BAB 2 LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pertemuan 2 Representasi Citra

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

BAB 2 LANDASAN TEORI

SAMPLING DAN KUANTISASI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Citra Digital

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Klasifikasi Kualitas Keramik Menggunakan Metode Deteksi Tepi Laplacian of Gaussian dan Prewitt

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Model Citra (bag. 2)

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

MKB3383 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA Pemrosesan Citra Biner

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TEORI PENUNJANG

PENDETEKSI TEMPAT PARKIR MOBIL KOSONG MENGGUNAKAN METODE CANNY

Citra Digital. Petrus Paryono Erick Kurniawan Esther Wibowo

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM

PERBANDINGAN METODE ROBERTS DAN SOBEL DALAM MENDETEKSI TEPI SUATU CITRA DIGITAL. Lia Amelia (1) Rini Marwati (2) ABSTRAK

SEGMENTASI CITRA DIGITAL IKAN MENGGUNAKAN METODE THRESHOLDING DIGITAL FISH IMAGE SEGMENTATION BY THRESHOLDING METHOD

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Operasi-operasi Dasar Pengolahan Citra Digital

Pendeteksian Tepi Citra CT Scan dengan Menggunakan Laplacian of Gaussian (LOG) Nurhasanah *)

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB II LANDASAN TEORI

PRAPROSES CITRA MENGGUNAKAN KOMPRESI CITRA, PERBAIKAN KONTRAS, DAN KUANTISASI PIKSEL

BAB II LANDASAN TEORI

Penggunaan Metode Template Matching Untuk Mendeteksi Cacat Pada Produksi Peluru.

APLIKASI DETEKSI MIKROKALSIFIKASI DAN KLASIFIKASI CITRA MAMMOGRAM BERBASIS TEKSTUR SEBAGAI PENDUKUNG DIAGNOSIS KANKER PAYUDARA

BAB IV PREPROCESSING

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

Analisa Perbandingan Metode Edge Detection Roberts Dan Prewitt

Penggunaan Jaringan Syaraf Tiruanuntuk Membaca Karakter pada Formulir Nilai Mata Kuliah

SISTEM PENGKLASIFIKASIAN KUALITAS KERAMIK DENGAN MENGGUNAKAN METODE LOG DAN PREWITT

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Pengenalan Citra

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 3 PENGENALAN KARAKTER DENGAN GABUNGAN METODE STATISTIK DAN FCM

BAB 2 LANDASAN TEORI

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

Studi Digital Watermarking Citra Bitmap dalam Mode Warna Hue Saturation Lightness

IMPLEMENTASI METODE SPEED UP FEATURES DALAM MENDETEKSI WAJAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. dilakukan oleh para peneliti, berbagai metode baik ekstraksi fitur maupun metode

Representasi Citra. Bertalya. Universitas Gunadarma

KLASIFIKASI TELUR AYAM DAN TELUR BURUNG PUYUH MENGGUNAKAN METODE CONNECTED COMPONENT ANALYSIS

... BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra

SEGMENTASI CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITMA WATERSHED DAN LOWPASS FILTER SEBAGAI PROSES AWAL ( November, 2013 )

BAB 2 LANDASAN TEORI

UJI COBA PERBEDAAN INTENSITAS PIKSEL TIAP PENGAMBILAN GAMBAR. Abstrak

Pertemuan 3 Perbaikan Citra pada Domain Spasial (1) Anny Yuniarti, S.Kom, M.Comp.Sc

BAB 1V HASIL SIMULASI DAN ANALISIS

BAB 3 PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

ANALISIS EDGE DETECTION CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE ROBERT DAN CANNY

BAB II LANDASAN TEORI

PERBANDINGAN METODE PENDETEKSI TEPI STUDI KASUS : CITRA USG JANIN

Prototype Aplikasi Pengolah Citra Invert Sebagai Media Pengolah Klise Foto

BAB II LANDASAN TEORI

Segmentasi Citra Digital Menggunakan Thresholding Otsu untuk Analisa Perbandingan Deteksi Tepi

BAB 2 LANDASAN TEORI

Konvolusi. Esther Wibowo Erick Kurniawan

DETEKSI NOMINAL MATA UANG DENGAN JARAK EUCLIDEAN DAN KOEFISIEN KORELASI

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP )

Bangun yang memiliki sifat-sifat tersebut disebut...

BAB 2 LANDASAN TEORI

APLIKASI IMAGE THRESHOLDING UNTUK SEGMENTASI OBJEK

PENDETEKSIAN TEPI OBJEK MENGGUNAKAN METODE GRADIEN

Pengembangan Algoritma Pengubahan Ukuran Citra Berbasiskan Analisis Gradien dengan Pendekatan Polinomial

Mengenal Lebih Jauh Apa Itu Point Process

BAB III PERANCANGAN SISTEM. Pada dewasa sekarang ini sangat banyak terdapat sistem dimana sistem tersebut

Pengenalan Telur Berdasarkan Karakteristik Warna Citra Yustina Retno Wahyu Utami 2)

IMPLEMENTASI METODE HARMONIC MEAN FILTERDAN CANNY UNTUK MEREDUKSI NOISEPADA CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Transkripsi:

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengolahan Citra Pengolahan citra adalah kegiatan memanipulasi citra yang telah ada menjadi gambar lain dengan menggunakan suatu algoritma atau metode tertentu. Proses ini mempunyai data masukan dan informasi keluaran yang berbentuk citra. Teknikteknik pengolahan citra biasanya digunakan untuk melakukan transformasi dari satu citra ke citra yang lain. Pengolahan citra meliputi penajaman citra, penonjolan fitur tertentu dari suatu citra kompresi citra dan koreksi citra yang tidak fokus atau kabur dan berbagai manipulasi citra lainnya. Umumnya, operasi-operasi pada pengolahan citra diterapkan pada citra untuk meningkatkan kualitas penampakan atau untuk menonjolkan beberapa aspek informasi yang terkandung di dalam citra, mengelompokkan elemen pada citra dan menggabungkan citra dengan yang lain. 2.1.1 Citra Citra adalah gambar analog dalam dua dimensi. Dari sudut pandang matematika citra adalah fungsi menerus dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi, di dalam sebuah citra mengandung banyak informasi yang sering mengalami derau (noise) mengakibatkan informasi yang diperoleh dari citra tersebut menjadi kurang akurat. Derau (noise) yang terjadi misalnya warna yang terlalu kontras, kurang tajam, kabur (blurring) dan sebagainya. [7]

7 Citra digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer. Sebuah citra grayscale ukuran 150x150 piksel (elemen terkecil dari sebuah citra) diambil sebagian berukuran 9x8 piksel. Maka, monitor akan menampilkan sebuah kotak kecil. Namun, yang disimpan dalam memori komputer hanyalah angka-angka yang menunjukkan besar intensitas pada masing-masing piksel tersebut. [8] Citra digital dinyatakan dengan matriks berukuran N x M yang tersusun sebagai berikut: ff(0,0) ff(0,1) ff(1,0) ff(1,1) f(x,y)= ff(mm 2,0) ff(mm 2,1) ff(mm 1,0) ff(mm 1,1) ff(0, NN 2) ff(0, NN 1) ff(1, NN 2) ff(1, NN 1) ff(mm 2, NN 2) ff(mm 2, NN 1) ff(mm 1, NN 2) ff(mm 1, NN 1) keterangan: N = jumlah baris 0 y N 1 M = jumlah kolom 0 x M 1 G = maksimal warna intensitas 0 f(x,y) L 1 (derajat keabuan / gray level) Interval (0,G) disebut skala keabuan (grayscale). Besar G tergantung pada proses digitalisasinya. Biasanya keabuan 0 menyatakan intensitas hitam dan G menyatakan intensitas putih. Untuk citra 8 bit nilai G = 2 8 = 256 warna (derajat keabuan). Teknologi dasar untuk menciptakan dan menampilkan warna pada citra digital berdasarkan pada penelitian bahwa sebuah warna merupakan kombinasi dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru (Red, Green, Blue - RGB). [3] 2.1.1.1 Citra Biner Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai pixel yaitu hitam dan putih. Cita biner juga disebut sebagai citra B&W (black and

white) atau citra monokrom. Hanya dibutuhkan 1 bit untuk mewakili nilai setiap pixel dari citra biner. 8 Citra biner sering kali muncul sebagai hasil dari proses pengolahan seperti segmentasi, pengambangan, morfologi, ataupun dithering. [6] 2.1.1.2 Citra Grayscale Citra grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada setiap pixelnya, dengan kata lain nilai bagian Red = Green = Blue. Nilai tersebut digunakan untuk menunjukkan tingkat intensitas warnanya. Warna yang dimiliki adalah warna dari hitam, keabuan, dan putih. Tingkatan keabuan disini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga putih. [6] Citra grayscale memiliki derajat keabuan 8 bit seperti yang dapat dilihat berikut ini : Gambar 2.1 : Gradasi warna grayscale Operasi grayscale bertujuan untuk merubah citra 24 bit RGB menjadi citra abu-abu. Pemilihan pemrosesan pada tingkat abu-abu ini dikarenakan lebih sederhana. karena hanya menggunakan sedikit kombinasi warna dan dengan citra abu-abu dirasakan sudah cukup untuk memproses suatu gambar. Perubahan citra 24 bit RGB menjadi citra abu-abu adalah dengan menghitung rata-rata dari intensitas 0.299*red, 0.587*green, 0.114*blue dari citra 24 bit RGB. [2] Grayscale sendiri merupakan sebuah proses pengolahan citra yang biasa digunakan untuk mempertegas citra yang sebelumnya berupa citra warna lalu

dirubah menjadi citra digital dengan skala keabuan. Berikut merupakan contoh perubahan dari citra warna menjadi citra keabuan dengan proses grayscale : 9 Gambar 2.2 : Proses perubahan citra warna menjadi citra grayscale 2.1.2 Citra Warna (8 bit) Setiap pixel dari citra warna (8 bit) hanya mewakili oleh 8 bit dengan jumlah warna maksimum yang dapat digunakan adalah 356 warna. Ada dua jenis warna 8 bit. Pertama, citra warna 8 bit dengan menggunakan palet warna 256 dengan setiap paletnya memiliki pemetaan nilai (colormap) RGB tertentu. Model ini lebih sering digunakan. Kedua, setiap pixel memiliki format 8 bit sebagai berikut. [6] Gambar 2.3 : Format 8 bit 2.1.3 Citra Warna (16 bit) Citra warna 16 bit (biasanya disebut sebagai citra highcolor) dengan setiap pixelnya diwakili dengan 2 byte memory (16 bit).

10 Warna 16 bit memiliki 65.536 warna. Dalam formasi bitnya, nilai merah dan biru mengambil tempat di 5 bit di kanan dan kiri. Komponen hijau memiliki 5 bit ditambah 1 bit ekstra. Pemilihan komponen hijau dengan deret 6 bit dikarenakan penglihatan manusia lebih sensitif terhadap warna hijau. [6] 2.1.4 Citra Warna (24 bit) Setiap pixel dari citra warna 24 bit diwakili dengan 24 bit sehingga total 16.777.216 variasi warna. Variasi ini sudah lebih dari cukup untuk memvisualisasikan seluruh warna yang dapat dilihat penglihatan manusia. Penglihatan manusia dipercaya hanya dapat membedakan hingga 10 juta warna saja. Setiap poin informasi pixel (RGB) disimpan ke dalam 1 byte data. 8 bit pertama menyimpan nilai biru, kemudian diikuti dengan nilai hijau pada 8 bit kedua dan pada 8 bit terakhir merupakan warna merah. [6] 2.2 Bangun Ruang Bangun Ruang adalah bagian ruang yang dibatasi oleh himpunan titik-titik yang terdapat pada seluruh permukaan bangun tersebut. Permukaan bangun itu disebut sisi. Dalam memilih model untuk permukaan atau sisi, sebaiknya digunakan model berongga yang tidak transparan. Model untuk bola lebih baik digunakan sebuah bola sepak dan bukan bola bekel yang pejal, sedangkan model bagi sisi balok lebih baik digunakan kotak kosong dan bukan balok kayu. Hal ini mempunyai maksud untuk menunjukkan bahwa yang dimaksud sisi bangun ruang adalah himpunan titik-titik yang terdapat pada permukaan atau yang membatasi suatu bangun ruang tersebut. [9] 2.2.1 Kubus Kubus memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

11 1. Jumlah sisi ada 6 buah yang memiliki bentuk bujur sangkar. 2. Memiliki 8 titik sudut. 3. Memiliki 12 rusuk dengan panjang yang sama. 4. Memiliki 4 diagonal ruang dan 12 diagonal bidang Gambar 2.4 : Kubus 2.2.2 Balok Balok memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Alasnya berbentuk segi empat 2. Memiliki 12 rusuk 3. Memiliki 6 bidang sisi 4. Memiliki 8 titik sudut 5. Memiliki 4 diagonal ruang dan 12 diagonal bidang Gambar 2.5 : Balok 2.2.3 Bola Bola memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Hanya memiliki 1 bidang

12 2. Tidak memiliki sudut dan tidak memiliki rusuk Gambar 2.6 : Bola 2.2.4 Tabung Tabung memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Memiliki 2 rusuk 2. Alas dan atapnya berupa lingkaran 3. Memiliki 3 bidang sisi yaitu 2 bidang sisi lingkaran dan 1 bidang selimut Gambar 2.7 : Tabung 2.2.5 Limas Segitiga Limas Segitiga memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Alasnya berbentuk segitiga 2. Memiliki 4 bidang sisi (alas dan 3 sisi tegak) 3. Memiliki 6 rusuk 4. Memiliki 4 titik sudut

13 2.2.6 Kerucut Gambar 2.8 : Limas Segitiga Kerucut memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Memiliki 2 bidang sisi 2. Memiliki 2 rusuk dan 1 titik sudut Gambar 2.9 : Kerucut 2.3 JPEG JPEG (Joint Photographic Expert Group) merupakan format file yang paling tinggi tingkat popularitasnya dalam dunia digital fotografi. JPEG memiliki kemampuan dalam kedalaman warna 24 bit (3 saluran warna dimana masingmasing saluran memiliki kedalaman warna sebanyak 8 bit).

14 JPEG menghasilkan ukuran file kecil dengan memanfaatkan kompresi lossy. Kompresi lossy menghilangkan detail pada gambar sehingga dapat dikatakan sebagai kurangnya informasi. [4] 2.4 Thresholding Dalam pengolahan citra, proses operasi ambang batas atau sering disebut thresholding ini merupakan salah satu operasi yang sering digunakan dalam menganalisis suatu obyek citra. Threshold merupakan suatu cara bagaimana mempertegas citra dengan mengubah citra menjadi hitam dan putih (nilainya hanya tinggal menjadi antara 0 dan 1). Di dalam proses threshold ini harus ditetapkan suatu variabel yang berfungsi sebagai batas untuk melakukan konversi elemen matriks citra menjadi hitam atau putih. Jika nilai elemen matriks dibawah ini dikonversi menjadi nilai 0 (hitam) dan jika diatas nilai ini elemennya dikonversi menjadi 1. [10] Pengembangan citra (image thresholding) merupakan metode yang paling sederhana untuk melakukan segmentasi. Thresholding digunakan untuk mengatur jumlah derajat keabuan yang ada pada citra. Proses thresholding ini pada dasarnya adalah proses pengubahan kuantisasi pada citra. Untuk mendapatkan hasil segmentasi yang bagus, beberapa operasi perbaikan kualitas citra dilakukan terlebih dahulu untuk mempertajam batas antara objek dengan latar belakangnya. [1] Dalam pemanfaatan threshold biasanya untuk citra RGB (Red, Green, Blue) akan dirubah dulu menjadi citra grayscale (keabuan) terlebih dahulu baru nantinya akan dilakukan proses thresholding. Pada operasi ini nilai pixel yang memenuhi syarat ambang batas dipetakan ke suatu nilai yang dikehendaki. Dalam hal ini syarat ambang batas dan nilai yang dikehendaki disesuaikan dengan kebutuhan. [10]

15 2.4.1 Proses Threshold Proses thresholding atau binerisasi pada prinsipnya adalah melakukan pengubahan nilai derajat keabuan menjadi dua nilai yaitu 0 atau warna hitam dan 255 atau warna putih. Pemilihan nilai threshold yang digunakan berpengaruh terhadap ketajaman suatu citra. [2] Secara umum proses threshold citra grayscale untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut: 0 jika ff(xx, yy) TT g(x,y) = 1 jika ff(xx, yy) < TT keterangan: g(x,y) = citra biner dari citra grayscale f(x,y) T = nilai threshold Proses threshold dilakukan dengan memeriksa nilai derajat keabuan pada citra. Jika nilai derajat keabuan kurang dari nilai threshold maka warna piksel berubah menjadi hitam, begitu juga sebaliknya jika piksel lebih dari nilai threshold maka warna piksel akan berubah menjadi putih. [6] Nilai T memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengambangan. Kualitas hasil citra biner sangat tergantung pada nilai T yang digunakan. Nilai threshold antara 0 255, dimana artinya bila ada intensitas pixel yang bernilai diatas threshold maka intensitas pixel tersebut akan bernilai sama dengan threshold. [6] Terdapat dua jenis pengambangan, yaitu pengambangan global (global thresholding) dang pengambangan secara lokal adaptif (locally adaptive thresholding). [1]

16 a) Thresholding global Gambar 2.10 : Proses Threshold Salah satu cara untuk memilih nilai ambang adalah dengan melihat histogram citra tersebut. Histogram adalah menggambarkan citra yang memiliki dua mode berbeda sehingga memudahkan untuk memilih yang berbeda hingga ada yang ditemukan sehingga mengahasilkan T ambang batas yang memisahkannya. Cara lain untuk memilih T adalah dengan trial dan eror, memilih nilai ambang batas yang berbeda hingga ada yang ditemukan sehingga menghasilkan hasil yang baik. [1] b) Thresholding lokal Metode thresholding global dapat gagal jika kontras latar belakang tidak merata. Thresholding akan dikatakan sebagai thresholding lokal jika nilai T (nilai ambang) bergantung pada nilai gray level f(x,y) dan nilai properti lokal citra p(x,y). Dalam thresholding lokal citra akan dibagi ke dalam bagian yang lebih kecil kecil dan proses pengembangan akan dilakukan secara lokal. Kelebihan yang dimiliki thresholding adalah secara subyektif,citra yang dihasilkan akan lebih bagus. Thresholding lokal dapat ditunjukkan bahwa proses ini adalah setara dengan thresholding f(x,y) dengan fungsi lokal yang bervariasi T ambang (x,y) [1] : 0 jika ff(xx, yy) TT g(x,y) = 1 jika ff(xx, yy) < TT Dimana : TT(xx, yy) = ff 0 (xx, yy) + TT 0

17 ff 0 (x,y) adalah membuka morfologi dari f,dan TT 0 konstan adalah hasil dari fungsi graytresh digunakan pada FF 0. Pada pengambangan global, seluruh pixel pada citra dikonversikan menjadi hitam dan putih dengan nilai ambang T. Kemungkinan besar pada pengambangan global akan banyak informasi hilang karena hanya menggunakan satu nilai T untuk keseluruhan pixel. Untuk mengatasi masalah ini dapat digunakan pengambangan secara lokal adaptif. Pada pengambangan lokal, suatu citra dibagi menjadi blok-blok kecil dan kemudian dilakukan pengambangan lokal pada setiap blok dengan nilai T yang berbeda. [6] Gambar 2.11 : Contoh citra setelah dilakukan threshold 2.4.2 Metode Otsu Metode Otsu menghitung nilai ambang T secara otomatis berdasarkan citra masukan. Pendekatan yang digunakan oleh metode otsu adalah dengan melakukan analisis diskriminan yaitu menentukan suatu variabel yang dapat membedakan antara dua atau lebih kelompok yang muncul secara alami. Analisis diskriminan akan memaksimumkan variabel tersebut agar dapat memisahkan objek dengan latar belakang. [5] Untuk memilih nilai ambang batas secara otomatis, Gonzalez dan Woods (2002) menggambarkan prosedur iterasi sebagai berikut [2] :

18 1. Dipilih dahulu perkiraan awal untuk T. (disarankan estimasi awal adalah titik tengah antara nilai-nilai intensitas minimun dan maksimum citra). 2. Bagi citra menggunakan T. Ini akan menghasilkan dua kelompok pixel G1, yang terdiri dari semua pixel dengan nilai-nilai intensitas T, dan G2 yang terdiri dari pixel dengan nilai-nilai <T. 3. Menghitung nilai rata-rata intensitas µ1 dan µ2 untuk pixel di daerah G1 dan G2. 4. Menghitung nilai ambang baru dengan persamaan : T = 1 (µ1+µ2) 2 5. Ulangi langkah 2 hingga langkah 4 sampai perbedaan t di iterasi berturutturut lebih kecil dari T 0 parameter standar. Gambar 2.12 : Contoh pengambilan nilai thresholding dengan metode Otsu Sebuah fungsi yang menghitung graythresh disebut batas menggunakan metode otsu (Otsu,1979). Formulasi dari metode otsu adalah sebagai berikut [2] : Nilai ambang yang akan dicari dari suatu citra gray level dinyatakan dengan k. Nilai k berkisar antara 1 sampai dengan L, dengan nilai L = 255. Sedangkan jumlah pixel pada tingkat keabuan i dilambangkan oleh n 1 dan jumlah pixel pada citra oleh N = n 1 + n 2 +... + n [2] L. Misalkan nilai ambang yang akan dicari dinyatakan dengan k. Nilai k berkisar antara 1 sampai dengan L, dengan L = 255 [6].

19 Probabilitas untuk pixel i dinyatakan dengan : P i = nnnn NN (1) Dengan n i menyatakan jumlah pixel dengan tingkat keabuan I dan N menyatakan banyaknya pixel pada citra. Nilai momen kumulatif ke nol, momen kumulatif ke satu, dan nilai ratarata berturut-turut dapat dinyatakan sebagai berikut. w(k) = kk ii=1 pppp (2) kk μμ(kk)= ii=1 ii. pppp (3) kk μμ T = ii=1 ii. pppp (4) Nilai ambang k dapat ditentukan dengan memaksimumkan persamaan : δδ 2 BB (k*) = max 1 kk<ll δδ 2 (kk) (5) BB Dengan : δδ 2 BB (k) = [μμμμ ww(kk) μμ (kk)]² ww(kk)[1 ww(kk)] (6) Keterangan : p i : probabilitas pixel n i : jumlah pixel pada tingkat keabuan N : jumlah pixel pada citra

20 k : nilai ambang suatu citra w : momen kumulatif µ : nilai rata-rata µ T : nilai rata-rata total δ : varians kelas Metode ini adalah metode yang sangat populer diantara semua metode thresholding yang ada. Teknik Otsu ini memaksimalkan kecocokan dari sebuah threshold sehingga dapat memisahkan objek dengan latar belakangnya. Semua ini didapatkan dengan memilih nilai threshold yang memberikan pembagian kelas yang terbaik untuk semua piksel yang ada didalam image. Dasarnya adalah dengan menggunakan histogram yang telah dinormalisasi dimana jumlah tiap poin pada setiap level dibagi dengan jumlah total poin pada image [5]. Gambar 2.13 : contoh hasil thresholding dengan metode Otsu pada tulang rahang 2.5 Deteksi Tepi Deteksi tepi berfungsi untuk memperoleh tepi objek. Deteksi tepi memanfaatkan perubahan nilai intensitas yang drastis pada batas dua area. Defenisi tepi disini adalah himpunan piksel yang terhubung yang terletak pada batas dua area. Umumnya, deteksi tepi menggunakan dua macam detektor, yaitu detektor baris (Hy) dan detektor kolom (Hx). Beberapa contoh yang tergolong jenis ini adalah operator Roberts, Prewitt, Sobel, dan Frei-Chen.

21 2.5.1 Deteksi Tepi Roberts Operator Roberts, yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1965, terdiri atas dua filter berukuran 2x2. Ukuran filter kecil membuat komputasi sangat cepat. Namun, kelebihan ini sekaligus menimbulkan kelemahan, yakni sangat terpengaruh oleh derau. Selain itu, operator roberts memberikan tanggapan lemah terhadap tepi, kecuali kalau tepi sangat tajam [10]. X x+1 y z 1 z 2 1 0 0-1 y+1 z 3 z 4 0-1 1 0 (a) Posisi pada citra f (b) Gx (c) Gy Gambar 2.14 : Operator Roberts (b) dan (c) serta posisi pada cita f Bentuk operator Roberts ditunjukkan di gambar 2. Misalkan, f adalah citra yang akan dikenaloperator Roberts. Maka, nilai operator Roberts pada (y,x).