Perladangan Berpindah: Antara Masalah Lingkungan dan Masalah Sosial

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dalam arti sempit dan dalam artisan luas. Pertanian organik dalam artisan sempit

Dian Lazuardi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

Alang-alang dan Manusia

TINJAUAN PUSTAKA. Bahasan mengenai degradasi dan resiliensi (resilience) merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. pertanian ini dikenal dengan istilah shifting cultivation yang sudah lama dikenal

Oleh : Sri Wilarso Budi R

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

SISTEM PERLADANGAN UMO

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA. Ketahanan Pangan. Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 kiranya dapat

Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN

Negara berkembang [Indonesia] 60-70% agriculture. Tanaman dan ternak produksi dari satu area pertanian

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian

Deforestasi merupakan penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak

Mengapa Hutan Nonnal?

BAB V. Kesimpulan dan Saran

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam

Secara umum, kerusakan tanah atau perubahan sifat fisik dan kimia tanah dapat disajikan dalam hubungan deskriptif berbagai faktor, yaitu: iklim,

pertambangan. Seperti contohnya perubahan lahan menjadi lahan pertambangan. Berdasarkan hasil penelitian Hermansyah (1999), tanah bekas tambang emas

L PEI\{DAITULUAIT. 1.1 Latar Belakang. di Sumatra Selatan 51,73 oh), di Kalimantan (di Kalimantan Selatan 9,99 %o;

Menuju Pembangunan Hijau Kabupaten Kutai Barat: Tantangan Deforestasi dan Peluang Mengatasinya

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

PERAN KUALITAS LAHAN DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS DAN DAYA SAING PRODUK HORTIKULTURA

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

KOMPOS SERASAH LAHAN PERTANIAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN SUB MATERI PELESTARIAN LINGKUNGAN

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTAN (Studi Kasus di Desa Mio dan Desa Boentuka Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur)

I. PENDAHULUAN. penyedia bahan baku untuk industri kayu nasional dan peningkatan. ketahanan pangan masyarakat di desa sekitar hutan.

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2009 sekitar ton dan tahun 2010 sekitar ton (BPS, 2011).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Ekologi Pertanian ~ 1

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Tanah marginal merupakan tanah yang memiliki mutu rendah karena

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4

Transkripsi:

Perladangan Berpindah: Antara Masalah Lingkungan dan Masalah Sosial Oleh Moda Talaohu Abstrak Berladang secara berpidah dapat dikatakan sebagai tahap awal dari perkembangan budaya bertani setelah melalui periode budaya maramu (berburu dan mengumpulkan). Diduga teknik bertani secara berpindah tersebut dilakukan karena pemahaman para petani peladang berpindah baru terbatas pada kondisi lingkungan seperti apa yang dibutuhkan agar objek yang ditanam dapat tumbuh dan berkembang secara memadai yaitu tanah bekas hutan, tetapi mereka belum mampu mengkondisikan lingkungan agar sesuai dengan syarat tumbuh objek yang diusahakan. Berpindah tempat merupakan strategi mereka untuk mencari kondisi lingkungan yang sesuai untuk bercocok tanam. Pola (teknik dan tahapan) perladangan berpindah dan jenis tanaman yang diusahakan bervariasi sesuai dengan kondisi biofisik kawasan dan perkembangan sosial budaya petani peladangnya. Praktek perladangan yang diterapkan dan bentuk bentang laha yang dihasilkan merupakan hasil dari gagasan yang dikendalikan oleh nilai, norma dan harapan yang dibangun dan dikembangkan oleh masyarakat peladang itu sendiri. Perladangan berpindah merupakan bagian integral dari suatu masyarakat, dan alasan serta artinya tidak dapat dipisahkan dari praktek-praktek sosial budaya Kata Kunci : Perladangan berpindah, kesuburan tanah dan produksi A. PENDAHULUAN Perladang berpindah merupakan sistem bercocok tanamyang berpindah-pindah dari sutu tempat ke tempat lain secara bergiliran. Sanchez (1993) mendefenisikan perladangan berpindah sebagai sistem pertanian dengan lahan bukaan sementara yang ditanami selama beberapa tahun kemudian dibiarkan bera untuk waktu yang lebih lama dari pada waktu ditanami. Teknik pembukaan lahan yang umum dilakukan adalah dengan menebas hutan dan membakar biomasa hasil penebasan tersebut sehingga perladangan berpindah juga sering disebut sebagai perladangan tebas bakar. Peladangan bepindah dipraktekan oleh berbagai kelompok masyarakat tradisional diseluruh daerah tropis, termasuk Indonesia. Karakteristik dasar perladangan berpindah adalah subsistensi dan rendahnya input ke dalam sistem. Tujuan utama perladangan berpindah adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga petani peladang. Input dari petani peladang hanya tenaga kerja yang berasal dari keluarga mereka sendiri, sedang pemeliharaan kesuburan tanah sebagai faktor produksi utama diserahkan kepada mekanisme alamiah melalui masa pemberaan. 59

Populis, Volume 7 No 1 Maret 2013 ISSN 1907-9893 B. PEMBAHASAN 1. MASALAH DALAM PERLADANGAN BERPINDAH Terdapat perbedaan pendapat mengenai dampak perladangan berpindah terhadap kerusakan hutan. Beberapa ahli menyatakan perladangan berpindah merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan hutan. FAO (1990) dan Worl Bank (1990) dalam Sunderlin (1997) menyatakan bahwa perladangan berpindah merupakan penyebab utama deforestasi di Indonesia yang mencapai satu juta hektar per tahun. Beberapa ahli yang lain menyatakan bahwa perladangan berpindah, dengan berbagai kearifan yang dimiliki pelakunya, merupakan sistem penggunaan lahan yang efisien, berkelanjutan dan mampu mempertahankan kelestarian hutan sepanjang periode pemberaannya mencukupi. Sunderlin (1997) berpendapat bahwa perbedaan pandangan terhadap perladangan berpindah tersebut disebabkan ketidakakuratan dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan perladanga berpindah. Hal ini diakibatkan karena terdapat banyak tipe kegiatan Bertani di hutan (forest farming) dimana tiap jenis berbeda baik tipologi maupun motivasi pelakunya, yang disebut sebagai forest farming continuum. Tipologi forest farming berkembang mulai dari long fallow shifting cultivation, short fallow shifting cultivation, dan forest pioneeer farming, yang secara skematis digambarkan pada Gambar 1. Sebagai sistem pengelolaan lahan yang keberhasilannya bertumpu pada mekanisme alamiah, perladangan berpindah sangat rentan terhadap kegagalan mekanisme alamiah tersebut dalam mempertahankan kondisi yang dibutuhkan untuk beroprasinya sistem. Komponen kunci untuk proses tersebut adalah masa pemberaan. Pemberaan merupakan periode recovery energi dari sistem setelah digunakan untuk memproduksi berbagai hasil yang diinginkan peladang melalui pengembalian dan dekomposisi bahan organik. Keberhasilan masa pemberaan menjalankan fungsinya ditentukan oleh panjangnya periode dan jenis vegetasi yang tumbuh (volume dan kualitas seresah yang dihasilkan). Berdasarkan pengalamnnya para peladang berpindah umumnya mampu 60

mengindentifikasi, berdasarkam jenis dan perkembangan vegetasi yang tumbuh, tahap perkembangan masa pemberaan untuk dapat dijadikan ladang lagi. Pada kondisi dimana masa pemberaan mampu mengembalikan kesuburan tanah sebelum dibuka lagi maka dapat dikatakan bahwa peladang berpindah tidak berdampak terhadap lingkungan (terpeliharanya kualitas lahan dan tidak terjadinya penebangan hutan untuk menambah luas ladang). Namun dengan perkembangan faktor internal peladang mampu pengaruh eksternal dari sistem penggunaan lain membuat kondisi tersebutsemakin sulit tercapai. Perkembangan jumlah keluarga petani peladang membutuhkan semakin banyak ladang yang diusahakan. Semakin besar jumlah anggota keluarga petani peladang semakin banyak pula kebutuhan dasar yang harus di penuhi. Hasil interaksi sosial dengan kelompok masyarakat lain (yang umumnya sudah lebih maju, berbasis industri), juga cenderung membuat petani peladang berpindah menjadi lebih konsumtif. Didorong keinginan untuk menjadi sama dengan kelompok masyarakat yang sudah maju tersebut umumnya terjadi perubahan pola konsumsi dari produk hasil ladang (misalnya ubi-ubian) ke beras, dan dengan memmbeli simbol-simbol kemajuan kelompok masyarakat industri (misalnya alat elektronik untuk hiburan dan komunikasi) yang menjadi beban baru bagi proses produksi subsisten mereka. Dengan produktivitas lahan yang rendah dan tanpa adanya perubahan pola berladang, peningkatan kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan menambah luas ladang. Apabila masih tersedia hutan terbatas, maka periode pemberaan dipersingkat. Kedua pilihan tersebut memicu timblnya berbagai masalah lingkungan. Pembukaan hutan untuk konsesi HPH, HTI, perkebunan dan pertambangan dengan berbagai restriksi bagi peladang berpindah mengakibatkan berkurangnya ruang bagi para peladang berpindah untuk bersiklus secara memadai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, alternatif yang dapat mereka lakukan adalah dengan memperpendek periode pemberaan ladang. 2. UPAYA DAN KENDALA DALAM PENGENDALIAN PERLADANGAN BERPINDAH Memperhatikan potensi dampak negatif perladangan berpindah terhadap lingkungan, perlu dilakukan upaya untuk mengantisipasi meluasnya dampak tersebut. Langkah strategis yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan produktivitas lahan dan nilai ekonomi produknya. Dikarenakan produktivitas lahan dipengaruhi oleh kesuburan tanah, jenis tanaman yang ditanam, dan praktek pengelolaan yang dilakukan, maka upaya peningkatan produktivitas ladang berpindah seharusnya mencakup ketiga aspek tersebut sesuai dengan kapasitas petani peladang berpindah. Namun karena apa yang dilakukan petani sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budayanya, strategi penngkatan produktivitas dan nilai ekonomi tersebut harus disesuaikan dengan status sosial budaya masyarakat sasaran. Kesuburan tanah ladang berpindah sangat tergantung pada keberhasilan masa pemberaan dalam mengembalikan keharaan tanah melalui pengembalian dan dekomposisi bahan organik, oleh karena itu waktu dan jenis vegetasi yang tumbuh pada masa pemberaan merupakan faktor kunci keberhasilan pemberaan untuk mengembalikan kesuburan tanah ladang. Dengan demikian waktu untuk pemberaan dapat dipandang 61

Populis, Volume 7 No 1 Maret 2013 ISSN 1907-9893 sebagai input produksi peladang selain tenaga kerja, sehingga semakin pendek masa pemberaan untuk mengembalikan kesuburan tanah semakin produktif ladang petani. Dengan sifatnya yang subsisten penggunaan pupuk sebagai sumber keharaan tanah agaknya sulit dilakukan petani peladang berpindah, karena mereka tidak mungkin mampu membeli pupuk dengan produk hasil perladangan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Oleh karena itu dari aspek kesuburan tanah peningkatan produktivitas ladang berpindah dapat dimanipulasi melalui pengendalian jenis vegetasi yang tumbuh selama masa pemberaan. Diupayakan agar jenis vegetasi yang tumbuh adalah jenis-jenis yang tumbuh cepat, menghasilkan banyak bahan organik (seresah) dengan kandungan unsur hara tinggi dan cepat terdekomposisi. Resikonya, input tenaga kerja harus ditingkatkan, minimal untuk mengumpulkan benih tanaman yang dikehendaki dan menaburkannya diladang yang akan diberakan. Peningkatan efisiensi waktu masa pemberaan ladang juga dapat diupayakan melalui penanaman tanaman tahunan produktif disepanjang batas ladang(improved fallow), misalnya pohon penghasil buah-buahan. Selain meningkatkan tutupan lahan, setelah pohon-pohon tersebut berproduksi dari ladang yang diberakanpun masih ada hasil yang dapat diperoleh peladang. Agar peladang dapat terus memenuhi kebutuhan hidup ketika ladang mereka diberakan maka kalau memungkinkan, dengan asumsi pemberaan 4 tahun sesudah cukup memadai untuk mengembalikan kesuburan tanah ladang, setiap keluarga setidaknya harus mempunyai 3 bidang lahan ladang. Dengan setiap ladang hanya dikerjakan selama 2 tahun lalu diberakan, maka setelah mengerjakan bidang ladang ketiga petani bisa kembali kebidang ladang pertama yang sudah diberakan selama 4 tahun dan diharapkan kesuburannya sudah pulih. Pergeseran pola konsumsi petani peladang berpindah harus diikuti dengan penyesuaian jenis tanaman yang ditanam diladang. Maningkatnya kebutuhan tunai menuntut agar tanaman yang ditanam tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar keluarga, tetapi juga mampu menghasilkan uang tunai secara memadai. Dengan meningkatnya nilai ekonomi hasil ladang diharapkan peningkatan kebutuhan tunai tidak harus diimbangi dengan penambahan luas ladang. Kendala dalam mencapai upaya-upaya tersebut umumnya berkaitan dengan aspek sosial budaya petani peladang, terutama aspirasi (harapan) terhadap masa depan, dan status kepemilikan lahan. Sesuai dengan pola usaha subsisten yang mereka terapkan, aspirasi petani peladang berpindah pada umumnya baru pada bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mereka hari ini. Hari ini adalah untuk hari ini, besok cari lagi. Dengan belum terbangunnya harapan kehidupan yang lebih baik di masa depan tersebut tambahan input ke unit usaha (ladang) sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas maupun untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya alam mereka menjadi sulit. Sebagai masyarakat tradisional peladang berpindah umumnya bersifat komunal berdasarkan keluarga, marga atau suku. Dalam masyarakat komunal lahan merupakan milik bersama di bawah penguasaan ketua kelompok (misalnya kepala suku) dengan hak pemanfatan sesuai dengan norma sosial kelompok bersangkutan. Dalam komunalitasnya tersebut, semua anggota kelompok merasa berhak atas hasil yang diperoleh anggota kelompoknya. Kondisi ini diduga juga menjadi penghambat upaya pengembangan kapasitas usaha masyarakat peladang berpindah, karena mereka harus berbagi hasil jerih 62

payahnya dengan angggota kelompok yang sebenarnya tidak berkontribusi dalam keberhasilannya tersebut. C. PENUTUP 1. Perladangan berpindah sebagai praktek pertanian yang bertumpu pada masa pemberaan untuk mempertahankan kesuburan dan produktivitas lahan, sepanjang masa pemberaannya mencukupi untuk mekanisme pengembalian produktivitas lahan tidak berpengaruh negatif terhadap lingkungan. 2. Perubahan sosial masyarakat peladang dan berkurangnya luas hutan akibat dikonversi untuk penggunaan lain mengakibatkan masa pemberaan perladangan berpindah semakin singkat. 3. Perladangan berpindah merupakan refleksi sosial budaya masyarakat pelakunya, sehingga penanggualangan dampak negatif perladangan berpindah terhadap lingkungan juga harus mempertimbangkan faktor sosial budaya masyarakat pelakunya. DAFTAR PUSTAKA Styger, E., Rakotondramasy, H.M., Pfefer, M.J, Fernandes, E.C.M., Bates, D.M., 2007. Influence of slash-and burn farming practices on fallow ssuccession and land degradation on the rain forest region of Madagascar. Agriculture, Ecosystem and Environment 119 (2007) 257-269 Underlin, D. William, 2007. Shifting cultivation and deforestation in Indonesia: Step toward evercoming confusion in the debate. Rural development forestry network. Netwok paper 21b. Summer 2007. http://www.odi.org.uk/resources/download/748.pdf (21/2/2010) Dhakal, Suresh, (tidak ada tahun). An anthropological perspective on shifting cultivation. A case study of Khoriya cultivation in the Arun Valley of Eastern Nepal. http://himalaya.socanth.cam.ac.uk/collections/journals/opsa/pdf/opsa_06_07.pd f (21/3/2010) 63