BAB I PENDAHULUAN. Kawasan pesisir (coastal zone) merupakan daerah pertemuan antara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I. PENDAHULUAN. yang signifikan, dimana pada tahun 2010 yaitu mencapai 8,58% meningkat. hingga pada tahun 2014 yaitu mencapai sebesar 9,91%.

PENDAHULUAN. sektor perikanan dan kelautan (Nontji, 2005, diacu oleh Fauzia, 2011:1).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan. pendapatan perkapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang

BAB I PENDAHULUAN. Usaha kecil menempati posisi strategis dalam perekonomian di Indonesia

PENDAHULUAN. diantara dua benua besar Asia dan Australia, dan di antara Lautan Pasifik dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena termasuk dalam Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan adalah masalah yang tidak ada habisnya untuk. dibahas, apalagi Indonesia penduduk terpadat ke empat dunia masih

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam mengatur dan mengurus rumah

PENDAHULUAN. perairan darat yang sangat luas dibandingkan negara Asean lainnya. Sumber daya

PENDAHULUAN. raksasa mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

Provinsi Sumatera Utara: Demografi

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

tambahan bagiperekonomian Indonesia (johanes widodo dan suadi 2006).

BAB IV GAMBARAN UMUM. Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indonesia

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara.

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN. Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU)

Sejak tahun 2008, tingkat kemiskinan terus menurun. Pada 2 tahun terakhir, laju penurunan tingkat kemiskinan cukup signifikan.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dan 25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015:27).

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah)

BAB III TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROPINSI SUMATERA UTARA

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BAB I PENDAHULUAN. memiliki ekonomi yang rendah, dan hal ini sangat bertolak belakang dengan peran

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB III DESKRIPSI WILAYAH KAJIAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

PROVINSI SUMATERA UTARA

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KAJIAN PERMASALAHAN EKONOMI DI DAERAH BERPENDAPATAN RENDAH

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan jumlah pulau sebanyak yang dikelilingi oleh laut seluas 7,7

Sumatera Utara. Rumah Balai Batak Toba

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris, yang ditunjukkan oleh luas

BAB IV GAMBARAN UMUM. Bujur Timur sampai 105º50 (BT) Bujur Timur dan 3º45 (LS) Lintang Selatan

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Produksi dari suatu usaha penangkapan ikan laut dan perairan umum sebahagian

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kawasan pesisir (coastal zone) merupakan daerah pertemuan antara ekosistem laut dan darat yang merupakan tempat habitat bagi berbagai mahluk hidup serta mengandung berbagai sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang bermanfaat bagi manusia. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Karena banyaknya sumberdaya yang terkandung, menjadikan kawasan ini sebagai konsentrasi pemukiman penduduk beserta dengan segenap kiprah pembangunannya. Lebih dari separuh jumlah penduduk dunia bermukim di kawasan ini. Edgreen (1993) dalam Priyanto (2010) memperkirakan bahwa sekitar 50-70 % dari 5,3 milyar penduduk di bumi sekarang ini tinggal di kawasan. Di Indonesia sebanyak 324 kabupaten/kota terletak di kawasan pesisir dan lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan pesisir (Kementerian Perikanan dan Kelautan, 2011). Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki ± 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 104.000 km (Kementerian Perikanan dan Kelautan, 2012). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah seluas 3,2 juta km² yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km² dan laut teritorial seluas 0,3 juta km². Selain itu Indonesia juga mempunyai 1

2 hak ekslusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km² pada perairan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) sampai dengan 200 mil dari garis pantai. Sebagai negara kepulauan, wilayah pesisir merupakan kawasan strategis yang memiliki berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal ini membuat wilayah pesisir berpotensi menjadi penggerak utama (prime mover) potensi ekonomi nasional. Bahkan secara historis menunjukkan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. Terdapat beberapa jenis potensi yang terdapat di wilayah pesisir. Menurut Dahuri et al., (2001) potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). Sumberdaya dapat pulih adalah sumberdaya yang dapat dikembangkan atau dilestarikan, seperti hutan mangrove (bakau), terumbu karang, rumput laut, dan sumberdaya perikanan laut. Sumberdaya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, termasuk ke dalamnya antara lain minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, biji besi, batu bara, granit, tanah liat, pasir, kaolin, kerikil, dan batu pondasi. Jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.

3 Potensi wilayah pesisir yang pemanfaatan paling besar dan menjadi tulang punggung wilayah pesisir adalah perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Berdasarkan Kementerian Perikanan dan Kelautan (2012) pada tahun 2011 volume produksi perikanan tangkap sebesar 5.409.100 ton yang terdiri dari 5.061.680 ton (93,58 persen) perikanan laut dan sisanya 347.420 ton (6,42 persen) berasal dari perikanan tangkap lainnya. Selain berasal dari perikanan tangkap, wilayah pesisir juga menyimpan potensi melalui perikanan budidaya. Berdasarkan sumber yang sama, pada tahun 2011 volume produksi perikanan budidaya di Indonesia tercatat sebesar 6.976.750 ton, dimana sebanyak 5.469.845 ton (78,40 persen) merupakan perikanan budidaya laut dan tambak. Dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB), sub sektor perikanan pada tahun 2007 menyumbang 2,47 persen terhadap PDB total Indonesia dengan nilai PDB sebesar 97.967,30 milliar rupiah kemudian meningkat menjadi 2,77 persen (137.249,50 milliar rupiah) pada tahun 2008. Pada tahun 2012, sub sektor perikanan berhasil menyumbang 3,10 persen terhadap total PDB (255.332,30 milliar rupiah). Selain dari sektor primer, pada sektor industri, pada tahun 2007 industri perikanan juga menyumbang sekitar 2,75 persen terhadap PDB total Indonesia dengan nilai 108.512,60 milliar rupiah dan terus meningkat menjadi 3,38 persen (217.137,30 miliar rupiah) pada tahun 2010. Pada Tabel 1.1 berikut disajikan perkembangan nilai PDB sektor perikanan dan indutri perikanan serta kontribusinya terhadap PDB total Indonesia.

4 Tabel 1.1. Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan dan industri perikanan atas dasar harga berlaku Tahun 2007-2012 Sektor 2007 2008 2009 2010 2011 2012 [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] Nilai PDB (Milliar Rupiah) Perikanan 97.697,3 137.249,5 176.620,0 199.383,4 226.691,0 255.332,3 Industri Perikanan 108.512,6 150.888,0 193.165,4 217.137,3 - - PDB Total 3.950.893,2 4.948.688,4 5.606.203,4 6.446.851,9 7.422.781,2 8.241.864,3 PDB Tanpa Migas 3.534.406,5 4.427.633,5 5.141.414,4 5.941.951,9 6.797.879,2 7.604.759,1 Persentase PDB Perikanan (%) Terhadap PDB Total 2,47 2,77 3,15 3,09 3,05 3,10 Terhadap PDB Tanpa Migas 2,76 3,10 3,44 3,36 3,33 3,36 Persentase PDB Industri Perikanan (%) Terhadap PDB Total 2,75 3,05 3,45 3,38 - - Terhadap PDB Tanpa Migas 3,07 3,41 3,76 3,67 - - Sumber: Statistik Indonesia, 2012 Keterangan: -) Data tidak tersedia Kondisi tersebut menunjukkan bahwa daerah pesisir sebagai penghasil utama perikanan mempunyai peran yang sangat besar dalam perekonomian dan tentunya masih memiliki potensi yang besar dan peluang untuk pengembangan. Pada Tabel 1.2 berikut disajikan potensi dan peluang pengembangan perikanan khususnya perikanan budidaya berdasarkan jenis budidaya. Dimana peluang budidaya perikanan di laut masih sangat terbuka, yaitu dari potensi sebesar 12.545.072 hektar yang sudah dimanfaatkan hanya sebesar 117.649 hektar saja atau masih sekitar 1 persen saja dari potensi yang ada. Tabel 1.2. Potensi lahan budidaya perikanan dan tingkat pemanfaatan di Indonesia (ha) Tahun 2011 Peluang Jenis Budidaya Potensi Pemanfaatan pengembangan [1] [2] [3] [4] 1. Tambak 2.963.717 682.857 2.280.860 2. Kolam 541.100 146.577 394.523 3. Perairan Umum 158.125 1.290 156.735 4. Sawah 1.536.289 165.688 1.370.601 5. Laut 12.545.072 117.649 12.427.423 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012

5 Berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 136/3240.K Tentang Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005-2010, Provinsi Sumatera Utara terletak pada pesisir geografis antara 1-4 LU dan 98-100 BT, sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Pantai Barat Sumatera Utara berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, sedangkan Pantai Timur berhadapan langsung dengan Selat Malaka. Luas areal Provinsi Sumatera Utara adalah 711.680 km² (3,72% dari luas areal Republik Indonesia). Berdasarkan sumber yang sama, Pantai Barat Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 763,47 km (termasuk Pulau Nias). Potensi lestari beberapa jenis ikan di perairan Pantai Barat terdiri dari: ikan pelagis 115.000 ton/tahun, ikan demersal 78.700 ton/tahun, ikan karang 5.144 ton/tahun dan udang 21.000 ton/tahun. Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara terdiri dari 6 (enam) Kabupaten/Kota yaitu: Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. Luas administrasi kawasan pesisir Pantai Barat mencapai 25.328 km² (sekitar 39,93% dari luas Provinsi Sumatera Utara). Jumlah pulaupulau kecil yang terdapat di Pantai Barat Sumatera Utara mencapai 156 pulau. Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi Lestari beberapa jenis ikan di perairan Pantai Timur terdiri dari: ikan pelagis 126.500 ton/tahun, ikan demersal 110.000 ton/tahun, ikan karang 6.800 ton/tahun dan udang 20.000 ton/tahun. Wilayah pesisir Pantai Timur Sumatera Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu: Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota

6 Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Batu Bara dan Kabupaten Serdang Bedagai. Luas wilayah kecamatan pesisir dibagian timur Sumatera Utara adalah 43.133,44 km² yang terdiri dari 35 kecamatan pesisir dengan jumlah desa sebanyak 436 desa. Di Pantai Timur Sumatera Utara hanya terdapat 6 (enam) pulau-pulau kecil. Salah satu kabupaten di wilayah pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang memiliki potensi yang besar adalah Kabupaten Batu Bara. Secara administratif saat ini Kabupaten Batu Bara terdiri dari 7 kecamatan dan 151 desa/kelurahan dengan luas wilayah 904,96 km 2. Pada wilayah ini terdapat 21 desa pesisir yang terletak di 5 kecamatan dengan panjang pantai 58 km. Berikut pada Tabel 1.3 disajikan jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Batu Bara menurut kecamatan dan lokasi desa. Tabel 1.3. Jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Batu Bara menurut kecamatan dan lokasi desa Kecamatan Desa pesisir Bukan desa pesisir Jumlah [1] [2] [3] [4] 1. Sei Balai - 14 14 2. Tanjung Tiram 8 14 22 3. Talawi 2 18 20 4. Limapuluh 3 32 35 5. Air Putih - 19 19 6. Sei Suka 2 18 20 7. Medang Deras 6 15 21 Jumlah 21 130 151 Sumber: BPS Kabupaten Batu Bara, 2013 Dengan luas wilayah dan panjang pantai sedemikian tersebut tentunya wilayah pesisir Batu Bara menyimpan potensi yang sangat besar. Beberapa potensi yang dimiliki antara lain: (1) Memiliki sumberdaya perikanan tangkap dan sumberdaya perikanan budidaya yang cukup tinggi; (2) Memiliki peluang pembibitan tanaman bakau; (3) Memiliki pantai yang potensial untuk

7 dikembangkan sebagai lokasi wisata pantai & wisata bahari; dan (4) Adanya dukungan dan respons yang positif dari pemerintah kabupaten, DPRDD dan stakeholder yang terkait untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Berbagai data yang akan disajikan menunjukkan bahwa Kabupaten Batu Bara merupakan daerah potensi perekonomian yang tinggi. Salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran potensi tersebut adalah tingkat PDRB per kapita, dimana Kabupaten Batu Bara adalah yang paling tinggi di Sumatera Utara. Pada Gambar 1.1 disajikan bahwa pada tahun 2012 PDRB perkapita Kabupaten Batu Baraa sebesar 55,13 juta rupiah jauh lebih tinggii dibanding Sumatera Utara secara mum yang sebesar 26,57 juta rupiah. Tingginya PDRB Kabupaten Batu Bara ini disebabkan karena banyaknya industri besar yang beroperasi termasuk salah satunya PT. Inalum. Jutaan Rp. 60 50 40 30 20 10 0 Asahan Simalungun Serdang Bedagai Medan Batu Bara Sumut 2010 17,85 12,67 16,33 39,72 44,14 21,11 2011 20,24 14,09 18,12 44,21 50,06 23,99 2012 22,68 15,71 20,38 49,89 55,13 26,57 Asahan Simalungun Serdang Bedagai Medan Batu Bara Sumut Gambar 1.1. PDRB Tahun perkapita Batu Bara dan beberapaa daerah di Sumatera Utara, 2010-2012

8 Sebagaimana daerah pesisir lainnya, sektor perikanan juga memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Kabupaten Batu Bara. Informasi pada Tabel 1.4 Menunjukkan bahwa sub sektor perikanan pada Tahun 2009 menyumbang 3,96 persen terhadap PDRB total Kabupaten Batu Bara dengan nilai PDRB sebesar 574,33 milliar rupiah, angka ini relatif tidak berubah sampai dengan Tahun 2012. Pada Tahun 2012, sub sektor perikanan menyumbang 3,75 persen terhadap total PDRB (788,30 milliar rupiah). Sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi PDRB Kabupaten Batu Bara adalah sektor industri yakni mencapai 33,50 persen pada tahun 2012 dengan nilai PDRB sebesar 11,26 trilliun rupiah, dimana sebesar 33,50 persen disumbang industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau yang salah satunya adalah industri pengolahan hasil perikanan. Tabel 1.4. Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan dan industri pengolahan atas dasar harga berlaku Tahun 2009-2012 Sektor 2009 2010 2011 2012 [1] [2] [3] [4] [5] Nilai PDB (Milliar Rupiah) Perikanan 574.330,31 642.639,86 721.103,43 788.295,69 Industri Pengolahan 7.772.676,61 8.888.294,31 10.172.560,42 11.260.000,33 PDB Total 14.517.227,58 16.590.572,11 18.994.983,01 21.006.930,39 Persentase Terhadap PDB Total (%) Perikanan 3,96 3,87 3,80 3,75 Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 53,54 53,57 53,55 53,60 Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara 2013, (Data Diolah) Kondisi tersebut menunjukkan bahwa daerah pesisir sebagai penghasil utama perikanan mempunyai peran yang sangat besar dalam perekonomian dan tentunya masih memiliki potensi yang besar dan peluang untuk pengembangan. Berdasarkan informasi pada Tabel 1.5, jumlah produksi ikan di Kabupaten Bara

9 pada Tahun 2012 adalah sebesar 29,44 ribu ton yang terdiri dari 28,66 ribu ton (97,34 persen) berasal dari laut dan sisanya sebesar 781,86 ton (2,66 persen) merupakan hasil budi daya perikanan darat. Jumlah produksi ikan ini diyakini masih jauh dari potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Batu Bara baik perikanan laut maupun perikanan darat. Tabel 1.5. Jumlah produksi ikan di Kabupaten Batu Bara menurut kecamatan dan lokasi tangkapan Perikanan Perikanan Kecamatan Jumlah laut darat [1] [2] [3] [4] 1. Sei Balai - 99,92 99,92 2. Tanjung Tiram 14.960,00 75,80 15.035,80 3. Talawi 2.997,00 32,10 3.029,10 4. Limapuluh 1.805,00 29,10 1.834,10 5. Air Putih - 81,82 81,82 6. Sei Suka 1.878,00 33,27 1.911,27 7. Medang Deras 7.020,00 429,85 7.449,85 Jumlah 28.660,00 781,86 29.441,86 Sumber: BPS Kabupaten Batu Bara, 2013 Berbagai penjelasan tersebut di atas sudah jelas menggambarkan betapa wilayah pesisir menyimpan potensi yang sangat besar. Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi sampai saat ini adalah bahwa kawasan pesisir masih sangat termarjinalkan oleh karena desa-desa pesisir sangat berpotensi menjadi kantong-kantong kemiskinan. Masyarakat pesisir yang mendiami desa-desa pesisir kehidupannya sangat memprihatinkan, terampas hak-haknya sehingga menjadi miskin. Kemiskinan di daerah pedesaan menjadi penyebab dan akibat terjadinya kerusakan sumberdaya alam pedesaan yang berdampak pada masyarakat luas (Rustiadi., et al., 2001). Kesalahan pelaksanaan pembangunan selama ini karena proses perencanaan pembangunan yang dilakukan masih bersifat top-down. Dimana pemerintah masih menganggap memiliki kewenangan secara legal karena memegang amanat yang legitimate. Padahal

10 dibalik amanat yang diterimanya, pemerintah berfungsi melayani/memfasilitasi masyarakat yang berkepentingan secara langsung di dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yang dihadapi oleh rumahtangga nelayan di desa pesisir berakar dari faktor-faktor kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan kedalam faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya jaringan pemasaran dan belum berungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini. Kabupaten Batu Bara merupakan salah satu daerah pesisir yang memiliki potensi perekonomian yang besar, namun di sisi lain masih memiliki permasalahan kompleks yaitu tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa Kabupaten Batu Bara memiliki nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Tahun 2012 tercatat sebesar 21,01 trilliun rupiah dan atas harga konstan sebesar 8,11 trilliun rupiah serta dengan PDRB perkapita atas dasar harga berlaku sebesar 55.132.971 rupiah dan merupakan yang tertinggi di Sumatera Utara. Namun pada waktu yang sama persentase penduduk miskin secara makro di Kabupaten Batu Bara sebesar 11,24 persen lebih tinggi dari ratarata Sumatera Utara yang sebesar 10,41 persen. Kondisi ini tentunya

11 menunjukkan bahwa potensi perekonomiann Batu Baraa yang demikian besar tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Batu Bara. Hal ini dapat dimengerti karena tingginya nilai PDRB Kabupaten Bara inii merupakan kontribusi dari beberapa perusahaan industri besar seperti PT. Inalum dan perusahaan besar lainnya. Pada Gambar 1.2. berikut disajikan perkembang gan persentase penduduk miskin Batu Bara dan Sumatera Utara dari Tahun 2007-2012. Persen 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 17,89 13,9 2007 13,64 12,55 2008 12,87 11,51 2009 12,29 11,31 2010 11, 67 10,83 11,24 10,41 2011 20122 Sumatera Utara Batu Baraa Gambar 1.2. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Sumatera Utara dan Batu Bara Tahun 2007-20122 Selain tingkat kemiskinann yang masih tinggi, kondisi yang sama juga ditunjukkan oleh kualitas sumber daya manusia Kabupaten Batu Bara yang masih rendah. Hal ini digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM), rata Sumatera Utara. Pada Gambar 1.3 disajikan, bahwa pada tahun 2012 dimana nilai IPM Kabupaten Batu Bara masih jauh lebih rendah dibanding ratanilai IPM Kabupaten Batu Bara tercatat sebesar 72,71 dan hanya menempati peringkat dua puluh lima di Sumatera Utara. Untuk perbandingan, pada tahun yang sama IPM di Sumatera Utara adalah sebesar 75,13 (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2012).

12 76 75 74 73 72 71 72,78 70,55 73,29 70,98 73,8 71,25 74,19 71,62 74,65 72,08 75,13 72,71 70 69 68 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumatera Utara Batu Baraa Gambar 1.3. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Sumatera Utara dan Batu Bara Tahun 2007-2012 Tingginya tingkat kemiskinan serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Batu Bara diperkirakan merupakan kontribusi dari daerah pesisir. Sehingga dapat dikatakan bahwa daerah pesisir Kabupaten Batu Bara identik dengan kemiskinan, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, sanitasi yang buruk, infrastruktur yang terbatas dan kondisi buruk lainnya. Pada Tabel 1.6 berikut disampaikan informasi terkait tingkat kemiskinan (persentase penerima BLT 2011) dan tingkat pendidikan (ijazah tertinggi yang dimiliki dan tingkatt buta huruf) yang dibedakan menurut desa pesisir dan desa bukan pesisir. Berdasarkan kaca mataa kemiskinan mikro hasil PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) Tahun 2011 yang dilakukan oleh BPS, persentase rumahtangga di desa- desa pesisir Kabupaten Batu Bara yang menerima BLT yaitu rumahtangga dengan kategori sangat miskin, miskin, hampir miskin dan rentan miskin lainnya mencapai 55,10 persen jauh lebih tinggi dibanding kondisi di desa bukan pesisir

13 yang sebesar 37,89 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat desa pesisir jauh lebih rendah dibanding masyarakat desa bukan pesisir atau masyarakat Batu Bara pada umumnya. Tabel 1.6. Perbandingan tingkat kesejahteraan dan pendidikan penduduk desa pesisir dan bukan desa pesisir Batu Bara Desa Bukan desa Indikator Total pesisir pesisir [1] [2] [3] [4] Persentase Penerima BLT 2011 55,10 37,89 41,16 Tingkat Buta Huruf (%), 2010 6,66 3,30 4,16 Ijazah Tertinggi yang Dimiliki (%), 2010 Tidak/belum Tamat SD 20,16 12,41 14,38 Tamat SD 39,74 33,47 35,06 Tamat SLTP 21,10 25,58 24,44 Tamat SLTA 16,56 24,78 22,69 Tamat Perguruan Tinggi 2,44 3,77 3,43 Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara, (Data Diolah) Selanjutnya dilihat dari kemampuan membaca dan menulis, tingkat buta penduduk di desa pesisir jauh lebih tinggi dibanding penduduk di desa bukan pesisir yaitu 6,66 persen dibanding 3,30 persen. Dilihat dati tingkat pendidikan yang ditamatkan, berdasarkan data Sensus Penduduk Tahun 2010, penduduk 15 tahun keatas di desa pesisir Kabupaten Batu Bara pada umumnya hanya tamat SD yaitu mencapai 39,74 persen. Namun selain itu terdapat juga sekitar 20,16 persen penduduk dewasa di pesisir Kabupaten Batu Bara yang tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD. Kondisi tersebut tentunya sangat menghawatirkan dan wajib mendapat perhatian serius, karena hanya 40,10 persen saja yang tamat pendidikan dasar (SLTP). Demikian pula jika dibanding dengan wilayah bukan pesisir, kualitas penduduk desa pesisir juga masih tertinggal.

14 Masih terpuruknya kehidupan masyarakat pesisir tersebut salah satunya disebabkan bahwa pada masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Pemerintah daerah tidak membedakan secara khusus kawasan pesisir dengan kawasan lainnya. Sudah saatnya paradigma tersebut dirubah dengan memberikan perhatian khusus terhadap masyarakat pesisir agar mampu mengejar ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau. Salah satu upaya untuk mengejar ketertinggalan desa-desa pesisir Kabupaten Batu Bara ini adalah dengan mengembangkan desa-desa pesisir tersebut. Dalam rangka pengembangan desa-desa pesisir tersebut, perlu terlebih dahulu diketahui akar permasalahan dan potensi desa-desa pesisir. Langkah awal dalam upaya pemanfaatan wilayah pesisir secara berkelanjutan adalah melakukan kegiatan identifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat desa pesisir. Pemahaman yang menyeluruh tentang kondisi ini dapat dikernbangkan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Dengan demikian perlu dilakukan reorientasi kebijakan terhadap pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir di Kabupaten Batu Bara. Sebagai langkah awal dalam menciptakan prakondisi reorientasi kebijakan pola pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Batu Bara, maka dilakukan penelitian yang dapat mengetahui tingkat perkembangan wilayah desadesa pesisir di Kabupaten Batu Bara.

15 1.2. Perumusan Masalah Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah di wilayah pesisir oleh para stakeholder, namun ternyata belum dapat memberikan hasil yang optimal. Dengan kata lain desa-desa pesisir tersebut pembangunannya tetap termarginalkan. Berdasarkan hal tersebut rumusan permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana keragaan relatif tingkat perkembangan desa-desa pesisir dibandingkan dengan desa lainnya di Kabupaten Batu Bara? 2. Bagaimana karakteristik dari masing-masing cluster perkembangan desa? 3. Bagaimana arah pengembangan desa-desa pesisir di Kabupaten Batu Bara ke depan, berdasarkan karakteristik dari masing-masing cluster perkembangan desa tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui keragaan relatif tingkat perkembangan desa-desa pesisir dibandingkan dengan desa lainnya di Kabupaten Batu Bara; 2. Mengetahui karakteristik dari masing-masing cluster perkembangan desa; 3. Memberikan arahan strategis pengembangan desa-desa di Kabupaten Batu Bara ke depan, berdasarkan karakteristik dari masing-masing cluster perkembangan desa tersebut.

16 1.4. Manfaat Penelitian Sebagai suatu kajian analisis pengembangan wilayah, secara akademik penelitian ini kiranya dapat bermanfaat sebagai informasi awal untuk penelitian lebih lanjut tentang berbagai potensi dan arah pengembangan desa pesisir di Provinsi Sumatera Utara umumnya dan Kabupaten Batu Bara khususnya. Dengan kata lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi salah satu aspek pengembangan potensi di wilayah pesisir Kabupaten Batu Bara, yang sampai sekarang ini belum banyak diketahui dan dikaji. Pada gilirannya, penelitian ini kiranya memberikan manfaat bagi penentu kebijakan untuk mengelola dan memberdayakan potensi di wilayah pesisir Kabupaten Batu Bara khususnya.