ANALISIS POTENSI HASIL DAN KUALITAS HASIL BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) SEBAGAI JAGUNG SEMI (Baby Corn)

dokumen-dokumen yang mirip
3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

ANALISIS POTENSI HASIL DAN KUALITAS HASIL BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) SEBAGAI JAGUNG SEMI (Baby Corn)

POTENSI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) SEBAGAI JAGUNG SEMI (Baby Corn) The Potential Some of Maize Varieties as Baby Corn (Zea mays L.).

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

POTENSI JAGUNG VARIETAS LOKAL SEBAGAI JAGUNG SEMI

The Potential of Some Maize Varieties for Production of Baby Corn (Zea mays L.). Daya Genetik Pertanian ABSTRACT

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

MATERI DAN METODE. Urea, TSP, KCl dan pestisida. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, parang,

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

Kebutuhan pupuk kandang perpolibag = Kebutuhan Pupuk Kandang/polibag = 2000 kg /ha. 10 kg kg /ha. 2 kg =

III. MATERI DAN METODE

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu, Laboratorium Ilmu

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAB III METODE PENELITIAN

PENGARUH POPULASI TANAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG SEMI (BABY CORN)

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

Umur 50% keluar rambut : ± 60 hari setelah tanam (HST) : Menutup tongkol dengan cukup baik. Kedudukan tongkol : Kurang lebih di tengah-tengah batang

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan yang terletak di Desa Rejomulyo,

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Percobaan

Tinggi tongkol : cm : Menutup tongkol cukup baik

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

BAHAN DAN METODE. Pada musim tanam pertama penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian,

HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A

III. MATERI DAN METODE

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

PELAKSANAAN PENELITIAN. dan produksi kacang hijau, dan kedua produksi kecambah kacang hijau.

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari sampai Mei. Baru Panam, Kecamatan Tampan, Kotamadya Pekanbaru.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dari Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit

LAMPIRAN Lampiran 1. Layout Tata Letak Penelitian. Blok II TS 3 TS 1 TS 3 TS 2 TS 1

III. BAHAN DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH DOSIS DAN WAKTU APLIKASI PUPUK UREA DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG (Zea mays, L.) PIONEER 27

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan gambut Desa Rimbo Panjang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt L.) Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat. Rancangan Penelitian

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Timur Kabupaten Semarang dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI. Oleh Wahyu Kaharjanti A

Percobaan 3. Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Kacang Tanah pada Populasi Tanaman yang Berbeda

Lampiran 1. Jadwal Kegiatan Penelitian

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK ZURIAT GENERASI LANJUT HASIL PERSILANGAN KACANG TANAH VARIETAS GAJAH DAN GP-NC WS4

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Agrobioteknologi,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di lahan percobaan Politeknik Negeri Lampung, Bandar

Lampiran 1. Analisis Ragam Peubah Tinggi Tanaman Tebu Sumber Keragaman. db JK KT F Hitung Pr > F

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Sepang Jaya Kecamatan Labuhan Ratu Bandar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

III. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Hajimena, Lampung Selatan pada bulan September 2009 sampai bulan Januari

I. BAHAN DAN METODE. dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru,

III. MATERI DAN METODE

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data

BAHAN DAN METODE. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: cangkul, parang, ajir,

III. MATERI DAN WAKTU

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

RESPON TANAMAN TOMAT TERHADAP FREKUENSI DAN TARAF PEMBERIAN AIR RISZKY DESMARINA A

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian dan,

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

EVALUASI DAN SELEKSI 24 GENOTIPE JAGUNG LOKAL DAN INTRODUKSI YANG DITANAM SEBAGAI JAGUNG SEMI

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan Tanaman Terpadu. Samijan, Ekaningtyas Kushartanti, Tri Reni Prastuti, Syamsul Bahri

TINJAUAN PUSTAKA. Botani tanaman. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput rumputan dengan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

Transkripsi:

ANALISIS POTENSI HASIL DAN KUALITAS HASIL BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) SEBAGAI JAGUNG SEMI (Baby Corn) Oleh Widya Rachmat Sepriliyana A24052578 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

ANALISIS POTENSI HASIL DAN KUALITAS HASIL BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) SEBAGAI JAGUNG SEMI (Baby Corn) Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh Widya Rachmat Sepriliyana A24052578 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

RINGKASAN WIDYA RACHMAT SEPRILIYANA. Analisis Potensi Hasil dan Kualitas Hasil Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.) sebagai Jagung Semi (Baby corn). Dibimbing oleh YUDIWANTI WAHYU E. K. dan SRI GAJATRI BUDIARTI. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi potensi beberapa varietas jagung yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi jagung semi (baby corn). Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo IPB, Darmaga, Bogor pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan genotipe sebagai perlakuan. Genotipe ini terdiri dari 17 genotipe koleksi dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) terdiri atas 5 genotipe lokal (Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, Lokal Srimanganti), 7 genotipe hasil pemuliaan (Antasena, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Sadewa, Wisanggeni), dan 5 genotipe introduksi (EW DMR Pool C6S2, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2, Phil DMR 6) serta varietas hibrida BISI-2 sebagai pembanding. Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali sehingga seluruhnya terdapat 54 satuan percobaan. Terhadap data tiap peubah dilakukan analisis ragam. Uji nilai tengah yang digunakan adalah t-dunnett untuk membandingkan tiap genotipe yang diuji dengan hibrida BISI-2 sebagai pembanding serta uji kontras ortogonal untuk membandingkan genotipe atau kelompok genotipe yang dikehendaki. Hubungan korelasi antara bobot tongkol kotor dengan beberapa peubah bernilai positif, tetapi negatif dengan peubah jumlah tongkol per tanaman dan jumlah tongkol afkir masing-masing r : -0.5008 (p : 0.0001) dan r : -0.4685 (p : 0.0004). Bobot tongkol bersih memiliki korelasi positif dengan beberapa peubah, tetapi berkorelasi negatif pula dengan jumlah tongkol per tanaman dan jumlah tongkol afkir masing-masing dengan nilai r : -0.5801 (p : 0.0001) dan r : -0.5516 (p : 0.0001). Dengan demikian semakin besar bobot tongkol kotor dan bersih maka semakin sedikit jumlah tongkol per tanaman dan jumlah tongkol afkir

jagung semi. Hasil analisis lintasan menunjukkan bahwa bobot tongkol bersih dan jumlah tongkol afkir berpengaruh langsung terhadap jumlah tongkol per tanaman sehingga peubah ini dapat digunakan untuk kriteria seleksi. Pengujian analisis ragam untuk masing-masing peubah menunjukkan bahwa semua peubah berbeda sangat nyata kecuali peubah jumlah tongkol layak pasar (berbeda nyata). Berdasarkan uji t-dunnett menunjukkan bahwa genotipe Kiran (3.67 tongkol) memiliki jumlah tongkol per tanaman yang nyata lebih banyak dibanding varietas hibrida BISI-2 (2.87 tongkol) dan dari hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa genotipe Antasena (2.47 tongkol) dan Kiran (3.67 tongkol) nyata memiliki jumlah tongkol per tanaman lebih banyak dibandingkan rata-rata jumlah tongkol genotipe lokal (2.26 tongkol). Genotipe Genjah Kodok (2.38 tongkol) dan Phil DMR Comp. 2 (3.33 tongkol) sangat nyata memiliki jumlah tongkol per tanaman lebih banyak dibandingkan rata-rata jumlah tongkol genotipe hasil pemuliaan (2.02 tongkol). Genotipe Genjah Kodok memiliki tinggi tanaman lebih rendah dibanding tiga kelompok genotipe lainnya sehingga umur berbunga dan umur panen pun lebih genjah. Genotipe ini memiliki persentase tongkol kelas A lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya, yaitu sebesar 10.59%. Jumlah tongkol afkir pada genotipe-genotipe yang diuji cukup tinggi, bahkan ada yang mencapai 100% sehingga perlu dilakukan seleksi untuk meningkatkan kualitas jagung semi. Dari hasil penelitian ini genotipe Genjah Kodok, Kiran, dan Phil DMR Comp. 2 berpotensi untuk dikembangkan sebagai jagung semi.

Judul Nama NRP : ANALISIS POTENSI HASIL DAN KUALITAS HASIL BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) SEBAGAI JAGUNG SEMI (Baby Corn) : Widya Rachmat Sepriliyana : A24052578 Pembimbing I Menyetujui, Pembimbing II Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu EK., MS Ir. Sri Gajatri Budiarti, MS NIP. 19631107 198811 2 001 NIP. 19510204 198203 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP. 19611101 198703 1 003 Tanggal Lulus :...

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 27 September 1987. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak H. Mamat Rachmat, ST dan Ibu Hj. Elina. Tahun 1992 penulis lulus dari TK Islamic Village Tangerang, kemudian pada tahun 1999 penulis menyelesaikan studi kembali di SD Islamic Village Tangerang. Tahun 2002 penulis lulus dari SMP Negeri 6 Tangerang. Selanjutnya penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tangerang tahun 2005. Tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa mayor Agronomi dan Hortikultura, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian dengan program minor yaitu Ekonomi Pertanian, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Tahun 2006 penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Agronomi (HIMAGRON), Fakultas Pertanian. Tahun 2006-2007 penulis menjabat sebagai anggota Club Tanaman Buah (CTB) HIMAGRON. Tahun 2009 penulis mengajukan proposal Program Kreativitas Mahasiswa yang lolos dan dibiayai oleh Direktorat Pendidikan Tertinggi (DIKTI) dan mengajukan tulisan mengenai penelitian ini di ajang Festival Pemuda Berprestasi di Bidang IPTEK Berbasis IMTAQ 2009 kerjasama KEMENEGPORA dan majalah An-nida yang terpilih sebagai finalis pada acara penjurian anugerah Youth National Science and Technology Award 2009. Pada tahun yang sama, penulis menjadi Asisten Praktikum Pemuliaan Tanaman Terapan.

KATA PENGANTAR Hamdan Syakuron penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kesabaran dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan lancar. Skripsi yang berjudul Analisis Potensi Hasil dan Kualitas Hasil Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.) sebagai Jagung Semi (Baby Corn) disusun dalam rangka melengkapi tugas akademik dan merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana pada Departemen Agronomi dan Hortikultura di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu Endro Kusumo, MS. sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan serta saran kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Sri Gajatri Budiarti, MS. sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan secara teknis di lapangan dan saran serta kritik kepada penulis. 3. Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS. sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan skripsi ini. 4. Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan akademik kepada penulis. 5. Papa dan Mama, atas segala doa, kesabaran, pengorbanan, dukungan dan kasih sayang serta dorongannya You are My Power of Love, Irfan My lil bro, serta seluruh keluarga besar, Ema, Mijum dan Abah Ganda, Nono, atas doa dan dukungannya. 6. Teman-teman AGH 42 (Era, Eka, Firoh, Hardi, Mas Heru, Esa, Candra, Eni, Mila, Ima, Mb Nia, Furqon, Rela, Diah mbo, Rina E) dan Lab.PMT (Pakdhe, Rinay, Cibi, Dina, Riyant, Bang Adi, Abdul adul, Rohim ace, Kang Ucup, Mb Cici, Mb Nita, Pak Syukur dan Bu Echa) atas persaudaraan, kebersamaan, keceriaan, dan kesedihan yang kita bagi bersama, serta semuanya yang tidak bisa ditulis satu per satu, atas persahabatan dan kebersamaan.

7. Sahabat-sahabat tercinta Mariyatul Qibtiyah, Rina Febriana, Riszky Desmarina dan Riya Safariyah. 8. Pihak kebun percobaan Leuwikopo (Pak Maman, Pak Sardju), Cikeumeuh (Pak Sunarto), dan Cikabayan (Pak Suyanto) atas segala bantuan dan semangatnya. 9. Keluarga besar Kaligiri, Brebes, Jawa Tengah, tempat terindah yang memberikan apa makna hidup sebenarnya (spesial untuk Gina, Gita, Galih AM ) dan warga Kaligiri atas bantuannya. 10. Kaligiri ers : Azi lebay, Rela, Maul, Daina, atas kekompakan, persaudaraan dan keceriaannya. 11. Teman-teman kost Pondok Malea Putri Atas, Yakuza dan adik-adik Mata Kuliah Pemuliaan Tanaman Terapan. 12. Teman-teman dari KEMENEGPORA dan AN-NIDA serta 20 finalis Festival Pemuda Berprestasi di Bidang IPTEK Berbasis IMTAQ 2009. 13. Dedi Prasetyo, terima kasih telah memberikan saran, kritik, mendengarkan cerita dan keluhan penulis serta semangat saat penulis merasa rendah diri. Mudah-mudahan kisah kita tidak hanya sampai disini. Amien... 14. Semua pihak yang telah membantu penulis selama proses perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini dilaksanakan. Semoga hasil penelitian ini berguna bagi yang memerlukan. Bogor, Desember 2009 Penulis

DAFTAR ISI Halaman 1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian... 2 1.3 Hipotesis... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1 Botani Tanaman Jagung... 3 2.2 Jagung Semi... 4 2.3 Pemuliaan Tanaman Jagung Semi... 5 2.3 Analisis Lintas... 6 3. BAHAN DAN METODE... 7 3.1 Waktu dan Tempat Peneltian... 7 3.2 Alat dan Bahan... 7 3.3 Metode Penelitian... 7 3.4 Pelaksanaan Penelitian... 8 3.5 Analisis Data... 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 15 4.1 Kondisi Umum... 15 4.2 Parameter Genetik... 17 4.3 Keragaan Karakter Agronomi... 26 4.3.1 Karakter Vegetatif dan Genetatif... 26 4.3.2 Karakter Umur Berbunga dan Umur Panen... 30 4.3.3 Karakter Hasil... 33 4.3.4 Kualitas Jagung Semi... 37 4.3.5 Pengkelasan Tongkol Jagung Semi... 44 5. KESIMPULAN DAN SARAN... 45 5.1 Kesimpulan... 45 5.2 Saran... 45 DAFTAR PUSTAKA... 46 LAMPIRAN... 50

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Standar CODEX untuk Baby Corn... 11 2. Sidik Ragam Rancangan Kelompok Lengkap Teracak... 12 3. Rekapitulasi Uji F Pengaruh Genotipe Beberapa Karakter Tanaman Jagung... 17 4. Nilai Ragam Genetik (V G ), Ragam Fenotipik (V P ), Ragam Galat (V E ), Koefisien Keragaman Genetik (KKG), dan Heritabilitas Arti Luas (h 2 bs) Beberapa Karakter... 18 5. Nilai Koefisien Korelasi Antar Peubah Tanaman Jagung... 21 6. Koefisien Lintasan untuk Menunjukkan Pengaruh Langsung dan Tak Langsung Beberapa Genotipe Jagung... 24 7. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Diameter Batang dan Jumlah Buku per Tanaman Beberapa Genotipe Jagung... 26 8. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Tinggi Tanaman Beberapa Genotipe Jagung... 27 9. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Diameter Batang Beberapa Genotipe Jagung... 28 10. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Buku per Tanaman Beberapa Genotipe Jagung... 29 11. Nilai Tengah Umur Panen Awal, Umur Panen Akhir, Umur Panen Rata-rata dan Umur Berbunga... 30 12. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Umur Berbunga Beberapa Genotipe Jagung... 31 13. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Umur Panen Rata-rata Beberapa Genotipe Jagung... 32 14. Nilai Tengah Jumlah Tongkol per Tanaman, Bobot Tongkol Kotor dan Bobot Tongkol Bersih Beberapa Genotipe Jagung... 33

15. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Tongkol per Tanaman Beberapa Genotipe Jagung... 34 16. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Bobot Tongkol Kotor Beberapa Genotipe Jagung... 35 17. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Bobot Tongkol Bersih Beberapa Genotipe Jagung... 36 18. Nilai Tengah Diameter Tongkol, Panjang Tongkol, Jumlah Tongkol Layak Pasar dan Jumlah Tongkol Afkir Beberapa Genotipe Jagung... 37 19. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Diameter Tongkol Beberapa Genotipe Jagung... 38 20. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Panjang Tongkol Beberapa Genotipe Jagung... 39 21. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Tongkol Layak Pasar Beberapa Genotipe Jagung... 40 22. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Tongkol Afkir Beberapa Genotipe Jagung... 42 23. Pengkelasan Tongkol Jagung Semi yang Dihasilkan Genotipe Lokal, Hasil Pemuliaan, Introduksi dan BISI-2... 44

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Hama dan Penyakit yang Terindentifikasi Menyerang Tanaman Jagung... 16 2. Diagram Lintas Berantai antara Komponen Produksi dan Produksi Jagung Semi pada Beberapa Genotipe Jagung... 25 3. Penampilan Tongkol Jagung Semi Layak Pasar dari Beberapa Genotipe Jagung... 41 4. Penampilan Tongkol Jagung Semi Afkir dari Beberapa Genotipe Jagung... 43

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Genotipe - genotipe Jagung Lokal, Hasil Pemuliaan dan Introduksi yang Digunakan Sebagai Bahan Penelitian... 51 2. Data Iklim Bulanan Wilayah Darmaga, Bogor, Bulan Mei - Juli 2009... 51 3. Sidik Ragam Karakter Tinggi Tanaman... 52 4. Sidik Ragam Karakter Diameter Batang... 52 5. Sidik Ragam Karakter Jumlah Buku per Tanaman... 52 6. Sidik Ragam Karakter Umur Berbunga (bunga jantan)... 52 7. Sidik Ragam Karakter Umur Panen Rata-rata... 52 8. Sidik Ragam Karakter Jumlah Tongkol per Tanaman... 53 9. Sidik Ragam Karakter Bobot Tongkol Kotor... 53 10. Sidik Ragam Karakter Bobot Tongkol Bersih... 53 11. Sidik Ragam Karakter Diameter Tongkol... 53 12. Sidik Ragam Karakter Panjang Tongkol... 53 13. Sidik Ragam Karakter Jumlah Tongkol Layak Pasar... 54 14. Sidik Ragam Karakter Jumlah Tongkol Afkir... 54 15. Deskripsi Varietas Hibrida BISI-2... 55

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan tanaman pangan yang banyak digunakan untuk bahan makanan pokok. Salah satu produk dari tanaman jagung yang mempunyai prospek cukup baik dikembangkan adalah jagung semi (baby corn), yaitu jagung yang dipanen saat masih muda dan belum membentuk biji. Tidak hanya jagung yang masih mudanya saja yang dapat dimanfaatkan, bagian dari hijauannya juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena teksturnya halus dan masih muda sehingga mudah dicerna oleh hewan ternak yang memakannya. Jagung semi secara pemeliharaan lebih sulit dibandingkan dengan jagung biasa, namun dibalik kesulitan ini memiliki beberapa keuntungan antara lain : permintaan pasar terhadap baby corn meningkat sehingga meningkatkan pendapatan petani dan panen hasil dari jagung semi tidak memerlukan waktu yang lama (Palungkun dan Budiarti, 1992). Menurut Soeseno (1997) jagung semi atau jagung putri, berasal dari jagung hibrida biasa, tetapi setiap bunga jantannya yang muncul langsung dibuang (emaskulasi). Akibatnya, pembentukan tongkol jagung dapat lebih cepat. Beberapa negara pengekspor baby corn antara lain Thailand, Sri Lanka, Taiwan, China, Zimbabwe, Zambia, Indonesia, Afrika Selatan, Nikaragua, Costa Rica, Guatemala, dan Honduras. Thailand merupakan salah satu negara yang mengekspor baby corn terbesar dalam statistik perdagangan resmi. Pada tahun 1993, Thailand mengekspor baby corn ke-22 negara (Graef, 1995). Sebagian besar baby corn yang dijual di Amerika diproses dan diimpor dari Asia, terutama Thailand (University of Kentucky, 2006). Kendala yang umum timbul dalam memproduksi jagung semi adalah penggunaan varietas unggul jagung yang dirakit khusus sebagai jagung semi. Sebagian besar produksi jagung semi menggunakan varietas jagung pipil yang sudah tersedia di pasar. Kendala lainnya yaitu penerapan komponen teknologi produksi yang belum dilakukan sesuai anjuran berupa ketidaksesuaian dalam teknik budidaya yang dilakukan serta proses pasca panen yang tepat.

Jumlah tongkol yang biasa dihasilkan jagung umumnya sekitar 1-2 buah. Varietas jagung hibrida yang banyak digunakan sebagai baby corn antara lain Hibrida C-1 dan C-2, Pioneer-1, 2, 7, dan 8, CPI-1, Bisi-2 dan Bisi-3, IPB-4, serta Semar-1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9 (Adisarwanto dan Widyastuti, 2002). Menurut Wakhyono (2003), persentase tongkol dengan panjang lebih dari 9.5 cm dan afkir tinggi sehingga perlu dilakukan seleksi terhadap genotipe-genotipe untuk meningkatkan kualitas tongkol. Diharapkan beberapa varietas jagung yang ada dapat menghasilkan jagung semi dengan kuantitas dan kualitas lebih baik. Kuantitas jagung semi dengan menghasilkan tongkol banyak dan kualitas jagung semi seperti rasa manis, tidak berserat, alur biji lurus, berwarna kekuningan, dan seragam. 1.2 Tujuan Memperoleh informasi potensi beberapa varietas jagung yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi jagung semi (baby corn) dan menganalisis pengaruh langsung maupun tidak langsung komponen hasil terhadap hasil jagung semi. 1.3 Hipotesis 1. Terdapat varietas jagung yang menghasilkan jagung semi dengan kuantitas dan kualitas lebih baik dibanding varietas hibrida BISI-2. 2. Terdapat karakter komponen hasil yang memiliki pengaruh langsung dengan jumlah tongkol per tanaman.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung Jagung adalah herba monokotil dan tanaman semusim iklim panas. Tanaman ini termasuk famili Poaceae, genus Zea, dan spesies Zea mays L. Tanaman memiliki bunga jantan yang tumbuh sebagai perbungaan ujung (tassel) pada batang utama (poros atau tangkai) dan bunga betina yang tumbuh terpisah sebagai perbungaan samping (tongkol) yang berkembang di ketiak daun (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Perakaran tanaman ini berupa akar serabut yang terdiri dari akar primer dan akar sekunder yang mana akar ini berkembang pada buku-buku pangkal batang dan tumbuh menyamping. Pada sistem perakarannya terdapat akar penyokong untuk memberikan tambahan topangan dan membantu penyerapan hara. Menurut Poeting (1994), pada tanaman berakar serabut memiliki perakaran koronal dan akar udara yang muncul pada buku di bawah atau di atas permukaan tanah tepatnya di 5-6 buku pertama. Batang tanaman yang kaku ini tingginya berkisar antara 1.5 m dan 2.5 m dan terbungkus oleh pelepah daun yang berselang-seling yang berasal dari setiap buku. Menurut Singh (1987) jumlah buku tanaman ini 10-20 buku per tanaman, dimana pada buku ke-6 atau ke-7 akan ditemui tongkol jagungnya. Daun tanaman ini ada yang disebut lidah daun (ligula), melekat kuat melingkupi batang pada ujung pelepah dengan lembar daun berselang-seling. Daun panjang ini memiliki lebar agak seragam dan tulang daun yang terlihat jelas dengan banyak tulang daun kecil sejajar dengan panjang daun. Tongkol jagung yang terbentuk pada batang sekunder yang berkembang lebih lambat dan jarang produktif. Pada jagung manis tongkolnya lebih kecil dibandingkan jagung biasa. Antesis ditandai dengan munculnya rambut dari kelobot di puncak tongkol. Umumnya para petani dalam mengusahakan jagung semi memberikan perlakuan khusus yang disebut detasseling (Palungkun dan Budiarti, 1992)

2.2 Jagung Semi Baby corn disebut juga jagung semi atau jagung putri dikenal sebagai primadona sayuran mini yang manis rasanya dan memiliki komponen gizi utama yaitu betakaroten, vitamin C, vitamin B dan mineral berupa kalsium, fosfor, dan besi yang bermanfaat bagi pencernaan (Arnelia, 2003). Jagung semi merupakan bagian dari tongkol jagung muda yang dipetik sebelum berbiji. Menurut Adisarwanto dan Widyastuti (2002), tanda-tanda yang tepat untuk menentukan panen pada jagung semi antara lain: biji (bagian dari bunga betina) mulai terisi zat pati yang berbentuk seperti cairan susu, biji belum keras dan bila dipijit akan keluar cairan putih seperti susu, panjang rambut jagung pada tongkol antara 3-5 cm, kelobot pada tongkol jagung berwarna hijau, dan kondisi tanaman jagung masih segar berwarna hijau. Jagung semi dapat tumbuh pada daerah berketinggian 0-1 300 m dpl dan dapat hidup baik di daerah yang beriklim panas atau dingin dengan temperatur sekitar 23-27 C dan ph sekitar 5.5-7.0. Tanah yang disukai jagung semi adalah tanah yang gembur, kaya akan humus, dan tingkat kemiringan yang tidak lebih dari 8%. Namun demikian, jagung semi masih dapat berproduksi tinggi pada tanah yang tidak terlalu subur asalkan mendapatkan pemeliharaan yang teliti. Seperti juga jagung, baby corn dapat ditanam secara tumpang sari atau secara rotasi dengan padi (BPPT, 2005). Menurut Soemadi dan Mutholib (2000), panen jagung dilakukan saat tanaman berumur 1 1.5 bulan dengan memetik tongkol menggunakan tangan atau pisau ramping, caranya pelepah daun tempat tongkol berada dibelah sedikit lalu tongkol ditarik ke samping pada bagian yang dibelah tadi dan ujung tongkol dipotong. Pemanenan jagung semi secara manual dilakukan 1-2 hari setelah silking, dimana tongkol masih sangat muda. Pemanenan harus dilakukan segera agar tidak berukuran terlalu besar dan keras. Frekuensi panen dilakukan setiap 2-3 hari sekali dan masa akhir pemanenan sekitar 2-4 minggu setelah panen pertama.

2.3 Pemuliaan Tanaman Jagung Semi Pemuliaan tanaman merupakan ilmu dan seni untuk merakit keragaman genetik yang tersedia menjadi varietas tanaman yang berguna bagi manusia (Makmur, 1992). Rubatzky dan Yamaguchi (1998) menambahkan, untuk menghasilkan varietas tanaman yang sesuai dengan sistem budidaya yang ada dan tujuan ekonomi yang diinginkan. Teknik penyerbukan buatan tanaman jagung (Sibbing) bertujuan menghasilkan benih jagung yang memiliki daya tumbuh baik dan persentase hasil benih tinggi, dari hasil perkawinan satu varietas yang sama. Langkah yang umum dilakukan mencakup tiga langkah dasar antara lain : (i) memotong tongkol jagung yang masih muda dan belum keluar rambut serta menutupnya dengan plastik (ii) mengumpulkan tepung sari (iii) melakukan penyerbukan (Singh, 1987). Palungkun dan Budiarti (1992) menyatakan pembuangan bunga jantan (detasseling) dilakukan setelah bunga jantan keluar dan belum sempat mekar (sekitar 5-6 minggu setelah tanam). Dengan demikian penyerbukan bunga jantan tidak terjadi sehingga energi yang dipakai untuk mekarnya bunga jantan dialihkan untuk memperbanyak pembentukan tongkol baru jagung semi. Menurut Titatarn et al. (1992) pemuliaan jagung semi di Thailand tahun 1976 menyeleksi 147 varietas koleksi plasma nutfah termasuk dari India dan Filipina sehingga dihasilkan satu varietas komposit yaitu Rangsit 1. Tahun 1993 Thailan berhasil melepas varietas hibrida unggul jagung semi yaitu Suwan 3101, NS 1 (s) C 2 F 2, CM 90 dan Super Sweet DMR. Menurut Zhao (1991) di Cina tahun 1993 dihasilkan varietas jagung semi yang mampu menghasilkan lima tongkol yaitu Lu Sun Yu 1. Menurut Yodpetch dan Bautista (1983) di Filipina tahun 1983 ditemukan varietas harapan jagung semi yaitu Golden Bantam dan Super Sweet. Di Indonesia, upaya pengembangan jagung semi belum banyak dilakukan. Adapun varietas jagung yang umum digunakan untuk memproduksi jagung semi, baik itu oleh petani maupun pengusaha skala yang lebih besar yaitu hibrida CPI-1 dan Pioneer.

2.4 Analisis Lintas Analisis lintas (sidik lintas) sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemuliaan tanaman yang efektif (Ganefianti et al., 2006). Analisis lintas menguraikan seberapa besar pengaruh langsung dan tidak langsung komponen hasil terhadap hasil. Besarnya pengaruh langsung dinyatakan oleh besarnya koefisien lintas. Penjumlahan dari pengaruh langsung dan tidak langsung disebut sebagai pengaruh total. Menurut Ganefianti et al. (2006) analisis lintasan (sidik lintas) dapat digunakan untuk mengetahui sifat-sifat pertumbuhan, komponen hasil dan hasil tanaman yang mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung sehingga pemilihan sifat yang diinginkan menjadi lebih efektif. Singh dan Chaudary (1979) mengemukakan bahwa penentuan pengaruh langsung dan tak langsung dalam menarik kesimpulan dari hasil tabel analisis lintas yaitu : 1. Jika korelasi antara peubah hampir sama dengan pengaruh langsungnya maka korelasi tersebut menjelaskan hubungan yang sebenarnya dan seleksi langsung melalui peubah tersebut akan efektif 2. Jika korelasi positif tetapi pengaruh langsungnya negatif maka pengaruh tidak langsunglah yang menyebabkan korelasi tersebut. Pengaruh tak langsung ini merupakan peubah yang harus diperhatikan lebih lanjut 3. Jika korelasi negatif dan kecil sedangkan pengaruh langsungnya positif dan besar maka pemilihan model selanjutnya yang dilakukan harus dengan pembatasan yang benar agar pengaruh peubah tak langsung menjadi hilang, sehingga pengaruh langsung dapat lebih berguna.

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2009 sampai dengan Juli 2009 di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo, Dramaga, Bogor yang terletak pada ketinggian 250 m dpl dengan jenis tanah latosol. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan 17 genotipe jagung koleksi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) terdiri atas 5 genotipe lokal (Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, Lokal Srimanganti), 7 genotipe hasil pemuliaan (Antasena, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Sadewa, Wisanggeni) dan 5 genotipe introduksi (EW DMR Pool C6S2, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2, Phil DMR 6) serta varietas hibrida BISI-2 sebagai pembanding. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman dilakukan pemupukan dengan Urea, SP-18, KCl dan pupuk kandang. Pengendalian hama dan penyakit tanaman menggunakan insektisida dan fungisida. Alat yang digunakan antara lain alat budidaya pertanian, jangka sorong, label, meteran, pisau, plastik, timbangan digital, dan alat tulis. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan tiga ulangan. Perlakuannya adalah 17 genotipe dan varietas hibrida BISI-2 sebagai pembanding. Dengan demikian seluruhnya terdapat 54 satuan percobaan dan setiap satu satuan percobaan terdiri dari 50 tanaman tiap petak dengan 10 tanaman contoh.

Model matematika RKLT yang digunakan (Gomez and Gomez, 1995) adalah : Y ij = μ + α i + β j + ε ij Keterangan : i = 1, 2, 3,...n j = 1, 2, 3 Y ij μ α i β j ε ij = Respon pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j = Nilai tengah umum = Pengaruh perlakuan ke-i = Pengaruh ulangan ke-j = Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j Terhadap karakter yang berbeda nyata pada taraf 5% dilakukan uji lanjut dengan uji t-dunnett. Selain itu dilakukan uji kontras ortogonal antar genotipe atau kelompok genotipe sesuai kebutuhan. 3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Pengolahan Lahan Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor kemudian cangkul dilanjutkan pemberian pupuk kandang dan dibiarkan selama satu minggu. Setelah satu minggu dilakukan pemetakan dengan ukuran 26.6 m x 5 m untuk tiap ulangan dan setiap genotipe ditanam dalam dua baris dengan ukuran petak 1.4 m x 5 m dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm. Dengan demikian terdapat 25 tanaman per baris dan 50 tanaman per genotipe per ulangan. 3.4.2 Penanaman Benih yang ditanam sebanyak 2 benih per lubang tanam dan diikuti dengan pemberian Furadan 3G untuk pengendalian hama lalat bibit dan serangan semut yang dapat merusak benih dalam tanah.

3.4.3 Pemupukan Pemupukan dilakukan dengan cara ditugal dengan jarak ± 7 cm dari lubang tanam. Dosis pupuk yang digunakan yaitu 200 kg/ha Urea, 400 kg/ha SP-18 dan 100 kg/ha KCl. Pupuk Urea diberikan setengah dosis rekomendasi pada saat tanam dan sisanya diberikan 21 HST (Hari Setelah Tanam). Pupuk SP- 18 dan KCl diberikan satu dosis rekomendasi pada saat tanam saja. 3.4.4 Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi pengendalian gulma (penyiangan), pembumbunan, pengendalian hama dan penyakit, dan penjarangan. Penyiangan dan pembumbunan dilakukan saat tanaman berumur 3 MST (Minggu Setelah Tanam), kegiatan penyiangan dilakukan kembali sekitar 6 MST karena gulma yang tumbuh menghambat pertumbuhan tanaman jagung serta menyulitkan pemanenan. Pengendalian penyakit menggunakan fungisida berupa Saromyl yang diaplikasikan pada benih sebelum ditanam dengan tujuan mencegah penyakit bulai. Pengendalian hama menggunakan insektisida Furadan 3G untuk mengendalikan hama lalat bibit serta untuk pengendalian ulat serta belalang digunakan Decis 2.5 EC dengan konsentrasi 2 ml per 1 liter air. Pengendalian hama dengan Furadan diaplikasikan saat tanam yang diberikan bersamaan dengan benih dan diaplikasikan pada ujung daun tanaman jagung saat berumur 2-4 MST untuk pengendalian ulat grayak. Penjarangan yaitu membuang satu tanaman jagung sehingga hanya satu tanaman jagung saja yang tersisa setiap lubang tanamnya. Bertujuan mengurangi persaingan pertumbuhan tanaman dalam populasi. Kegiatan pemeliharaan dalam penelitian ini hanya meliputi pengendalian hama dan penyakit, pengendalian gulma, dan pembumbunan. Penyulaman tanaman yang mati tidak dilakukan karena dikhawatirkan tanaman jagung semi tidak seragam pertumbuhannya mengingat umurnya yang pendek.

3.4.5 Pemanenan Kegiatan pemanenan pada umumnya dilakukan setelah tanaman berumur 54 HST (di bagian tongkol sudah keluar rambut 2-3 cm dan warna kelobot hijautua), yang dilakukan setiap dua hari sekali. Penelitian ini menggunakan 17 genotipe yang berbeda dan varietas hibrida BISI-2 sebagai pembanding sehingga panen dilakukan sesuai umur panen tiap genotipe. Menurut Fadhil (2004) berdasarkan penelitian yang dilakukannya, genotipe jagung lokal memiliki umur panen yang pendek yaitu Ketip Kuning (57.5 HST), Genjah Kodok (58.5HST), Lokal Srimanganti (61.0 HST) dan Lokal Oesao (62.6 HST) dibandingkan dengan genotipe jagung hasil pemuliaan, Sadewa (62.7 HST). 3.4.6 Pengamatan Pengamatan dilaksanakan terhadap 10 tanaman contoh yang kompetitif yang diambil secara acak per genotipe. Peubah yang diamati antara lain : 1. Tinggi tanaman Diukur setelah tanaman keluar tassel (bunga jantan), mulai dari permukaan tanah pada ruas terakhir dimana terdapat akar hingga ujung daun tertinggi yang ditegakkan dan dilakukan satu minggu sekali. 2. Diameter batang Pengukuran ini bersamaan dengan tinggi tanaman, yang diukur pada ruas terbesar sekitar 5 cm dari ruas terakhir dimana terdapat akar dan dilakukan satu minggu sekali. 3. Jumlah buku per tanaman Perhitungan dari buku terbawah setiap tanaman contoh dan dilakukan satu minggu sekali. 4. Umur berbunga (bunga jantan) Umur saat pertama penanaman sampai 50% dari populasi tanaman keluar malai. 5. Umur panen Nilai rata-rata umur petik tiap tongkol yang dihasilkan tanaman contoh.

6. Jumlah tongkol per tanaman Dihitung berdasarkan semua tongkol yang dihasilkan setiap tanaman contoh. 7. Bobot tongkol kotor Ditimbang berdasarkan bobot semua tongkol beserta kelobot dan rambutnya dari setiap tanaman contoh. 8. Bobot tongkol bersih Ditimbang berdasarkan bobot tongkol tanpa kelobot dan rambut tongkol dari setiap tanaman contoh. 9. Ukuran tongkol Pengukuran dilakukan terhadap panjang tongkol dan diameter tongkol. Pengukuran panjang tongkol mulai dari bagian pangkal tongkol sampai ujung tongkol sedangkan diameter diukur pada bagian pangkal tongkol karena berdasarkan pengamatan bagian ini adalah bagian dengan diameter tongkol terbesar untuk tongkol yang layak pasar. 10. Jumlah tongkol layak pasar Dihitung dari jumlah tongkol semua tanaman contoh per genotipe. Tongkol layak pasar memiliki ciri-ciri berupa bentuk tongkol yang lurus, baris bakal biji lurus, tidak cacat atau terserang hama dan penyakit, serta ukuran yang sesuai dengan kriteria kelas yang digunakan oleh perusahaan jagung semi. Misalnya PT NSI (Nusantara Swadaya Industri) menetapkan jagung semi kelas A (panjang tongkol 4-6 cm), kelas B (panjang tongkol 6-8 cm), kelas C (panjang tongkol 8-10 cm), dan kelas D (panjang tongkol 10-12 cm). Pada penelitian ini digunakan standar CODEX (Tabel 1) untuk mengkelaskan jagung semi berdasarkan ukuran tongkol. Tabel 1. Standar CODEX untuk Baby corn (Brisco, 2000) Kode Ukuran Panjang Tongkol(cm) A 5.0-7.0 B 7.0-9.0 C 9.0-12.0 Semua ukuran, minimal harus memiliki diameter tongkol tidak kurang dari 1 cm dan maksimal tidak lebih dari 2 cm

11. Jumlah tongkol afkir Tongkol dengan penampilan kurang menarik misalnya bengkok, cacat, terserang hama dan penyakit, tidak mulus, baris bakal biji yang bengkok atau melingkar, dan ukuran tongkol yang tidak memenuhi kriteria pengkelasan. Dihitung dari jumlah tongkol semua tanaman contoh per genotipe. 3.5 Analisis Data 3.5.1 Analisis Ragam dan Uji Nilai Tengah Masing-masing peubah dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) dari Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT). Tabel 2. Sidik Ragam Rancangan Kelompok Lengkap Teracak Sumber Derajat Jumlah Kuadrat E (KT) F hitung Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Faktor koreksi 1 Ulangan r-1 JK k KT σ 2 ε + σ 2 β Genotipe t-1 JK g KT g σ 2 ε+σ 2 g KT g /KT e Galat (r-1) (t-1) JK e KT e σ 2 ε Umum rt-1 JK u Apabila dalam sidik ragam terdapat peubah yang nilai F-hitungnya berbeda nyata atau sangat nyata maka dilakukan uji lanjut setelah analisis ragam dengan menggunakan uji perbedaan nilai tengah yaitu uji t-dunnett dan uji kontras ortogonal. Berikut rumus nilai kritikal dari uji t-dunnett : d = t (dunnett) Berikut rumus dari uji kontras ortogonal : H 0 = c 1 u 1 + c 2 u 2 +... + c i u i = c i u i = 0, dengan syarat : c i = 0 Keterangan : u i = total perlakuan atau nilai tengah c i = konstanta

3.5.2 Pendugaan Heritabilitas Nilai heritabilitas merupakan nilai yang digunakan oleh pemulia tanaman dalam melakukan seleksi terhadap beberapa karakter yang diinginkan (Allard, 1960). Nilai ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana suatu populasi tanaman secara fenotipik dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan sekitarnya. Perhitungan nilai ragam genotipe dan ragam fenotipe diduga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: σ 2 ε = = σ 2 γ = = σ 2 р = = V g + V e Keterangan : KT g KT e V G V E V P r = kuadrat tengah genotipe = kuadrat tengah galat = ragam genotipe = ragam lingkungan = ragam fenotipe = banyaknya ulangan Rumus heritabilitas sebagai berikut : h 2 bs = Kriteria nilai heritabilitas (h 2 bs) menurut Stanfield (1991) terdiri dari tiga kelas yaitu: Heritabilitas rendah : h 2 bs < 0.2 Heritabilitas sedang : 0.2 h 2 bs 0.5 Heritabilitas tinggi : 0.5 < h 2 bs < 0.1

3.5.3 Koefisien Keragaman Genetik (KKG) Rumus untuk perhitungan koefisien keragaman genetik adalah: KKG = x 100% Keterangan : KKG = koefisien keragaman genetik V G = ragam genetik = nilai tengah Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) kriteria KKG relatif yaitu : rendah (0% <x 25%), agak rendah (25% <x 50%), cukup tinggi (50% <x 75%) dan tinggi (75% <x 100%). 3.5.4 Koefisien Korelasi Keeratan hubungan antar dua peubah yang diamati dapat diketahui melalui nilai koefisien korelasinya (r). Rumus untuk menduga koefisien korelasi adalah : Keterangan : r (xy) = koefisien korelasi peubah x dan y = nilai pengamatan ke-i pada peubah pertama = nilai pengamatan ke-i pada peubah kedua Nilai r berada diantara -1 dan +1. Nilai 1 atau -1 menunjukkan bahwa hubungan linear sempurna dan jika r sama dengan nol maka tidak ada hubungan antara kedua peubah atau hubungannya tidak linier. 3.5.5 Analisis Lintas Besarnya nilai koefisien lintasan (P) dicari dengan menggunakan metode aljabar matriks menurut Singh dan Chaudary (1979). Pengolahan data ini dilakukan dengan program SAS 6.12.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Penelitian dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009 di Kebun Percobaan Lewikopo IPB dimana pada bulan tersebut merupakan akhir dari musim hujan. Curah hujan yang turun selama penelitian berdasarkan data statistik dari stasiun klimatologi Dramaga yaitu 346.57 mm/bulan, dimana pada bulan Mei curah hujan sangat tinggi (570.60 mm). Suhu udara berkisar 26 o C dengan kelembaban udara 81.67%. Dengan demikian curah hujan tersebut adalah cukup untuk fase pertumbuhan sampai pembentukan tongkol. Tim Penebar Swadaya (1992) menyatakan bahwa kisaran curah hujan ideal bagi jagung semi adalah 100 125 mm/bulan. Data curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara dicantumkan pada Lampiran 11. Pertumbuhan tanaman jagung cukup baik, terlihat dari daya tumbuh ratarata dari 18 genotipe adalah 99.44%. Hal ini dikarenakan sebelum penanaman jagung untuk penelitian, benih diperbanyak terlebih dahulu. Gambar 1 memperlihatkan beberapa hama dan penyakit yang menyerang tanaman jagung selama penelitian. Serangan hama mulai terlihat saat tanaman berumur 3 MST berupa belalang (Melanoplus sp.), ulat tanah (Agrotis ipsilon) dan ulat grayak (Spodoptera litura). Hama ulat penggerek tongkol (Heliothis armigera) dan ulat penggerek batang (Sesamia inferens) menyerang saat panen jagung semi berlangsung sekitar 40 55 HST, akibat serangan keduanya terjadi penurunan kualitas tongkol jagung semi. Penyakit bulai (Sclerospora maydis) menyerang tanaman jagung yang masih muda berumur sekitar 3 MST sehingga untuk menghindari penyebaran penyakit ini dilakukan pencabutan dan pembuangan tanaman jagung yang terserang (Gambar 1). Saat tanaman jagung berumur lebih dari 5 MST serangan bulai cukup luas sekitar 8.04% secara keseluruhan. Genotipe yang banyak terserang bulai antara lain BC 10 MS 15 (37.33%), Sadewa (14%) dan EY Pool C6S2 (15.33%). Genotipe BC 10 MS 15 merupakan genotipe hasil pemuliaan yang terserang penyakit bulai cukup tinggi sehingga dalam satu petakan hanya

terdapat 15 25 tanaman. Penyakit lain yang menyerang tanaman jagung selama penelitian adalah hawar daun (Helminthosporium maydis) dan karat (Puccinia sp.). Penyakit hawar daun awalnya berupa bercak-bercak kecil selanjutnya berwarna coklat kehijauan dan lama kelamaan membesar sedangkan penyakit karat pada tingkatan yang jauh menyebabkan bagian-bagian daun mengering (Semangun, 1991). (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) Gambar 1. Hama dan Penyakit yang Teridentifikasi Menyerang Tanaman Jagung Semi. (a) ulat tanah (b) ulat grayak (c) ulat penggerek tongkol (d) batang tanaman jagung akibat serangan penggerek batang (e) bercak daun (f) bulai (g) karat daun dan (h) hawar daun Pemanenan jagung semi dilakukan setiap dua hari sekali, dengan ciri-ciri panen berupa panjang rambut 2 3 cm dan warna kelobot hijau tua. Panjang rambut ini hanya dapat digunakan untuk kriteria pemanenan sampai tongkol kedua saja, panen selanjutnya diperkirakan pada tongkol dengan panjang rambut

lebih dari 3 cm. Tongkol muncul tidak serempak sehingga panen tidak dapat dilakukan sekaligus. Berdasarkan hasil sidik ragam peubah yang diperoleh, pengaruh genotipe untuk semua peubah adalah nyata atau sangat nyata (Tabel 3 disarikan dari Lampiran 3-14). Tabel 3. Rekapitulasi Uji F Pengaruh Genotipe Beberapa Karakter Tanaman Jagung. Karakter F-hitung Pr > F KK (%) Tinggi tanaman 4.39 ** 0.0001 6.20 Diameter batang 10.43 ** 0.0001 6.18 Jumlah buku per tanaman 71.88 ** 0.0001 3.83 Umur berbunga 109.63 ** 0.0001 1.79 Umur panen rata-rata 11.90 ** 0.0001 3.55 Jumlah tongkol per tanaman 15.92 ** 0.0001 10.43 Bobot tongkol kotor 10.83 ** 0.0001 13.45 Bobot tongkol bersih 12.66 ** 0.0001 16.77 Diameter tongkol 9.02 ** 0.0001 5.86 Panjang tongkol 29.55 ** 0.0001 7.82 Jumlah tongkol layak pasar 2.49 * 0.0115 10.37 w) Jumlah tongkol afkir 11.88 ** 0.0001 10.94 Keterangan : * = berbeda nyata pada taraf 5% ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% tn = tidak berbeda nyata w) = transformasi ( x+o.5) 4.2 Parameter Genetik 4.2.1 Keragaman Genetik, Keragaman Fenotipik dan Heritabilitas Nilai ragam genetik (V G ) dan ragam fenotipik (V P ) pada beberapa peubah yang diamati lebih besar daripada nilai ragam lingkungan (V E ). Hal ini dikarenakan nilai V P merupakan hasil penjumlahan dari nilai V G dan V E. Dengan demikian dapat diartikan bahwa populasi jagung semi untuk beberapa peubah yang diamati mempunyai ragam genetik luas karena peubah-peubah ini lebih dikendalikan oleh faktor genetik daripada lingkungan. Nilai koefisien keragaman genetik (Tabel 4) diperoleh dari nilai ragam genetik, jika nilai ragam genetik kecil maka koefisien keragaman genetik akan

kecil pula yang menunjukkan variabilitas genetik yang sempit. Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) kriteria KKG relatif yaitu : rendah (0% <x 25%), agak rendah (25% <x 50%), cukup tinggi (50% <x 75%) dan tinggi (75% <x 100%). Dengan menjadikan nilai absolut 33.10% hasil penelitian ini sebagai nilai relatif 100%, maka kisaran nilai absolut koefisien keragaman genetik (KKG) jagung semi ini berturut-turut rendah (0% <x 8.28%), agak rendah (8.28% <x 16.55%), cukup tinggi (16.55% <x 24.83%) dan tinggi (24.83% <x 33.10%). Berdasarkan kriteria tersebut, karakter yang keragaman genetiknya relatif rendah adalah : tinggi tanaman, diameter batang, umur panen rata-rata dan jumlah tongkol layak pasar; agak rendah yakni : umur berbunga dan diameter tongkol; cukup tinggi yakni : jumlah buku per tanaman, jumlah tongkol per tanaman, bobot tongkol kotor, panjang tongkol dan jumlah tongkol afkir; dan tinggi yakni bobot tongkol bersih. Menurut Warid et al. (1999) seleksi akan efektif dilakukan pada peubah dengan variabilitas genetik luas, yang ditunjukkan oleh nilai KKG yang tinggi. Tabel 4. Nilai Ragam Genetik (Vg), Ragam Fenotipik (Vp), Ragam Galat (Ve), Koefisien Keragaman Genetik (KKG), dan Heritabilitas Arti Luas (h 2 bs) Beberapa Karakter Peubah Vg Vp Ve KKG (%) h 2 bs Tinggi tanaman 225.76 292.32 66.56 6.60 0.77 Diameter batang 3.27 3.61 0.35 1.10 0.90 Jumlah buku per tanaman 5.70 5.78 0.08 18.60 0.99 Umur berbunga 28.99 29.26 0.27 10.80 0.99 Umur panen rata-rata 7.44 8.12 0.68 6.80 0.92 Jumlah tongkol per tanaman 0.30 0.32 0.02 23.20 0.94 Bobot tongkol kotor 117.44 129.39 11.95 24.30 0.91 Bobot tongkol bersih 8.31 9.02 0.71 33.10 0.92 Diameter tongkol 1.46 1.64 0.18 9.60 0.89 Panjang tongkol 3.85 3.98 0.13 24.20 0.97 Jumlah tongkol layak pasar 0.001 0.003 0.002 0.04 0.80 w) Jumlah tongkol afkir 0.21 0.23 0.020 20.80 0.91 Keterangan : w) = transformasi ( x+o.5) Keragaan tanaman jagung semi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Besar atau kecilnya peranan faktor genetik terhadap keragaan tanaman dapat dilihat dari nilai heritabilitas arti luas (h 2 bs). Pada percobaan nilai heritabilitas

yang tinggi terlihat pada hampir semua peubah sehingga secara umum peubah yang diamati tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai h 2 bs masing-masing peubah yang lebih dari 50%. Kriteria nilai heritabilitas tinggi berkisar 50% - 100% (Stanfield, 1991). Nilai heritabilitas yang tinggi (Tabel 4) pada penelitian jagung semi ini antara 77.20% - 99.10%. Nilai heritabilitas yang tinggi dari beberapa peubah pada 18 genotipe jagung semi didukung oleh nilai ragam genetik yang luas. Terhadap populasi dengan nilai heritabilitas tinggi, memungkinkan dilakukan seleksi. Menurut Jonharnas (1995) seleksi pada karakter yang memiliki heritabilitas tinggi akan berlangsung efektif karena pengaruh lingkungan kecil dan faktor genetik lebih dominan dalam penampilan genotipe tanaman. 4.2.2 Keeratan Hubungan Antar Peubah Dalam pencapaian tujuan seleksi terhadap peubah tanaman, perlu diketahui korelasi antar peubah. Saat seleksi berlangsung terkadang ada peubah tidak dikehendaki yang ikut terseleksi dimana peubah ini dapat menguntungkan atau merugikan. Oleh karena itu, untuk mengetahuinya dengan pasti digunakan korelasi dengan melihat nilai keeratan hubungan antar peubah. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) koefisien korelasi dinotasikan dengan r pada kisaran nilai -1 r 1, r mendekati 1 atau -1 menunjukkan semakin erat hubungan linier antara kedua peubah dan nilai r mendekati nol menunjukkan hubungan kedua peubah tersebut tidak linier atau tidak ada hubungan antar peubah. Nilai r ini didukung juga oleh peluang nyata atau tidak nyata untuk menentukan keeratan hubungan antar dua peubah yang diamati. Keeratan hubungan antar peubah yang diamati dapat dilihat pada Tabel 5. Tinggi tanaman memiliki keeratan yang tinggi dengan jumlah buku per tanaman (r : 0.7688, p : 0.0001) namun memiliki nilai rendah dan berkorelasi negatif dengan jumlah tongkol afkir (r : -0.4265, p : 0.0013). Dengan demikian, semakin banyak jumlah buku maka tanaman akan semakin tinggi dan fase vegetatif pun berlangsung lama yang dapat memperpanjang umur berbunga (fase generatif) dan umur panen.

Umur berbunga berkorelasi positif dan mendekati satu (r : 0.9503, p : 0.0001) dengan panen awal. Dengan demikian, semakin genjah umur berbunga maka akan semakin genjah pula umur panen jagung semi. Bobot tongkol kotor memiliki keeratan yang mendekati satu dengan bobot tongkol bersih (r : 0.8339, p : 0.0001) sedangkan bobot tongkol bersih sendiri juga memiliki nilai korelasi yang mendekati satu dengan jumlah tongkol layak pasar (r : 0.9957, p : 0.0001). Jumlah tongkol per tanaman dengan jumlah tongkol afkir memiliki nilai korelasi positif dan tingkat keeratan hubungannya terlihat sangat erat karena nilai korelasinya mendekati satu (r : 0.9612, p : 0.0001). Yodpetch dan Bautista (1983) menyatakan bahwa kriteria jagung semi yang baik seharusnya memiliki umur berbunga yang genjah, hasil per hektar tinggi, jumlah tongkol per tanaman yang banyak, tinggi tanaman yang rendah, kualitas yang baik, dan indeks panen tinggi. Jumlah tongkol per tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil jagung semi karena terkait dengan jumlah tongkol layak pasar dan jumlah tongkol afkir. Dengan demikian dapat diperkirakan beberapa kriteria seleksi jagung semi yaitu tinggi tanaman rendah, umur berbunga genjah, umur panen genjah, jumlah tongkol per tanaman banyak dan jumlah tongkol layak pasar banyak. Peubah-peubah inilah yang dapat digunakan dalam memilih atau menyeleksi populasi genotipe jagung semi. Berdasarkan kriteria tersebut, Genjah Kodok memenuhi kriteria tinggi tanaman rendah, umur berbunga dan umur panen genjah. Kiran memenuhi kriteria jumlah tongkol per tanaman banyak dan Phil DMR Comp. 2 memenuhi kriteria jumlah tongkol layak pasar banyak.

Tabel 5. Nilai Koefisien Korelasi Antar Peubah Tanaman Jagung DB BU UB UPR PAW PAK JT BTK BTB JTL JTA DT PT TT DB BU UB UPR PAW PAK JT BTK BTB JTL JTA DT 0.5661 0.0001 0.7688 0.4752 0.0001 0.0003 0.6387 0.5694 0.8451 0.0001 0.0001 0.0001 0.4655 0.5617 0.7344 0.6501 0.0004 0.0001 0.0001 0.0001 0.6502 0.4509 0.8546 0.9503 0.5891 0.0001 0.0006 0.0001 0.0001 0.0001 0.4496 0.4804 0.7478 0.7487 0.8445 0.7330 0.0006 0.0002 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001-0.4355-0.0897-0.5373-0.6877-0.0283-0.7964-0.3251 0.0010 0.0519 0.0001 0.0001 0.8389 0.0001 0.0165 0.4664 0.5663 0.5437 0.6511 0.4073 0.6595 0.5322-0.5008 0.0004 0.0001 0.0001 0.0001 0.0022 0.0001 0.0001 0.0001 0.5360 0.5485 0.6813 0.7676 0.5472 0.8181 0.6487-0.5801 0.8339 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.5605 0.5467 0.7159 0.8005 0.5537 0.8521 0.6584-0.6235 0.8250 0.9957 0.0001 0.0001 0.0010 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001-0.4265-0.1034-0.5323-0.6517-0.0261-0.7677-0.3197 0.9612-0.4685-0.5516-0.5941 0.0013 0.4567 0.0001 0.0001 0.8513 0.0001 0.0184 0.0001 0.0004 0.0001 0.0001 0.3227 0.3680 0.5152 0.4967 0.3520 0.5689 0.4324-0.4302 0.7419 0.7966 0.7899-0.3710 0.0173 0.0061 0.0001 0.0001 0.0090 0.0001 0.0011 0.0012 0.0001 0.0001 0.0001 0.0057 0.6269 0.6957 0.7763 0.8616 0.6573 0.8463 0.7305-0.5537 0.7183 0.8820 0.8955-0.5497 0.5730 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 Keterangan : TT : Tinggi tanaman, DB : Diameter Batang, BU : Jumlah Buku per Tanaman, UB : Umur Berbunga, UPR : Umur Panen Rata-rata, PAW : Panen Awal, PAK : Panen Akhir, JT : Jumlah Tongkol per Tanaman, BTK : Bobot Tongkol Kotor, BTB : Bobot Tongkol Bersih, PT : Panjang Tongkol, DT : Diameter Tongkol, JTL : Jumlah Tongkol Layak, JTA : Jumlah Tongkol Afkir, jika p 0.01 maka berkorelasi nyata pada taraf 1%, jika p 0.05 dan p< 0.01 maka berkorelasi nyata pada taraf 5%.

2.3 Analisis Lintas Analisis lintas (sidik lintas) sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemuliaan tanaman yang efektif. Analisis lintasan (sidik lintas) dapat digunakan untuk mengetahui sifat-sifat pertumbuhan, komponen hasil dan hasil tanaman yang mempunyai pengaruh lansung maupun tidak langsung sehingga pemilihan sifat yang diinginkan menjadi lebih efektif (Ganefianti et al., 2006). Karakter diameter batang dan umur panen rata-rata memiliki nilai korelasi yang tidak nyata pada taraf 5% terhadap jumlah tongkol per tanaman sehingga kedua karakter ini tidak dapat digunakan sebagai karakter penduga jumlah tongkol per tanaman. Koefisien lintas yang bernilai negatif terhadap jumlah tongkol per tanaman adalah tinggi tanaman (P 1 = -0.0685), umur berbunga (P 4 = -0.1303), panen awal (P 6 = -0.5311), panen akhir (P 7 = -0.0372), bobot tongkol kotor (P 8 = -0.0608), jumlah tongkol layak pasar (P 10 = -0.7419) dan diameter tongkol (P 12 = -0.0995). Menurut Tiwari dan Verma (1997) diameter batang berpengaruh langsung pada hasil jagung semi. Hasil peneliltian Hidajat dan Puspitarati (1985) menunjukkan bahwa analisis lintasan tinggi tanaman kacang hitam amat berpengaruh terhadap hasil. Korelasi antara jumlah buku dengan jumlah tongkol per tanaman adalah nyata pada taraf 5% (r 3h = -0.5373). Adapun pengaruh langsungnya bernilai positif (P 3 = 0.13868) sedangkan pengaruh tidak langsung dari karakter ini melalui umur panen rata-rata (r 3-5 P 3 = 0.2363) dan bobot tongkol bersih (r 3-9 P 3 = 0.5843) memberikan kontribusi lebih besar daripada pengaruh langsungnya terhadap jumlah tongkol per tanaman (P 3 = 0.1387). Dengan demikian berarti bahwa jumlah buku berpengaruh tidak langsung terhadap jumlah tongkol per tanaman melalui umur panen rata-rata dan bobot tongkol bersih. Diagram lintas yang menunjukkan pengaruh langsung dan tak langsung beberapa karakter morfologi jagung semi terhadap jumlah tongkol per tanaman ditampilkan pada Gambar 2. Korelasi antara bobot tongkol bersih dan jumlah tongkol afkir dengan jumlah tongkol per tanaman adalah nyata pada taraf 5% (r 9h = -0.5801, r 11h = 0.9612). Adapun pengaruh langsungnya bernilai positif masing-masing P 9 = 0.85759 dan P 11 = 0.43819 yang memberikan kontribusi lebih besar daripada pengaruh tidak langsungnya terhadap jumlah tongkol per tanaman. Menurut

Koauychai et al. (1999) hasil analisis lintas dari bobot tongkol bersih berpengaruh langsung terhadap hasil jagung semi. Dengan demikian berarti bahwa bobot tongkol bersih dan jumlah tongkol afkir berpengaruh langsung terhadap jumlah tongkol per tanaman. Menurut Risliawati (2007), karakter vegetatif maupun karakter generatif tanaman pala menjadi penduga paling efektif bagi produksi, selain tergantung pada morfologi tanaman, juga tergantung pada kondisi lingkungan di mana tanaman berkembang. Nilai pengaruh sisa dari hasil analisis lintas penelitian ini P x = 0.1696 dimana tergolong kecil sehingga pengaruh selain komponen hasil berpengaruh kecil terhadap hasil jagung semi. Kecilnya nilai pengaruh sisa memudahkan dalam penentuan kriteria seleksi selanjutnya.

Tabel 6. Koefisien Lintasan yang Menunjukkan Pengaruh Langsung dan Tak Langsung pada Jumlah Tongkol per Tanaman melalui Berbagai Karakter dari Beberapa Genotipe Jagung Semi TT DB BU UB UPR PAW PAK BTK BTB JTL JTA DT PT r ij P j TT - DB 0.0873 - BU 0.1066 0.0659 - UB -0.0832-0.0742-0.1101 - UPR 0.1498 0.1807 0.2363 0.2092 - PAW -0.3453-0.2395-0.4539-0.5047 0.1896 - PAK -0.0167-0.0179-0.0278-0.0279-0.4486-0.0273 - BTK -0.0283-0.0344-0.0330-0.0396-0.0152-0.0401-0.0323 - BTB 0.4597 0.4704 0.5843 0.6583-0.0332 0.7015 0.5563 0.7151 - JTL -0.4158-0.4056-0.5312-0.5939 0.4749-0.6322-0.4885-0.6121-0.7387 - JTA -0.1869-0.0453-0.2332-0.2856 0.0194-0.3364-0.1401-0.2053-0.2417-0.2603 - DT -0.0321-0.0366-0.0512-0.0494 0.1543-0.0566-0.0430-0.0738-0.0792-0.0786 0.0369 - PT -0.0619-0.0687-0.0766-0.0851-0.0654-0.0836-0.0721-0.0709-0.0871-0.0884 0.0543-0.0566 - P j -0.0685 0.1543 0.1387-0.1303 0.3218-0.5311-0.0372-0.0608 0.8576-0.7419 0.4382-0.0995-0.0987 r ih -0.4355-0.0897-0.5373-0.6877-0.0283-0.7964-0.3251-0.5008-0.5801-0.6235 0.9612-0.4302-0.5537 Keterangan : P x = pengaruh sisa = 0.1696 TT : Tinggi tanaman, DB : Diameter Batang, BU : Jumlah Buku per Tanaman, UPR : Umur Panen Rata-rata, PAW : Panen Awal, PAK : Panen Akhir, BTK : Bobot Tongkol Kotor, BTB : Bobot Tongkol Bersih, JT : Jumlah Tongkol per Tanaman, JTL : Jumlah Tongkol Layak, JTA : Jumlah Tongkol Afkir, DT : Diameter Tongkol, PT : Panjang Tongkol r ij P j = pengaruh tidak langsung Pj = koefisien lintasan/pengaruh langsung = koefisien korelasi karakter ke-i dengan jumlah tongkol per tanaman r ih

Gambar 2. Diagram Lintas Berantai antara Komponen Produksi dan Produksi Jagung Semi pada Beberapa Genotipe Jagung. JT : Jumlah Tongkol per Tanaman, TT : Tinggi tanaman, UB : Umur Berbunga, PAW : Panen Awal, PAK : Panen Akhir, BTK : Bobot Tongkol Kotor, JTL : Jumlah Tongkol Layak, DT : Diameter Tongkol, PT : Panjang Tongkol, JTA : Jumlah Tongkol Afkir, BU : Jumlah Buku, BTB : Bobot Tongkol Bersih, P x : Pengaruh Sisa, : berpengaruh tidak langsung, : berpengaruh langsung.

Keragaan Karakter Agronomi 4.3.1 Karakter Vegetatif dan Generatif Perbandingan karakter vegetatif pada 17 genotipe jagung dengan varietas hibrida BISI-2 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Diameter Batang dan Jumlah Buku per Tanaman pada Beberapa Genotipe Jagung Genotipe Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (mm) Jumlah Buku per Tanaman (buku) Lokal Campaloga 212.81 *(-) 15.65 *(-) 9.63 *(-) Genjah Kodok 190.68 *(-) 15.17 *(-) 6.97 *(-) Ketip Kuning 226.72 tn(-) 15.80 *(-) 13.73 *(-) Lokal Oesao 230.75 tn(-) 17.21 *(-) 14.03 *(-) Lokal Srimanganti 221.58 *(-) 15.60 *(-) 13.80 *(-) Hasil Pemuliaan Antasena 239.72 tn(-) 19.44 tn(-) 14.70 tn(-) Arjuna P18 225.01 tn(-) 17.21 *(-) 13.37 *(-) Bayu 245.01 tn(-) 16.27 *(-) 14.03 *(-) BC 10 MS 15 218.16 *(-) 18.60 *(-) 12.67 *(-) Nakula 240.06 tn(-) 17.13 *(-) 12.80 *(-) Sadewa 242.05 tn(-) 16.71 *(-) 14.70 tn(-) Wisanggeni 238.76 tn(-) 14.75 *(-) 13.57 *(-) Introduksi EW DMR Pool C6S2 228.63 tn(-) 14.77 *(-) 14.40 tn(-) EY Pool C4S2 242.36 tn(-) 17.48 *(-) 13.17 *(-) Kiran 197.27 *(-) 13.55 *(-) 7.40 *(-) Phil DMR Comp. 2 213.24 *(-) 15.32 *(-) 12.17 *(-) Phil DMR 6 229.31 tn(-) 14.76 *(-) 14.00 *(-) Pembanding BISI 2 258.57 21.28 15.53 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata 5% berdasarkan uji t-dunnett dengan varietas hibrida BISI-2, (-) : kurang dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (+) : lebih dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (=) : sama dengan varietas hibrida BISI-2

4.3.1.1 Tinggi Tanaman Hasil sidik ragam peubah tinggi tanaman menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata (Lampiran 3), berarti terdapat perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman antar genotipe jagung semi. Perbedaan ini sesuai dengan genotipe masing-masing, terlihat pada Tabel 7 tinggi tanaman untuk genotipe lokal, genotipe hasil pemuliaan dan introduksi lebih rendah dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2. Rata-rata tinggi tanaman genotipe lokal antara 190.68-230.75 cm, genotipe hasil pemuliaan antara 218.16-245.01 cm, genotipe introduksi antara 197.27-242.36 cm, dan varietas hibrida BISI-2 sebesar 258.57 cm. Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 7 diperoleh 6 genotipe yang memiliki tinggi tanaman nyata lebih rendah dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Lokal Srimanganti, BC 10 MS 15, Kiran, dan Phil DMR Comp. 2. Hasil penelitian Wakhyono (2003) menunjukkan bahwa tinggi tanaman genotipe Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Arjuna P18, Nakula, Sadewa, Kiran sangat nyata lebih rendah dibanding Bisi-3. Tabel 8. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Tinggi Tanaman Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Pemuliaan vs Kiran 7.36 *(-) 0.0104 Pemuliaan vs Genjah Kodok 7.58 **(-) 0.0094 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 8) terlihat bahwa genotipe yang memiliki tinggi tanaman nyata lebih rendah dibanding rata-rata tinggi tanaman kelompok genotipe pemuliaan (222.16 cm) yaitu Kiran (197.27 cm) dan sangat nyata lebih rendah yaitu Genjah Kodok (190.68 cm). Hasil penelitian Indriati (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi tanaman maka fase vegetatifnya akan semakin lama sehingga umur panennya semakin lama pula.

4.3.1.2 Diameter Batang Lampiran 4 menunjukkan bahwa genotipe untuk peubah diameter batang berbeda sangat nyata sehingga peubah ini berbeda untuk masing-masing genotipenya. Terlihat pada Tabel 7 bahwa diameter batang varietas hibrida BISI- 2 lebih besar dibandingkan dengan genotipe lokal, hasil pemuliaan, dan introduksi dengan nilai 21.28 mm. Hasil penelitian Wakhyono (2003) diameter batang genotipe Campaloga (14.00 mm) dan Sadewa (18.00 mm) lebih kecil dibandingkan dengan BISI-3 (20.00 mm). Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 7 diperoleh 16 genotipe yang memiliki diameter batang nyata lebih kecil dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, EW DMR Pool C6S2, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Tabel 9. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Diameter Batang Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Introduksi vs Lokal Oesao 13.83 **(+) 0.0007 Kiran vs Phil DMR 6 7.18 *(+) 0.0113 Bayu vs Wisanggeni 0.32 tn(-) 0.5733 Genjah Kodok vs Lokal Srimanganti 7.99 **(+) 0.0078 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 9) terlihat bahwa genotipe Wisanggeni memiliki diameter batang lebih kecil dibandingkan dengan genotipe Bayu. Genotipe Lokal Oesao dan Lokal Srimanganti diameter batangnya sangat nyata lebih besar dibanding masing-masing dengan kelompok genotipe introduksi dan genotipe Genjah Kodok. Genotipe Phil DMR 6 sendiri nyata lebih besar diameter batangnya dibandingkan dengan Kiran.

4.3.1.3 Jumlah Buku per Tanaman Berdasarkan tabel sidik ragam (Lampiran 5) terlihat bahwa jumlah buku per tanaman berbeda sangat nyata berarti masing-masing genotipe memiliki perbedaan dalam jumlah buku per tanamannya. Varietas hibrida BISI-2 memiliki jumlah buku per tanaman terbanyak dari genotipe lokal, hasil pemuliaan, dan introduksi. Berturut-turut adalah jumlah buku per tanaman genotipe lokal, hasil pemuliaan, dan introduksi sebanyak 13.69, 12.23, dan 15.53 buku. Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 7 diperoleh 14 genotipe yang memiliki jumlah buku per tanaman nyata lebih sedikit dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Wisanggeni, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Tabel 10. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Buku per Tanaman Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Lokal vs Kiran 11.94 **(-) 0.0015 Pemuliaan vs Genjah Kodok 34.88 **(-) 0.0001 Introduksi vs Genjah Kodok 14.59 **(-) 0.0005 Campaloga vs Genjah Kodok 22.44 **(-) 0.0001 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 10) terlihat bahwa genotipe Kiran sangat nyata memiliki jumlah buku lebih sedikit dibandingkan dengan genotipe kelompok lokal. Genjah Kodok sendiri sangat nyata jumlah bukunya lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok genotipe hasil pemuliaan, kelompok genotipe introduksi dan genotipe Campaloga.

4.3.2 Karakter Umur Berbunga dan Umur Panen Perbandingan karakter generatif pada 17 genotipe jagung dengan varietas hibrida BISI-2 disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai Tengah Umur Panen Awal, Umur Panen Akhir, Umur Panen Rata-rata dan Umur Berbunga pada Beberapa Genotipe Jagung Genotipe Umur Berbunga (HST) Umur Panen Awal (HST) Umur Panen Akhir (HST) Umur Panen Rata-rata (HST) Lokal Campaloga 42.67 *(-) 43.33 *(-) 53.67 *(-) 35.31 *(-) Genjah Kodok 38.67 *(-) 40.77 *(-) 54.22 *(-) 33.52 *(-) Ketip Kuning 51.33 *(-) 55.13 tn(-) 68.61 tn(-) 42.61 tn(-) Lokal Oesao 58.00 *(+) 58.20 tn(+) 65.90 tn(-) 40.45 *(-) Lokal Srimanganti 51.33 *(-) 55.60 tn(-) 67.22 tn(-) 41.67 tn(-) Hasil Pemuliaan Antasena 53.33 tn(-) 56.10 tn(+) 67.87 tn(-) 43.43 tn(-) Arjuna P18 50.67 *(-) 55.53 tn(-) 68.67 tn(-) 41.62 tn(-) Bayu 49.00 *(-) 53.77 tn(-) 60.82 tn(-) 40.30 *(-) BC 10 MS 15 53.33 tn(-) 54.17 tn(-) 67.24 *(-) 42.58 tn(-) Nakula 53.33 tn(-) 56.56 tn(+) 63.45 *(-) 39.59 *(-) Sadewa 53.33 tn(-) 57.70 tn(+) 64.25 tn(-) 38.59 *(-) Wisanggeni 49.67 *(-) 54.30 tn(-) 62.65 *(-) 39.97 *(-) Introduksi EW DMR Pool C6S2 50.67 *(-) 53.80 tn(-) 68.89 tn(-) 42.28 tn(-) EY Pool C4S2 55.00 tn(+) 60.03 *(+) 67.33 tn(-) 40.23 *(-) Kiran 38.67 *(-) 40.00 *(-) 54.60 *(-) 36.89 *(-) Phil DMR Comp. 2 44.33 *(-) 44.63 *(-) 65.17 tn(-) 41.32 *(-) Phil DMR 6 49.67 *(-) 54.43 tn(-) 64.00 tn(-) 39.17 *(-) Pembanding BISI 2 54.00 55.70 70.22 44.97 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata 5% berdasarkan uji t-dunnett dengan varietas hibrida BISI-2, (-) : kurang dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (+) : lebih dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (=) : sama dengan varietas hibrida BISI-2 4.3.2.1 Umur Berbunga (bunga jantan) Lampiran 6 menunjukkan bahwa umur berbunga genotipe lokal, genotipe hasil pemuliaan dan introduksi yang digunakan lebih genjah dibanding dengan varietas hibrida BISI-2. Genotipe introduksi memiliki umur paling genjah diantara genotipe lokal, genotipe hasil pemuliaan dan varietas hibrida BISI-2, umur berbunganya yaitu 47.67 HST. Umur berbunga ini akan menentukan kapan

munculnya tongkol pada jagung semi. Terlihat pada Tabel 11 dari hasil uji t-dunnett bahwa 11 genotipe memiliki umur berbunga yang nyata lebih genjah dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, Wisanggeni, EW DMR Pool C6S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Namun demikian genotipe Lokal Oesae memiliki umur berbunga yang nyata lebih dalam daripada varietas hibrida BISI-2. Wakhyono (2003) menyimpulkan bahwa genotipe Bima, Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Nakula, Sadewa dan EW DMR Pool C6S2 memiliki umur berbunga yang lebih genjah dibanding Bisi-3. Tabel 12. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Umur Berbunga Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Lokal vs Kiran 5.01 *(-) 0.0319 Lokal vs Phil DMR Comp. 2 6.12 *(-) 0.0185 Pemuliaan vs Genjah Kodok 187.95 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs Ketip Kuning 187.95 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs Bayu 8.92 **(-) 0.0052 Pemuliaan vs Phil DMR Comp. 2 78.87 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs Kiran 187.95 **(-) 0.0001 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 12) terlihat bahwa genotipe Kiran dan Phil DMR Comp. 2 nyata memiliki umur berbunga lebih genjah dibandingkan kelompok genotipe Lokal. Genjah Kodok, Ketip Kuning, Bayu, Phil DMR Comp. 2 dan Kiran sangat nyata memiliki umur berbunga lebih genjah dibandingkan kelompok hasil pemuliaan. Menurut Koswara (1985), cepat lambatnya umur berbunga menentukan genjah dalamnya umur suatu varietas tanaman dan hasil penelitian Perwitasari (2001) disimpulkan bahwa semakin cepat tanaman jagung berbunga maka akan semakin genjah umurnya.

4.3.2.2 Umur Panen Rata-rata Berdasarkan sidik ragam pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa genotipe sangat berbeda nyata berarti umur panen rata-rata dari genotipe lokal, genotipe hasil pemuliaan dan introduksi terdapat perbedaan sesuai dengan genotipe masing-masing. Umur panen rata-rata genotipe lokal, hasil pemuliaan dan introduksi jagung semi lebih genjah dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2 dan umur panen rata-rata paling genjah ada pada genotipe lokal, dibandingkan dengan genotipe hasil pemuliaan dan introduksi serta varietas hibrida BISI-2. Umur panen rata-rata genotipe lokal yaitu 38.71 HST dan umur paling dalam yaitu varietas hibrida BISI-2 (44.97 HST). Hal ini dikarenakan umur berbunga varietas hibrida BISI-2 termasuk paling lama, dimana umur berbunga menentukan umur panen. Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 11 diperoleh 11 genotipe memiliki umur panen rata-rata yang nyata lebih genjah dengan varietas hibrida BISI-2 yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Lokal Oesao, Bayu, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Tabel 13. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Umur Panen Rata-rata Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Lokal vs Sadewa 61.27 **(-) 0.0001 Lokal vs Kiran 9.80 **(-) 0.0036 Pemuliaan vs Kiran 32.05 **(-) 0.0001 Introduksi vs Genjah Kodok 4.43 *(-) 0.0429 Introduksi vs Sadewa 77.64 **(-) 0.0001 Campaloga vs Genjah Kodok 6.56 *(-) 0.0150 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 13) terlihat bahwa umur panen rata-rata genotipe Sadewa dan Kiran sangat nyata lebih genjah dibanding kelompok genotipe lokal. Genotipe Kiran memiliki umur panen nyata lebih genjah daripada kelompok genotipe hasil pemuliaan. Umur panen rata-rata yang dimiliki genotipe Genjah Kodok dan Sadewa nyata dan sangat nyata lebih genjah dibanding kelompok genotipe introduksi. Genjah Kodok sendiri nyata memiliki

umur panen rata-rata lebih genjah dibandingkan dengan kelompok genotipe introduksi dan genotipe Campaloga. 4.3.3 Karakter Hasil Perbandingan karakter hasil pada 17 genotipe jagung dengan kontrol BISI-2 disajikan pada Tabel 7. Tabel 14. Nilai Tengah Jumlah Tongkol per Tanaman, Bobot Tongkol Kotor dan Bobot Tongkol Bersih Beberapa Genotipe Jagung Genotipe Jumlah Tongkol per Tanaman (Tongkol) Bobot Tongkol Kotor (g) Bobot Tongkol Bersih (g) Lokal Campaloga 2.77 tn(-) 34.91 tn(-) 4.73 *(-) Genjah Kodok 2.38 tn(-) 29.90 tn(-) 4.19 *(-) Ketip Kuning 2.27 tn(-) 44.57 tn(+) 10.19 tn(+) Lokal Oesao 1.80 *(-) 38.22 tn(-) 8.90 tn(-) Lokal Srimanganti 2.10 (-) 49.33 tn(+) 11.02 tn(+) Hasil Pemuliaan Antasena 2.47 tn(-) 54.74 tn(+) 12.40 tn(+) Arjuna P18 2.10 *(-) 50.57 tn(+) 11.92 tn(+) Bayu 2.23 *(-) 42.59 tn(-) 8.20 tn(-) BC 10 MS 15 2.47 tn(-) 66.21 *(+) 10.50 tn(+) Nakula 1.70 *(-) 49.72 tn(+) 10.20 tn(+) Sadewa 1.70 *(-) 54.39 tn(+) 10.54 tn(+) Wisanggeni 2.00 *(-) 41.51 tn(-) 7.53 tn(-) Introduksi EW DMR Pool C6S2 2.47 tn(-) 35.49 tn(-) 8.03 tn(-) EY Pool C4S2 1.67 *(-) 62.46 *(+) 12.32 tn(+) Kiran 3.67 *(+) 20.03 *(-) 3.19 *(-) Phil DMR Comp. 2 3.33 tn(+) 36.37 tn(-) 3.35 *(-) Phil DMR 6 1.97 *(-) 47.64 tn(+) 10.02 tn(+) Pembanding BISI 2 2.87 42.93 9.70 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata 5% berdasarkan uji t-dunnet dengan varietas hibrida BISI-2, (-) : kurang dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (+) : lebih dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (=) : sama dengan varietas hibrida BISI-2.

4.3.3.1 Jumlah Tongkol per Tanaman Berdasarkan Lampiran 8 dapat dilihat bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata sehingga jumlah tongkol per tanaman pada genotipe lokal, genotipe hasil pemuliaan, introduksi dan varietas hibrida BISI-2 masing-masing berbeda. Jumlah tongkol terbanyak yaitu pada genotipe introduksi, Kiran (3.67 tongkol) dan Phil DMR Comp 2. (3.33 tongkol). Jumlah ini menentukan banyaknya jumlah tongkol layak dan afkir. Sutjahjo et al. (2005) menyatakan bahwa jumlah tongkol per tanaman tertinggi dimiliki oleh genotipe Lokal Rempek (2.78 tongkol) dan Arjuna (2.60 tongkol), sedangkan yang terendah adalah Lokal Nala. Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 14 diperoleh 9 genotipe yang memiliki jumlah tongkol per tanaman nyata lebih sedikit dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu : Lokal Oesao, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, EY Pool C4S2 dan Phil DMR 6. Genotipe Kiran (3.67 tongkol) memiliki jumlah tongkol per tanaman yang nyata lebih banyak dibanding varietas hibrida BISI-2. Hasil penelitian Armanto (1982) menunjukkan bahwa pengambilan tongkol sekunder mengakibatkan munculnya tongkol-tongkol baru dan anak tongkol tersebut tidak keluar menghasilkan biji. Tabel 15. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Tongkol per Tanaman Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Lokal vs Antasena 6.63 *(+) 0.0146 Lokal vs Kiran 6.63 *(+) 0.0146 Pemuliaan vs Genjah Kodok 38.66 **(+) 0.0001 Pemuliaan vs Phil DMR Comp. 2 12.82 **(+) 0.0011 Introduksi vs Campaloga 4.42 *(+) 0.0430 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 15) terlihat bahwa genotipe Antasena dan Kiran nyata memiliki jumlah tongkol per tanaman lebih banyak dibandingkan dengan kelompok genotipe lokal. Genotipe Genjah Kodok dan Phil DMR Comp. 2 sangat nyata memiliki jumlah tongkol per tanaman lebih banyak dibandingkan kelompok genotipe hasil pemuliaan. Jumlah tongkol yang dimiliki genotipe Campaloga juga nyata lebih banyak dibandingkan dengan kelompok

genotipe introduksi. Menurut Rochmah (1999) pemanenan jagung semi pada saat tongkol utama belum berkembang penuh dapat mengatasi atau mematahkan apikal dominan sehingga terbentuk lebih banyak lagi tongkol sekunder. 4.3.3.2 Bobot Tongkol Kotor Berdasarkan Lampiran 9 dapat dilihat bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata sehingga bobot tongkol kotor pada genotipe lokal, hasil pemuliaan, introduksi dan varietas hibrida BISI-2 masing-masing berbeda. Bobot tongkol kotor genotipe lokal dan introduksi lebih ringan daripada varietas hibrida BISI-2. Bobot paling berat ada pada genotipe hasil pemuliaan, dibandingkan dengan genotipe lokal, introduksi dan varietas hibrida BISI-2. Tepatnya bobot tongkol kotor paling berat ini ada pada genotipe BC 10 MS 15 (66.21 gram). Bobot tongkol kotor genotipe hasil pemuliaan yaitu 51.39 gram dan bobot paling ringan yaitu genotipe lokal, 39.39 gram. Bobot tongkol kotor tertinggi dimiliki oleh genotipe Pena Boto, yang tidak berbeda dengan genotipe Lokal Rempek, Lokal Tumbu, Arjuna dan J. Simpang (Sutjahjo et al., 2005.). Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 14 diperoleh 2 genotipe yang memiliki bobot tongkol kotor nyata lebih berat dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu : BC 10 MS 15 dan EY Pool C4S2. Tabel 16. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Bobot Tongkol Kotor Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) Fhitung Pr>F Lokal vs Nakula 14.76 **(+) 0.0005 Introduksi vs Nakula 10.34 **(+) 0.0029 Ketip Kuning vs Lokal Srimanganti 14.94 **(+) 0.0005 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 16) terlihat bahwa genotipe Nakula memiliki bobot tongkol kotor sangat nyata lebih berat dibandingkan dengan kelompok genotipe lokal. Genotipe Nakula memiliki bobot tongkol kotor sangat nyata lebih berat dibandingkan dengan kelompok genotipe introduksi. Bobot tongkol kotor yang dimiliki genotipe Lokal Srimanganti sangat nyata lebih

berat dibandingkan dengan genotipe Ketip Kuning. Menurut Rochmah (1999) bobot tongkol kotor jagung semi dipengaruhi oleh ukuran tongkol yang dihasilkan dan bobot kelobot. 4.3.3.3 Bobot Tongkol Bersih Berdasarkan Lampiran 10 dapat dilihat bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata sehingga bobot tongkol bersih pada genotipe lokal, hasil pemuliaan, introduksi dan varietas hibrida BISI-2 masing-masing berbeda. Genotipe lokal dan introduksi memiliki bobot tongkol bersih lebih rendah daripada genotipe hasil pemulian dan varietas hibrida BISI-2. Bobot tongkol bersih paling berat ada pada genotipe hasil pemuliaan, dibandingkan dengan genotipe lokal, hasil pemuliaan dan varietas hibrida BISI-2. Tepatnya bobot tongkol bersih paling berat yaitu genotipe Antasena (12.40 gram) dan EY Pool C4S2 (12,32 gram). Bobot tongkol bersih genotipe hasil pemuliaan yaitu 10.18 gram dan bobot paling ringan yaitu introduksi, 7.38 gram. Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 14 diperoleh 9 genotipe yang memiliki bobot tongkol bersih tidak nyata dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu : Ketip kuning, Lokal Srimanganti, Antasena, Arjuna P18, BC 10 MS 15, Nakula, Sadewa, EY Pool C4S2 dan Phil DMR 6. Namun demikian genotipe ini memiliki bobot bersih lebih berat dibanding varietas hibrida BISI-2. Tabel 17. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Bobot Tongkol Bersih Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) Fhitung Pr>F Lokal vs Nakula 25.06 **(+) 0.0001 Introduksi vs Nakula 38.77 **(+) 0.0001 Ketip Kuning vs Lokal Srimanganti 4.43 *(+) 0.0427 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 17) terlihat bahwa genotipe Nakula sangat nyata memiliki bobot tongkol bersih lebih berat dibandingkan dengan kelompok genotipe lokal dan introduksi. Genotipe Lokal Srimanganti nyata lebih berat bobot tongkol bersihnya dibandingkan dengan genotipe Ketip

kuning. Menurut Rochmah (1999) bobot tongkol bersih dipengaruhi oleh ukuran tongkol yang dihasilkan jagung semi 4.3.4 Kualitas Jagung Semi Perbandingan karakter kualitas pada 17 genotipe jagung dengan varietas hibrida BISI-2 menggunakan uji lanjut t-dunnett (Tabel 7). Tabel 18. Nilai Tengah Diameter Tongkol, Panjang Tongkol, Jumlah Tongkol Layak Pasar dan Jumlah Tongkol Afkir pada Beberapa Genotipe Jagung Genotipe Diameter Tongkol (mm) Panjang Tongkol (cm) Jumlah Tongkol Layak Pasar Jumlah Tongkol Afkir (tongkol) Lokal Campaloga 11.29 tn(-) 5.55 *(-) 0.79 tn(-) 2.63 tn(+) Genjah Kodok 11.89 tn(+) 4.50 *(-) 0.89 tn(-) 2.53 tn(+) Ketip Kuning 12.29 tn(+) 9.02 tn(-) 0.79 tn(-) 2.13 tn(-) Lokal Oesao 12.07 tn(+) 9.58 tn(-) 0.73 *(-) 1.77 *(-) Lokal Srimanganti 14.63 *(+) 8.47 *(-) 0.80 tn(-) 1.97 tn(-) Hasil Pemuliaan Antasena 15.11 *(+) 9.97 tn(-) 0.75 tn(-) 2.40 tn(-) Arjuna P18 12.85 tn(+) 11.06 tn(+) 0.85 tn(-) 1.87 tn(-) Bayu 13.46 tn(+) 7.62 *(-) 0.73 *(-) 2.20 tn(-) BC 10 MS 15 13.60 tn(+) 9.28 tn(-) 0.77 tn(-) 2.37 tn(-) Nakula 11.83 tn(+) 9.31 tn(-) 0.71 *(-) 1.70 *(-) Sadewa 13.56 tn(+) 9.03 tn(-) 0.79 tn(-) 1.57 *(-) Wisanggeni 11.90 tn(+) 7.40 *(-) 0.82 tn(-) 1.83 *(-) Introduksi EW DMR Pool C6S2 12.66 tn(+) 7.62 *(-) 0.73 *(-) 2.43 tn(=) EY Pool C4S2 13.65 *(+) 9.10 tn(-) 0.71 *(-) 1.67 *(-) Kiran 10.18 tn(-) 4.46 *(-) 0.91 tn(-) 3.33 *(+) Phil DMR Comp. 2 10.89 tn(-) 5.30 *(-) 0.93 tn(-) 2.97 tn(+) Phil DMR 6 13.37 tn(+) 8.42 *(-) 0.79 tn(-) 1.83 *(-) Pembanding BISI 2 11.79 10.52 0.96 2.43 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata 5% berdasarkan uji t-dunnett dengan varietas hibrida BISI-2, (-) : kurang dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (+) : lebih dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (=) : sama dengan varietas hibrida BISI-2.

4.3.4.1 Diameter Tongkol Berdasarkan Lampiran 11 dapat dilihat bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata sehingga diameter tongkol pada genotipe lokal, hasil pemuliaan, introduksi dan varietas hibrida BISI-2 masing-masing berbeda. Diameter terbesar terdapat pada genotipe hasil pemuliaan yaitu 13.19 mm, tepatnya genotipe Antasena (15.11 mm). Varietas hibrida BISI-2 memiliki diameter tongkol paling kecil dibandingkan dengan genotipe lokal, hasil pemuliaan dan introduksi. Diameter tongkol mempengaruhi kualitas tongkol layak pasar dimana diameter tongkol tidak boleh kurang dari 1 cm dan tidak lebih dari 2 cm. Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 18 diperoleh 3 genotipe memiliki diameter tongkol yang nyata lebih besar dengan varietas hibrida BISI-2 yaitu : Lokal Srimanganti, Antasena, dan EY Pool C4S2. Tabel 19. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Diameter Tongkol Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Lokal vs Nakula 9.14 **(-) 0.0047 Lokal vs Kiran 26.34 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs Campaloga 13.26 **(-) 0.0009 Pemuliaan vs Kiran 48.32 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs Phil DMR Comp. 2 3.96 *(-) 0.0546 Introduksi vs Genjah Kodok 14.75 **(-) 0.0005 Introduksi vs Nakula 24.75 **(-) 0.0001 Introduksi vs Wisanggeni 8.12 **(-) 0.0074 Ketip Kuning vs Lokal Oesao 7.62 **(-) 0.0092 Antasena vs Sadewa 8.60 **(-) 0.0060 EY Pool C4S2 vs Phil DMR 6 3.71 tn(-) 0.0624 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 19) terlihat bahwa genotipe Nakula dan Kiran sangat nyata memiliki diameter tongkol lebih kecil dibandingkan dengan kelompok genotipe lokal. Genotipe Campaloga dan Kiran sangat nyata memiliki diameter tongkol lebih kecil dibandingkan dengan kelompok genotipe hasil pemuliaan. Diameter tongkol yang dimiliki genotipe Genjah Kodok, Nakula dan Wisanggeni sangat nyata lebih kecil dibandingkan

dengan kelompok genotipe introduksi. Genotipe Lokal Oesao dan Sadewa masing-masing sangat nyata lebih kecil diameternya dibandingkan dengan Ketip Kuning dan Antasena. 4.3.4.1 Panjang Tongkol Berdasarkan Lampiran 12 dapat dilihat bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata sehingga panjang tongkol pada genotipe lokal, hasil pemuliaan, introduksi dan varietas hibrida BISI-2 masing-masing berbeda. Genotipe introduksi memiliki panjang tongkol paling pendek dibandingkan dengan genotipe lokal, hasil pemuliaan dan varietas hibrida BISI-2. Panjang tongkol mempengaruhi kualitas tongkol layak pasar berdasarkan pengkelasan yang berlaku. Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 18 diperoleh 9 genotipe memiliki panjang tongkol yang nyata lebih pendek dengan varietas hibrida BISI-2 yaitu Campaloga, Genjah Kodok, Lokal Srimanganti, Bayu, Wisanggeni, EW DMR Pool C6S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Tabel 20. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Panjang Tongkol Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Lokal vs Kiran 12.80 **(-) 0.0011 Lokal vs Phil DMR Comp. 2 39.77 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs Campaloga 45.91 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs Genjah Kodok 46.95 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs EW DMR Pool C6S2 56.99 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs Kiran 72.70 **(-) 0.0001 Pemuliaan vs Phil DMR Comp. 2 128.19 **(-) 0.0001 EW DMR Pool C6S2 vs Phil DMR Comp. 2 8.14 **(-) 0.0072 Bayu vs Wisanggeni 51.49 **(-) 0.0001 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5 %, ** : berbeda nyata pada taraf 1 %, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 20) terlihat bahwa genotipe Kiran dan Phil DMR Comp. 2 sangat nyata memiliki panjang tongkol lebih pendek dibandingkan dengan kelompok genotipe lokal. Genotipe Campaloga, Genjah Kodok, EW DMR Pool C6S2, Kiran dan Phil DMR Comp. 2 sangat nyata memiliki panjang tongkol lebih pendek dibandingkan dengan kelonpok genotipe

hasil pemuliaan. Panjang tongkol yang dimiliki genotipe Phil DMR Comp. 2 dan Wisanggeni masing-masing sangat nyata lebih pendek dibandingkan dengan EW DMR Pool C6S2 dan Bayu. 4.3.4.3 Jumlah Tongkol Layak Pasar Berdasarkan Lampiran 13 dapat dilihat bahwa genotipe berpengaruh nyata sehingga jumlah tongkol layak pasar pada genotipe lokal, hasil pemuliaan, introduksi dan varietas hibrida BISI-2 masing-masing berbeda. Varietas hibrida BISI-2 memiliki jumlah tongkol layak lebih banyak dibandingkan dengan genotipe lokal, genotipe hasil pemuliaan dan introduksi jagung semi yang diuji. Tabel 21. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Tongkol Layak Pasar Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Lokal vs Arjuna P18 8.12 **(+) 0.0074 Pemuliaan vs Genjah Kodok 5.58 *(+) 0.0240 Introduksi vs Arjuna P18 7.27 *(+) 0.0108 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 18 belum ada varietas jagung yang dapat menghasilkan tongkol sebanyak BISI-2. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 21) terlihat bahwa genotipe Arjuna P18 sangat nyata memiliki jumlah tongkol layak pasar lebih banyak dibandingkan kelompok genotipe lokal. Genotipe Genjah Kodok dan Arjuna P18 masing-masing nyata memiliki jumlah tongkol layak pasar lebih banyak dibandingkan dengan kelompok genotipe hasil pemuliaan dan introduksi. Penampilan tongkol layak pasar beberapa genotipe terlihat pada Gambar 2 dimana penentuan standarnya berdasarkan pengkelasan CODEX.

Gambar 2. Penampilan Tongkol Jagung Semi Layak Pasar dari Beberapa Genotipe Jagung 4.3.4.4 Jumlah Tongkol Afkir Berdasarkan Lampiran 14 dapat dilihat bahwa genotipe berpengaruh nyata sehingga jumlah tongkol afkir pada genotipe lokal, hasil pemuliaan, introduksi dan varietas hibrida BISI-2 masing-masing berbeda. Phil DMR Comp 2 memiliki jumlah tongkol afkir lebih banyak dibandingkan dengan genotipe lokal, hasil pemuliaan dan introduksi yang diuji sedangkan Antasena memiliki jumlah tongkol afkir lebih sedikit. Berdasarkan hasil uji t-dunnett pada Tabel 18 diperoleh 6 genotipe memiliki jumlah tongkol afkir yang nyata lebih sedikit dengan varietas hibrida

BISI-2 yaitu Lokal Oesao, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, EY Pool C4S2 dan Phil DMR 6. Genotipe Kiran memiliki jumlah tongkol afkir yang nyata lebih banyak dibandingkan varietas hibrida BISI-2. Hasil penelitian Sirait (1996) menyatakan bahwa genotipe hasil pemuliaan menghaslkan rata-rata dua tongkol per tanaman dimana tongkol yang dipetik paling akhir memiliki penampilan afkir sehingga menyebabkan kurang dari dua tongkol jagung semi berpenampilan baik. Tabel 22. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Peubah Jumlah Tongkol Afkir Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F Lokal vs Sadewa 13.18 **(-) 0.0009 Lokal vs Kiran 7.60 **(+) 0.0093 Pemuliaan vs Genjah Kodok 24.95 **(+) 0.0001 Pemuliaan vs Lokal Oesao 16.80 **(-) 0.0002 Pemuliaan vs EY Pool C4S2 10.25 **(-) 0.0030 Pemuliaan vs Phil DMR Comp. 2 15.01 **(+) 0.0005 Introduksi vs Genjah Kodok 4.98 *(+) 0.0324 Introduksi vs Sadewa 10.48 **(-) 0.0027 Kiran vs Phil DMR Comp. 2 7.35 *(-) 0.0104 Lokal Oesae vs Lokal Srimanganti 9.30 **(+) 0.0044 Nakula vs Sadewa 0.26 tn(+) 0.6145 EY Pool C4S2 vs Phil DMR 6 1.41 tn(+) 0.2438 Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a, (+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 22) terlihat bahwa genotipe Sadewa sangat nyata memiliki jumlah tongkol afkir lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok genotipe lokal dan introduksi. Genotipe Lokal Oesao dan EY Pool C4S2 sangat nyata memiliki jumlah tongkol afkir lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok genotipe hasil pemuliaan. Jumlah tongkol afkir yang dimiliki genotipe Phil DMR Comp. 2 nyata lebih sedikit dibandingkan dengan genotipe Kiran. Penampilan tongkol afkir ditunjukkan pada Gambar 3 mulai dari ukuran diameter tongkol yang besar, panjang tongkol melebihi standar, bentuk tongkol yang tidak teratur atau tidak rata, alur bakal biji yang bengkok sampai tongkol yang terkena hama.

Gambar 3. Penampilan Tongkol Jagung Semi Afkir dari Beberapa Genotipe Jagung 4.3.5 Pengkelasan Tongkol Jagung Semi Pengkelasan ukuran tongkol berdasarkan pada ukuran diameter dan panjang tongkol yang ditetapkan oleh CODEX untuk baby corn (jagung semi). Ukuran diameter tongkol ini tidak kurang dari 1 cm dan tidak lebih dari 2 cm untuk panjang tongkol dibagi menjadi tiga kelas. Berdasarkan Tabel 23 terlihat bahwa persentase tongkol kelas A tertinggi yaitu genotipe Genjah Kodok sebesar 10.59%. Tongkol kelas B dan C yang tertinggi yaitu genotipe Wisanggeni (5.36%) dan BISI-2 (15.38%). Genotipe Genjah Kodok dapat dipanen lebih awal (33.52 HST) dan menghasilkan jumlah tongkol layak pasar lebih banyak