BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini mengambil lokasi Desa Pojok Kidul Kecamatan Nguter

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

GAMBARAN PENGETAHUAN SWAMEDIKASI DEMAM OLEH IBU DI DESA POJOK KIDUL KECAMATAN NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH. Nurul Aida Fauziah

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempunyai kemampuan melakukan tugas fisiologis maupun psikologis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. Demam mungkin merupakan tanda utama penyakit yang paling tua dan

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SOSIALISASI MENGENAL OBAT AGAR TAK SALAH OBAT PADA IBU-IBU PENGAJIAN AISYIYAH PATUKAN AMBARKETAWANG GAMPING

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. jamur, atau parasit (Djuwariyah, Sodikin, Yulistiani M; 2013).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADIA PASIEN GANGGUAN KEBUTUHAN SUHU TUBUH (HIPERTERMI)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG PERAWATAN DEMAM PADA ANAK USIA 4-6 TAHUN DI DESA BAKALAN BANJARSARI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Para-aminofenol Asetanilida Parasetamol Gambar 1.1 Para-aminofenol, Asetanilida dan Parasetamol (ChemDraw Ultra, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkisar antara 36-37ºC. Jadi seseorang yang mengalami demam, suhu

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GAMBARAN PENGOBATAN PADA PENDERITA ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT) DI PUSKESMAS TRUCUK 1 KLATEN TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

banyak digunakan tanpa resep dokter. Obat obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen secara kimiawi. Walaupun demikian obatobat ini

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya

ANALISIS IKLAN OBAT BEBAS DAN OBAT BEBAS TERBATAS PADA ENAM MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

Perpustakaan Unika LAMPIRAN- LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1. I. LATAR BELAKANG

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Demografi Responden. Distribusi responden berdasarkan umur seperti pada tabel 3.

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

mengakibatkan reaksi radang yang ditandai dengan adanya kalor (panas), rubor (kemerahan), tumor (bengkak), dolor (nyeri) dan functio laesa (gangguan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang. benda asing eksternal seperti debu dan benda asing internal seperti dahak.

CERDAS MENGENALI PENYAKIT DAN OBAT

POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA REUMATIK DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

POLA PEMILIHAN OBAT SAKIT MAAG PADA KONSUMEN YANG DATANG DI APOTEK DI KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan sebagian individu yang unik dan mempunyai. kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangannya. Kebutuhan tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

SWAMEDIKASI PADA PENGUNJUNG APOTEK DI APOTEK MARGI SEHAT TULUNG KECAMATAN TULUNG KABUPATEN KLATEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat-obatan tanpa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membuatya semakin parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi seseorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KONSEP DASAR. normal sebagai akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi yang terletak dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. individu, tetapi juga oleh komunitas atau kelompok, bahkan oleh masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek berasal dari bahasa Yunani apotheca, yang secara harfiah berarti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2016). Apotek merupakan salah satu. mencegah dan menyembuhkan penyakit pada masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan menurut Notoatmodjo, yaitu :

DEFENISI. Merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguangangguan. peradangan, infeksi dan kejang otot.

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa

BAB I PENDAHULUAN. perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan. berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suksesnya sistem kesehatan adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Hermawati, kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

POLA PEMILIHAN OBAT SAKIT KEPALA PADA KONSUMEN YANG DATANG DI ENAM APOTEK DI KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. bersih, tidak mudah lecet/iritasi, terhindar dari ejakulasi dini) (Harsono, et al.,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2010). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Sunaryo, 2004). Menurut Notoatmodjo 2007, pengetahuan seseorang mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi menjadi enam tingkatan pengetahuan, yaitu: a. Tahu (know). Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, oleh sebab itu tahu adalah tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Mengukur bahwa seseorang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui tersebut, tidak hanya dapat menyebutkan atau sekedar tahu. 6

7 c. Aplikasi (appliccation) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan atau mengaplikasikan yang telah diketahui dan dipahami pada situasi atau kondisi nyata dan sebenarnya. d. Analisis (analysis) Analisis diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih ada kaitannya satu sama lain. Seseorang yang telah masuk pada tingkat analisis apabila orang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan, membuat bagan terhadap pengetahuan objek tersebut. e. Sintesis (synthesis) Sintesis diartikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat merangkum atau menggabungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menilai suatu objek. Penilaian didasarkan pada kriteria yang ditentukan sendiri atau norma yang berlaku. Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang (Mubarak, 2007) yaitu:

8 a. Pendidikan Pendidikan diartikan sebagai bimbingan yang diberikan agar seseorang lebih memahami sesuatu hal. Tingkat pendidikan mempengaruhi pemahaman terhadap penerima, informasi, dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan. b. Pekerjaan Pekerjaan dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. c. Umur Bertambahnya umur seseorang aspek fisik dan psikologis (mental). Aspek psikologis atau mental seseorang akan lebih matang dan dewasa dalam hal berpikir. d. Minat Minat yang besar terhadap sesuatu akan membuat seseorang lebih cenderung mencoba menekuni dan akhirnya akan memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. e. Pengalaman Pengalaman diartikan sebagai suatu kejadian yang sebelumnya dialami oleh seseorang saat berinteraksi dengan lingkungan dan akhirnya akan menghasilkan kesan baik baik maupun buruk. f. Kebudayaan lingkungan sekitar Lingkungan berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang (Saiddin A, 2002).

9 g. Informasi Informasi yang semakin mudah untuk didapat membantu mempercepat seseorang memperoleh pengetahuan yang baru. 2. Swamedikasi Swamedikasi adalah tindakan pemilihan dan penggunaan obatobatan, baik obat tradisional maupun obat modern oleh seseorang untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri, bahkan untuk penyakit kronis tertentu yang telah didiagnosis tegak sebelumnya oleh dokter (WHO, 1998). Menurut APhA (American Pharmacist Association) klasifikasi swamedikasi: a. Perilaku gaya hidup sehat diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit. b. Perilaku swamedikasi medis berhubungan dengan gejala dan pengobatan. c. Perilaku yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sehari-hari individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan swamedikasi (Djunarkodan Hendrawati, 2011), yaitu: a. Kondisi ekonomi mahalnya biaya kesehatan, seperti rumah sakit dan berobat ke dokter, membuat masyarakat mencari pengobatan yang lebih murah untuk penyakit yang masih ringan. b. Berkembangnya kesadaran pentingnya kesehatan bagi masyarakat karena meningkatnya sistem informasi, pendidikan, dan kehidupan

10 sosial ekonomi, sehingga meningkatkan pengetahuan untuk melakukan swamedikasi. c. Promosi obat bebas dan obat bebas terbatas melalui media cetak maupun elektronik yang semakin banyak. d. Semakin meluasnya distribusi obat melalui Puskesmas dan warung di desa yang berperan dalam peningkatan pengenalan dan penggunaan obat, terutama OTR (Obat Tanpa Resep) dalam swamedikasi. e. Semakin banyak obat yang awalnya termasuk obat keras dan harus menggunakan resep dokter, dalam perkembangan ilmu kefarmasian yang ditinjau dari khasiat dan keamanan obat diubah menjadi OTR (OWA, obat bebas terbatas, dan obat bebas), sehingga pilihan obat untuk masyarakat semakin banyak. f. Kampanye swamedikasi yang rasional di masyarakat mendukung perkembangan farmasi komunitas. Apabila swamedikasi dilakukan secara benar maka seseorang yang melakukan swamedikasi tersebut akan mendapatkan beberapa keuntungan. Beberapa keuntungan dalam penerapannya menurut Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), yaitu: a. Biaya yang diperlukan relatif lebih murah karena tidak harus ke rumah sakit atau melakukan pemeriksaan tenaga kesehatan. b. Lebih mudah karena obat-obatan mudah diperoleh.

11 c. Kualitas pengobatan terjamin karena dilakukan sendiri, sehingga secara tidak sadar pasien akan mengupayakan yang terbaik bagi dirinya sendiri. d. Aman karena obat yang dipakai telah melewati pengujian dan tertera aturan (dosis) pemakaian obat. Swamedikasi dapat berjalan dengan baik dan meningkat apabila dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan benar. Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan tersebut (Widayati, 2006) yaitu: a. Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit ringan dan berbagai gejala serta cara pengobatannya. b. Motivasi masyarakat untuk mencegah dan mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri. c. Ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul. d. Diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan. Selain memiliki keuntungan swamedikasi memiliki beberapa kekurangan apabila dalam pelaksaanannya dilakukan secara tidak benar. Kekurangan dari swamedikasi adalah obat dapat membahayakan kesehatan apabila salah dalam penggunaan obat, timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan, misalnya sensitivitas, efek samping atau resisten. Kesalahan dalam penggunaan obat dapat

12 dikarenakan kurangnya informasi dari iklan obat, tidak efektif akibat salah diagnosis dan pemilihan obat serta sulitnya bertindak secara obyektif karena pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan lingkungan sosial (Supardi dan Notosiswoyo, 2005). Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (1996) swamedikasi harus mencakup empat kriteria yaitu: a. Tepat golongan, yaitu menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas (termasuk obat bebas terbatas). b. Tepat obat, yaitu menggunakan obat yang termasuk dalam kelas terapi yang sesuai dengan keluhan atau gejala. c. Tepat dosis, yaitu menggunakan obat dengan dosis yang tepat. d. Lama pengobatan terbatas, yaitu apabila sakit berlanjut hubungi dokter. Pada akhirnya, pelaku swamedikasi akan dihadapkan dalam pilihan seperti, perlu atau tidak pemeriksaan tenaga kesehatan, perlu obat atau tidak, obat apa yang akan digunakan untuk mengatasi gejala dan sebagainya. Sehingga pelaku swamedikasi harus memahami dengan baik masalah kesehatan yang sedang dihadapinya. Dalam swamedikasi penggunaan obat modern dibatasi hanya untuk penggunaan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek. Menurut Depkes, 2008 obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek yaitu:

13 a. Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa menggunakan resep dokter, tanda pada kemasan warna hijau dengan garis tepi hitam. Contoh obat bebas yang yaitu parasetamol (penurun demam dan pereda sakit kepala), vitamin, mineral. b. Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas adalah obat keras yang diberi pada setiap takaran yang digunakan untuk mengobati penyakit ringan yang dikenali oleh penderita sendiri. Obat bebas terbatas juga tergolong obat yang masih dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda pada kemasan berwarna lingkaran biru dengan garis tepi hitam. Pada obat bebas terbatas memiliki beberapa tanda peringatan pada kemasan dapat dilihat pada Gambar 1. Contoh obat bebas terbatas yang digunakan pada kehidupan sehari-hari seperti: obat flu, obat batuk yang mengandung antihistamin. Gambar 1. Tanda Peringatan pada Kemasan

14 c. Obat Wajib Apotek Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker tanpa resep dokter. Obat keras mempunyai tanda pada kemasan berupa lingkaran bulat merah dengan garis tepi warna hitam. Tujuan dari obat wajib apotek untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan yang masih ringan dan meningkatkan pelayanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) oleh apoteker. Peraturan mengenai daftar obat wajib apotek menurut Pusat Informasi Obat Nasional (PIO Nas) tercantum dalam: 1) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/ MenKes/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek berisi daftar obat wajib apotek nomor satu. 2) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/ Menkes / Per / X / 1993 tentang daftar obat wajib apotek nomor dua. 3) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang daftar obat wajib apotek nomor tiga. 3. Demam a. Definisi Demam Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997) demam adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya atau diatas 37 C. Pada suhu diatas 37 C limfosit dan makrofag menjadi lebih aktif. Bila suhu melampaui 40-41 C

15 barulah terjadi situasi kritis yang bisa menjadi fatal, karena tidak terkendalikan lagi oleh tubuh (Tjay & Rahardja, 2002). Tingginya suhu tubuh juga tidak dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa penyakit yang diderita parah. Sebab pada saat itu tubuh sedang berusaha melakukan perlawanan terhadap penyakit akibat infeksi, dengan demikian demam dapat reda dengan sendirinya dalam 1-2 hari dan tidak selalu butuh pengobatan. Pirogen adalah suatu zat yang dapat menyebabkan demam. Terdapat 2 jenis pirogen, yaitu pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh dan berkemampuan merangsang IL-1, sedangkan pirogen endogen berasal dari dalam tubuh, dan mempunyai kemampuan untuk merangsang demam dengan mempengaruhi pusat pengatur suhu di hipotalamus, sedangkan pirogen endogen adalah IL-1, faktor nekrosis tumor (TNF) dan interferon (INF) (Suriadi & Yuliani, 2010). b. Etiologi Demam Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997), timbulnya demam dapat disebabkan oleh infeksi atau non infeksi. Penyebab Demam oleh infeksi antara lain disebabkan oleh kuman, virus, parasit atau mikroorganisme lain. Penyebab demam non infeksi diantaranya adalah karena dehidrasi, trauma, alergi, dan penyakit kanker. Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non

16 infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera Hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009 dalam Sudoyo, dkk). c. Patofisiologi Demam Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005). Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen

17 dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello and Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001). d. Penatalaksanaan Demam Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat dibagi menjadi dua garis besar yaitu: non-farmakologi dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur 3-12 bulan dengan suhu >39 C, penderita dengan suhu >40,5 C, dan demam dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam (Kaneshiro & Zieve, 2010 didalam Syeima, 2009).

18 1) Terapi Non Farmakologi Demam Adapun yang termasuk dalam terapi non farmakologi dari penatalaksanaan demam: a) Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang cukup. b) Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita. c) Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti. (Kaneshiro & Zieve, 2010 dalam Syeima, 2009). 2) Terapi Farmakologi Demam Penatalaksanaan demam dapat dilakukan dengan obat analgesik/antipiretik. Antipiretik bekerja menghambat enzim COX (Cyclo-Oxygenase) sehingga pembentukan prostaglandin terganggu dan selanjutnya menyebabkan terganggunya peningkatan suhu tubuh. Terdapat berbagai macam obat antipiretik yang beredar di Indonesia, misalnya parasetamol, ibuprofen, aspirin, acetosal, metamizole, turunan

19 pirazolon. Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007 tentang penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas obat yang dapat digunakan untuk mengatasi demam sebagai berikut: a) Parasetamol (Asetaminofen) Parasetamol merupakan derivat para amino fenol. Parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. Efek anti inflamasi dan reaksi alergi parasetamol hampir tidak ada. Dosis terapeutik antara 10-15 mg/kgbb/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari. Dosis maksimal 90 mg/kgbb/hari. Pada umumnya dosis ini dapat ditoleransi dengan baik. Dosis besar jangka lama dapat menyebabkan intoksikasi dan kerusakkan hepar. b) Ibuprofen Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Efek analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek samping yang

20 timbul berupa mual, perut kembung, dan perdarahan, tetapi lebih jarang dibandingkan aspirin. Efek samping hematologis yang berat meliputi agranulositosis dan anemia aplastik. Efek lainnya seperti eritema kulit, sakit kepala, dan trombositopenia jarang terjadi. Efek terhadap ginjal berupa gagal ginjal akut, terutama bila dikombinasikan dengan asetaminofen. Dosis terapeutik yaitu 5-10 mg/kgbb/kali tiap 6 sampai 8 jam. c) Aspirin Aspirin atau asam asetilsalisilat sering digunakan sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Aspirin tidak direkomendasikan pada anak <16 tahun karena terbukti meningkatkan risiko Sindroma Reye. Aspirin juga tidak dianjurkan untuk demam ringan karena memiliki efek samping merangsang lambung dan perdarahan usus. Efek samping lain, seperti rasa tidak enak di perut, mual, dan perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari tidak lebih dari 325 mg.

21 B. Kerangka Konsep Ketepatan Diagnosa Ketepatan pemilihan obat Tempat pembelian obat Gambaran pengetahuan masyarakat tentang swamedikasi demam Pemilihan bentuk sediaan obat Ketepatan dosis Ketepatan cara pemberian Faktor faktor yang mempengaruhi: 1. Jenis kelamin 2. Umur 3. Pekerjaan 4. Pendidikan Lama pengobatan terbatas Ketepatan penyimpanan obat Gambar 2. Kerangka Konsep C. Keterangan Empirik Penilaian dari responden diharapkan dapat menggambarkan pengetahuan swamedikasi demam oleh ibu di Desa Pojok Kidul Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.