BAB IV ANALISIS. 4.1 Data

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN GMTSAR

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR)

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN AKTIVITAS GUNUNG SEMERU

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR

PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB II DAERAH PENELITIAN & BAHAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Eko Yudha ( )

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB III METODE PENELITIAN

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DARI DATA ASTER GDEM TERHADAP DATA BPDAS (STUDI KASUS : SUB DAS BUNGBUNTU DAS TAROKAM)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS SISTEM

Kata Kunci : Deformasi; Gunung Merapi; InSAR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo)

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

METODE. Waktu dan Tempat

BAB II Tinjauan Pustaka

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

III HASIL DAN PEMBAHASAN

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC

Gambar 3.1 Lintasan Pengukuran

Pemodelan Aliran Lahar Menggunakan Perangkat Lunak LAHARZ Di Gunung Semeru, Jawa Timur

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENGUKURAN LAPANGAN, PENGOLAHAN, DAN ANALISIS DATA SEISMOELEKTRIK

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM

BAB IV PENGOLAHAN DATA

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

JUDUL TUGAS AKHIR PEMETAAN GEOLOGI DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS DI DAERAH PEGUNUNGAN SELATAN ( Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah )

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ix

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BERITA GUNUNGAPI ENAM GUNUNGAPI WASPADA JANUARI MARET 2008

BAB 4 HASIL PENGOLAHAN DATA & ANALISIS

BAB IV PENGOLAHAN DATA

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

III. METODE PENELITIAN

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI ORBIT REDUCTION IN INSAR FOR DEFORMATION OBSERVATIONS MOUNT MERAPI.

Tahun Penelitian 2005

IDENTIFIKASI AWAL PLAT NOMOR MOBIL MENGGUNAKAN PROGRAM KONVENSIONAL SEBAGAI LANGKAH AWAL PENGGUNAAN JARINGAN SARAF TIRUAN

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis terhadap data, hasil yang diperoleh beserta kaitannya dengan aktivitas Gunung Semeru, kinerja dari perangkat lunak GMTSAR. 4.1 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data mentah yang direkam oleh satelit ALOS PALSAR. Dari data tersebut dibentuk 7 pasang data yang memiliki interval pengambilan data terkecil. Setelah itu, data diolah dengan menggunakan perangkat lunak bernama GMTSAR. Ada dua mode data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu mode FBS (Fine Beam Single Polarisation) dan FBD (Fine Beam Double Polarisation). Data dengan mode FBS dimiliki oleh data 20091007, 20091122, 20100710, 20100825, 20101010, dan 20101125. Untuk mode FBD datanya adalah 20110110 dan 20110225. Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa ada enam perbedaan nilai parameter (ditandai dengan warna kuning) yang ada pada kedua mode tersebut. Enam parameter ini mencirikan karakteristik dari perekaman yang dilakukan oleh satelit. Sedangkan parameter berbeda lainnya seperti waktu dan tinggi satelit dianggap wajar karena kedua hal tersebut memang selalu berubah. Paket program pengolahan DInSAR yang disediakan oleh GMTSAR mampu mengolah citra yang memiliki range sample rate yang berbeda. Akan tetapi, untuk melakukan itu perlu kejelian, karena pengolahan yang dilakukan adalah penukaran citra master. Sehingga hasil yang diperoleh harus disesuaikan tandanya. Data FBS memiliki informasi orbit yang kurang baik karena orbit satelit ALOS tidak terkontrol dengan baik. Hal ini menyebabkan pasangan yang terkait dengan data mode FBS masih memiliki efek orbit pada interferogramnya. Sehingga perlu dilakukan penanganan khusus pada pasangan tersebut. Efek orbit ini masih tetap ada walaupun panjang baseline tegaklurus pasangan tersebut kecil (< 1000 m). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan penghapusan trend pada citra unwrap yang telah terbentuk. 38

Tabel 4.1 Perbandingan file PRM citra 20091007 dengan citra 20110110 Parameter Citra 20091007 Citra 20110110 num_valid_az 9216 9216 nrows 16384 16384 first_line 1 1 deskew n n caltone 0 0 st_rng_bin 1 1 Flip_iq n n offset_video n n az_res 5 5 nlooks 1 1 1) chirp_ext 500 1000 scnd_rng_mig n n rng_spec_wgt 1 1 rm_rng_band 0 0 rm_az_band 0 0 Rshift 0 0 Ashift 0 0 stretch_r 0 0 stretch_a 0 0 a_stretch_r 0 0 a_stretch_a 0 0 first_sample 206 206 SC_identity 5 5 2) rng_samp_rate 16000000 32000000 input_file IMG-HH- ALPSRP197297020- H1.0 A.raw IMG-HH- ALPSRP264397020- H1.0 A.raw 3) num_rng_bins 5652 11304 4) bytes_per_line 10800 21100 5) good_bytes_per_line 10716 21020 PRF 2145.923 2145.923 pulse_dur 2.70E-05 2.70E-05 near_range 849265 848815 num_lines 35193 35193 num_patches 3 3 SC_clock_start 2009280.641 2011010.638 SC_clock_stop 2009280.641 2011010.638 led_file LED-ALPSRP197297020- LED-ALPSRP264397020- H1.0 A H1.0 A date 091007 110110 39

Tabel 4.1 Perbandingan file PRM citra 20091007 dengan citra 20110110 (lanjutan) Parameter Citra 20091007 Citra 20110110 orbdir A A radar_wavelength 0.236057 0.236057 6) chirp_slope -5.19E+11-1.04E+12 2) rng_samp_rate 1.60E+07 3.20E+07 I_mean 15.5 15.5 Q_mean 15.5 15.5 SC_vel 7205.475794 7205.243823 earth_radius 6377621.138 6377621.012 equatorial_radius 6378137 6378137 polar_radius 6356752.314 6356752.314 SC_height 699610.5596 699492.5402 SC_height_start 699658.8365 699541.2551 SC_height_end 699561.9358 699443.4804 fd1 0 0 fdd1 0 0 fddd1 0 0 sub_int_r 0 0 sub_int_a 0 0 Model tinggi digital yang digunakan adalah DEM eksternal SRTM3. Kegunaan model tinggi digital ini adalah untuk mengurangi fase topografi yang ada pada fase interferogram yang terbentuk dari dua citra untuk mendapatkan fase deformasi. Akan tetapi, fase topografi yang ada tidak 100% hilang karena resolusi citra SAR dan model tinggi berbeda. Sehingga ada kemungkinan interferogram yang diperoleh tidak menunjukkan adanya deformasi karena efek topografi tersebut masih ada dan besarnya lebih besar dari fase deformasi itu sendiri. Hal ini akan dibahas dibagian tiga bab ini. Model tinggi digital tersebut kemudian disimulasikan dengan menggunakan data parameter dari citra master. Simulasi ini akan mengakibatkan DEM tersebut menjadi fase topografi dan merepresentasikan kondisi DEM saat dilakukan pemindaian citra master. 4.2 Hasil Untuk melakukan analisis interferogram yang terbentuk dengan aktivitas Gunung Semeru, terlebih dahulu akan dibahas hubungan antara data dengan aktivitas yang terekam seperti yang dijelaskan di bab 2. Agar lebih mudah dipahami hubungan tersebut, penyajian yang lebih sederhana diperlihatkan pada gmbar 4.1. 40

Gambar 4.1 Hubungan data dengan aktivitas yang terekam Karena penelitian ini tujuannya untuk memantau, pasangan yang akan diperhatikan adalah pasangan dari data yang berurutan. Penelitian ini menggunakan 8 data, artinya terdapat 7 pasang interferogram dengan menggunakan interval waktu data terpendek. Dengan menganalisis setiap pasangan, dapat diperoleh hubungan antara aktivitas Gunung Semeru yang direkam dan dilaporkan seperti pada tabel 2.1. Dari analisis setiap pasangan tersebut kemudian digabungkan sehingga dapat dianalisis aktivitas Gunung Semeru secara periodik menurut data yang ada. Untuk itu, dalam penelitian ini akan dianalisis hasil yang diperoleh pasangan demi pasangan agar analisisnya lebih mendalam. 1. Pasangan 20091007-20091122 Gambar 4.2 menunjukkan hasil interferogram yang telah difilter dari pasangan 20091007-20091122. Daerah yang ada di dalam lingkaran merupakan lokasi Gunung Semeru. Tampak di dalam gambar tersebut ada banyak piksel piksel yang memiliki efek noise terutama di daerah di sebelah utara Gunung Semeru. Hal ini apabila dikorelasikan dengan citra koherensi seperti yang tampak pada gambar 4.3 daerah yang mengandung banyak noise itu memiliki nilai koherensi yang rendah. Nilai koherensi yang tampak pada gambar 4.2 menunjukkan koherensi yang kecil di sekitar Gunung. Hal tersebut disebabkan oleh tutupan lahan di gunung ini adalah hutan hujan tropis yang memiliki laju pertumbuhan yang tinggi sehingga dengan periode 46 hari, sinyal pantulan dari daerah tersebut akan memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Ditambah selang Indonesia sedang musim penghujan. 41

Gambar 4.2 Citra fase yang telah difilter pasangan 20091007-20091122 (daerah di dalam lingkaran merupakan lokasi gunung) Gambar 4.3 Citra koherensi pasangan 20091007-20091122 Agar lebih fokus ke lokasi penelitian, dilakukan pemotongan di daerah Gunung Semeru. Gambar 4.4 menunjukkan interferogram (a) Gunung Semeru dan hasil unwrapping-nya (b). Dari kedua gambar tersebut tampak bahwa adanya pemendekan LOS sekitar 6 radian (~11 cm) sepanjang arah timur laut barat daya melalui badan Gunung Semeru. 42

a) b) Gambar 4.4 Interferogram Gunung Semeru dan unwrap-nya pasangan 20091007-20091122 (segitiga merupakan lokasi kawah gunung) 2. Pasangan 20091122-20100710 Hasil filter interferogram yang terbentuk dari pasangan 20091122-20100710 dapat dilihat pada gambar 4.5. Pasangan ini memiliki panjang baseline tegaklurus dan interval waktu paling panjang dari semua pasangan (lihat tabel 3.2). Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, lamanya waktu antara kedua data mengurangi koherensi pasangan ini sehingga banyak piksel yang kosong karena pada tahap pemfilteran dan unwrapping, fase fase yang kecil di-mask. Nilai koherensi pasangan ini merupakan nilai yang paling buruk dari semua pasangan yang ada. Tampak pada gambar 4.6 citra koherensi dari pasangan ini. Ini mengindikasikan perlunya suatu teknik untuk meningkatkan koherensi pasangan citra. Tutupan lahan juga mempengaruhi rendahnya koherensi pasangan ini. Gambar 4.5 Interferogram pasangan 20091122-20100722 (daerah di dalam lingkaran menunjukkan lokasi gunung) 43

Gambar 4.6 Citra koherensi pasangan 20091022-20100710 Interferogram dan citra unwrap pada daerah sekitar Gunung Semeru dapat dilihat pada gambar 4.7. Banyaknya piksel yang kosong pada gambar tersebut menyebabkan sukarnya menganalisis pergeseran LOS pada badan gunung. Akan tetapi, di daerah sekitar kawah gunung dapat dilihat dengan jelas bahwa adanya pemendekan LOS sekitar -18 rad (~33 cm). Besarnya pemendekan LOS ini lebih disebabkan karena kelemahan perangkat lunak. Karena banyak piksel yang kosong maka proses unwrapping yang dilakukan tidak memberikan hasil yang baik. a) b) Gambar 4.7 Interferogram Gunung Semeru dan unwrap-nya pasangan 20091122-20100710 (segitiga merupakan lokasi kawah gunung) 3. Pasangan 20100710-20100825 Pasangan ini memiliki nilai koherensi yang baik seperti tampak pada gambar 4.8. Hal ini diantaranya disebabkan oleh musim pada saat pemindaian kedua citra adalah musim kemarau sehingga perubahan tutupan lahannya tidak signifikan. Selain itu, interval pemindaian data juga pendek. 44

Gambar 4.8 Citra koherensi pasangan 20100710-20100825 Hasil interferogram pasangan ini dapat dilihat pada gambar 4.9. Di gambar itu, ada fringe yang aneh di selatan Gunung Semeru (lihat anak panah). Fringe tersebut menunjukkan adanya pemanjangan LOS. Ada kemungkinan fringe ini merupakan pseudo deformasi yang disebabkan oleh atmosfer. Apabila fringe tersebut disebabkan oleh atmosfer, cara menghilangkannya adalah dengan memberikan koreksi atmosfer. Akan tetapi, ini tidak dilakukan karena paket program pada GMTSAR tidak menyediakan program untuk hal tersebut. Untuk membuktikan fringe tersebut adalah efek atmosfer, harus dibandingkan dengan pasangan sebelumnya dan setelah pasangan ini. Pada pasangan sebelum ini fringe serupa tidak ditemukan. Gambar 4.9 Interferogram pasangan 20100710-20100825 (daerah di dalam lingkaran menunjukkan lokasi gunung) 45

Gambar 4.10 menunjukkan interferogram daerah Gunung Semeru dan unwrap-nya. Karena efek dari fringe yang berada di selatan gunung, pergeseran LOS pada badan gunung sukar dianalisis. Sedangkan di daerah puncak menunjukkan adanya pemendekan LOS sekitar 3 radian (~6 cm). a) b) Gambar 4.10 Interferogram Gunung Semeru dan unwrap-nya pasangan 20100710-20100825 (segitiga merupakan lokasi puncak gunung) 4. Pasangan 20100825-20101010 Pada interferogram pasangan ini juga dijumpai kasus fringe seperti pada pasangan sebelumnya seperti tampak pada gambar 4.11 (lihat anak panah). Apabila dibandingkan dengan fringe yang terbentuk pada pasangan sebelumnya, pola keduanya berlawanan yang artinya fringe tersebut disebabkan oleh efek atmosfer. Data yang mengandung efek tersebut adalah data 20100825. Gambar 4.11 Interferogram pasangan 20100825-20101010 (daerah di dalam lingkaran menunjukkan lokasi gunung) 46

Nilai koherensi dari pasangan data ini cukup baik seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.12. Gambar 4.12 Citra koherensi pasangan 20100825-20101010 Interferogram dan citra unwrap untuk daerah sekitar Gunung Semeru, tampak pada gambar 4.13. Karena adanya fringe akibat efek atmosfer, pergeseran LOS di badan gunung sukar dideskripsikan. Dari gambar b), tampak bahwa mayoritas daerah yang ada di sekitar Gunung Semeru mengalami pemendekan yang bervariasi dari nol hingga 1.5 rad (0 3 cm/ warna kuning dan hijau). a) b) Gambar 4.13 Interferogram Gunung Semeru dan unwrap-nya pasangan 20100825-20101010 (segitiga merupakan lokasi puncak gunung) 5. Pasangan 20101010-20101125 Gambar 4.14 dan 4.15 secara berurutan adalah citra koherensi dan interferogram yang terbentuk dari pasangan 20101010-20101125. Nilai koherensi di puncak Gunung Semeru diindikasikan dengan warna putih yang artinya baik. Hal ini disebabkan oleh tutupan lahan di puncak Gunung Semeru adalah batuan vulkanik 47

dan tidak ada tumbuhan. Sedangkan di kaki gunung, tampak koherensinya lebih kecil (tampak pada gambar berwarna lebih hitam). Gambar 4.14 Citra koherensi pasangan 20101010-20101125 Gambar 4.15 Interferogram pasangan 20101010-20101125 (daerah di dalam lingkaran menunjukkan lokasi gunung) Hasil pemotongan di bagian Gunung Semeru dapat dilihat pada gambar 4.16. Pada gambar tersebut (b) tampak di badan gunung terdapat pemendekan LOS (warna ungu) sekitar 18 radian (~30 cm). Besarnya pergeseran LOS pada pasangan ini mengindikasikan adanya fase bukan deformasi yang masih terdapat dalam interferogram. Pada gambar 4.16 b), tampak ada dua daerah yang mengalami pemendekan (lihat anak panah). Diperkirakan hal tersebut disebabkan oleh adanya awan panas yang dikeluarkan oleh Gunung Semeru di daerah tersebut dan terekam 48

pada data master namun pada data slave awan tersebut telah hilang. Untuk mengkonfirmasi hal tersebut harus dilakukan pengecekan di lapangan aatau dari data sekunder lainnya yang mendukung seperti satelit optis yang merekam pada saat yang sama dengan pemindaian data master. a) b) Gambar 4.16 Potongan interferogram dan unwrap pasangan 20101010-20101125 (segitiga merupakan lokasi puncak gunung) 6. Pasangan 20101125-20110110 Pasangan data ini adalah pasangan data mode FBS dan FBD. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, apabila tidak dilakukan pemrosesan lebih lanjut maka interferogram yang dihasilkan memiliki efek orbit dan tampak seperti pada gambar 4.17 a). Efek orbit pada interferogram yang terbentuk dapat dikurangi dengan melakukan detrending. Akan tetapi, walaupun telah di-detrend, bukan berarti efek orbitnya hilang. Pada penelitian ini digunakan planar trend dalam proses detrending. Citra yang di-detrend adalah citra unwrap. Gambar 4.18 merupakan citra unwrap sebelum dan setelah di-detrend. a) b) Gambar 4.17 Interferogram pasangan 20101125-20110110 49

a) b) Gambar 4.18 Citra unwrap yang belum dan telah di-detrend Pada gambar 4.18 tampak efek dari proses detrend yang dilakukan secara visual tidak banyak. Secara kuantitas, efeknya besar yaitu sekitar 12 radian. Ini dapat dilihat dari batasan nilai yang ada pada scalebar. Citra unwrap yang telah di-detrend dari daerah Gunung Semeru dapat dilihat pada gambar 4.19. Dari gambar tersebut terdeteksi pemendekan LOS sekitar 12 radian (~23 cm) pada hampir seluruh daerah. Ini mengindikasikan masih adanya efek orbit dalam citra ini. Gambar 4.19 Citra unwrap bagian Gunung Semeru pasangan 20101125-20110110 (segitiga merupakan lokasi puncak gunung) 7. Pasangan 20110110-20110225 Pasangan ini merupakan pasangan data mode FBS-FBS. Interferogam dari pasangan data ini tampak seperti pada gambar 4.20 a). Apabila dibandingkan dengan pasangan sebelumnya, fringe pada interferogram pasangan ini tampak lebih rapat ini menunjukkan pada pasangan ini kedua citra memiliki efek kesalahan orbit yang besar dan tidak terkoreksi. Gambar 4.20 b) merupakan citra koherensi dari pasangan ini. Tampak bahwa koherensi pasangan ini cukup baik untuk proses pengolahan. 50

a) b) Gambar 4.20 Interferogam pasangan 20110110-20110225 Sama seperti pasangan sebelumnya, untuk dapat melihat lebih baik hasil yang ditampilkan oleh pasangan ini, interferogram yang ada harus di-unwrap dan didetrend. Gambar 4.21 menunjukkan hasil unwrap dan detrend dari pasangan 20110110-20110225. Dari gambar tersebut, tampak bahwa pola fringe yang terbentuk telah membaik walaupun hasilnya juga belum memuaskan. Secara kuantitatif, selang fase mutlak pada kedua citra berbeda jauh yaitu hingga 36 radian. Ini mengindikasikan adanya efek efek lain diluar efek orbit dalam interferogram yang terbentuk dan GMTSAR belum bisa mengatasi masalah tersebut. a) b) Gambar 4.21 Hasil unwrap dan detrend pasangan 20110110-20110225 Gambar 4.22 menunjukan potongan daerah sekitar Gunung Semeru. Tampak pada gambar tersebut adanya pemendekan LOS sekitar 12 radian (~23 cm) disebelah utara Gunung Semeru dan sekitar 3 radian (~6 cm) di selatan gunung. 51

Gambar 4.22 Citra unwrap yang telah di-detrend dari Gunung Semeru pasangan 20110110-20110225 4.3 Hubungan Aktivitas Gunung Semeru dengan Hasil Secara garis besar gambar 4.23 merangkum rekaman aktivitas Gunung Semeru, data SAR dan hasilnya. Dari gambar tersebut tampak bahwa ada ketidak konsistenan antara hasil yang diperoleh dengan rekaman aktivitas yang ada. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil yang diperoleh dari pengolahan data ALOS PALSAR dengan perangkat lunak GMTSAR masih mengandung efek efek lain yang tidak diinginkan, seperti adanya efek atmosfer, orbit, dan lain lain. Kemudian, paket program GMTSAR masih belum mampu mengatasi masalah tersebut sehingga diperlukan pengetahuan dan keahlian tambahan untuk dapat memperoleh hasil yang representatif. Gambar 4.23 Hubungan aktivitas Gunung Semeru dengan hasil pengolahan 52

Terkait dengan analisis aktivitas Gunung Semeru dari hasil yang diperoleh, tahapan tersebut belum dapat dilakukan karena banyaknya kesalahan yang masih terdapat pada hasil yang diperoleh. Apabila diasumsikan tidak ada kesalahan pada hasil, artinya hasil yang diperoleh sudah merupakan fase deformasi saja, maka dapat dikatakan bahwa karakteristik aktivitas Gunung Semeru selama bulan Oktober 2009 hingga Februari 2011 selalu inflasi (mengembang). Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hasil yang diperoleh masih mengandung banyak kesalahan sehingga tahapn analsis aktivitas Gunung Semeru dari pengolahan data SAR dengan menggungakan GMTSAR belum dapat dilakukan. 53