BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan International Conference on Population and

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan perilaku dan kesehatan reproduksi remaja seperti

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa disertai dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan tahap kehidupan seseorang mencapai proses

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya kematangan seksual atau alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan sistem

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. goncangan dan stres karena masalah yang dialami terlihat begitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi mempengaruhi kualitas sumber daya manusia,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun data susenas 2006

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan reproduksi remaja (Kemenkes RI, 2015). reproduksi. Perilaku seks berisiko antara lain seks pranikah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan seksual pranikah umumnya berawal dari masa pacaran atau masa penjajakan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. menuju masyarakat modern, yang mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pendahuluan dalam babi secara garis besar memuat penjelasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. muda). Diantaranya adalah keguguran,persalinan premature, BBLR, kelainan

Media Informasi Cenderung Meningkatkan perilaku seks Pada Remaja SMP di Jakarta Selatan

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PERILAKU SEKSUAL DI SMK PENCAWAN MEDAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang potensial adalah generasi mudanya. Tarigan (2006:1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktivitas seksual remaja juga cenderung meningkat baik dari segi kuanitas

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seksual khususnya kalangan remaja Indonesia sungguh

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan bangsa yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

RINGKASAN EKSEKUTIF. Ringkasan Eksekutif-1

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Menunjukkan AKI yang sangat signifikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Program For Appropriate Technology in Health (PATH, 2000)

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dunia (WHO), definisi remaja (adolescence) adalah periode usia

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB 1 : PENDAHULUAN. sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses

BAB I PENDAHULUAN. dewasa yang meliputi semua perkembangannya yang dialami sebagai. persiapan memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). WHO mendefinisikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs) sebagai road map atau arah

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun)

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja dalam pergaulan saat ini. Berbagai informasi mampu di

BAB I PENDAHULUAN. (tetapi tidak dengan anak laki-laki) yang masih muda. Usia muda menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

BAB I PENDAHULUAN. sengaja maupun tidak sengaja (Pudiastuti, 2011). Berbagai bentuk. penyimpangan perilaku seksual remaja cenderung mengalami

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Derajat kesehatan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada peningkatan sumber daya manusia (SDM). Oleh karena itu, pembangunan kesehatan menempati peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Tujuan pembangunan kesehatan diarahkan untuk mencapai kesadaran, kemauan, kemampuan akan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat terwujud derajat kesehatan yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan penanggulangan masalah kesehatan yang telah mengalami pergeseran pendekatan dari upaya kesehatan kuratif dan rehabilitatif menjadi upaya preventif dan promotif (Depkes RI, 2009). Salah satu penanggulangan masalah kesehatan tersebut berkaitan dengan permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja. United Nations telah mengemukakan bahwa permasalahan kesehatan reproduksi remaja menjadi perhatian yang berkembang saat ini. Program aksi yang diadopsi dari International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo sejak tahun 1994 menekankan pentingnya menempatkan seksualitas remaja dan isu kesehatan reproduksi serta promosi perilaku seksual yang bertanggungjawab pada remaja. Pada Konferensi tersebut masalah aborsi mendapat perhatian yang serius dari berbagai negara yang ikut serta, karena aborsi terkait dengan masalah hak reproduksi perempuan. Hak itu merupakan bagian dari hak asasi manusia, agama, dan pertimbangan moral subjektif (Gubhaju, 2002). ICPD menjadi landasan bagi setiap negara untuk memberikan prioritas pada masalah kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual remaja. Permasalahan yang timbul pada remaja banyak diakibatkan oleh terbatasnya pengetahuan remaja terhadap sistem dan proses reproduksi remaja yang sebenarnya merupakan bagian integral dalam kehidupan mereka (Sarwono, 2008). Sekitar 1 miliar atau hampir 1 di antara 6 orang di dunia adalah remaja, 85% di antaranya hidup di negara berkembang (UNFPA, 2000). Penelitian 1

tentang remaja yang sudah dilakukan di Indonesia menyimpulkan bahwa nilainilai hidup remaja sedang dalam proses perubahan. Remaja sekarang lebih toleran terhadap hubungan seks pranikah. Banyak remaja yang sudah aktif secara seksual dan di berbagai daerah atau wilayah kira-kira separuh dari mereka sudah menikah. Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan risiko terhadap berbagai kesehatan reproduksi. Banyak studi menemukan bahwa prevalensi hubungan seks pranikah berkisar antara 9%-30%, di antara wanita yang melakukan hubungan seksual aktif pranikah 89,5% akan mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan (KTD). Setiap tahun kira-kira 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan dan 4 juta remaja melakukan aborsi (Surilena, 2006; Indonesia Country Report, 2002). Hasil survei kesehatan reproduksi remaja (15-19 tahun) tentang perilaku remaja terhadap kesehatan reproduksi menunjukkan dari 10.833 remaja laki-laki, mengaku berpacaran (75%), berpegangan tangan (92%), berciuman (82%), melakukan petting (62%), dan melakukan hubungan seksual (10,2%), sedangkan dari 8.340 remaja puteri, mengaku berpacaran (77%), berpegangan tangan (92%), berciuman (86%), melakukan petting (63%), dan melakukan hubungan seksual (6,3%) (Badan Pusat Statistik, 2009). Sejalan dengan hasil penelitian tersebut penelitian Novita et al. (2006) menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja di Palembang dengan objek seksualnya orang lain adalah mencium dan memeluk pacar (15,8%), melakukan hickey (6,3%), melakukan necking (10,5%), melakukan seks oral (2,1%), melakukan seks anal (1,1%), melakukan hubungan seks dengan pacar, dan melakukan hubungan seks dengan bukan pacar masing-masing (2,1%). Hubungan seks pranikah yang dilakukan oleh remaja tersebut ternyata sangat berisiko terhadap terjadinya KTD, serta berakhir dengan aborsi yang merupakan salah satu pilihan bagi remaja dengan konsekuensi kesehatan yang serius, khususnya pada remaja dengan akses ke pelayanan kesehatan yang terbatas. Menurut Moore et al. (1999) salah satu faktor yang mendukung remaja memilih aborsi adalah karena tidak mau menjadi orangtua tunggal (single parenthood). Ketika remaja mengalami KTD mereka dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit karena mereka masih muda untuk menjadi orangtua dan 2

mempunyai risiko tinggi melahirkan anak di luar nikah, sehingga 37% tidak menginginkan kelahiran bayinya atau 35% melakukan aborsi dan hanya 14% yang mau meneruskan kehamilannya. Faktor yang sangat penting dan mempengaruhi remaja dalam mengambil keputusan melakukan aborsi adalah orangtua, khususnya ibu dan pasangannya, latar belakang sosial ekonomi tinggi dan keinginan melanjutkan studi. Selain itu, Suesti (2011) mengemukakan faktor lain yang mempengaruhi sikap positif remaja terhadap aborsi adalah pengetahuan tentang risiko aborsi, informasi, sosial ekonomi, budaya, dan ketaatan agama. Sedangkan remaja yang mempunyai sikap negatif terhadap aborsi dipengaruhi oleh rasa takut karena umur belum dewasa, belum siap berumah tangga, malu dengan masyarakat sekitar, takut dikeluarkan dari sekolah, tidak dapat melanjutkan sekolah, cita-citanya tidak tercapai, tidak berani keluar rumah, depresi, tidak berani bermain dengan teman sebaya, tidak bisa melanjutkan sekolah, dan masa depan suram. Hal ini diperkuat berbagai survei yang telah dilakukan di negara-negara berkembang yang menunjukkan bahwa hampir 60% kehamilan pada wanita di bawah usia 20 tahun adalah KTD dan banyak mahasiswa atau pelajar yang hamil mencari pelayanan aborsi agar mereka tidak di keluarkan dari sekolah (UNFPA, 2000). Tidak hanya itu saja hasil penelitian Senbeto et al., (2005) menunjukkan dari 256 wanita di Etiophia Tenggara 19% mengalami aborsi dan rerata prevalensi aborsi yang diinduksi 14,3% dan 4,8% aborsi spontan. Hasil penelitian Awang (2006) menunjukkan proporsi aborsi lebih tinggi pada remaja tidak menikah yang mengalami KTD atau status tidak menikah pada remaja yang mengalami KTD berpengaruh secara signifikan terhadap aborsi. Laporan need assessment tentang pendapat remaja terhadap aborsi di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon, dan Tasikmalaya menyatakan bahwa 60,52% responden tidak setuju aborsi, akan tetapi sebanyak 23,79% memilih untuk melakukan aborsi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka tidak setuju terhadap tindakan aborsi, tetapi kebutuhan aborsi secara riil ada, terutama jika seseorang dihadapkan pada KTD. Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum 3

yang membatasi aborsi atau tidak tersedianya pelayanan profesional tidak menghentikan upaya untuk melakukan aborsi, sebaliknya hambatan tersebut justru hanya mempengaruhi hasil tindakan aborsi yang dilakukan (Tanjung et al., 2001). Sebanyak 67.000 perempuan meninggal karena aborsi tidak aman setiap tahunnya. Hal tersebut menjadikan aborsi tidak aman sebagai salah satu penyebab kematian maternal terbesar di seluruh dunia (13%). Data WHO tersebut menunjukkan bahwa setiap 8 menit, ada 1 perempuan yang meninggal di negara berkembang karena komplikasi akibat aborsi tidak aman (Haddad & Nour, 2009). Komplikasi aborsi adalah perdarahan, sepsis, dan eklamsi. Namun, kematian ibu disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian ibu, yang dilaporkan hanya kematian yang diakibatkan perdarahan dan sepsis. Hal ini dapat dilihat dari proporsi penyebab kematian ibu karena perdarahan di Kota Pontianak menempati urutan kedua setelah eklamsi, dan berdasarkan angka kematian ibu yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup Kota Pontianak menempati 118 dari 440 daerah kota di seluruh Indonesia, dengan target angka kematian ibu seharusnya adalah 126 per 100.000 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Kota Pontianak, 2011). Penelitian di 10 kota besar dan 6 kabupaten di Indonesia memperkirakan sekitar 2 juta kasus aborsi akibat KTD, 50% diantaranya terjadi di perkotaan (Utomo, 2002). Jumlah kasus aborsi yang tinggi, batasan sosial pada seksualitas remaja dengan budaya penolakan terhadap kehamilan dan berakhir dengan aborsi yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, terjadi tanpa terkecuali di Kalimantan Barat khususnya Kota Pontianak. Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Pontianak tahun 2011, terdapat 163 kasus aborsi (3,25%) dari kehamilan. Data konseling remaja dalam item KTD di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Pontianak, diketahui terdapat 14 klien (14,14%) untuk tahun 2011, sedangkan total data yang diperoleh dari 3 Rumah Sakit di Kota Pontianak, yaitu RSUD. Dr. Soedarso, RSI. Yarsi, dan RS. Bhayangkara, terdapat 112 kasus kehamilan yang berakhir dengan aborsi sehingga dilakukan kuratase untuk remaja pranikah usia 15-24 tahun. 4

Angka tersebut adalah data hasil indikasi medis dokter yang diperoleh dari rekam medik selama tahun 2011 dan belum mewakili kondisi sesungguhnya, sehingga untuk mengungkapkan jumlah data yang pasti mengenai aborsi masih sulit. Angka tersebut juga belum termasuk aborsi yang dilakukan oleh dukun, maupun yang dilakukan sendiri, atau klinik-klinik praktik kebidanan, dan dokter kandungan yang bersedia membantu tindakan aborsi. Dengan demikian, dapat diperkirakan kasus aborsi lebih besar daripada angka yang diperoleh dari 3 rumah sakit di Kota Pontianak tersebut dan ini cukup memprihatinkan, sehingga semua pihak seharusnya menunjukkan perhatiannya pada masalah aborsi remaja ini. Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menjadi salah satu perhatian yang sangat penting, karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu (Nojomi et al., 2006). Hal ini berkaitan dengan perbaikan kesehatan ibu yang menjadi salah satu kunci Millennium Development Goals (MDGs) yang dirumuskan oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), dengan target berkurangnya angka kematian ibu hingga 75% antara tahun 1990-2015 (WHO, 2008). Tindakan pencegahan terhadap aborsi tidak aman menjadi keharusan bagi Indonesia untuk mencapai MDGs kelima tersebut (Sedgh & Ball, 2008). Aborsi juga tetap menimbulkan banyak persepsi dan bermacam interpretasi. Meskipun aborsi menyentuh berbagai masalah hukum, moral, dan agama yang paling mendasar, kenyataannya hanya sedikit masyarakat khususnya remaja yang mampu memandangnya secara jernih dari aspek kesehatan wanita. Kota Pontianak merupakan daerah perkotaan sehingga remaja lebih mudah mengakses informasi seks melalui media internet, audio visual, buku, film porno, maupun dari teman sebaya. Hal ini dapat mengakibatkan remaja mempersepsikan sendiri pengetahuan yang diperoleh seperti seks bebas, hubungan seks pranikah, masalah kesehatan reproduksi, kehamilan remaja, KTD, dan aborsi. Selain itu, belum ada kurikulum mengenai mata pelajaran kesehatan reproduksi di sekolah. Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian Thorsen et al., (2006) menunjukkan sikap remaja terhadap aborsi secara umum positif, namun terdapat misinformasi atau salah persepsi dan kurangnya pengetahuan remaja Kota Swedia tentang 5

aborsi. Selain itu, jika remaja tersebut mengalami hamil di luar nikah cenderung untuk melakukan aborsi daripada meneruskan kehamilannya. Beberapa hasil penelitian juga menyebutkan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi maupun aborsi 67% berpengetahuan kurang, cara memperoleh pengetahuan 50% diserap media bebas yang disimpulkan sendiri menurut mereka melalui televisi, koran, internet, dan cerita orang lain. Selama di sekolah menengah atas (SMA) remaja tidak pernah mendapatkan penyuluhan khusus dari program sekolah mengenai kesehatan reproduksi, aborsi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dapat diprediksi kejadian yang akan dialami remaja dengan pengetahuan yang kurang, memperoleh pengetahuan dengan cara sendiri, dan mempersepsikan sendiri tanpa bimbingan pihak sekolah, keluarga, atau pihakpihak yang tepat untuk mengarahkan remaja tersebut. Hal ini berhubungan pula dengan persepsi remaja akan memberikan sebuah arti dari suatu kejadian, sehingga terbentuklah perilaku. Banyaknya kasus aborsi pada remaja ini dikarenakan persepsi yang salah terhadap tindakan aborsi. Proses pemahaman yang sudah salah sejak awalnya akan berdampak buruk pada perilaku dan kehidupan remaja, maka dari itu pentingnya memberikan sebuah persepsi yang benar terhadap tindakan aborsi sejak dini (Ayurai, 2009). Berdasarkan wawancara awal bulan Agustus 2012 mengenai persepsi remaja tentang aborsi karena KTD pada 5 orang remaja pranikah di Kota Pontianak didapatkan bahwa remaja beranggapan aborsi sebagai tindakan yang sangat berdosa karena tidak sesuai dengan ajaran agama dan tidak berperikemanusian, lebih baik meneruskan kehamilan dan menikah, tetapi setelah ditanya lebih lanjut jika mereka dihadapkan pada KTD, mereka justru memilih untuk melakukan aborsi. Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai persepsi remaja tentang aborsi karena KTD pada remaja pranikah di Kota Pontianak. 6

B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana persepsi remaja tentang aborsi karena KTD pada remaja pranikah di Kota Pontianak?. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Tujuan umum Mendeskripsikan persepsi remaja tentang aborsi karena KTD pada remaja pranikah di Kota Pontianak. 2. Tujuan khusus a. Mendeskripsikan upaya-upaya yang dilakukan remaja dalam menghadapi KTD pada remaja pranikah di Kota Pontianak. b. Mendeskripsikan hambatan-hambatan remaja menghindari aborsi karena KTD pada remaja pranikah di Kota Pontianak. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada : 1. Dinas Kesehatan Kota Pontianak dalam usaha pembinaan kesehatan reproduksi remaja agar dapat berperilaku seksual sehat dan sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan pengembangan upaya promotif dan preventif pada kesehatan reproduksi remaja di Kota Pontianak. 2. Dinas Pendidikan Kota Pontianak untuk meningkatkan peran guru sebagai pendamping agar ikut serta secara aktif dalam memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi sejak dini dan pengambilan kebijakkan yang bertanggungjawab terhadap remaja yang mengalami KTD. 3. Kepada Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Anak, dan KB (BPMPAKB) Kota Pontianak untuk membentuk dan meningkatkan lagi peran dari pusat pelayanan informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja. 7

4. Bermanfaat bagi peneliti selanjutnya yang mungkin akan meneliti hal serupa dan sebagai referensi. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan dapat dijadikan rujukan pada penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Awang (2006), meneliti tentang hubungan KTD dengan aborsi pada remaja menikah dan tidak menikah di Kota Kupang propinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian didapatkan proporsi aborsi lebih tinggi pada remaja tidak menikah yang mengalami KTD atau status tidak menikah pada remaja yang mengalami KTD berpengaruh secara signifikan terhadap aborsi. Penelitian tersebut juga menggunakan wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam dan jelas tentang KTD dan keputusan melakukan aborsi pada remaja menikah dan tidak menikah dengan pendekatan secara kualitatif. Hasil dari wawancara mendalam tersebut adalah kesediaan untuk bertanggungjawab terhadap perbuatannya dan penerimaan orangtua terhadap remaja yang mengalami KTD sebelum menikah merupakan faktor yang mempengaruhi remaja untuk tidak melakukan aborsi. Persamaan dengan penelitian ini terdapat pada tema penelitian, yaitu tentang aborsi. Perbedaannya terletak pada metode penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui hubungan KTD dengan aborsi pada remaja menikah dan tidak menikah dengan subjek penelitian remaja perempuan yang sudah menikah dan tidak menikah usia 14-21 tahun, sedangkan pada penelitian ini hanya menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan tujuan untuk mendeskripsikan persepsi remaja tentang aborsi karena KTD pada remaja pranikah dengan subjek penelitian remaja putri maupun putra pranikah usia 11-24 tahun. Selain itu, rancangan penelitian pada penelitian Awang (2006) menggunakan rancangan cross sectional analitic, sedangkan pada penelitian ini menggunakan rancangan fenomenologis. Perbedaan lainnya adalah dari lokasi dan waktu 8

penelitian yaitu pada penelitian Awang dilakukan di Kupang tahun 2006, sedangkan pada penelitian ini dilakukan di Kota Pontianak tahun 2012. 2. Suesti (2011), meneliti hubungan risiko aborsi dengan sikap remaja putri terhadap aborsi di SMP wilayah Baguntapan Bantul Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut adalah sebagian besar remaja putri mempunyai pengetahuan tentang risiko aborsi baik/bagus dan mempunyai sikap baik/positif terhadap aborsi. Ada hubungan antara pengetahuan tentang risiko aborsi dengan sikap remaja terhadap aborsi. Faktor yang mempengaruhi sikap positif remaja terhadap aborsi adalah pengetahuan tentang risiko aborsi, informasi, sosial ekonomi, budaya, dan ketaatan agama, sedangkan remaja yang mempunyai sikap negatif terhadap aborsi dipengaruhi oleh rasa takut karena umur belum dewasa, belum siap berumah tangga, malu dengan masyarakat sekitar, takut dikeluarkan dari sekolah, tidak dapat melanjutkan sekolah, cita-citanya tidak tercapai, tidak berani keluar rumah, depresi, tidak berani bermain dengan teman sebaya, tidak bisa melanjutkan sekolah, dan masa depan suram. Persamaan dengan penelitian ini adalah mengenai tema penelitian yaitu tentang aborsi. Perbedaan dengan penelitian Suesti (2011) terletak pada jenis penelitian yaitu kuantitatif dengan rancangan penelitian cross sectional, didukung pula dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam untuk mendeskripsikan hambatan pemilihan sikap remaja terhadap aborsi dengan subjek penelitian remaja putri (siswi SMP). Sedangkan pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologis, cara pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah (DKT) yang bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi remaja tentang aborsi karena KTD pada remaja pranikah dengan subjek penelitian adalah remaja putri maupun putra pranikah usia 11-24 tahun. Perbedaan lainnya adalah dari lokasi dan waktu penelitian yaitu pada penelitian Suesti di Yogyakarta tahun 2011, sedangkan pada penelitian ini dilakukan di Kota Pontianak tahun 2012. 9

3. Thorsen et al. (2006) meneliti persepsi, kontrasepsi, aborsi yang tidak dilindungi dan diinduksi pada remaja di Swedia, dengan metode penelitian DKT bertujuan untuk mengeksplorasi tingkah laku remaja putri terhadap kontrasepsi dan aborsi yang tidak dilindungi dan diinduksi di Swedia. Hasil penelitian menunjukkan sikap remaja terhadap aborsi secara umum positif, namun terdapat salah persepsi dan kurangnya pengetahuan remaja tentang aborsi. Selain itu, jika remaja tersebut mengalami hamil di luar nikah cenderung untuk melakukan aborsi daripada meneruskan kehamilannya. Persamaan dengan penelitian ini adalah tema tentang aborsi dan rancangan penelitian kualitatif. Perbedaannya terletak pada tempat dan waktu penelitian yaitu di Swedia tahun 2006, cara pengumpulan data hanya dengan menggunakan DKT, dan subjek penelitian remaja putri, sedangkan pada penelitian ini dilakukan di Kota Pontianak tahun 2012 dengan cara penggumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan DKT, serta subjek penelitian yaitu remaja pranikah putri dan putra usia 11-24 tahun. 4. Senbeto et al., (2005), meneliti tentang prevalensi dan faktor risiko yang berkaitan dengan aborsi di Etiophia Tenggara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan, sikap, perilaku, dan praktek wanita terhadap aborsi serta identifikasi faktor-faktor yang paling menentukan. Hasil penelitian menunjukkan dari 256 wanita di Etiophia Tenggara, sebanyak 19% mengalami aborsi dan rerata prevalensi aborsi yang diinduksi 14,3% dan 4,8% aborsi spontan. Kehamilan untuk wanita muda berakhir dengan aborsi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan pedesaan. Wanita muda 3 kali lebih berisiko untuk mengalami aborsi ketika usia di bawah 15 tahun daripada usia 20-24 tahun. Wanita yang belum pernah menikah 2 kali lebih berisiko mengalami aborsi dibandingkan dengan wanita yang sudah menikah. Persamaan dengan penelitian ini adalah tentang tema yaitu aborsi. Perbedaannya pada jenis penelitian yaitu kuantitatif, lokasi di Etiopia Tenggara pada bulan Maret 2005, cara pengumpulan data dengan kuesioner, dan subjek penelitian wanita usia 15-49 tahun, sedangkan jenis penelitian ini 10

adalah kualitatif yang dilaksanakan di Kota Pontianak tahun 2012 dengan cara pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan DKT, serta subjek penelitian remaja putri dan putra usia 11-24 tahun. 11