BAB III PROBLEM LINGKUNGAN DI SUMATERA SELATAN. penjelasan mengenai keterlibatan INGO World Agroforestry Centre (ICRAF) di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

PENDAHULUAN Latar Belakang

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

Setitik Harapan dari Ajamu

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Restorasi Gambut Harus Berpihak Kepada Ajas Manfaat

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp , PENDAHULUAN

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BENNY PASARIBU, Ph.D KEBIJAKAN INDUSTRIALISASI PERKEBUNAN SAWIT BERKELANJUTAN DI INDONESIA. Ketua Pokja Pangan, Industri Pertanian dan Kehutanan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLaihan soal 10.3

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

Terms Of Reference Round Table Discussion 2 Rawa Tripa, penyangga kehidupan masyarakat Nagan Raya dan Aceh Barat Daya

POTRET GAMBUT KALIMANTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lahan Gambut Indonesia

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB III PROBLEM LINGKUNGAN DI SUMATERA SELATAN Provinsi Sumatera Selatan memiliki masalah terkait dengan lingkungannya yang disebabkan dan menyebabkan banyak masalah lain yang melanda Sumatera Selatan sendiri. Setelah penjelasan mengenai keterlibatan INGO World Agroforestry Centre (ICRAF) di Indonesia khususnya di Sumatera Selatan. Bab III akan menjabarkan masalah lingkungan apa saja yang dihadapi Sumatera Selatan, apa yang menyebabkan masalah lingkungan itu terjadi dan akibat yang ditimbulkan dari perkara lingkungan yang bermasalah. A. Hutan Sebagai Kekayaan Alam Sumatera Selatan Sumatera Selatan sering dijuluki sebagai bumi Sriwijaya yang artinya kaya akan kekayaan alam. Kekayaan alam yang dimiliki Sumatera Selatan antara lain adalah hutan dan lahan gambut. Karena kekayaan alam ini Sumatera Selatan menjadi Provinsi yang subur untuk ditanami berbagai macam tumbuhan. Mulai dari kelapa sawit, kelapa, akasia, kopi, karet dan lain sebagainya. Hutan dan lahan gambut sendiri memiliki manfaat dan fungsi yang dapat menjaga Sumatera Selatan terhindar dari bencana. Bahkan lebih dari itu, kedua kekayaan alam yang dimiliki Sumatera Selatan ini juga dapat menghindarkan bumi dari dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, 2013) Hutan amat penting untuk dijaga kelestariannya mengingat perannya yang penting bagi kehidupan manusia. Hal ini disebabkan hutan memiliki peran dalam siklus karbon global. Pertumbuhan pohon didalam hutan berfungsi sebagai sarana penting untuk menangkap dan menyimpan karbon dari 28

atmosfer kedalam vegetasi, tanah dan hasil hutan. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan karbon sementara sampai karbon ini dilepaskan lagi ke atmosfer saat tanaman mati. (Slamet, 2015) Singkatnya, Hutan merupakan tempat penyimpanan karbon dalam jangka waktu tertentu. Semakin luas hutan tersebut, semakin lebatnya hutan maka semakin banyak karbon yang terserap. Akan tetapi, saat tanaman didalam hutan mati atau saat kawasan hutan semakin menyempit maka karbon yang sebelumnya disimpan akan dilepaskan kembali ke atmosfer. Hutan sendiri memiliki hubungan yang erat permasalahan dengan perubahan iklim global. Perubahan iklim global dapat memberikan resiko dan dampak buruk bagi hutan dengan tidak menentunya cuaca dan iklim yang terjadi dapat membuat hutan mengalami perubahan hingga mengakibatkan hutan terdegradasi. Selanjutnya, hutan juga dapat memberikan kontribusi terhadap permasalahan perubahan iklim global saat hutan yang mengalami degradasi maka karbon akan dilepaskan ke atmosfer. Disisi lain hutan juga dapat menjadi solusi dari permasalahan iklim global melalui konservasi dan restorasi hutan. (Slamet, 2015) Tabel 1.2 Hubungan Perubahan Iklim Global dan Hutan yang Saling Mempengaruhi Satu Sama Lain PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Hu Memberikan Resiko dan Dampak Berkontribusi dan sebagai Solusi HUTAN Hutan berdasarkan fungsi dan peruntukannya dibedakan sebagai berikut, a.) Hutan Lindung, hutan yang keberadaannya dilindungi untuk memelihara fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan seperti mencegah bencana ekologis dan memelihara fungsi daerah aliran sungai. b.) 29

Hutan konservasi, hutan yang dicadangkan untuk keperluan pengawetan atau melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. c.) Hutan produksi, hutan yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan eksploitasi produksinya seperti hutan tanaman industri kelapa sawit yang banyak tersebar di Provinsi Sumatera Selatan. (Risnandar, 2015) Sebelumnya, banyak hutan yang belum terjamah diwilayah Sumatera Selatan. Akan tetapi setelah tahun 1997 terjadi penurunan penutupan luas lahan dikarenakan berbagai aktivitas manusia. Penurunan paling tinggi terjadi di Pulau Sumatera yang banyak terjadi karena aktivitas pembukaan lahan serupa. Aktivitas tersebut diantaranya adalah konversi lahan untuk penggunaan lain seperti pengembangan kabupaten baru, pertanian, perkebunan, pengembangan pemukiman dan prasarana wilayah. Selain itu, terdapat pula aktivitas lain seperti perambahan hutan illegal, illegal logging, serta kebakaran hutan yang menyebabkan tutupan hutan semakin berkurang dari waktu ke waktu. (Slamet, 2015) Selain hutan, Sumatera Selatan juga memiliki lahan gambut yang luas. Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya juga memiliki kekhasan dan bahkan beberapa jenis tidak ditemukan pada habitat yang lain. Lahan gambut Indonesia adalah hutan kering dataran rendah yang dekat dengan kawasan pesisir. Dibawah tanah hutan ini tersimpan jutaan ton karbon akibat akumulasi pembusukan vegetasi selama ribuan tahun. Wilayah dengan kondisi agak berawa akibat pembusukan yang tidak sempurna bisa mencapai kedalaman hingga 10 meter atau lebih selama ribuan tahun berlalu. (Wihardandi, 2013) Lahan gambut bagi Indonesia memiliki nilai yang sangat penting karena mampu menyimpan karbon 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan hujan tropis biasa atau tanah yang 30

bermineral, dan 90% diantaranya disimpan di dalam tanah. Lahan gambut bisa melepaskan karbon selama bertahun-tahun jika pepohonan di atasnya ditebang, dan mengakibatkan perubahan tatanan tanah gambut atau jika dibakar. Indonesia saat ini memiliki kawasan lahan gambut tropis terluas di dunia dengan 22 juta hektar yang tersebar di Kalimantan, Papua. Sedangkan sepertiganya berada di Sumatera. Lahan gambut Indonesia memiliki nilai penting bagi dunia, karena menyimpan setidaknya 57 miliar ton karbon, membuat kawasan ini sebagai salah satu kawasan utama penyimpan karbon dunia. Surga karbon lahan gambut Indonesia, hanya mampu ditandingi oleh hutan hujan di Amazon yang menyimpan 86 miliar ton karbon. (Wihardandi, 2013) Peran Penting Karbon Indonesia, salah satunya adalah mencegah emisi lebih lanjut agar suhu Bumi tidak naik hingga 2 derajat Celcius. Untuk mencegah kenaikan suhu ini, manusia di Bumi tidak bisa melepas emisi lebih dari 600 miliar ton karbon dioksida antara saat ini hingga 2050 mendatang. Lahan gambut Indonesia sendiri, jika lepas secara keseluruhan ke atmosfer, maka akan melepas sepertiga cadangan karbon yang ada didunia. (Wihardandi, 2013) Banyak lahan gambut yang kini telah berubah menjadi hutan tanaman industry (HTI) yang ditanami kelapa sawit dan akasia. Lahan gambut yang berubah fungsi ini berubah dengan perubahan yang mengundang bencana. Pembakaran lahan gambut masih menjadi pilihan yang banyak diambil sebelum mengolah lahan gambut menjadi lahan pertanian atau perkebunan dengan alasan biaya yang lebih murah dan waktu yang diperlukan relatif cepat terlebih dimusim kemarau. Pembakaran dilakukan secara masif oleh perusahaan-perusahaan yang bermaksud membuka lahan gambut dan menyebabkan bencana kabut asap serta kebakaran hutan gambut. Salah satu bencana kebakaran terbesar terjadi pada tahun 2013 dibulan Juni dimana api menghanguskan sekitar 140.000 hektar hanya dalam waktu sepekan. Sebagian besar titik api 31

yang ada kala itu kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit dan perkebunan akasia untuk industri kertas. Lahan gambut di Indonesia khususnya di Sumatera Selatan mengalami degradasi ke titik yang paling rendah. Pada tahun 2006 saja tercatat 40.000 titik api yang muncul di Indonesia. Maka tidak heran apabila perubahan iklim terjadi begitu dahsyat akhir-akhir ini karena hilangnya lahan gambut ikut berkontribusi terhadap permasalahan perubahan iklim global. (Wihardandi, 2013) B. Krisis Lahan yang terjadi di Sumatera Selatan Sumatera Selatan merupakan provinsi yang memiliki posisi strategis dan juga kaya akan sumber daya alam. Hal ini dibuktikan dimasa lalu, bahwa kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang besar dan berjaya dimasanya. Kini, Sumatera Selatan berubah menjadi Provinsi yang menggalakkan pembangunan dan juga terbuka terhadap adanya perubahan. Masyarakat Sumatera Selatan kini tidak lagi menjadi nelayan dan pelaut seperti nenek moyang mereka. Masrayakat banyak yang bekerja sebagai petani di kebun kelapa sawit yang banyak tersebar di Sumatera Selatan. Banyak perusahaan kelapa sawit yang berdatangan ke Sumatera Selatan dan membuka lahan kelapa sawit disini karena mempertimbangkan aspek lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan kelapa sawit. Sebelumnya, Sumatera Selatan memiliki banyak kawasan hutan. Selain itu, penduduknya juga belum banyak, karena itu pemerintah mengadakan program transmigrasi untuk meratakan jumlah penduduk dan memaksimalkan lahan yang ada di Indonesia agar menjadi lahan yang produktif. Pada tahun 1991, dilakukan kegiatan transmigrasi dari pulau Jawa ke pulau Sumatera. Salah satunya dari Jawa Timur ke Sumatera Selatan. Para transmigran ini mendapatkan lahan garapan di Sumatera Selatan seluas dua ha. Lahan garapan yang diberikan kepada para transmigran ini sebelumnya adalah hutan non produktif yang dapat diperuntukkan untuk hal lain. 32

(Walhi Sumatera Selatan, 2016) Sejak itu, masyarakat Sumatera Selatan dan para transmigran mulai banyak yang menjadi petani yang mengolah lahan tak produktif tersebut. Hutan yang dapat diperuntukkan hal lain yang diberikan kepada para transmigran untuk digarap, tidak serta merta dapat menjadi lahan produktif. Para transmigran harus berusaha untuk mengolah lahan dan mencari tanaman yang cocok untuk lahan tersebut dengan percobaan berulangkali. Memerlukan waktu bertahun-tahun untuk merubah lahan tak produktif tersebut menjadi lahan yang dapat menghasilkan komoditas. Namun saat lahan garapan mereka telah menjadi lahan poduktif karena kerja keras mereka, justru kini lahan tersebut berubah menjadi lahan sengketa. Saat ini, 600 petani di Desa Nusantara (desa para eks transmigran) berusaha mempertahankan lahan garapan mereka dari kepungan kebun sawit. Kini, banyak perusahaan yang telah mendapatkan Hak Guna Usaha (selanjutnya HGU) tepat di lahan yang telah diberikan pemerintah dahulu untuk para transmigran yang telah digarap mereka sejak tahun 1991. Hal ini menimbulkan sengketa karena tiba-tiba para transmigran diberitahu bahwa lahan yang mereka olah selama ini telah di HGU oleh perusahaan kelapa sawit. Padahal saat transmigran datang ke tanah Sriwijaya, hutan yang dijadikan lahan mereka tidak serta-merta dapat ditanami. Butuh waktu dan perjuangan hingga lahan mereka bisa menghasilkan panen yang baik. Saat lahan sudah baik karena terus diolah dengan rajin justru lahan ini berada dibawah HGU oleh perusahaan Selatan Agro Makmur Lestari. Para mantan transmigran berupaya untuk tetap menjaga lahan yang telah mereka perjuangkan sejak tahun 1991 dan melakukan mediasi bahkan hingga 15 kali. Lahan mereka sudah dibahas 13 kali di tingkat kabupaten dan tingkat pemerintah provinsi. Serta telah dibahas 2 kali di Badan Pertanahan Nasional di Jakarta. Akan tetapi sampai saat ini masyarakat masih belum mengerti 33

bagaimana bisa HGU perusahaan berada ditanah mereka, dan bagaimana kepastian selanjutnya. Hal ini semakin mengkhawatirkan saat banyak lahan disekitar desa transmigran mulai ditanami kelapa sawit sehingga sawah mereka mulai dikepung kelapa sawit. Tidak hanya sampai disitu, lahan milik para eks transmigran kini tidak mendapatkan bantuan pemerintah karena status lahan mereka yang masih berstatus sengketa. Sengketa lahan ini tidak hanya terjadi di desa Nusantara di kabupaten Ogan Komering Ilir yang dihuni mantan transmigran. Ada banyak kasus sengketa serupa yang terjadi di Sumatera Selatan sendiri. Banyaknya perusahaan yang mendadak memiliki HGU diatas lahan garapan masyarakat yang sebelumnya bertani semakin menambah panjang daftar lahan sengketa antara masyarakat dengan perusahaan. Konflik sengketa ini terjadi berkepanjangan sehingga menyulitkan petani dan juga menghambat produktivitas perusahaan sehingga dari pihak petani maupun perusahaan sama-sama merugi. Padahal petani di desa Nusantara ini seharusnya diberi gelar pahlawan pangan karena dapat mengolah lahan yang tidak produktif menjadi lahan yang subur, selain itu mereka tetap bertani meskipun lahan mereka telah dikepung kelapa sawit, mereka juga tetap bertani meskipun pemerintah tidak memberikan bantuan pupuk. Disaat banyak lahan telah berubah menjadi kebun sawit mereka tetap menanam padi. Hidup mereka jauh dari kesibukan kota, akan tetapi kehidupan mereka selalu diusik oleh pembuat kebijakan di kota dan juga orang-orang kota dengan kepetingannya di perusahaan. Selain itu, Desa Nusantara ini telah membuktikan bahwa mereka dapat hidup dengan damai dengan cara hidup berdampingan dengan mengolah lahan gambut dengan bijaksana. Disaat pemerintah sedang sibuk berdiskusi mengenai upaya untuk menjaga kelestarian lahan gambut, masyarakat desa ini telah mempraktekkan cara terbaik untuk mengolah lahan gambut seluas 34

1200 ha. (Walhi Sumatera Selatan, 2016) Masyarakat ini telah menunjukkan cara yang arif untuk hidup berdampingan dengan alam selama belasan tahun. Sayangnya, perjuangan mereka tidak mendapat apresiasi. Mereka bahkan tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah baik bantuan infrastruktur maupun bantuan teknis. Justru mereka diberi hadiah yang amat mengejutkan yakni tanah mereka telah di HGU oleh PT Selatan Agro Makmur Lestari yang HGUnya dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ogan Komering Ilir. Konflik di desa Nusantara ini merupakan potret krisis dari terancamnya kelestarian lahan dan pangan yang berlangsung di Sumatera Selatan. Pangan ada karena ketersediaan lahan, kedaulatan lahan ada karena adanya akses masyarakat. C. Krisis Lingkungan yang Terjadi di Sumatera Selatan Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari lingkungan. Manusia amat bergantung pada lingkungan baik lingkungan alam ataupun lingkungan sosial. Karena ketergantungan manusia akan lingkungan ini menimbulkan resiko yang membahayakan lingkungan mengingat kebutuhan manusia akan udara, air dan tanah tidak dapat dibatasi. Rentannya kerusakan lingkungan ini dapat mengancam kehidupan manusia karena pada dasarnya semakin baik lingkungan maka semakin sehat pula manusia yang hidup didalamnya dan sebaliknya. Karena itu, diperlukan kebijakan pengelolaan lingkungan yang kiranya dapat membendung kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Harapannya, dengan adanya undang-undang ini, dapat tercapai keselarasan, keseimbangan antara manusia dengan lingkungan dan terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan masa mendatang serta terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. Tujuan lainnya adalah 35

kelestarian fungsi lingkungan hidup dan terhindarnya kerusakan lingkungan dikemudian hari. (Undang Undang no 32 tahun 2009, 2009) Sumatera Selatan merupakan Provinsi yang memiliki kekayaan alam yang besar. Karenanya kekayaan alam tersebut dapat mencukupi kebutuhan masyarakat yang hidup didalamnya. Akan tetapi, jika pemanfaatan sumber daya alamnya tidak bijaksana maka resiko kerusakan lingkungan dan bencana alam masih tetap akan terjadi. Selain di ranah regional, ditingkat lokal yakni lingkup provinsi Sumatera Selatan memiliki Peraturan Gubernur nomor 54 tahun 2015 tentang Uraian Tugas dan Fungsi Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan. Kebijakan ini ditetapkan dengan tujuan yang kiranya sama dengan tujuan Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 yakni terjaganya lingkungan alam dan terhindarnya kerusakan lingkungan serta tersedianya sumber daya alam bagi generasi sekarang dan generasi masa akan datang. (Peraturan Gubernur no 54 tahun 2015, 2015) Kenyataannya, meskipun sudah memiliki kebijakan dan regulasi untuk mengatur pengelolaan lingkungan hidup, banyak provinsi di Indonesia yang memiliki masalah lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Salah satunya adalah provinsi Sumatera Selatan. Banyak sekali faktor yang menyebabkan kerusakan ini hingga melahirkan bencana. Diantaranya adalah alih fungsi hutan, kurang bijaksananya pengelolaan lingkungan, dan pembakaran hutan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan ini memiliki efek domino, yang kemudian dapat menyebabkan berubahnya aspek lain yang cukup merugikan seperti perubahan iklim dan pemanasan global. Indonesia memiliki dua musim, yakni musim penghujan dan musim kemarau Akan tetapi, musim ini juga dapat menandakan musim bencana alam yang umum terjadi di Indonesia. Seperti musim hujan yang berarti meningkatkan resiko bencana banjir dan musim kemarau yang 36

meningkatkan resiko bencana kekeringan dan dibeberapa wilayah meningkatkan resiko kebakaran hutan. Ini membuktikan bahwa kerusakan lingkungan memang telah terjadi. Terlebih di provinsi Sumatera Selatan. Sumatera Selatan sering kali dilanda bencana banjir dan tanah longsor dimusim penghujan. Padahal Sumatera Selatan tercatat memiliki lahan gambut yang luasnya sekitar 1.254.502,34 hektare. (Wetlands International, 2003) Fungsi lahan gambut antara lain adalah, meredam banjir dengan kemampuan lahan untuk menampung air, mencegah terjadinya kekeringan karena dapat memasok air ketika musim kemarau dan beberapa fungsi hidrologis dan ekologis lain yang begitu menguntungkan. Namun lahan gambut yang luas serta berfungsi menghindarkan dari bencana tidak cukup kuat untuk melindungi Sumatera Selatan dari bencana. Agaknya sulit dipercaya apabila provinsi yang memiliki hutan dan juga lahan gambut yang luas serta daerah serapan air yang luas pula justru hampir selalu longsor dan banjir saat musim penghujan. Lahan gambut sendiri adalah bentang lahan yang tersusun oleh tanah hasil dekomposisi tidak sempurna dari vegetasi pepohonan yang tergenang air sehingga kondisinya anaerobik. Material organik tersebut terus menumpuk dalam waktu lama sehingga membentuk lapisan-lapisan dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Tanah jenis banyak dijumpai di daerah-daerah jenuh air seperti rawa, cekungan, atau daerah pantai. Sebagian besar lahan gambut masih berupa hutan yang menjadi habitat tumbuhan dan satwa langka. Hutan gambut mempunyai kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Karbon tersimpan mulai dari permukaan hingga di dalam dalam tanah, mengingat kedalamannya bisa mencapai lebih dari 10 meter. (Fahmi, 2016) Seringkali kita dengar, banjir dan tanah longsor serta kebakaran dikota besar. Tetapi di daerah yang penuh dengan kekayaan alam seperti Sumatera Selatan cukup mencengangkan. Seharusnya provinsi yang memiliki lahan gambut yang luas lebih sejahtera dan lebih aman dari 37

bencana. Tetapi bencana rutin singgah didaerah mereka setiap musimnya. Jawabannya mungkin karena kegiatan manusia yang ada disana. Kegiatan pembukaan hutan untuk industri ekstraktif dan membuka lahan pertanian menyebabkan daerah serapan air menjadi berkurang hingga menimbulkan kerawanan bencana longsor dan banjir. Ketika lahan gambut dipergunakan untuk keperluan tersebut maka air harus dikeringkan, pepohonan alami yang tumbuh di atas lahan itu harus ditebang dan gambut harus digali karena untuk tanaman Kelapa Sawit, gambut yang tebal akan menyebabkan pohon mudah tumbang. Proses ini menyebabkan banyak karbon dilepaskan ke atmosfer dan memperburuk dampak perubahan iklim. Lebih-lebih lagi bila pembukaan lahan baru dilakukan dengan cara membakar agar bisa cepat ditanami dan biayanya relatif lebih murah. Pengeringan pada lahan gambut menyebabkan tidak dapat kembalinya kemampuan menahan air. Sekali air dikeluarkan, gambut akan kehilangan sebagian kemampuannya untuk menyimpan air. Di musim kemarau akan rawan kebakaran. Proses kebakaran hutan gambut merupakan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer dan memusnahkan keanekaragaman hayati hutan. Sebaliknya di musim hujan hutan tidak bisa menyerap air dengan baik yang menyebabkan bencana banjir. (Fahmi, 2016) Pada kondisi alami lahan gambut tidak mudah terbakar, karena sifatnya yang menyerap dan menahan air secara maksimal. Sehingga pada musim hujan dan musim kemarau, di daerah setempat, tidak terjadi perbedaan kondisi yang ekstrim. Ketika keseimbangan ekologisnya terganggu akibat pemanfaatannya yang kurang perhitungan berdampak pada perubahan iklim dan berdampak pula pada perubahan pola cuaca. (Subiksa, 2008) 38

Gambar 1.2 Peta Areal Bekas Terbakar 2015 Sumber: (Sriwijya Post, 2009) Kenyataannya, mayoritas lahan gambut di Sumatera Selatan telah berubah menjadi hutan tanaman industri (selanjutnya HTI). Sebanyak 738.137,84 hektare lahan gambut dijadikan lahan perkebunan sawit. HTI tersebar diberbagai kabupaten di Sumatera Selatan. Kawasan hutan yang ada di Sumatera Selatan terdapat 3.777.457 hektar atau 3,4% dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia. Dari luasan Hutan tersebut terdiri dari; Hutan Lindung memiliki luas 539.645 hektar, Hutan Konservasi 711.778 hektar dan Hutan Produksi 2.525.034 hektar. (Sriwijya Post, 2009) 39

Dari hasil studi citra satelit tahun 2002 dan tahun 2005, menunjukan bahwa 62,13% dari kawasan hutan atau seluas 2.344.936 ha telah menjadi kawasan yang tidak produktif (tidak berhutan lagi), dan 37,87% atau seluas 1.429.521 ha kawasan hutan yang masih memiliki tegakan/berhutan Dari informasi dan data ini, menunjukan bahwa kondisi Hutan yang ada di Sumatera Selatan sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi atau terhitung tingkat degradasinya sebesar 100.000 ha per tahun. Untuk kondisi akhir tahun 2008. Berdasarkan asumsi di atas kondisi hutan Sumsel hanya tinggal 1.129.000 ha. (Sriwijya Post, 2009) Kerusakan lahan gambut banyak terjadi karena aktivitas manusia, misalnya konversi hutan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Lahan gambut di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengalami laju kerusakan tertinggi. Kerusakan terbesar diakibatkan oleh konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pulp. (Fahmi, 2016) Banyak pihak yang tidak terlalu memikirkan bahwa terjaganya ekosistem lahan gambut amat berguna untuk menekan dampak buruk perubahan iklim. Dimana dampak buruk yang diredam oleh lahan gambut tersebut berguna tidak hanya untuk wilayah pemilik lahan gambut tetapi juga seluruh dunia. Lahan gambut yang besar dan luas dipandang sebagai lahan yang harus diolah dengan cara memusnahkan serasah yang ada diatas tanah gambut. Hal ini terjadi karena masih adanya pemikiran mengolah gambut dengan skema pemikiran pasar dan bukan skema pemikiran skema penanggulangan emisi. Singkatnya, banyak pihak yang lebih memikirkan untuk mencukupi kebutuhan jangka pendek dalam mengolah gambut dengan menanaminya dengan tumbuhan yang dibutuhkan pasar dengan mengolah gambut yang juga dapat merusak dan menganggu ekosistem ketimbang memikirkan jangka panjang mengenai mengolah gambut dan mencari alternatif untuk 40

menyesuaikan diri dengan ekosistem gambut yang ada serta memikirkan mekanisme berkelanjutan untuk tetap menjaga lahan gambut. Gambar 1.3 Peta Perkembangan Izin Usaha Perkebunan 2015 Sumber: (Wijaya, 2016) Peta diatas membuktikan, bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit dan akasia memiliki peran dalam bencana kabut asap serta kebakaran lahan yang terjadi di Sumatera Selatan. Pembukaan dan pengalihfungsian lahan gambut secara masif telah dilakukan oleh perusahaan untuk merubah lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan akasia di lahan gambut dan hutan yang masih tergolong luas. Akan tetapi, akibat yang ditimbulkan amatlah merugikan bagi lingkungan. 41