) y = -11,189x 2 + 40,369x - 23,754 R² = 0,9334 0 1 2 3 4 5 6 C-org (%) (b) Gambar 6. Hubungan antara Produksi Umbi (a) dan Pati (b) Tera dengan C- Organik Tabel 18. Selang nilai ph untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu Kelas Kesesuaian Lahan Persentase ph Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 4,71 5,62 4,77 5,55 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 4,47 5,87 4,54 5,84 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 4,38 5,97 4,42 5,95

53 Produksi umbi teraan (Ton/ha) Produksi pati teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 y = 31,274x - 119,34 R² = 0,9784 (a) y = -49,223x + 315,87 R² = 0,9862 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 y = -7,7428x 2 + 83,507x - 211,16 R² = 0,977 ph H2O y = -12,011x + 79,831 R² = 0,9622 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 ph H2O (b) Gambar 7. Hubungan antara Produksi Umbi (a) dan Pati (b) Tera dengan ph Tabel 19. Selang nilai KTK untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu KTK Persentase Kelas Kesesuaian Lahan (me/100g) Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 9,33 9,52 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 6,97 7,32 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 3,67 4,08

54 Produksi umbi teraan (Ton/ha) Produksi pati teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 y = 8,0507x - 46,305 R² = 0,9579 0 5 10 15 20 KTK (me/100g) (a) y = -0,1686x 2 + 5,7096x - 27,644 R² = 0,9606 0 5 10 15 20 KTK (me/100g) (b) Gambar 8. Hubungan antara Produksi Umbi (a) dan Pati (b) Tera dengan KTK 4.4.3. Hubungan antara Produksi dengan Ketersediaan Hara Hubungan antara produksi Ubikayu dengan ketersediaan hara, yaitu : N total, P-tersedia, dan K-dapat ditukar (K-dd) ditunjukkan Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11. Dengan metode yang sama seperti yang diterapkan pada penetapan kriteria zona perakaran, maka didapat persamaan produksi tera untuk N-total y = -4130x 2 + 1816,7x - 128,17 dan produksi pati tera y = -437,56x 2 + 209,62x - 9,7867. Hasil dari perhitungan mendapatkan sekat batas produksi tera S1 dan S2 untuk N-total adalah 0,10 %, S2 dan S3 adalah 0,05 %, S3 dan N adalah 0 %, sedangkan sekat batas produksi pati S1 dan S2 adalah 0,11 %, S2 dan S3 adalah 0,06 %, S3 dan N adalah 0 % (Tabel 20). Untuk P-tersedia, persamaan produksi tera y = 4,8122x + 10,199 dan produksi pati tera y = 3,2494x - 1,8877. Hasil dari perhitungan mendapatkan sekat batas produksi tera S1 dan S2 untuk P- tersedia adalah 5,63 ppm, S2 dan S3 adalah 4,17 ppm, S3 dan N adalah 2,68 ppm, sedangkan sekat batas produksi pati S1 dan S2 adalah 5,93 ppm, S2 dan S3 adalah 4,44 ppm, S3 dan N 2,85 ppm (Tabel 21). Dan persamaan produksi tera K-dapat

55 ditukar y = 323,35x - 5,4651, sedangkan produksi pati tera y = 86,422x + 2,4597. Hasil proyeksi perpotongan garis sekat produksi dengan garis batas, maka didapat sekat batas produksi tera S1 dengan S2 untuk K-dapat ditukar adalah 0,15 %, S2 dan S3 adalah 0,06 %, S3 dan N adalah 0,02 %, sedangkan sekat batas produksi pati tera S1 dan S2 adalah 0,17 %, S2 dan S3 adalah 0,07 %, S3 dan N adalah 0,02 % (Tabel 22). Pola yang didapatkan dari hubungan produksi umbi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan dengan ketersediaan hara dalam hal ini N, P, dan K adalah berbanding lurus. Hal ini dikarenakan pengaruh N, P, dan K terhadap produksi adalah positif. Tabel 20. Selang nilai N-total untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu Kelas Kesesuaian Lahan Persentase N-total (%) Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 0,10 0,11 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 0,05 0,06 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 0,00 0,00

56 Produksi umbi teraan (Ton/ha) Produksi pati teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 y = -4130x 2 + 1816,7x - 128,17 R² = 0,972 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 (a) N-Total (%) y = -437,56x 2 + 209,62x - 9,7867 R² = 0,9065 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 N-Total (%) (b) Gambar 9. Hubungan antara Produksi Umbi (a) dan Pati (b) Tera dengan N- Total Tabel 21. Selang nilai P-tersedia untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu P-tersedia Persentase Kelas Kesesuaian Lahan (ppm) Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 5,63 5,93 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 4,17 4,44 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 2,68 2,85

57 Produksi umbi teraan (Ton/ha) Produksi pati teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 y = 4,8122x + 10,199 R² = 0,994 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 P-Tersedia (ppm) (a) y = 3,2494x - 1,8877 R² = 0,9728 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 P-Tersedia (ppm) (b) Gambar 10. Hubungan antara Produksi Umbi (a) dan Pati (b) Tera dengan P-Tersedia Tabel 22. Selang nilai K dapat ditukar untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu K-dd Persentase Kelas Kesesuaian Lahan (me/100g) Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 0,15 0,17 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 0,06 0,07 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 0,02 0,02

58 Produksi umbi teraan (Ton/ha) Produksi pati teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 y = 323,35x - 5,4651 R² = 0,9485 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 K-dd (me/100g) (a) y = 86,422x + 2,4597 R² = 0,9073 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 K-dd (me/100g) (b) Gambar 11. Hubungan antara Produksi Umbi (a) dan Pati Tera (b) dengan K-dapat ditukar 4.4.4. Hubungan antara Produksi dan Kondisi Terrain Hubungan produksi Ubikayu dengan kondisi terrain, yaitu : lereng ditunjukkan Gambar 12. Dengan cara yang sama seperti yang diterapkan pada penetapan kriteria zona perakaran, maka didapat persamaan produksi tera untuk lereng y = -0,8471x 2 + 1,8465x + 50,554 dan produksi pati y = -0,5471x 2 + 4,0007x + 8,019. Hasil dari perhitungan mendapatkan sekat batas produksi tera S1 dan S2 untuk lereng adalah 4,22 %, S2 dan S3 adalah 8,86 %, S3 dan N 19,00 %, sedangkan sekat batas produksi pati S1 dan S2 adalah 3,20 %, S2 dan S3 adalah 6,99 %, S3 dan N 15,86 % (Tabel 23). Pola yang didapatkan dari hubungan produksi umbi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan dengan kemiringan lereng adalah berbanding terbalik. Hal ini dikarenakan pengaruh kemiringan lereng terhadap produksi adalah negatif.

59 Tabel 23. Selang nilai lereng untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu Kelas Kesesuaian Lahan Persentase Lereng (%) Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 4,22 3,20 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 8,86 6,99 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 19,00 15,86 Produksi umbi teraan (Ton/ha) Produksi pati teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 y = -0,8471x 2 + 1,8465x + 50,554 R² = 0,9597 0 2 4 6 8 10 Lereng (a) y = -0,5471x 2 + 4,0007x + 8,019 R² = 0,9317 0 2 4 6 8 10 Lereng (b) Gambar 12. Hubungan antara Produksi Umbi (a) dan Pati (b) Tera dengan Lereng 4.4.5. Hubungan antara produksi dan Toksisitas Hubungan produksi Ubikayu dengan toksisitas, yaitu : ketersediaan Al ditunjukkan Gambar 13. Dengan cara yang sama seperti yang diterapkan pada penetapan kriteria zona perakaran, maka didapat persamaan produksi tera untuk lereng y = -13,23x + 49,586 dan produksi pati y = -3,2588x + 13,278.

60 Hasil dari perhitungan mendapatkan sekat batas produksi tera S1 dan S2 untuk lereng adalah 2,30 me/100g, S2 dan S3 adalah 4,53 me/100g, S3 dan N 7,66 me/100g, sedangkan sekat batas produksi pati S1 dan S2 adalah 1,74 me/100g, S2 dan S3 adalah 3,39 me/100g, S3 dan N 5,81 me/100g (Tabel 24). Pola yang didapatkan dari hubungan produksi umbi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan dengan ketersediaan Al adalah berbanding terbalik. Hal ini dikarenakan pengaruh ketersediaan Al terhadap produksi adalah negatif. Tabel 24. Selang nilai Al untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu Kelas Kesesuaian Lahan Persentase Al (me/100g) Umbi Pati Umbi Pati Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 80% 80% 2,30 1,74 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 60% 60% 4,53 3,39 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 28% 21% 7,66 5,81 Produksi umbi teraan (Ton/ha) Produksi pati teraan (Ton/ha) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 y = -13,23x + 49,586 R² = 0,9791 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 Al (me/100g) (a) y = -3,2588x + 13,278 R² = 0,9753 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 Al (me/100g) (b) Gambar 13. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan Al

61 4.5. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Ubikayu Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman Ubikayu diambil berdasarkan persyaratan tumbuh dan studi lapang dari produksi umbi yang disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Kriteria Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu Berbasis Produksi Umbi Provinsi Lampung Kualitas Lahan/ Karakter Lahan Media perakaran (r ) - Tekstur Retensi hara (f) Sangat Sesuai (S1) C, SC, SiC, SiCL, Si, L, CL - ph 4,71-5,62 Kelas Kesesuaian Lahan Cukup Sesuai Agak Sesuai (S2) (S3) Tidak Sesuai (N) SCL SL LS, S 4,47-4,71 atau 5,62-5,87 < 4,47 atau > 5,87 - KTK > 9,33 6,97-9,33 < 6,97 - - C-organik (%) > 1,01 0,40-1,01 < 0,40 - Toksisitas (x) - Al-dd (me/100g) < 2,30 2,30-4,53 > 4,53 - Hara tersedia (h) - N total (%) > 0,10 0,05-0,10 < 0,05 - - P tersedia (ppm) > 5,63 4,17-5,63 < 4,17 - - K-dd (me/100 g) > 0,15 0,06-0,15 < 0,06 - Kondisi medan/ terrain (m) - Lereng (%) < 4,22 4,22-8,86 8,86-19,00 > 19,00 Keterangan : C = Clay; L = Loam; S = pasir (Sand); Si = debu (Silt), SL = lempung berpasir (Sandy loam); pasir berlempung (Loamy Sand); SC = liat berpasir (Sandy Clay); SCL = Lempung Liat Berpasir; SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu. - Sedangkan, Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman Ubikayu diambil berdasarkan persyaratan tumbuh dan studi lapang dari produksi umbi yang disajikan pada Tabel 26.

62 Tabel 26. Kriteria Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu Berbasis Produksi Pati Provinsi Lampung Kelas Kesesuaian Lahan Kualitas Lahan/ Karakter Lahan Sangat Sesuai (S1) Media perakaran (r ) - Tekstur C, SC, SiC, SiCL, Si, L, CL Retensi hara (f) - ph 4,77-5,55 Cukup Sesuai (S2) Agak Sesuai (S3) Tidak Sesuai (N) SCL SL LS, S 4,54-4,77 atau 5,55-5,84 < 4,54 atau > 5,84 - KTK > 9,52 7,32-9,52 < 7,32 - - C-organik (%) > 1,08 0,53-1,08 < 0,53 - Toksisitas (x) - Al-dd (me/100g) < 1,74 1,74-3,39 > 3,39 - Hara tersedia (h) - N total (%) > 0,11 0,06-0,11 < 0,06 - - P tersedia (ppm) > 5,93 4,44-5,93 < 4,44 - - K-dd (me/100 g) > 0,17 0,07-0,17 < 0,07 - Kondisi medan/ terrain (m) - Lereng (%) < 3,20 3,20-6,99 6,99-15,86 > 15,86 Keterangan : C = Clay; L = Loam; S = pasir (Sand); Si = debu (Silt), SL = lempung berpasir (Sandy loam); pasir berlempung (Loamy Sand); SC = liat berpasir (Sandy Clay); SCL = Lempung Liat Berpasir; SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu. - Berdasarkan dua kriteria kesesuaian lahan yang telah dibuat (Tabel 25 dan Tabel 26), dapat diketahui bahwa antara kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi umbi dan berbasis produksi pati ubikayu menunjukkan batas-batas kelas kesesuaian yang tidak jauh berbeda dan relatif sama. Hal ini berarti antara produksi umbi dan produksi pati ubikayu memiliki keterkaitan satu sama lainnya. 4.6. Analisis Kesesuaian Lahan Penelitian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lampung dan Jawa Barat Untuk Produksi Ubikayu Setelah mendapatkan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman ubikayu berdasarkan data beberapa sentra penghasil ubikayu di Provinsi Lampung maka dicoba untuk diperbandingkan dengan sampel ubikayu pada beberapa lokasi di Provinsi Lampung. Proses penilaian kesesuaian lahan yakni membandingkan

63 antara sifat dan karakteistik tanah dengan persyaratan tumbuh tanaman, dimana persyaratan yang digunakan berdasarkan kriteria yang telah dibuat dari penelitian di Provinsi Lampung dan penelitian di daerah lainnya dalam hal ini daerah Bogor dan sekitarnya (berdasarkan Hidayah, 2011). Proses penilaian kesesuaian lahan yang dilakukan berfungsi untuk melihat kelas kesesuaian lahan dari beberapa titik lokasi penelitian. Hal ini disajikan pada Tabel 27 dan Tabel 28. Tabel 27. Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Lampung No Kode Lereng ph H 2 O C-org KTK Al Kelas Kesesuaian 1 L1 0,01 5,60 1,35 13,25 0,00 S1 2 L2 0,01 6,20 1,67 11,69 0,00 S3 (f) 3 L3 0,02 4,60 1,83 9,47 0,82 S2 (f) 4 L4 0,01 5,60 4,00 13,68 0,00 S1 5 L5 0,01 5,40 2,07 11,24 0,38 S1 6 L6 0,07 4,70 4,80 9,90 0,89 S2 (m) 7 L7 0,08 5,90 1,20 9,75 0,00 S3 (f) 8 L8 0,02 4,50 1,11 5,66 1,62 S3 (f) 9 L9 0,02 5,50 1,75 13,91 0,00 S1 10 L10 0,01 6,00 2,07 15,36 0,00 S3 (f) 11 L11 0,02 5,80 1,11 12,74 0,00 S2 (f) 12 L12 0,02 5,50 0,55 10,26 0,00 S2 (f) 13 L13 0,01 5,50 1,83 9,14 0,00 S2 (f) 14 L14 0,01 5,10 1,19 7,96 1,16 S2 (f) 15 L15 0,02 5,40 0,71 11,43 0,78 S2 (f) 16 L16 0,03 5,50 3,83 14,53 0,00 S1 17 L17 0,03 4,80 1,03 9,90 2,04 S1 18 L18 0,06 4,50 2,63 12,48 2,51 S2 (f,x,m) 19 L19 0,01 5,10 2,31 14,04 1,46 S1 20 L20 0,02 6,00 2,23 14,75 0,00 S3 (f) 21 L21 0,08 5,30 2,40 15,58 0,24 S2 (m) 22 L22 0,01 4,30 1,75 8,39 2,42 S3 (f) Berdasarkan Tabel 27, dapat dilihat tanaman ubikayu mayoritas memiliki kelas kesesuaian S2 dengan faktor pembatas retensi hara, kondisi terrain dan toksisitas. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan dan produktivitas tanaman adalah dengan melakukan pengapuran dan penambahan bahan organik. Sedangkan untuk lahan dengan kelas kesesuaian S3

64 dengan faktor pembatas retensi hara usaha yang dapat dilakukan adalah dengan pengapuran dan penambahan bahan organik dengan dosis yang lebih tinggi. Tabel 28. Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Jawa Barat No KODE Lereng ph H 2 O C-org KTK Al Kelas Kesesuaian 1 L1 0,01 5,60 1,35 13,25 0,00 N (f) 2 L2 0,01 6,20 1,67 11,69 0,00 N (f) 3 L3 0,02 4,60 1,83 9,47 0,82 S3 (f) 4 L4 0,01 5,60 4,00 13,68 0,00 N (f) 5 L5 0,01 5,40 2,07 11,24 0,38 S3 (f) 6 L6 0,07 4,70 4,80 9,90 0,89 S3 (f) 7 L7 0,08 5,90 1,20 9,75 0,00 N (f) 8 L8 0,02 4,50 1,11 5,66 1,62 N (f) 9 L9 0,02 5,50 1,75 13,91 0,00 N (f) 10 L10 0,01 6,00 2,07 15,36 0,00 N (f) 11 L11 0,02 5,80 1,11 12,74 0,00 N (f) 12 L12 0,02 5,50 0,55 10,26 0,00 N (f) 13 L13 0,01 5,50 1,83 9,14 0,00 N (f) 14 L14 0,01 5,10 1,19 7,96 1,16 S3 (f) 15 L15 0,02 5,40 0,71 11,43 0,78 S3 (f) 16 L16 0,03 5,50 3,83 14,53 0,00 N (f) 17 L17 0,03 4,80 1,03 9,90 2,04 S3 (f) 18 L18 0,06 4,50 2,63 12,48 2,51 N (f) 19 L19 0,01 5,10 2,31 14,04 1,46 S1 20 L20 0,02 6,00 2,23 14,75 0,00 N (f) 21 L21 0,08 5,30 2,40 15,58 0,24 S1 22 L22 0,01 4,30 1,75 8,39 2,42 N (f) Pada Tabel 28, dapat dilihat kelas kesesuaian lahan N yang didapatkan dari kriteria penelitian lain mendominasi pada beberapa titik. Faktor pembatas retensi hara menjadi faktor utama yang mempengaruhi kelas kesesuaian lahan dan produktivitas tanaman. Agar didapatkan produktivitas tanaman dan kelas kesesuaian lahan yang lebih baik dapat dilakukan usaha pengapuran dan penambahan bahan organik dengan dosis yang cukup tinggi. Sedangkan untuk lahan dengan kelas kesesuaian S3 dengan faktor pembatas retensi hara usaha yang dapat dilakukan adalah dengan pengapuran dan penambahan bahan organik dengan dosis yang lebih rendah dari titik-titik dengan kelas N.

65 4.7. Peta Kelas Kesesuaian Lahan Setelah didapatkan kriteria kesesuaian lahan tanaman ubikayu untuk Provinsi Lampung, data tersebut dapat diaplikasikan kedalam peta menggunakan Arcgis 9. Data dari beberapa lokasi penelitian diplotkan kedalam peta dan dikelaskan menggunakan metode IDW (Inverse Distance Weighting) sehingga menghasilkan peta sebaran kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing kualitas lahan yang akan dinilai (Lampiran 14 dan Lampiran 15). Metode IDW digunakan dalam pembuatan peta ini karena untuk memperoleh sebaran kelas kesesuaian lahan dengan data yang terbatas dan jarak titik yang kurang menyebar. Untuk mengetahui sebaran kelas kesesuaian dengan kriteria kesesuaian lahan berdasarkan sifat tanah yang relatif, maka pada Gambar 14 akan disajikan peta kesesuaian lahan tanaman ubikayu berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi di Provinsi Lampung dan pada Gambar 15 akan disajikan peta kesesuaian lahan tanaman ubikayu berdasarkan kriteria kesesuaian lahan yang didapatkan dari data penelitian Hidayah (2011). Sedangkan Tabel 29 dan Tabel 30 merupakan tabel luas area & persentase sebaran kelas kesesuaian lahan dari masing-masing peta. Gambar 14. Peta Kesesuaian Lahan Penelitian Lampung

66 Tabel 29. Luas dan Persentase Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Lampung NO Kelas Kesesuaian Lahan Luas area (Ha) Persentase 1 S1 21,90% 201033 2 S2 (f) 374707 40,90% 3 S2 (f,m) 15,30% 140168 4 S2 (f,x) 27504 3,00% 5 S2 (f,x,m) 0,40% 3390 6 S2 (m) 24582 2,70% 7 S3 (f) 2,10% 18848 8 S3 (f,m) 795 0,10% 9 S3 (m) 7,30% 66469 10 N (m) 58600 6,40% Berdasarkan Tabel 29 persentase luas area kelas kesesuaian lahan terluas adalah kelas kesesuaian lahan S2 (f) dengan persentase sebesar 40,9%. Kelas kesesuaian S2 (f) merupakan kelas yang cukup sesuai dengan faktor pembatas retensi hara. Sedangkan persentase luas area kelas kesesuaian lahan terkecil adalah S3 (f,m) dengan pesrsentase sebesar 0,1%. Kelas kesesuaian S3 (f,m) merupakan kelas sesuai marjinal dengan faktor pembatas retensi hara dan kondisi terain. Gambar 15. Peta Kesesuaian Lahan Penelitian Lain Berdasarkan Data Penelitian Hidayah, (2011)

67 Tabel 30. Luas dan Persentase Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Jawa Barat NO Kelas Kesesuaian Lahan Luas area (Ha) Persentase 1 S1 9244 1,01% 2 S2 (f) 49508 5,40% 3 S2 (f,m) 2632 0,29% 4 S2 (m) 0 0% 5 S3 (f) 480465 52,45% 6 S3 (f,m) 22056 2,41% 7 S3 (m) 1924 0,21% 8 N (f) 346507 37,83% 9 N (f,m) 308 0,03% 10 N (m) 3407 0,37% Berdasarkan Tabel 30 persentase luas area kelas kesesuaian lahan terluas adalah kelas kesesuaian lahan S3 (f) dengan persentase sebesar 52,45%. Kelas kesesuaian S3 (f) merupakan kelas sesuai marjinal dengan faktor pembatas retensi hara. Sedangkan persentase luas area kelas kesesuaian lahan terkecil adalah S2 (m) dengan pesrsentase sebesar 0%. Kelas kesesuaian S2 (m) merupakan kelas cukup sesuai dengan faktor pembatas kondisi terain. 4.8. Perbandingan Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu Kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi yang telah diperoleh Tabel 25, diperbandingkan dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah dibuat sebelumnya di daerah Bogor dan sekitarnya Lampiran 5 dengan memplotkan kedua kriteria ini kedalam peta Gambar 14 dan Gambar 15. Terlihat perubahan kelas kesesuaian lahan Tabel 31.

68 Tabel 31. Perbandingan Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian di Provinsi Lampung dan Penelitian Lain NO Perbandingan Kriteria Penelitian Penelitian lain Luas area (Ha) Persentase 1 N N 7.639 0,83% S3 49.109 5,36% S2 1.844 0,20% S1 0 0% 2 S3 N 27.764 3,03% S3 52.675 5,75% S2 5.348 0,58% S1 325 0,04% 3 S2 N 249.980 27,29% S3 282.376 30,83% S2 34.761 3,79% S1 3.206 0,35% 4 S1 N 64.838 7,08% S3 120.285 13,13% S2 10.187 1,11% S1 5.712 0,62% Keterangan : Penelitian (berdasarkan data kriteria Lampung) dan Penelitian lain (berdasarkan data Kriteria Hidayah, 2011) Berdasarkan Tabel 31 dapat diketahui perubahan kelas terbesar adalah kelas S2 pada penelitian berdasarkan kriteria Lampung dengan kelas S3 pada penelitian berdasarkan kriteria Hidayah (2011) yang memiliki luas area sebesar 282.376 Ha atau 30,83% dari total luas area penelitian. Kelas kesesuaian lahan yang tidak mengalami perubahan atau memiliki kelas yang sama adalah seluas 100.786 Ha atau 11% dari total luas area penelitian.

69 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Tingkat produktivitas umbi dan pati ubikayu memiliki keterkaitan yang erat dengan unsur karakteristik lahan yang dievaluasi. Keterkaitan antara produktivitas dan karakteristik bio-fisik dapat dilihat dari pola hubungan garis fungsi yang dihasilkan oleh masing-masing karakteristik lahan. 2. Hubungan antara produksi ubikayu dengan kualitas lahan memiliki pola yang berbeda-beda. Pola hubungan/trendline antara elevasi, kemiringan lereng, dan Al dengan produksi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan adalah berbanding terbalik. Pola hubungan/trendline yang dihasilkan antara C-organik, KTK, N total, P tersedia, dan K-dd dengan produksi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan adalah pola hubungan yang berbanding lurus. Pola hubungan yang memiliki peak (puncak) didapatkan dari hubungan antara ph dan tekstur dengan produksi ubikayu teraan dan produksi pati ubikayu teraan. 3. Penelitian ini memperoleh kriteria kesesuaian lahan lokal untuk daerah Lampung. Kriteria ini diperoleh untuk menilai kualitas lahan dengan sistem pemadanan (matching system). Kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi umbi dan pati ubikayu di Provinsi Lampung menunjukkan batasbatas kelas kesesuaian yang tidak jauh berbeda. Hal ini berarti produksi umbi dan pati ubikayu memiliki keterkaitan satu sama lainnya. 4. Penerapan kriteria yang dibangun dari wilayah lain tidak menghasilkan kriteria kesesuaian lahan yang sama. Data-data yang diperoleh di Provinsi Lampung dan Jawa Barat dapat digabungkan untuk menjadi kriteria umum yang berlaku untuk kedua wilayah. 5. Kriteria yang telah diuji melalui perbandingan dengan produksi aktual di lapang menunjukkan hasil yang masih perlu disempurnakan. Hal ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian kelas dari beberapa titik pengamatan.

70 5.2. Saran Perlu dilakukan penambahan lokasi contoh untuk mendapatkan data kualitas lahan dan produksi tanaman agar memiliki variasi karakterisitik yang lebih lebar. Pemilihan lokasi dilakukan lebih terencana dengan menggunakan peta pendahuluan yang berisi informasi satuan unit lahan sehingga data yang didapatkan memiliki kualitas yang lebih baik.

71 DAFTAR PUSTAKA Agrica. 2007. Bensin Singkong. Lembaga Pers Mahasiswa AGRICA Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto, Edisi XIX/Tahun XXI September 2007. Allem AC. 2002. The origins and taxonomy of cassava. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor.cassava : Biology, Production and Utilization. New York : CABI Publishing. hlm 1-16. Alvyanto ES. 2010. Lingkungan. http : //alvyanto. blogspot.com/ 2009/ 02/ faktorlingkungan. html. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1996. Tapioka [01 Feb 2011]. Anonim. 2003. Tapioca :Nature of cassava. http : //foodmarketexchange. com/ datacenter/product/feedstuff/tapioca/detail/dc_pi_ft_tapioca_0205.htm#. [15 Aguatus 2010]. Anonim. 2004. Bioethanol a source of renewable energy. www. vogelbush.com/technology/bioethanol.htm [6 Juni 2010]. Anonim. 2007. Cassava. http : //www. ctahr. hawaii. edu/ fb/ cassava/ cassava.htm#climate [23 Agustus 2010]. Anonim. 1986. Environmental Adaptation of Crops. Philippine Council for Agriculture and Resources Research and Development Book Series No. 37/1986. Los Banos, Laguna, Philippines. Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Informasi. Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor, IPB Press, Bogor. Asnawi R. 2007. Analisis Usahatani Sistem Tanam Double Row Pada Tanaman Ubikayu (Manihot esculenta) di Lampung. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol.10, No. 1, Juni 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. Asnawi R, Zaini RW, Arief, Alvi Y, Wijayanto B, Surachman, dan Rohayana D. 2004. Kajian Agroindustri Ubikayu di Provinsi Lampung. Laporan Tahunan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. 52 halaman. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2005. Diskripsi varietas unggul komoditas kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2005. Teknologi Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Malang.

72 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2010. Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budidaya Ubikayu. Balai Penelitian Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Malang. Bappenas. 2009. Budidaya Singkong. http ://www.smallcrab.com/forex/500- budidaya-singkong. [19 Nov 2009]. Braak C. 1928. The Climate of The Netherlands Indies. Proc. Royal Mogn. Meteor. Observ. Batavia, nr. 14. pp. 192. Bigcassava. 2007. Proyek Pengembangan Budi Daya Singkong Varietas Darul Hidayah sebagai Upaya Meningkatkan Taraf Kehidupan Ekonomi Petani,Sekaligus Mengintip Peluang Pengembangan Bahan Baku Biofuel. http ://www.bigcassava.com. [11 Agustus 2010]. Bunting ES. 1981. Assessments of the effecs on yield of variations in climate and soil characteristics for twenty crops species. AGOF/INS/78/006, Technical Note No 12. Chalil D. 2003. Agribisnis Ubikayu di Provinsi Sumatera Utara. Program Study Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, 13 halaman. Darjanto, dan Murjati. 1980. Khasiat, Racun dan Masakan Ketela Pohon. Bogor : yayasan Dewi Sri. Darmawijaya MI. 1990. Klasifikasi Tanah (Dasar Teori bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia), Gajahmada University Press, Yogyakarta. De Datta SK. 1981. Principles and Practices of Rice Production.John Willey and Sons, Inc. New York. Departemen Perindustrian Republik Indonesia.Pohon industri ubikayu. http ://www.depperin.go.id/ind/teknologi/pohin.asp?id=17. Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2009. Basis Data Statistik Pertanian. http ://database.deptan.go.id/bdsp/index.asp. Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2011. Basis Data Statistik Pertanian. http ://database.deptan.go.id/bdsp/index.asp. [15 Mei 2012] Deptan. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan Ubikayu. http : //www. bbsdlp. litbang. deptan.go. id/temp_komoditas.php. [10 Nov 2010]. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2003. Strategi dan Upaya Pengembangan Produksi Dalam Sistem Usaha Agribisnis Umbi-umbian (Ubikayu dan Ubijalar) dan Terobosan Pengembangan Produksi Ubikayu dan Ubijalar. Disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Pengembangan

73 Produksi Umbi-umbian (Ubikayu dan Ubijalar) Tahun 2003. Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 12 halaman. Djaenudin D, Marwan H, Subagyo H, dan Hidayat A. 2003. Petunjuk Teknis untuk Komoditas Pertanian. Edisi Pertama tahun 2003, ISBN 979-9474- 25-6. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Indonesia. Driessen PM, dan Soepraptohardjo, 1974. Organic Soils. pp 8-13. In Soils for Agricultural Expansion in Indonesia. ATA 106 Bulletin 1. Soils Research Institut. Bogor. Ekanayake IJ, Osiru DSO, and Porto MCM. 1997. Morphology of cassava. http ://www.iita.org/cms/details/trn_mat/ir961.html. FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and Conservation Service Land and Water Development Division. FAO Soil Bulletin No. 32. FAO-UNO, Rome. Fortuna IF. 2008. Bioetanol Alternatif Energi untuk Babel. Bangka Pos Cetak : Bangka-Belitung. Ginting RCB, R Saraswati, dan E Husen. 2006. Mikroorganisme Pelarut Fosfat dalam. Simanungkalit, R. D. M., et al. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Grace MR. 1977. Cassava Processing. Rome : FAO of The United Nations. Hardjowigeno S, dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Tataguna Tanah. Yogyakarta. Hardjowigeno S, Widiatmaka, dan Yogaswara AS. 1999. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Widiatmaka (Eds.). Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hardjowigeno S. 1994. Kesesuaian Lahan Untuk Pengembangan Pertanian, Daerah Rekreasi dan Bangunan. Bogor. Hidayah N. 2011. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Tanaman Singkong (Manihot Utilissima) Berbasis Produksi dan Kadar Pati Daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang dalam Rangka Pengembangan Sumber Bioenergi. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Kusumastuti CT. 2007. Singkong Sebagai Salah Satu Sumber Bahan Bakar Nabati (BBN) [makalah]. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Leiwakabessy FM, dan Sutandi A. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lidiasari E, Syafutri MI, dan Syaiful F. 2006. Influence of Drying Temperature Difference On Physical And Chemical Qualities of Partially Fermented

74 Cassava Flour, Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia, 2006, vol. 8, pp. 141-146. Martono B, dan Sasongko. 2007. Prospek Pengembangan Ubikayu Sebagai BahanBaku Bioethanol. http ://www.diy.go.id. [11 Agustus 2011]. Mbougueang PD, Tenin D, Scher D, and Tchiegang C. 2008. Physicochemical and functional properties of some cultivars of Irish potato and cassava starches.j. of Food Technology 6(3) : 139-146. Nguyen TLT, and Gheewala SH. 2008. Life Cycle Assessment of fuel ethanol from cassava in Thailand.Int J LCA 13(2) : 147-154. Notohadiprawiro T. 1986. Tanah Eustrin Kesuburannya. Ghalia, Jakarta. : Watak, Sifat, Kelakuan dan Nwokocha LM. 2008. A comparative study of some properties of cassava (Manihot esculenta, Crantz) Carbohydrate Polymers, doi :10.1016/j.carbpol.2008.10.034. Owuamanam CI. 2007. Physical characteristics of cassava flour as affected by cassava cultivar, strength of citric acid solution and root steeping duration. Life Science Journal. 4(4) : 80-84. Popoola TOS, and Yangomodou OD. 2006. Extraction, properties and utilization potentials of cassava seed oil. Biotechnology 5(1) :38-41. Prihandana R, Noerwijari K, Gamawati P, Adinurani, Setyaningsih D, Setiadi S, dan Handoko R. 2007. Bioetanol Ubikayu Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta : AgroMedia Pustaka. Prihandana R, dan Hendroko R. 2007. Energi Hijau. Jakarta : Penebar Swadaya. Puslittanak. 1997. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Tingkat Tinjau (skala 1 :250.000). Puslittanak, Bogor, Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, Indonesia. Rathfon RA, Burger JA. 1991. The Diagnosis and Recommendation Integrated System for Fraser fir Christmas Trees. Soil Sci. Soc. Am.J. 55 :1026-1031. Rattanachon W, Piyachomkwan K, Sriroth K. 2004. Physico chemical properties of root, flour and starch of bitter and sweet cassava varieties. http ://www.ciat.cgiar.org/biotechnology/cbn/sixth_internationalmeeting/poster s-pdf/ps-5/w_rattanachon.pdf. Ritung S, Hidayat A, dan Suratman. 2002. Penyusunan Pewilayahan Komoditas dan Ketersediaan Lahan. Laporan Akhir No. 06/Puslitbangtanak/2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Indonesia.

75 Ritung S, dan Hidayat A. 2003. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian di Provinsi Sumatera Barat, hal. 263-282. Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam, Bandar Lampung 29-30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Indonesia. Rossiter DG. 1994. Lectue Notes : Land Evaluation. Cornell University, College of Agriculture & Life Sciences, Departement of Soil, Crop, & Atmospheric Sciences. Rossiter DG, and Van Wambeke AR. 1997. Automated Land Evaluation System. ALES Version 4.5. User Manual. Cornell University, Departement of Soil Crop & Atmospheric Sciences. SCAS. Teaching Series No. 193-2. Revision 4. Ithaca, NY, USA. Rukmana R. 1997. Ubikayu : Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta : Kanisius. Sitorus SRP. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Edisi ketiga. Penerbit TARSITO. Bandung. Soekartawi. 2005. Agroindustri dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy. Ninth Edition. United States Departement of Agriculture. Natural Resources Conservation Services. Steel RGD, dan JH Torrie. 1991. Prinsip Dan Prosedur Statistik. Terjemahan. Edisi ke-2. Penerbit PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Suharno, Djasmin, Rubiyo, dan Dasiran. 1999. Budi Daya Ubikayu. Kendari : Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian. Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Suprapti ML. 2005. Tepung Tapioka : Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius : Yogyakarta. Sys C. 1985. Land Evaluation. State University of Ghent, Belgium. Sys C, Van Ranst E, Debaveye J, and Beernaert F. 1993. Land Evaluation. Crop Requirements Part III. Agricultural Publication No. 7. General Administration for Development Corp. 1050 Brussels-Belgium. Tan KH. 1998. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Indonesia Edition Cetakan Ketiga. Penerjemah D.H. Goenadi. Gadjah Mada University Press.

76 Thompson LM, and Troeh FR. 1973. Soils and Soil Fertility, third ed.mcgraw- Hill BookCompany. New York. 495p. Van Wambeke AR and Terence RF. 1986. Guidelines for Using Soil Taxonomy in The Names of Soil Map Units. Soil Conservation Service, USDA. SMSS Technical Monograph No. 10. Van Wambeke AR, Hasting P, and Tolomeo M. 1986. Newhall Simulation Model. Computer Program. Departement of Agronomy. Bradfield Hall. Cornell University. Ithaca NY 14851. Walworth JL, Letzsch WS, and Sumner ME. 1986. Use Boundary Line in Establishing Diagnositic Norms. Soil Science Society of America Journal vol. 50 : 123-128. Warren DH, Mary EA, Wayne TJ, John AL, Bradbury J, and Agric. Food Chem. Organic Acids And Calcium Oxalate In Tropical Root Crops., 1989, 37 (2), pp 337 341 Wargiono J. 1979. Ubikayu dan Cara Bercocok Tanam. Bogor : Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Wargiono, 2007. Teknologi Produksi Ubikayu untuk Menjaga Kuantitas Pasokan Bahan Baku Industri Bioethanol. Tabloid Sinar Tani, 8 Agustus 2007. Westby A. 2002. Cassava utilization, storage and small-scale processing. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor.cassava : Biology, Production and Utilization. New York : CABI Publishing. hlm 281-300. Yakinudin A. 2010. Bioetanol Singkong Sebagai Sumber Bahan Bakar Terbaharukan dan Solusi untuk Meningkatkan Penghasilan Petani Singkong. IPB :Bogor. Yoshida S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science.International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines.

LAMPIRAN 77

78 Lampiran 1. Blanko Pengamatan BLANGKO PENGAMATAN I. IDENTITAS PENGAMATAN DAN SAMPLING Pengamat : Hari/Tanggal Pengamatan : Lokasi Administratif : : Koordinat GPS : Pemilik Tanaman : Nama Lokal Singkong pahit atau biasa? Kode Sampel Tanaman : Kode Sampel Tanah : Kode Foto : Kode Video : II. CIRI MORFOLOGI TANAMAN Warna daun : Jumlah jari : Warna Petiol (tangkai daun) : Warna Pucuk : Kode Foto Daun : Umbi : : - Warna kulit luar : - Warna kulit dalam : Bentuk buah : Warna bunga : Kode Herbarium :

79 III. SAMPEL TANAMAN DI KEBUN Jumlah tanaman dalam petak 5 x 5 m :... 1. Tanaman 1 :... - Diameter :... - Tinggi Tanaman :... - Bobot Singkong :... 2. Tanaman 2 :... - Diameter :... - Tinggi Tanaman :... - Bobot Singkong :... 3. Tanaman 3 :... - Diameter :... - Tinggi Tanaman :... - Bobot Singkong :... 4. Tanaman 4 :... - Diameter :... - Tinggi Tanaman :... - Bobot Singkong :... 5. Tanaman 5 :... - Diameter :... - Tinggi Tanaman :... - Bobot Singkong :... 6. Total sampel :... - Bobot Singkong (tan 1 5) :... Catatan :.........

80 Lampiran 2. Lokasi Titik Pengamatan NO KODE BLANKO 1 L1 2 L2 3 L3 4 L4 5 L5 6 L6 7 L7 8 L8 9 L9 10 L10 11 L11 12 L12 13 L13 14 L14 15 L15 16 L16 17 L17 18 L18 19 L19 20 L20 21 L21 22 L22 Lokasi Administratif Desa Situ Basuki Kec. Tegineneng Kab. Lampung Tengah Desa Kunyayan Kec. Tegineneng Kab. Lampung Tengah Desa Margaria Kec. Terbanggi Besar Kab. Lampung Tengah Desa Terbanggi Agung Kec. Gunung Sugih Kab. Lampung Tengah Desa Sukajawa Kec. Bumi Ratunuban Kab. Lampun Tengah Desa Wayhui Kec. Sukarame Kota Bandar Lampung Desa Galih Kel. Campang Raya Kec. Tanjung Timur Kota Bandar Lampung Desa Sindang Sari Kec. Tanjung Bintang Kab. Lampung Selatan Desa Gunung Sugih Besar Kec. Puguh Lampung Timur Desa Mengandung Sari Kec. Sekampung Udik Kab. Lampung Timur Desa Adirejo Kec. Pekalongan Kab. Lampung Timur Desa Gunung Tiga Kec. Batang Hari Nuban Kab. Lampung Timur Desa Buana Jaya Kec. Sukadana Kab. Lampung Timur Desa Campang Kenari Kec. Pasar Sukadana Kab. Lampung Timur Desa Negara Ratu Kec. Batanghari Nuban Kab. Lampung Timur Desa Bandar Harapan Kec. Terbanggi Besar Kab. Lampung Utara Desa Tanjung Iman Kec. Blambangan Kab. Lampung Utara Desa Bangun Rejo Kel. Sindang Sari Kec. Kotabumi Kota Kab. Lampung Utara Desa Gedung Ketapang Kec. Sungkai Selatan Kab. Lampung Utara Desa Sukarame Kec. Abung Tinggi Kab. Lampung Utara Desa Bedeng Kec. Ogan 5 Kab. Lampung Utara Desa Kalibalangan Kec. Abung Selatan Kab. Lampung Utara Koordinat GPS S :5 10 36,2 E :105 10 54,5 S :5 9 55,6 E :105 10 47,6 S :4 52 40,2 E :105 12 50,4 S :5 00 41,0 E :105 12 37,7 S :5 7 19,1 E :105 11 41,4 S :5 21 26,9 E :105 18 21,6 S :5 25 07,2 E :105 25 05,9 S :5 22 36,2 E :105 23 22,6 S :5 19 29,8 E :105 34 06,7 S :5 15 16,9 E :105 31 37,6 S :5 5 30,1 E :105 20 41,3 S :5 3 12,2 E :105 26 52,7 S :5 00 51,6 E :105 32 26,6 S :5 02 49,1 E :105 32 14,1 S :5 02 22,9 E :105 27 27,6 S :4 52 20,4 E :105 12 07,6 S :4 52 08,2 E :104 54 33,1 S :4 49 39,3 E :104 52 23,1 S :4 42 49,9 E :104 47 28,3 S :4 52 21,9 E :104 38 04,5 S :4 52 15,9 E :104 42 38,7 S :4 52 25,7 E :104 57 39,9

81 Lampiran 3. Data Penelitian Lapang NO KODE BLANKO UMUR (bulan) Lereng (%) Elevasi (m dpl) Produksi umbi aktual (Ton/ha) Produksi pati aktual (Ton/ha) Produksi umbi teraan (Ton/ha) Produksi pati teraan (Ton/ha) 1 L1 7 1 65 36.00 9.39 38.21 10.18 2 L2 6 1 75 47.00 10.12 51.41 11.70 3 L3 8 2 60 21.00 8.47 21.07 7.09 4 L4 8 1 70 27.00 11.14 27.07 9.75 5 L5 9 1 73 44.00 16.24 42.00 11.28 6 L6 8 7 124 17.00 9.14 17.07 7.76 7 L7 7 8 146 11.00 4.83 13.21 5.62 8 L8 5 2 104 12.00 5.93 18.71 6.91 9 L9 9 2 105 12.00 11.26 10.00 6.30 10 L10 8 1 62 17.00 9.84 17.07 8.45 11 L11 6 2 74 6.00 2.66 10.41 4.24 12 L12 6 2 70 22.00 12.19 26.41 13.77 13 L13 6 1 41 19.00 9.33 23.41 10.91 14 L14 7 1 43 15.00 8.21 17.21 9.01 15 L15 6 2 67 20.00 7.70 24.41 9.28 16 L16 7 3 54 16.00 5.42 18.21 6.21 17 L17 7 3 86 22.48 10.58 24.69 11.37 18 L18 8 6 54 34.00 14.63 34.07 13.24 19 L19 6 1 89 20.00 7.31 24.41 8.89 20 L20 7 2 201 19.00 6.28 21.21 7.08 21 L21 7 8 81 32.00 9.10 34.21 9.89 22 L22 7 1 134 14.00 4.49 16.21 5.29 Rataan 7 3 85 21.98 8.83 24.12 8.83

82 Lampiran 4. Data Analisis Laboratorium dan Iklim NO KODE BLANKO Tekstur (%) C-org N-total P K KTK KB Al Iklim ph Tanah Pasir Debu Liat (%) (%) (ppm) (me/100g) (me/100g) (%) (me/100g) BB BK CH 1 L1 20 16 64 5.6 1.35 0.13 5.90 0.22 13.3 61.1-4.0 5.5 1972 2 L2 27 16 56 6.2 1.67 0.15 8.60 0.38 11.7 76.6-4.0 5.5 1972 3 L3 47 16 36 4.6 1.83 0.18 6.20 0.09 9.5 44.4 0.82 4.0 5.5 1972 4 L4 22 21 57 5.6 4.00 0.38 5.40 0.20 13.7 59.3-4.0 5.5 1972 5 L5 17 39 44 5.4 2.07 0.19 11.70 0.13 11.2 51.1 0.38 4.0 5.5 1972 6 L6 50 26 25 4.7 4.80 0.42 14.70 0.07 9.9 36.6 0.89 4.0 5.5 1972 7 L7 35 36 29 5.9 1.20 0.12 5.20 0.56 9.8 87.2-4.0 5.5 1972 8 L8 67 19 13 4.5 1.11 0.11 3.90 0.30 5.7 56.4 1.62 4.0 5.5 1972 9 L9 7 18 75 5.5 1.75 0.18 5.80 0.17 13.9 56.8-5.2 4.3 2863 10 L10 7 28 65 6.0 2.07 0.19 5.70 0.72 15.4 64.4-5.2 4.3 2863 11 L11 33 17 50 5.8 1.11 0.12 5.90 0.32 12.7 61.0-5.2 4.3 2863 12 L12 9 54 37 5.5 0.55 0.06 8.00 0.23 10.3 71.2-5.2 4.3 2863 13 L13 64 12 24 5.5 1.83 0.18 8.00 0.11 9.1 73.6-5.2 4.3 2863 14 L14 52 21 28 5.1 1.19 0.11 11.10 0.14 8.0 47.9 1.16 5.2 4.3 2863 15 L15 8 61 31 5.4 0.71 0.07 11.30 0.25 11.4 51.6 0.78 5.2 4.3 2863 16 L16 45 16 40 5.5 3.83 0.36 10.30 0.36 14.5 58.2-3.9 3.1 2318 17 L17 34 23 43 4.8 1.03 0.11 7.00 0.09 9.9 35.1 2.04 3.9 3.1 2318 18 L18 11 35 54 4.5 2.63 0.25 4.70 0.13 12.5 30.7 2.51 3.9 3.1 2318 19 L19 8 18 74 5.1 2.31 0.22 3.10 0.18 14.0 32.8 1.46 3.9 3.1 2318 20 L20 14 17 69 6.0 2.23 0.20 10.40 0.30 14.8 65.4-3.9 3.1 2318 21 L21 5 21 74 5.3 2.40 0.23 6.00 0.22 15.6 46.5 0.24 3.9 3.1 2318 22 L22 48 16 37 4.3 1.75 0.17 6.90 0.11 8.4 32.3 2.42 3.9 3.1 2318 Rataan 29 25 47 5,3 1,97 0,19 7,54 0,24 11,6 54,5 0,65 4,4 4,4 2366

83 Lampiran 5. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi ubikayu Jawa Barat. Kualitas Lahan/ Karakter Lahan Media perakaran (r ) - Tekstur C dan SiC SiCL, SC, dan CL SL, SCL, L, dan SiL S, Si, dan LS Retensi hara (f) - KTK >13,54 12,82-13,54 <12,82 - - KB (%) >41,17 34,96-41,17 <34,96 - - ph 4,84-5,2 4,71-4,84 4,49-4,71 <4,49 5,2-5,38 5,38-5,7 >5,7 - C-organik (%) >1,32 1,01-1,32 <1,01 Toksisitas (x) Kelas Kesesuaian Lahan Sangat Sesuai (S1) Cukup Sesuai (S2) Sesuai marjinal (S3) Tidak Sesuai (N) - Al-dd (me/100g) <3,79 3,79-7,11 >12,91 - Kondisi medan/ terrain (m) - Lereng (%) <15,57 15,57-28,15 28,15-50,15 >50,15 Keterangan : C = Clay; L = Loam; S = pasir (Sand); Si = debu (Silt), SL = lempung berpasir (Sandy loam); pasir berlempung (Loamy Sand); SC = liat berpasir (Sandy Clay); SCL = Lempung Liat Berpasir; SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu. Lampiran 6. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi pati ubikayu Jawa Barat. Kualitas Lahan/ Karakter Lahan Media perakaran (r ) - Tekstur SiL dan CL L dan SiCL SL, Si dan SCL LS, S, C, SC, dan SiC Retensi hara (f) - KTK >13,78 13,29-13,78 <13,29 - - KB (%) >41,75 37,84-41,75 <37,84 - - ph 4,79-5,31 4,71-4,79 4,6-4,71 <4,6 5,31-5,37 5,37-5,48 >5,48 - C-organik (%) >1,33 1,13-1,33 <1,13 Toksisitas (x) - Al-dd (me/100g) <3,01 3,01-5,55 >5,55 - Kondisi medan/ terrain (m) Kelas Kesesuaian Lahan Sangat Sesuai (S1) Cukup Sesuai (S2) Sesuai marjinal (S3) Tidak Sesuai (N) - Lereng (%) <12,42 12,42-21,84 21,84-38,29 >38,29 Keterangan : C = Clay; L = Loam; S = pasir (Sand); Si = debu (Silt), SL = lempung berpasir (Sandy loam); pasir berlempung (Loamy Sand); SC = liat berpasir (Sandy Clay); SCL = Lempung Liat Berpasir; SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu.

84 Lampiran 7. Peta Administrasi Penelitian Lampiran 8. Peta Curah Hujan Penelitian

85 Lampiran 9. Peta Geologi Penelitian Lampiran 10. Peta Geomorfologi Penelitian

86 Lampiran 11. Peta Tanah Penelitian Lampiran 12. Peta Ketinggian Tempat Penelitian

87 Lampiran 13. Peta Kemiringan Lereng Penelitian

88 Lampiran 14. Foto Beberapa Sampel Ubikayu Budidaya monokultur ubikayu menggunakan sistem double row Budidaya ubikayu di daerah berlereng Budidaya ubikayu varietas non lokal (Thailand) di Provinsi Lampung Proses pemanenan ubikayu menggunakan alat pengungkit