BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wira Gauthama,2014

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODELOGI PENELITIAN

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI

2017, No Safety Regulations Part 65) Sertifikasi Ahli Perawatan Pesawat Udara (Licensing of Aircraft Maintenance Engineer) Edisi 1 Amandemen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta

Smart, Innovative, Professional

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB I PENDAHULUAN. berkala agar tetap relevan dengan perkembangan jaman. pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan

2017, No personel ahli perawatan harus memiliki sertifikat kelulusan pelatihan pesawat udara tingkat dasar (basic aircraft training graduation

BAB I PENDAHULUAN. peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan. mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan Sistem

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau

I. PENDAHULUAN. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pembangunan dalam dunia pendidikan. Pembangunan dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP. 271 TAHUN 2012

STANDAR PROSES PEMBELAJARAN

B A B I PENDAHULUAN. khususnya proses pembelajaran di sekolah terus di lakukan seiring dengan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peran penting dalam peradaban manusia. Pendidikan

2016, No Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidik

BAB 1 PENDAHULUAN. mengembangkan pola kehidupan bangsa yang lebih baik. berorientasi pada masyarakat Indonesia seutuhnya, menjadikan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu.

I. PENDAHULUAN. cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan, nilai-nilai atau

I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan bangsa, pendidikan merupakan salah satu aspek penting

BAB I PENDAHULUAN. bersaing di era globalisasi dan tuntutan zaman. Perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan, oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya mencerdaskan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara yang berkembang dengan jumlah penduduk besar, wilayah

BAB I PENDAHULUAN. semakin pesat. Hal ini menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas,

1. PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan penting dalam pembentukan generasi muda penerus bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. keharusan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peningkatan sumber daya manusia diupayakan melalui pendidikan baik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Inspektur Penerbangan. Kewenangan. Perubahan.

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perubahan zaman, semakin maju pula peradaban dunia yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan harus berlangsung secara berkelanjutan. Dari sinilah kemudian muncul istilah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pada kemampuan bangsa itu sendiri dalam meningkatkan kualitas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai warga negara perlu mengembangkan diri untuk dapat hidup

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan zaman yang semakin modern terutama pada era

BAB I PENDAHULUAN. peradaban yang lebih sempurna. Sebagaimana Undang Undang Dasar Negara

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL SEKOLAH TINGGI MULTI MEDIA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Angga Triadi Efendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. perubahan zaman. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. karena tanpa pendidikan manusia akan mengalami banyak kesulitan dan

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting untuk menjamin

BAB I PENGANTAR. peraturan yang tegas dan ketat serta mementingkan sertifikasi kelayakan di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. memberikan hak cuti kepada guru yang akan melaksanakan kegiatan penelitian dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam kehidupan suatu negara memegang peranan yang. sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa.

Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Disusun Oleh : LINA FIRIKAWATI A

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan upaya yang sangat strategis untuk mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan nasional pada dewasa ini diarahkan pada taraf hidup dan

BAB I PENDAHULUAN. bidang pendidikan, bidang sosial dan lain sebagainya, sehingga memberikan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu tujuan cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan, ini berarti bahwa setiap

I. PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia maka perlu dikembangkan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN (MANUAL OF STANDARD

2015 MANFAAT HASIL BELAJAR MENYEDIAKAN LAYANAN ROOM SERVICE PADA KESIAPAN PRAKTIK KERJA INDUSTRI SMK ICB CINTA WISATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. latar Belakang Pendidikan di Indonesia semakin hari kualitasnya semakin rendah.

BAB I PENDAHULUAN. di hampir semua aspek kehidupan manusia. Di satu sisi perubahan itu bermanfaat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Purwanti Febriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan Ilmu Pengetahuan teknologi mempercepat modernsasi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan upaya manusia untuk memperluas cakrawala

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu faktor yang menentukan kemajuan bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 473 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang sudah menyelesaikan pendidikannya adalah aktor-aktor penting yang

PENGARUH AKTIVITAS BELAJAR SISWA DAN PARTISIPASI DALAM. KEGIATAN OSIS TERHADAP PRESTASI BELAJAR PKn PADA SISWA

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faris Fauzi, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia. dan Undang-undang Dasar Tahun Upaya tersebut harus selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyebabnya bukan saja anggaran pemerintah yang relatif rendah tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

PENGEMBANGAN AKTIVITAS BELAJAR EKONOMI MELALUI METODE PEMBELAJARAN JIGSAW PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 TERAS TAHUN AJARAN 2009/2010

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DI SMK NEGERI 9 SURAKARTA TESIS. Oleh : Ties Setyaningsih

BAB I PENDAHULUAN. manusia Indonesia, yaitu manusia yang mampu berfikir tinggi dan kreatif,

I. PENDAHULUAN. agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

SALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan pengaruh globalisasi transportasi udara dalam dekade terakhir ini berpengaruh langsung terhadap peningkatan kebutuhan dan kualifikasi tenaga teknisi pesawat udara. Salah satu pengaruh globalisasi dalam cakupan regional negara negara di Asia Tenggara berwujud dalam bentuk ASEAN Single Aviation Market (ASAM) tahun 2015 atau dikenal sebagai ASEAN Open Skies, yang berdampak langsung terhadap estimasi tambahan tenaga kerja bidang penerbangan dengan berbagai tingkatan kecakapan dan keterampilan (Sutarmadji, 2012). Kebutuhan ini tentu diharapkan dapat dipenuhi dari sekolah sekolah vokasional, baik di tingkat menengah maupun tingkat perguruan tinggi. Sebagai salah satu perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, maka Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug mengemban amanah Undang Undang Penerbangan No. 1 Tahun 2009 untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan teknisi pesawat udara melalui program studi teknik pesawat udara selain juga sebagai pendidikan tinggi yang menjadi bagian dari pendidikan nasional yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Program Studi Teknik Pesawat Udara (Prodi TPU) STPI Curug mempunyai peran signifikan untuk menghasilkan lulusan lulusan yang dapat mengisi dan memanfaatkan salah satu peluang bertambahnya kesempatan kerja sebagai keuntungan dari ASEAN Open Skies di bidang perawatan pesawat udara. Pendidikan nasional dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

2 bangsa, dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. Sebagai pendidikan tinggi, STPI Curug menyelenggarakan pendidikan vokasi program diploma yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan atau Teknologi, dengan misi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta penelitian teknologi terapan di bidang penerbangan dalam rangka mencerdaskan bangsa dengan menciptakan sumber daya manusia penerbangan yang memiliki iman dan taqwa, berkualitas internasional, mampu bersaing, mandiri dan profesional. Program Studi Teknik Pesawat Udara (Prodi TPU) STPI Curug berfungsi untuk melaksanakan pendidikan, pelatihan dan penelitian teknologi terapan dalam bidang perawatan pesawat udara. Penerbangan, dalam Undang Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis. Pembinaan penerbangan dilakukan oleh pemerintah dan salah satu maksud pembinaan tersebut adalah untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa kedirgantaraan, profesional, dan mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan penerbangan. Peran pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam penerbangan dinyatakan dalam Pasal 58 UU No. 1 tentang Penerbangan Tahun 2009 yang menyatakan bahwa setiap personel pesawat udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi yang sah dan masih berlaku, dan sertifikat kompetensi tersebut diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi. Teknisi perawatan pesawat udara merupakan salah satu personel pesawat udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian pesawat udara.

3 Annex 1 Personnel Licencing yang dikeluarkan oleh International Civil Aviation Organization, ICAO, (2000, hlm. 4-1) mengemukakan tugas tugas teknisi perawatan pesawat udara yang tercakup dalam terminologi aircraft maintenance memperlihatkan cakupan tugas tugas yang diperlukan dalam menjamin terlaksananya suatu kelaikan udara yang berkelanjutan (continuing airwothiness), sehingga seorang calon teknisi harus mampu menampilkan suatu level pengetahuan tertentu sesuai dengan tanggungjawabnya sebagai pemegang lisensi perawatan pesawat dan melakukan pekerjaan pekerjaan perawatan yang sesuai dengan cakupan tanggungjawab perawatan yang dibebankan kepadanya. Dalam rangka pemenuhan tujuan mempersiapkan calon teknisi pesawat udara yang berkualitas, memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mampu menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan yang optimal dan sesuai dengan kebutuhan industri penerbangan moderen serta kemajuan teknologi pesawat udara, maka pendidikan dan atau pelatihan tersebut memerlukan suatu proses pembelajaran yang efektif dan berkualitas. Berdasarkan pengertian pembelajaran yang dikemukakan oleh Miarso (2009, hlm. 545) sebagai usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain yang dapat dilakukan oleh seseorang atau suatu tim yang memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merancang dan atau mengembangkan sumber belajar yang diperlukan, maka pembelajaran yang berkualitas adalah pembelajaran yang antara lain adalah memiliki kesesuaian dengan standar tertentu, kesesuaian dengan kebutuhan tertentu, kesepadanan dengan karakteristik dan kondisi tertentu, dengan tuntutan zaman, ketersediaan pada saat dibutuhkan, keterandalan dalam berbagai kondisi, daya tarik yang tinggi. Pembelajaran yang efektif menurut Miarso (2009, hlm. 546) adalah pembelajaran yang menghasilkan belajar yang bermanfaat dan bertujuan kepada para mahasiswa melalui pemakaian prosedur yang tepat. Salah satu indikator terjadi pembelajaran yang efektif menurut identifikasi yang dilakukan oleh Wotruba dan Wright (1975) dalam Miarso (2009, hlm. 546)

4 berdasarkan kajiannya atas sejumlah penelitian adalah adanya hasil belajar mahasiswa yang baik. Hasil belajar yang baik bagi mahasiswa Prodi TPU telah ditetapkan dalam suatu standar kompetensi tertentu yang berstandar Internasional, maupun standar nasional dalam bentuk Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (Civil Avition Safety Regulation, CASR) yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan RI. Salah satu kompetensi yang ditentukan adalah kemampuan untuk melakukan pencarian dan perbaikan terhadap kerusakan pada sistem pesawat udara tanpa melakukan kesalahan atau yang biasa disebut dengan troubleshooting (AC 65-2, 1998) dengan fault-free performance yang merupakan standar dalam praktik perawatan di lapangan sehingga perlu dilatihkan dalam pembelajaran. Pembelajaran troubleshooting dalam kurikulum Prodi TPU diadopsi dari FAA (Flight Standard Service, AC 147-3A, 2005, hlm. 3,4) termasuk dalam Teaching Level 3 yang mengarahkan mahasiswa untuk memiliki hands-on manipulative skill, dan memerlukan media instruksional yang tepat dan memadai untuk memungkinkan mahasiswa dilatih untuk mengembangkan hands on manipulative skill yang memadai tersebut untuk mensimulasikan kondisi Return To Service (RTS), yaitu pengembangan keterampilan yang diperlukan mahasiswa untuk membuat suatu bagian atau komponen pesawat menjadi laik udara (airworthy condition). Tujuan pembelajaran troubleshooting adalah agar mahasiswa memiliki kemampuan untuk melakukan identifikasi terhadap kerusakan, mengeliminasi kerusakan, memperbaiki serta mengembalikan kondisi pesawat udara menjadi laik udara sebagai salah satu kompetensi yang diharapkan. Untuk memenuhi tujuan pembelajaran tersebut, pembelajaran troubleshooting mahasiswa Prodi TPU dilakukan pada simulator perawatan yang memiliki fungsi troubleshooting. Gagne (1985, hlm. 284) mengungkapkan bahwa jika resiko kerusakan atau faktor keamanan merupakan bagian dari kinerja bebas dari kegagalan atau fault-free performance dijadikan tujuan atau hasil suatu pembelajaran, maka media yang dipilih dapat berupa perlengkapan yang ril (real equipment) atau simulasi tugas tugas yang nyata (real task simulation) dengan mempergunakan media ril tersebut.

5 Sifat kritis dan keamanan dari pekerjaan atau pembelajaran praktik tersebut dengan fault-free performance mengakibatkan perlunya media representasi kegiatan nyata dalam bentuk simulasi di suatu simulator. Pentingnya pemanfaatan simulasi diperlukan untuk berbagai tugas perawatan pesawat udara, sehingga dapat membantu mendesain sistem pelatihan perawatan pesawat udara melalui analisis interaksi faktor faktor yang mempengaruhi performansi dan kemungkinan performansi lain yang muncul saat melakukan pekerjaan sebagai teknisi (Cacciabue, Mauri dan Owen, 2003, hlm. 229). Kecelakaan pesawat udara yang disebabkan oleh faktor perawatan memang kecil tetapi berakibat serius. Data dari Australian Transport Safety Board (ATSB) pada Line Maintenance (perawatan lini) dalam Cacciabue, Mauri dan Owen (2003, hlm. 229) mengungkapkan bahwa 95% error dalam bidang perawatan pesawat udara disebabkan oleh kesalahan manusia. Latihan latihan perawatan dalam praktik perawatan sistem pesawat udara untuk mencapai fault free performance diharapkan dapat mengurangi human error yang terjadi dalam bidang perawatan di lapangan. Berdasarkan standar dalam AC 147-3A (2005, hlm. Appendiks 3 dan 4), pembelajaran troubleshooting pada semua bobot pembelajaran (Teaching Level) 3. simulator tersebut memiliki Hasil pengamatan awal yang dilakukan penulis terhadap hasil pencapaian (prestasi belajar) mahasiswa dalam pembelajaran troubleshooting di simulator dengan menggunakan modul yang dipergunakan sekarang memperlihatkan bahwa pencapaian fault-free performance mahasiswa yang melakukan pembelajaran troubleshooting tersebut masih rendah. Hal ini terlihat dalam tabel 1.1 di bawah ini yang merupakan rekapitulasi hasil pencapaian fault-free performance dalam troubleshooting mata kuliah praktikum simulator perawatan sistem listrik pesawat udara dalam empat program pendidikan tiga tahun terakhir. Tabel 1.1 Rekapitulasi Rata Rata Prosentase Hasil Pencapaian Fault-Free Performance Mahasiswa Prodi TPU (Sumber : Rekapitulasi Laporan Pendidikan Prodi TPU 2009-2012) Deskripsi Nilai Program Pendidikan ND ND ND ND

6 Nilai Rata Rata Fault Free Performance dalam Troubleshooting TPU V TPU VI A TPU VI B TPU VII 61,14 % 61,57 % 63,43 % 63,86 % Tabel tersebut memperlihatkan bahwa dengan batas lulus 70 %, sebagian besar mahasiswa tidak mampu mencapai item item indikator kemampuan mengerjakan identifikasi kerusakan dan penggantian atau perbaikan komponen dengan tanpa kesalahan. Pencapaian sub sub kompetensi pendukung lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 208. Hasil pengamatan awal tersebut mengindikasikan bahwa proses pembelajaran belum mampu menghasilkan pencapaian fault-free performance yang ditetapkan dalam tujuan pembelajaran. Sebagai suatu pembelajaran yang diharapkan dapat membentuk kompetensi utama sebagai seorang calon teknisi pesawat udara maka perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk dapat mengetahui faktor penyebab utama dan upaya perbaikannya sehingga tujuan pencapaian kompetensi dapat tercapai. B. Identifikasi Masalah Proses pembelajaran troubleshooting di Prodi TPU dipengaruhi oleh berbagai aspek sebagaimana juga pembelajaran perawatan yang lain. Aspek pertama adalah lingkungan belajar yang mampu menampilkan lingkungan belajar troubleshooting yang serepresentatif dan senyata mungkin dengan realitas, dalam hal ini telah diperankan oleh simulator perawatan sistem pesawat udara. Simulator yang berfungsi baik dapat memerankan sistem pesawat udara yang sesungguhnya bagi mahasiswa sehingga mereka akan dikondisikan seperti pada pesawat sesungguhnya, dengan latihan latihan yang merepresentasikan kegiatan troubleshooting di lapangan. Simulator yang tidak berfungsi baik akan menyebabkan kedalaman dan jumlah latihan yang diperlukan menjadi tidak memadai.

7 Aspek selanjutnya adalah kondisi mahasiswa yang akan melakukan pembelajaran troubleshooting, mencakup bagaimana penguasaan mereka terhadap konsep konsep troubleshooting dan sistem pesawat udara. Aspek ini berkaitan dengan kesiapan melakukan pembelajaran di simulator. Belajar Troubleshooting memerlukan akumulasi berbagai pengetahuan dan keterampilan dasar yang telah dipelajari pada semester semester sebelumnya, sehingga kesiapan mahasiswa dalam menguasai materi materi dasar pembelajaran sangat diperlukan. Aspek yang memiliki pengaruh penting lain adalah terkait dengan modul belajar troubleshooting. Pembelajaran troubleshooting di Prodi TPU seharusnya merupakan pembelajaran individual dengan menggunakan modul sebagai panduan dalam mempelajari troubleshooting yang disimulasikan pada simulator perawatan sistem pesawat udara. Sebagai suatu pembelajaran, hasil pembelajaran troubleshooting yang baik tidak terlepas dari pengaruh berbagai komponen proses pembelajaran sebagaimana diungkapkan oleh Sanjaya (2011, hlm. 141) yang terdiri dari komponen tujuan, isi atau materi, metode, media dan evaluasi. Pembelajaran individual mempergunakan modul pada dasarnya didesain agar mampu mengarahkan mahasiswa untuk melakukan interaksi secara mandiri dengan modul tanpa bantuan teman sejawat atau pengajar, sebagaimana dinyatakan oleh Dick, Carey dan Carey (2009, hlm. 223). Modul pembelajaran troubleshooting yang menjadi panduan bagi mahasiswa Prodi TPU untuk melakukan kegiatan kegiatan pembelajaran secara umum tidak memiliki konten bagaimana suatu kegiatan troubleshooting dilakukan dengan ukuran keselamatan tertentu dan tidak terdapat mekanisme untuk menguji kemajuan pencapaian kompetensi mahasiswa secara mandiri. Berdasarkan latar belakang di atas dan pengamatan awal yang dilakukan, Penulis mengidentifikasi rendahnya pencapaian fault-free performance disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Kesiapan perlengkapan praktik dan simulasi yang memadai. Simulator perawatan sistem pesawat udara telah menjadi fasilitas latihan kelengkapan standar Prodi TPU sehingga tingkat kesiapannya selalu diupayakan untuk

8 optimum melalui sistem perawatan yang digunakan. Kerusakan yang terjadi dapat menyebabkan beberapa item simulasi tidak dapat dilakukan. Ada kalanya kerusakan yang terjadi dapat mengganggu keberlanjutan pembelajaran namun dapat diatasi dengan simulator lain yang dalam kondisi yang baik. 2. Kesiapan mahasiswa untuk melakukan praktik dan simulasi di simulator, terkait dengan penguasaan materi materi dasar (pengetahuan dan keterampilan prasyarat) yang dibutuhkan untuk melakukan pembelajaran troubleshooting di simulator. Pengetahuan dan keterampilan dasar tersebut dipelajari pada semester semester awal sehingga memerlukan waktu bagi mahasiswa untuk mereviu materi tersebut. 3. Modul pembelajaran tidak menampilkan kegiatan yang merepresentasikan pencapaian fault-free performance. Sistematika atau sekuensial dan konten secara umum tidak menampilkan urutan kegiatan dan materi pembelajaran yang merepresentasikan kegiatan melatih pencapaian fault-free performance melalui prosedur kegiatan troubleshooting yang dilakukan. Modul tidak menyediakan mekanisme untuk mengukur keberhasilan pembelajaran troubleshooting dan pencapaian fault-free performance melalui kegiatan troubleshooting tersebut secara mandiri walaupun simulator memiliki karakteristik yang mampu menyediakan mekanisme tersebut. Dalam interaksi pembelajaran, mahasiswa masih memerlukan diskusi dengan dosen atau instruktur terutama sekali pada materi yang memiliki potensi resiko terhadap kerusakan peralatan atau bahaya bagi pengguna, karena modul pembelajaran yang dipergunakan tidak memiliki feedback atau umpan balik yang memadai bagi mahasiswa untuk mengukur apakah tindakan yang mereka lakukan benar atau salah. Pengamatan awal yang dilakukan tersebut di atas memperlihatkan bahwa modul yang dipergunakan belum optimal untuk mendukung pencapaian fault-free performance mahasiswa walaupun pencapaian keterampilan teknis troubleshooting telah memenuhi batas kriteria keberhasilan minimum yang dipersyaratkan.

9 Standar yang ditetapkan dalam kurikulum untuk pembelajaran troubleshooting adalah level 3 pembelajaran, yang menuntut kriteria pembelajaran troubleshooting yang tinggi karena terkait dengan kemampuan mahasiswa melakukan perawatan seperti pada sistem pesawat sesungguhnya dan dengan kemampuan sebagai seorang teknisi yang telah tersertifikasi dengan melakukan setiap pekerjaan perawatan dengan tingkat keselamatan atau fault-free performance yang tinggi. Standar tersebut juga memperlihatkan hubungan yang erat antara kegiatan perawatan dalam troubleshooting dengan fault-free performance sebagai suatu wilayah yang saling mendukung, sehingga dalam pendidikan teknisi perawatan pesawat diperlukan suatu bentuk modul pembelajaran sebagai bahan ajar yang mampu mendukung pembelajaran troubleshooting di simulator perawatan sistem pesawat udara untuk mengakomodasi terbentuknya kemampuan teknis troubleshooting bersamaan dengan kompetensi fault-free performance. C. Rumusan Masalah Kemampuan melakukan troubleshooting dengan fault-free performance bagi mahasiswa Prodi TPU adalah sebagai hasil dari implementasi kurikulum sebagai suatu proses pembelajaran dan dipengaruhi oleh faktor kesiapan simulator, kondisi mahasiswa dan modul yang dipergunakan. Pembelajaran troubleshooting dengan tanpa kegagalan tersebut dipelajari oleh mahasiswa secara simulasi pada suatu simulator perawatan sistem pesawat udara. Proses pembelajaran troubleshooting mengharuskan mahasiswa secara mandiri untuk melakukan interaksi secara aktif dengan modul pembelajaran sebagai bahan ajar yang menjadi panduan dalam pembelajaran. Dick, Carey dan Carey (2009, hlm. 223) mengemukakan bahwa bahan ajar yang didesain harus memungkinkan siswa untuk belajar baik informasi dan keterampilan baru secara mandiri tanpa bantuan teman sejawat ataupun pengajar. Pendapat tersebut menegaskan bahwa pembelajaran troubleshooting merupakan bentuk dari pembelajaran individual yang memerlukan adanya suatu bahan ajar dalam bentuk modul pembelajaran

10 yang tepat dan mengandung pengetahuan, konsep, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan mahasiswa untuk dikuasai secara mandiri untuk mencapai kemampuan akhir dalam bentuk fault-free performance. Dengan mempertimbangkan kesiapan media simulator telah dioptimumkan dan kesiapan belajar mahasiswa dapat ditingkatkan melalui reviu reviu pada materi yang relevan, maka berdasarkan latar belakang masalah dan konsep teoritis yang mendukung munculnya permasalahan tersebut, penulis melakukan pembatasan dan perumusan masalah agar kajian ini dapat tersusun secara fokus dan sistematis pada : Modul pembelajaran troubleshooting seperti apakah yang dapat meningkatkan fault free performance mahasiswa pada suatu simulator perawatan sistem pesawat udara? D. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, penulis mengembangkan pertanyaan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi pembelajaran troubleshooting di simulator perawatan sistem pesawat udara dengan menggunakan modul di Program Studi Pesawat yang terjadi saat ini? 2. Modul pembelajaran troubleshooting seperti apa yang dapat dipergunakan mahasiswa di simulator perawatan sistem pesawat udara agar dapat -nya? Pertanyaan tersebut diurai lebih rinci dalam pertanyaan pertanyaan di bawah ini : a. Bagaimanakah desain modul pembelajaran yang berhubungan dengan kemampuan troubleshooting dan fault-free performance? b. Bagaimanakah langkah langkah implementasi modul pembelajaran tersebut dapat dilakukan untuk? c. Evaluasi modul pembelajaran seperti apa yang dapat mengukur tercapainya standar fault-free performance?

11 3. Apakah dampak pengembangan modul pembelajaran troubleshooting terhadap fault-free performanc troubleshooting mahasiswa? E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melakukan beberapa kegiatan kajian sebagai bagian dari proses untuk mengembangkan suatu bentuk modul pembelajaran troubleshooting yang bertujuan untuk. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang perumusan suatu bentuk modul pembelajaran troubleshooting yang sesuai dengan karakteristik pekerjaan perawatan pesawat sehingga pembelajaran tersebut dapat mahasiswa. Sedangkan secara spesifik, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi kondisi pembelajaran troubleshooting bermodul pada simulator perawatan sistem pesawat yang dilakukan mahasiswa pada saat ini dan pengaruhnya terhadap pencapaian fault-free performance. 2. Mendesain dan mengembangkan suatu desain modul belajar troubleshooting yang mampu, yang terdiri dari kegiatan : a. Merumuskan suatu desain modul pembelajaran troubleshooting berdasarkan karakteristik perawatan sistem pesawat udara, karakteristik simulator, dan karakteristik pembelajaran troubleshooting yang dapat dikembangkan untuk. b. Merumuskan dan melakukan langkah langkah implementasi modul pembelajaran tersebut dalam pembelajaran troubleshooting. c. Melakukan kajian bagaimana bentuk evaluasi yang dapat dikembangkan terhadap modul pembelajaran untuk mengukur pencapaian standar faultfree performance. 3. Menganalisis dampak implementasi pengembangan modul pembelajaran troubleshooting terhadap peningkatan fault-free perfromance mahasiswa. F. Manfaat Penelitian

12 Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari sudut pandang operasional dan kebijakan kurikulum yaitu : 1. Dapat dipergunakan oleh mahasiswa pengembang kurikulum sebagai acuan pembanding dalam mengembangkan modul belajar dengan konten konten yang tepat sesuai dengan kompetensi spesifik yang diharapkan sebagai hasil belajar. 2. Implementasi modul dalam pembelajaran dapat dijadikan upaya untuk meningkatkan kemampuan dosen pendamping dalam menguasai latihan latihan troubleshooting yang spesifik di simulator. 3. Konten konten spesifik dalam modul terkait keselamatan dan sikap kerja dapat menempatkan posisi dosen pendamping benar benar sebagai safety supervisor sehingga keselamatan mahasiswa pengguna dan peralatan dapat lebih terjamin. G. Definisi Operasional Penelitian ini melibatkan beberapa istilah istilah operasional kunci yang perlu didefinisikan terlebih dahulu. Definisi definisi tersebut adalah : 1. Pembelajaran Troubleshooting : merupakan kegiatan pembelajaran berbentuk simulasi dan praktik untuk mencari, mengidentifikasi sumber kerusakan serta melakukan perbaikan atau penggantian yang diperlukan dalam suatu sistem pesawat udara untuk mengembalikan kondisi pesawat dapat diterbangkan kembali. Kegiatan tersebut merepresentasikan kegiatan serupa di lapangan namun dilakukan dalam suatu simulator perawatan sistem pesawat udara. Modul pembelajaran troubleshooting pada dasarnya merupakan panduan mahasiswa dalam melakukan praktik troubleshooting pada simulator perawatan sistem pesawat udara yang mengandung konten berupa kegiatan kegiatan troubleshooting sebagaimana konten yang terdapat dalam manual perawatan sistem pesawat udara sesungguhnya. 2. Fault - Free Performance : akumulasi kemampuan seseorang teknisi, dalam cakupan ini adalah seorang mahasiswa untuk melakukan suatu kegiatan

13 pembelajaran dalam bentuk pekerjaan perawatan atau kegiatan beresiko lain dengan tanpa kesalahan, dimana dalam keadaan nyata kesalahan tersebut dapat berakibat fatal terhadap keselamatan peralatan dan manusia. Fault-free performance merupakan kompetensi sebagai hasil belajar yang diharapkan setelah mahasiswa melakukan simulasi dan praktik pada suatu sistem pesawat udara. Pengukuran hasil belajar dilakukan dengan observasi terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan mahasiswa.