ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA YOYO ARIFARDHANI PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD)

dokumen-dokumen yang mirip
SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

E K S E K U S I (P E R D A T A)

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

hal 0 dari 11 halaman

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)

EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP

RUANG LINGKUP EKSEKUSI PERDATA TEORI DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

TINJAUAN HUKUM TENTANG KENDALA-KENDALA EKSEKUSI YANG TELAH INKRACHT (Studi Pada Pengadilan Negeri Palu) TEGUH SURIYANTO / D

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

SURAT EDARAN Nomor : 05 Tahun 1975

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan tingkah laku. Situasi yang demikian membuat kelompok itu

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP TANAH BERIKUT BANGUNAN YANG DIJAMINKAN DI BANK DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

Oleh Ariwisdha Nita Sahara NIM : E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. putusan yang saling bertentangan. Kata kunci: eksekusi, noneksekutabel

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram )

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

- 1 - P U T U S A N NOMOR : 176 / PDT / 2013 /PT - MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Pelaksaan Sita Jaminan Terhadap Benda Milik Debitur. yang berada ditangan tergugat meliputi :

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

ELIZA FITRIA

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2009 mengenai. Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. EKSEKUSI YANG TIDAK DAPAT DIJALANKAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Rahmawati Kasim 2

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JAMINAN. Oleh : C

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK. yang bersifat memaksa. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA

Kecamatan yang bersangkutan.

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PRODEO (Selayang Pandang Implementasi SEMA No. 10 Tahun 2010 Oleh : Firdaus Muhammad Arwan

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya :

BAB I PENDAHULUAN. dimenangkan dan pihak yang dikalahkan. Terdapat dua pilihan bagi pihak yang. putusan serta-merta(uitvoerbaar Bij Voorraad).

P U T U S A N No. 237 K/TUN/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

P U T U S A N Nomor : 396/Pdt/2014/PT. BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 276/PDT/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB VII PERADILAN PAJAK

PERLAWANAN TERHADAP EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN PENGOSONGAN OBJEK LELANG OLEH : H. DJAFNI DJAMAL, SH., MH. HAKIM AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

TEMUAN BEBERAPA MASALAH HUKUM ACARA DALAM PRAKTEK PERADILAN DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK)

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

P U T U S A N. Nomor : 150/PDT/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Oleh karena

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 EKSEKUSI. cet.2, ed. revisi, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 276

BAB II PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN. A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

P U T U S A N NOMOR: 58/PDT/ 2012/PTR.

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

P U T U S A N Nomor : 58 /PDT/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Tinggi, yang selanjutnya disebut TERGUGAT I / PEMBANDING

PENERAPAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI DALAM PERSIDANGAN DI PENGADILAN AGAMA Oleh : H. Sarwohadi, SH, MH (Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

Tugas Pokok dan Fungsi. Andrie Irawan, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Transkripsi:

MEMO HUKUM YOYO ARIFARDHANI PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) ICC fzr An P- M i L I L m P U S T A K A A * 'l o i T U t S l T ^ A I1 U h q q 4 > _ IUKABAvA FAKULTAS H UKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA S U R A B A Y A 1994

PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA ( UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) MEMO HUKUM DIAJUKAN SEBAGAI PENULISAN SKRIPSI PROGRAM SARJANA BIDANG ILMU H UKUM Pambimbing, Penyusun, YOYO ARIFARDHANI NIM. 039013161

TIM PENGUJI Telah diuji pada : H a r i : Jum'at Tanggal : 2 2 Ju li 1994 1. Ketua : Dr. A B D O E l Ft AS J ID, SH, LL.M. 2. Sekretaris : BASUKI REKSO W IBOW O, SH,. M 3. Anggota ; >SMET BASW EDAN, S.H. B AM BAN G SOERJG, S.H. S' \ V

KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Allah SWT. atas berkah dan rahmat-nya. sehingga dapat terse lesaikannya penyusunan memo hukum ini dengan judui : PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD). Penulisan memo hukum ini dimaksudkan guna memenuhi salah satu syarat untuk menempuh ujian mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Dengan segala kemampuan yang terbatas dari saya, namun kiranya karya tulis ini dapat menjadikan suatu paradigma baru yang bermanfaat bagi masyarakat kampus serta bangsa dan negara. Dalam penulisan memo hukum ini, izinkanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih- atas bantuan yang telah diberikan selama ini kepada : 1. Bapak Rektor Universitas Airlangga. Bapak dan para Pembantu Dekan. Bapak/Ibu Dosen serta Asisten Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Dosen yang telah membekali saya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang saya tempuh sejak menjadi mahasiswa sampai se1esai.

2. Bapak Ismet Baswedan. S.H.. sebagai pembimbi ng yang telah bersedia melonggarkan waktu di antara kesibukan beliau untuk memberikan bimbingan kepada saya sampai terselesaikannva memo hukum ini. 3. Vang tercinta ayahanda H. Slamet Riyanto. S.H.. Ibunda H j. Isnawati dan saudaraku Rina Kartika Sari. S.H., yang telah memberikan kasih sayangnya dan memberikan semangat bagi saya selama ini. 4. Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu'per satu. Semoga amal baik tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT., Amien. Mengingat terbatasnya kemampuan saya, tentu penulisan memo hukum ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, saya mengharapkan saran dan kritik positif dari pembaca. Harapan saya memo hukum ini dapat bermanfaat bagi almamater khususnva dan sebagai sumbangan pemikiran di bidang pembangunan pada umumnya. Surabaya. Juli 1994 Penyusun YOYO ARIFARDHANI

ABSTRAK Badan peradilan adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang bertugas menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dengan tugas lain yang diberikan kepadanya berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hukum Acara Perdata di pengadilan digunakan apabila ada perselisihan atau persengketaan antara para pihak di mana mereka yang berselisih menempuh jalan lembaga peradilan untuk mengakhiri perse1isihannya. Hal ini terlihat dengan adanya putusan Hakim yang dikeluarkan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pihak yang dimenangkan dalam putusan ini tentu mengharapkan agar putusan pengadilan yang memenangkannya dapat dilaksanakan. Suatu putusan untuk dapat dilaksanakan harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van gewijde). Suatu putusan Pengadilan Negeri dapat dimungkinkan adanya upaya hukum verzet banding dan kasasi yang dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan tersebut. Maka untuk dapat memperoleh kekuatan hukum yang pasti harus menunggu dalam waktu yang cukup lama karena adanya upaya hukum lain tersebut di atas. Hal ini sangat merugikan pihak yang dimenangkan karena tidak dapat segera menikmati hasil gugatannya. Kadangkadang adanya upaya hukum yang ditempuh pihak yang dikalahkan tersebut hanya untuk menghambat pelaksanaan putusan Pengadilan. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya putusan serta merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad), yaitu putusan hakim Pengadilan Negeri yang dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum verzet, banding maupun kasasi.

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i i i i A. URAIAN FAKTA DAN KASUS POSISI... 1 I. Uraian Fakt a... 1 2. Kasus Posisi... 4 B. PERMASALAHAN... 9 C. DASAR HUKUM... 9 D. PEMBAHASAN... 14 1. Beberapa Pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri Dalam Melaksanakan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad)... 14 1.1. Tinjauan Pasal 180 ayat (1) HIR Dalam Pelaksanaan Putusan Serta Merta... 14 1.2. Peranan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung Dalam Melaksanakan Putusan Serta Merta... 16 1.3. Fungsi Jaminan Dalam Pelaksanaan Putusan Serta Merta... 19 2. Beberapa Langkah yang Dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Dalam Rangka Pelaksanaan Putusan Serta Merta... 20 i i i

Ha 1aman 2.1. Pelaksanaan Eksekusi Dari Putusan Serta Merta... 20 2.2. Peringatan (aanmaning) Sebelum Pelaksanaan Putusan Pengadilan N'egeri 23 2.3. Penerapan Eksekusi Riil Dalam Pelaksanaan Putusan Serta Merta... 26 E. KESIMPULAN... 28 F. SARAN... 28 DAFTAR BACAAN LAMPIRAN

A. (JRAIAN F AKTA D A N KASUS POSISI 1. URAIAN FAKTA Badan peradilan adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang bertugas menye1enggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dengan tugas lain yang diberikan kepadanya berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Di dalam proses peradilan di Indonesia mengenai Hukum Acaranya dibagi menjadi dua bagian: 1. Untuk proses perkara pidana diatur dalam KUHAP (UU No. 8/1981) dan Undang-Undang lainnya. 2. Untuk proses perkara perdata masih menggunakan aturan produk dari kolonial, untuk daerah Jawa dan Madura menggunakan Herziene Indonesische Reglement disingkat HIR. Stbl. 1941. No. 44, sedangkan untuk daerah di luar Jawa dan Madura menggunakan Rechtsreglement Buitengewesten disingkat RBG. Stbl. 1927. No. 227. Hukum Acara Perdata di pengadilan digunakan apabila ada perselisihan atau persengketaan antara para pihak di mana mereka yang berselisih menempuh jalan lembaga peradilan untuk mengakhiri perse 1 isihannya. Hal ini terlihat dengan adanya putusan Hakim yang dikeluar- 1 M i n t p e k p u s t a k a a * "baithrsitas A lu A M O O A ' 8 U R A B Av a

2 kan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pihak yang dimenangkan dalam putusan ini tentu mengharapkan agar putusan pengadilan yang memenangkan- nya dapat d i 1aksanakan. Suatu putusan untuk dapat dilaksanakan harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van gewijde). Suatu putusan Pengadilan Negeri dapat dimungkinkan adanya upaya hukum verzet banding dan kasasi yang dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan tersebut. Maka untuk dapat memperoleh kekuatan hukum yang pasti harus menunggu dalam waktu yang cukup lama karena adanya upaya hukum lain tersebut di atas. Hal ini sangat merugikan pihak yang dimenangkan karena tidak dapat segera menikmati hasil gugatannya. Kadang- kadang adanya upaya hukum yang ditempuh pihak yang dikalahkan tersebut hanya untuk menghambat pelaksanaan putusan Pengadilan. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya putusan serta merta ( Uitvoerbaar Bij Voorraad ), yaitu putusan hakim Pengadilan Negeri yang dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum verzet, banding maupun kasas i. Syarat-syarat Putusan serta merta diatur dalam pasal 180 ayat (1) HIR atau pasal 191 ayat (1) RBG.

3 Setelah ada putusan serta merta tersebut Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan untuk melaksanakan putusan Hakim Pengadilan Negeri yang ada di dalam 1ingkungannya walaupun keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tentu saja setelah ketua Pengadilan Negeri tersebut meneliti apakah putusan serta merta yang dikeluarkan tersebut benarbenar memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR atau pasal 191 ayat (1) RBG tersebut. Walaupun putusan serta merta bertujuan memberikan perlindungan kepada pihak Penggugat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak Tergugat sehingga dapat merugikan kepentingan pihak Penggugat, namun putusan serta merta tidak lepas dari unsur positif dan negatif di dalam pelaksanaannya; - Unsur positif dari putusan serta merta adalah dalam putusan ini Penggugat dapat segera menikmati hasil gugatannya meskipun Tergugat mengajukan verzet, banding maupun kasasi. - Unsur negatif dari putusan serta merta adalah apa bila, putusan Pengadilan Negeri bertentangan dengan putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri dibatalkan, maka Pengadilan Negeri akan sukar untuk mengembalikan

4 kepada keadaan semula barang-barang yang merijadi sengketa yang telah terlanjur dieksekusi. Jadi sangat perlu untuk diperhatikan bahwa, Ketua Pengadilan Negeri haruslah hati-hati dalam mengeluarkan perintah pelaksanaan putusan serta merta, sebab akan menimbulkan kesulitan~kesuiitan jika putusan tersebut dibatalkan dalam tingkat banding atau kasasi. Oleh karena itu Ketua Pengadilan Negeri dapat saja menunda atau sama sekali tidak melaksanakan sampai putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. 2. KASUS POSISI Budiarto bertempat tinggal di Jl. Jemursari IV No. 12 Surabaya (Penggugat) adalah pemilik tanah seluas 400 M, berikut bangunan yang terletak di Desa Medokan Asri, Kelurahan Medokan Ayu, Kecamatan Rungkut, Kotamadya Surabaya sebagaimana terbukti berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 10 Tahun 1985 Desa Medokan Asri, Kelurahan Medokan Ayu, Kecamatan Rungkut, Kotamadya Surabaya dengan batas-batas sebagai berikut: - Sebelah Utara : tanah milik Pohan - Sebelah Timur : jalan Desa - Sebelah Selatan : tanah milik Rudolf

5 - Sebelah Barat : tanah milik Siahaan Yang selanjutnya disebut tanah dan bangunan sengketa (Bukti P.l). Tanah berikut bangunan milik Budiarto tersebut disewakan kepada Susanto (Tergugat) untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung tanggal 12 Januari 1990 dan berakhir tanggal 12 Januari 1992 sebagaimana Akta No. 11 tanggal 12 Januari 1990 dari Herianto Notaris Surabaya (Bukt i P.2). Setelah sewa tersebut berakhir, yakni tanggal 12 Januari 1992 dan sudah beberapa kali diperingatkan, ternyata Susanto tidak mau memperpanjang kontrak dan juga tidak mau meninggalkan rumah milik Budiarto tersebut dengan alasan bahwa Susanto telah memperbaiki rumah tersebut cukup banyak dan meminta agar uang perbaikan tersebut terlebih dahulu diganti oleh Budiarto sebagai pemilik tanah dan bangunan. Terhadap perbuatan Susanto tersebut, Budiarto merasa keberatan dan sangat dirugikan sehingga Budiarto mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya terhadap Susanto. Kerugian tersebut meliputi: - Uang sewa tiap bulan Rp. 500.000,00

6 - Kehilangan waktu/biaya Rp. 500,000,00 Menurut Penggugat gugatan tersebut telah didasar- kan atas bukti-bukti otentik yaitu: 1. Sertifikat HGB No. 10 Tahun 1985. 2. Akta No. 11 tanggal 12 Januari 1990 Herianto Notaris Surabaya. Sehingga ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR telah terpenuhi. Untuk menjamin tuntutan tersebut Penggugat mohon agar terhadap barang milik Tergugat yaitu: - Mobil TOYOTA Great COROLLA Tahun 1992 Nomor Polisi: L-668-DZ milik Tergugat dilakukan sita jaminan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon agar Pengadilan Negeri Surabaya berkenan memutuskan sebagai berikut: 1. Mengabu1kan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. 2. Menyatakan, bahwa Tergugat telah melakukan Wanprestasi. 3. Menghukum Tergugat atau siapapun yang mendapat hak dari padanya untuk menyerahkan tanah dan bangunan sengketa dalam keadaan kosong kepada Penggugat. 4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar :

7 - Uang sewa Rp. 500.000.00 setiap bulan terhitung sejak tanggal 12 Januari 1992 sampai rumah tersebut diserahkan. - Uang ganti rugi karena kehilangan waktu/biaya : R p. 5.00.000,00 5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Surabaya. 6. Menyatakan, bahwa putusan ini dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun Tergugat mengajukan Verzet, banding maupun kasasi. 7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara. Atau apabila Pengadilan Negeri berpendapat lain mohon putusan yang seadi1-adilnya. Terhadap gugatan Penggugat tersebut Pengadilan Negeri Surabaya setelah melalui proses persidangan pada tanggal 18 September 1992 di bawah daftar No. 48/Pdt.G/1992/PN Surabaya telah memberikan putusan sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. 2. Menyatakan, bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi. 3. Menghukum Tergugat atau siapapun yang mendapat hak dari padanya untuk menyerahkan tanah dan bangunan

8 sengketa dalam keadaan kosong kepada Penggugat. 4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi uang sewa sebesar Rp. 500.000,00 per bulan terhitung tanggal 12 Januari 1992 sampai dengan tanah dan bangunan tersebut diserahkan kepada Penggugat. 5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Surabaya. 6. Menyatakan, bahwa putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun Tergugat mengajukan Verzet, banding atau kasasi. 7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang sampai saat ini diperkirakan sebesar : Rp. 85.000,00 S. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya. Putusan tersebut dihadiri oleh kedua belah pihak. Oleh karena tidak puas terhadap putusan tersebut Tergugat pada tanggal 20 September 1992 mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Oleh karena dalam amar putusan Pengadilan Negeri tersebut tercantum amar : Menyatakan, bahwa putusan ini dapat dilaksanakan iebih dahulu meskipun Tergugat mengajukan verset, banding atau kasasi, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Surabaya agar putusan tersebut dilaksanakan.

9 B. PERMASALAHAN Setelah mengetahui kenyataan berdasarkan uraian fakta beserta kasus posisi yang ada, maka penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang penulis anggap penting untuk dibahas. Beberapa permasalahan itu adalah sebagai berikut : 1. Apakah dengan adanya permohonan dari Penggugat tersebut Ketua Pengadilan Negeri Eksekusi Surabaya dengan begitu saja melaksanakan putusan serta merta? 2. Langkah apa yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Surabaya dalam rangka pelaksanaan putusan serta merta? C. DASAR HUKUM Pembahasan masalah-masalah yang penulis uraikan di atas harus bertitik-tolak pada aturan hukum yang ada. Beberapa aturan yang berkaitan dengan putusan serta merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad ) beserta pelaksanaan- nya sekaligus penulis pakai sebagai dasar hukum dalam pembahasan permasalahan yang penulis uraikan di atas. Beberapa aturan hukum tersebut adalah :

10 1. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, Pasal 10 ayat (4) : Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan undang-undang. 2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, Pasal 33 ayat (3) : Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri. 3. Herziene Indonesische Reglement (HIR), pasal 180 ayat (1) atau Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), pasal 191 ayat (1) : Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan dahulu biarpun ada perlawanan atau bandingan, jika ada surat yang sah, suatu tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuatan pasti, demikian juga jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak kepunyaan. 4. Herziene Indonesische Reglement (HIR), pasal 195 ayat (1) atau Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), pasal 206 ayat (1) :

Tentang menjalankan putusan dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah atas perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut ini. Herziene Indonesische Reglement (HIR), pasal 196 atau Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), pasal 207 : Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi putusan itu dengan kemauannya sendiri maka pihak yang dimenangkan dapat memasukkan permintaan baik dengan lisan maupun dengan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 206 RBG/ayat pertama pasal 195 HIR untuk menjalankan putusan itu. Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta mem- peringatkan supaya ia memenuhi putusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua, s e 1ama-1amanya 8 {de 1apan) har i. Herziene Indonesische Reglement (HIR), pasal 197 atau Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), pasal 208 : Jika sesudah lewat waktu yang ditentukan itu belum juga dipenuhi putusan itu atau jika pihak yang dikalahkan itu walaupun telah dipanggil dengan patut

12 tidak juga menghadap maka Ketua atau pegawai yang dikuasakan itu karena jabatannya memberi perintah dengan surat supaya disita sejumlah barang yang bergerak dan jika tidak ada atau tidak cukup sejumlah barang tidak bergerak kepunyaan yang dikalahkan kalau dikira cukup akan pengganti banyaknya uang yang tersebut dalam putusan dan juga ongkos pelaksanaan putusan tersebut. 7. Pasal 1033 R.V. : Jikalau putusan hakim yang memerintahkan pengosongan suatu barang tidak bergerak, tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka Ketua akan memerintahkan dengan surat kepada seorang jurusita supaya dengan bantuannya alat kekuasaan negara, barang itu di- kosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya. 8. Surat Edaran MA Nomor 03/1971 Tanggal 17 Mei 1971 : Pengadilan tingkat pertama dalam pelaksanaan putusan serta merta harus dimintakan persetujuan ter- lebih dahulu dari Mahkamah Agung apabila putusan yang dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu itu diajukan permohonan pemeriksaan tingkat banding, kemudian diajukan permintaan persetujuan untuk pelaksanaannya, maka untuk itu Mahkamah Agung me- *- * PBRPUSTAKAAfal. "X5HITBRSITAS AIKJUAKGOA" SURABA?A

13 nyerahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk memer iksanya. 9. Surat Edaran MA Nomor 06/1975, Tanggal 1 Desember 1975 ; Bahwa sekalipun dalam pasal 180 ayat (1) HIR/pasal 191 ayat (1) RBG, diberikan suatu kewenangan diskretioner kepada Hakim yang tidak imperatif sifatnya, din\inta agar Hakim tidak menjatuhkan keputusan itu walaupun telah memenuhi syarat-syarat yang tercantum pasal 180 ayat (1) HIR/ pasai 191 ayat (1) RBG., lebih-lebih apabila ada sita jaminan yang cukup. 10. Surat Edaran MA Nomor 03/1978, Tanggal 1 April 1978 : Dalam rangka pengawasan oleh Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi terhadap putusan serta merta yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri, maka dalam waktu 2 (dua) minggu setelah diucapkan keputusan tersebut, Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus mengirimkan salinan keputusannya kepada Pengadilan Tinggi dan tembusannya kepada Mahkamah Agung.

14 D. PEMBAHASAN 1. BEBERAPA PERTIMBANGAN KETUA PENGADILAN NEGERI DALAM MELAKSANAKAN PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOQRRAAD). 1.1. Tinjauan Pasal 180 ayat (1) HIR Dalam Pelaksanaan Putusan Serta Merta. Mengulas mengenai kewenangan menjatuhkan atau menjalankan putusan serta merta, maka lebih dahulu harus melihat pasal 180 ayat (1) HIR yang berbunyl : "Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan lebih dahulu biarpun ada perlawanan atau bandingan...m.* Dengan demikian berwenang menjatuhkan putusan serta merta adalah yang Peng- adilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan pelaksanaannya adalah wewenang Pengadilan Negeri, di mana dalam pasal 180 ayat (1) HIR jelas-jelas disebutkan, Di dalam Hukum Acara Perdata Indonesia tidak ada peraturan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan keputusan serta merta. Namun oleh karena hal ini adalah termasuk keputusan hakim dalam bidang hukum perdata maka tentunya di dalam melaksanakannya juga menurut ^Wantjik Saleh K-, Hukum Acara Perdata RBG/HIR. Cet. IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h. 38.

15 ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam bagian kelima dari HIR tentang menjalankan keputusan hakim yang diatur mulai pasal 195 HIR sampai dengan pasal 224 HIR. Pertimbangan dari Ketua Pengadilan Negeri sangat penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan (eksekusi) putusan serta merta, sebab pelaksanaan putusan ini atas perintah dan dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri sendir i. Untuk menjalankan putusan serta merta, pertamatama Ketua Pengadilan Negeri akan meneliti terlebih dahulu apakah putusan tersebut benar-benar telah memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR, serta amar putusan tersebut tidak keliru dan dapat dilaksanakan. Selain merujuk kepada syarat-syarat yang ada pada pasal 180 ayat (1) HIR, di dalam melaksanakan putusan serta merta Ketua Pengadilan Negeri juga mempertimbangkan adanya syarat tambahan yaitu : Harus benar-benar mempunyai urgensi yang relevan. Sedemikian rupa men- desaknya guna memenuhi keadaan yang betul-betul dibutuhkan oleh Penggugat. Dengan suatu perkiraan sangat yang sungguh-sungguh, bahwa apabila pelaksanaan putusan ini masih harus ditunggu sampai berkekuatan hukum pasti

16 akan menimbulkan kerugiari bagi P e n g g u g a t. ^ 1.2. Peranan Pengadilan Tinggi Dan Mahkamah Agung Dalam Pelaksanaan Putusan Serta Merta. Walaupun telah ada putusan pengadilan yang memerintahkan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat saja menunda atau sama sekali tidak melaksanakan sampai putusan mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini bisa saja terjadi apabila Ketua Pengadilan Negeri melihat putusan serta merta yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, belum sepenuhnya memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR atau tidak adanya urgensi yang mendesak untuk d i 1aksanakannya putusan serta merta tersebut. Tindakan ini diambil untuk menghindari permasalah- an-permasalahan atau akibat-akibat yang mungkin timbul terhadap pelaksanaan putusan serta merta ini. Permasa1ahan-permasalahan yang timbul akibat pelaksanaan putusan serta merta adalah : 1. Apabila putusan Pengadilan Negeri sudah dilaksanakan dan ternyata kemudian putusan Pengadilan Tinggi ^Yahya Harahap M., Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia. C.V. Zahir Trading Co, Medan, 1984, h. 342.

17 membatalkan putusan Pengadilan Negeri itu. 2. Apabila putusan Pengadilan Negeri sudah dilaksanakan dan barang yang menjadi obyek sengketa sudah dirubah status hukumnya misal dijual, digadaikan dan sebagainya ternyata kemudian putusan Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri. 3. Apakah putusan Pengadilan Tinggi yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri sudah sepenuhnya benar. Suatu putusan yang dinyatakan dapat dijalankan lebih dahulu sering membawa kerugian kepada si Tergugat, karena sesudah putusan itu dilaksanakan apabila ternyata kemudian dalam tingkat banding atau kasasi dibatalkan, misalnya apabila barang yang terlanjur dijual sulit bagi Pengadilan Negeri untuk mengembalikan kepada keadaan semuia. Dalam hal ini Pengadilan harus segera bertindak untuk memulihkan kembali barang-barang yang dieksekusi tersebut seperti keadaan semuia. Kejadian demikian ini lalu menimbulkan keresahan tidak hanya dikalangan intern Pengadilan saja tetapi juga dirasa oleh masya- rakat khususnya para pencari keadilan yang membawa kesan seolah-olah Pengadilan Negeri kurang mampu dalam menye1esaikan perkara perdata.

18 Pelaksanaan pengawasan oleh Mahkamah Agung yaitu dengan jalan Pengadilan Negeri harus mengirimkan salinan keputusannya kepada Pengadilan Tinggi dan tembusannya kepada Mahkamah Agung, seperti yang dikatakan Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yaitu sebagai berikut : Dalam rangka pengawasan oleh Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi terhadap putusan serta merta yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri, maka dalam waktu 2 (dua) minggu setelah diucapkan keputusan tersebut, Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus mengirimkan salinan keputusannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan tembusannya kepada Mahkamah Agung.3 Mahkamah Agung ikut campur tangan demikian ini didasarkan atas wewenang Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan yang tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain ( pasal 10 ayat (4) UU No. 14/1970). Sebelum putusan serta merta dilaksanakan hendaknya diingat oleh Ketua Pengadilan Negeri apakah tidak ada penundaan baik dari Pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung, dalam praktek meskipun telah diputus serta merta tetapi jika ada perintah penundaan dari hakim yang ^Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Cet. VI, Mandar Maju, Bandung, 1989, h. 120

19 lebih tinggi maka Ketua Pengadilan Negeri yang mempunyai wewenang memimpin pelaksanaan putusan perkara perdata tidak berani melanggar perintah penangguhan itu, dengan demikian pelaksanaan putusan serta merta sementara tetap tertunda karena ada perintah penangguhan itu. Sehingga dapat dilihat untuk dapat menjalankan putusan serta merta maka Ketua Pengadilan Negeri harus mendapat ijin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Tinggi. Karena Ketua Pengadilan Tinggi mempunyai fungsi pengawasan dan fungsi mengatur terha- dap Pengadilan Negeri yang ada dibawahnya. Akan tetapi sekalipun ada pengawasan dan anjuran dari Pengadilan Tinggi, namun pelaksanaannya bagai- manapun tetap menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Jadi sepenuhnya terserah kepada Ketua Pengadilan Negeri. Dan bisa saja dia tidak menerima anjuran penundaan tersebut dan tetap berpegang pada ketentuan pasal 195 HIR atau pasal 206 RBG. 1.3. Fungsi Jaminan Dalam Pelaksanaan Putusan Serta Merta. Oleh karena pelaksanaan putusan serta merta ini sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang masih belum

20 mempunyai kekuatan hukum tetap, maka oleh Ketua Pengadilan Negeri dipertimbangkan pula apakah diperlukan atau tidak adanya jaminan dari pemohon eksekusi. Apabila ditetapkan bahwa pelaksanaan putusan dengan jaminan, maka nilai barang yang dibuat jaminan harus seimbang dengan nilai barang yang dieksekusi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kesulitankesulitan jika ternyata putusan Pengadilan Negeri dibatalkan oleh hakim yang lebih tinggi. Kesulitan yang dimaksud adalah untuk memulihkan kepada keadaan semuia. Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin pelaksanaan keputusan ini mempertimbangkan bahwa pelaksanaan putusan serta merta harus disertai jaminan dari pihak pemohon eksekusi dengan mencantumkan dalam surat penetapan eksekusi. Dasar hukumnya ialah SEMA No. 06 Tahun 1975, tanggal 1 Desember 1975. 2. BEBERAPA LANGKAH YANG DILAKUKAN OLEH KETUA PENG ADILAN NEGERI DALAM RANGKA PELAKSANAAN PUTUSAN SERTA MERTA 2.1. Pelaksanaan Eksekusi Dari Putusan Serta Merta. Pelaksanaan putusan serta merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) sama dengan pelaksanaan keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini termasuk dalam

21 ketentuan-ketentuan yang diatur dalam bagian kelima dari HIR : " tentang menjalankan keputusan hakim " yang diatur melalui pasal 195 HIR sampai dengan pasal 225 HIR. Di dalam pelaksanaan putusan serta merta tidak ada peraturan khusus yang mengaturnya. Menurut pasal 180 ayat (1) HIR atau pasal 191 ayat (1) RBG, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan hakim, sekalipun putusan yang bersangkutan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehingga memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak Tergugat mengajukan banding atau kasasi. Di dalam pelaksanaan putusan serta merta sebelum pelaksanaannya dijalankan, Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin pelaksanaan keputusan tersebut mempertimbangkan bahwa pelaksanaan keputusan serta merta dapat disertai jaminan dari pihak pemohon eksekusi dengan mencantumkan dalam surat penetapan eksekusi. Dasar hukumnya ialah SEMA No. 06 Tahun 1975, tanggal 1 Desember 1975. Hal ini dimaksudkan jika ternyata putusan Pengadilan Negeri nantinya dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung untuk menghindari kesulitan-

22 kesulitan dalam pemulihan keadaan semula. Menurut ketentuan pasal 33 ayat (3) UU No. 14/1970, pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan jurusita, berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri dan dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam bentuk " surat penetapan Surat penetapan ini merupakan dasar hukum atas tindakan eksekusi yang dilakukan panitera dan jurusita. Berdasarkan pasal 197 ayat (1) HIR atau pasal 208 RBG, perintah eksekusi harus dengan surat penetapan, tidak diperkenankan penetapan perintah eksekusi secara lisan. Secara formal dan material, Ketua Pengadilan Negerilah yang bertanggung jawab atas eksekusi. Pimpinan eksekusi tetap berada pada jabatan Ketua Pengadilan Negeri. Panitera dan jurusita hanya melaksanakan operasional eksekusinya. Melaksanakan keputusan hakim dalam menjalankan eksekusi sebagai tugas yang cukup berat, lebih-lebih apabila pelaksanaan keputusan tersebut bersifat pengosongan dan pengusiran seperti yang terdapat dalam kasus pos i s i. ^Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Ibid.. h. 325.

23 Di mana pihak Tergugat dipaksa untuk meninggalkan rumah milik Penggugat maka Tergugat dapat saja tidak mau meninggalkan rumah tersebut dan memberikan ancaman, baik kepada petugas eksekusi maupun kepada pihak yang akan menerima penyerahan tersebut. Oleh karena itu maka bantuan dari Kepolisian setempat mempunyai peranan yang penting dalam pelaksanaan putusan agar dapat terlaksana dengan baik dan benar. Dalam melaksanakan eksekusi diperlukan persyaratan akan kemampuan dan kecakapan serta kewibawaan yang cukup tangguh dari petugas pelaksana eksekusi. Dengan kecakapan dan kemampuan dari petugas maka pelaksanaan keputusan tetap berjalan meskipun menemui kesulitan akan dapat diatasi. 2.2. Peringatan (aanmaning) Sebelum Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri. Mengenai prosedur p e 1aksanaannya, putusan serta merta tersebut dapat dimintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat oleh pihak yang dimenangkan, baik secara tertulis maupun secara lisan. Supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada pelawanan atau banding maupun kasasi dari pihak yang dikalahkan. Hal ini didasarkan pada prinsip: M I L I K PERPUSTAKAA0 "OHIVERS1TAS STIR AB Aff A,

24 Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yakni Pengadilan Negeri yang dahulu memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dalam tingkat pertama. Azas ini diatur dalam pasal 195 ayat (1) HIR atau pasal 206 ayat (1) RBG.^ Setelah Ketua Pengadilan N*egeri menerima permohonan tersebut lalu memerintahkan untuk memanggil pihak yang dikalahkan dan selanjutnya memperingatkan supaya ia memenuhi keputusan itu se1ambat-1ambatnya dalam waktu 8 (delapan) hari sejak ia diberi peringat- a n. Peringatan atau aanmaning merupakan salah satu syarat pokok eksekusi. Tanpa peringatan terlebih dahulu, eksekusi tidak boleh dijalankan. Berfungsinya eksekusi secara efektif terhitung sejak tenggang waktu peringatan dilampaui.^ Sehubungan dengan masalah peringatan diatur dalam ketentuan pasai 196 HIR atau pasal 207 RBG. Peringatan baru dilakukan Ketua Pengadilan Negeri setelah lebih dahulu ada permintaan -'Wantjik Saleh K., o p.ci t., h. 44. 6Yahya Harahap M., Ruang Linekup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Cet. II, Gramedia, Jakarta, 1989, h. 26.

25 dari pihak penggugat (pemohon eksekusi). Sebelum ada permintaan eksekusi dari pihak Penggugat, proses peringatan tidak dapat dilakukan. Apabila Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan eksekusi dari pihak yang menang perkara (Penggugat), tindakan pelayanan hukum yang mesti dilakukannya untuk memenuhi permohonan tersebut : - Memanggil tergugat (yang dikalahkan). - Memperingatkan (menegur) supaya memenuhi atau menjalankan putusan dan - Masa peringatan itu tidak boleh lebih dari 8 (delapan) hari.^ Apabila masa peringatan telah dilampaui namun pihak Tergugat (yang kalah) tidak mau menjalankan pemenuhan isi putusan, maka berdasarkan pasal 197 ayat (1) HIR atau pasal 208 ayat (1) RBG. : "Dengan dilampauinya masa peringatan, perintah eksekusi sudah dapat dikeluarkan secara ex officio oleh Ketua Pengadilan Negeri".^ Maka sejak saat itu Ketua Pengadilan Negeri sudah dapat 1langsung" memerintahkan eksekusi tanpa menunggu permohonan ulang dari pihak yang menang perkara. ^Yahya Harahap, M., Ibid.. h. 28. ^Yahya Harahap, M., Ibid.. h. 31.

26 2.3. Penerapan Eksekusi Riil Dalam Pelaksanaan Putusan Serta Merta. Pada dasarnya ada 3 (tiga) bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai dalam hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Ada 3 (tiga) macam eksekusi yang dikenai oleh Hukum Acara Perdata : a. Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR dan seterusnya dimana seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang. b. Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR, dimana seorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan. c. Eksekusi riil yang di dalam praktek banyak dilakukan akan tetap tidak diatur dalam HIR.9 Di dalam kasus posisi ini dinyatakan dikabulkan gugatan untuk dapat diputus terlebih dahulu walaupun pihak Tergugat banding maupun kasasi. Tergugat dihukum untuk menyerahkan tanah dan bangunan sengketa dalam keadaan kosong kepada pihak Penggugat. Eksekusi riil tidak diatur secara baik dalam tetapi eksekusi ini sudah lazim dilakukan, oleh HIR, karena dalam praktek sangat diperlukan keberadaannya. Eksekusi riil diatur dalam pasal 1033 R.V., yang berbunyi : ^Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartowinata, o p.cit.. h. 123.

27 Kalau putusan hakim menghukum (memerintahkan) pengosongan barang yang tidak bergerak, dan putusan itu tidak dijaiankan (secara sukarela) oleh pihak yang kaiah (Tergugat), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat perintah kepada jurusita untuk melaksanakan pengosongan atas barang tersebut. Jadi eksekusi rill baru akan dilaksanakan apabila pihak yang kalah (Tergugat) tidak mau menjalankan atau memenuhi putusan secara sukarela. Eksekusi riil juga dapat dilaksanakan setelah dilampaui tenggang waktu per i ngatan. Apabila dalam jangka masa peringatan pihak yang kalah tidak menjalankan pemenuhan putusan dan masa peringatan sudah dilampaui, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada panitera atau jurusita untuk menjalankan eksekusi penyerahan tanah dan bangunan sengketa dalam keadaan kosong dari pihak Tergugat. Setelah panitera atau jurusita yang ditunjuk melaksanakan perintah eksekusi, maka petugas memberitahukan eksekusi kepada pihak Tergugat (yang kalah). Pada hari yang ditentukan panitera atau jurusita langsung kelapangan menjalankan eksekusi secara fisik. l^retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartowinata, Ibid.. h. 129.

28 E. KESIMPULAN Putusan serta merta adalah putusan yang belum berkekuatan hukum tetap dan dalam pe laksanaannya banyak menimbulkan kesulitan tetapi masih diperlukan. Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi jalannya pengadilan di Indonesia dan dalam pe1aksanaannya dapat melimpahkan wewenangnya kepada Ketua Pengadilan Tinggi. Ketua Pengadilan Negeri bertanggung jawab dalam memerintahkan dan memimpin pelaksanaan putusan serta merta dan juga kelak berkewajiban untuk mengembali- kan kepada keadaan semula apabila ternyata putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi ataupun Mahkamah Agung. F. SARAN Agar Ketua Pengadilan Negeri sebelum melaksanakan putusan serta merta bersikap hati-hati, cermat dan penuh pert imbangan. Dalam meminta ijin pelaksanaan putusan serta merta, hendaknya Ketua Pengadilan Negeri selain memberikan pertimbangan juga melampirkan putusan serta merta dengan disertai bukti-bukti otentik yang menjadi dasar dijatuhkannya putusan serta merta tersebut.

29 3. Agar Ketua Pengadilan Negeri meminta jaminan kepada pemohon eksekusi putusan serta merta untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan apabila ternyata putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi ataupun Mahkamah Agung.

DAFTAR BACAAN Yahya Harahap M., Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, C.V. Zahir Trading Co, Medan. 1984. -------» Ruane Linekup Permasalahan Eksekusi Bidane Perdata, Cet. II, Gramedia, Jakarta, 1989. Sudikno Mertokusumo R., Hukum Acara Perdata Liberty, Yogyakarta, 1982. Indonesia.. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartowinata, Hukum Acara Perdata Dalam Praktek dan Teori. Cet. VI, Mandar Maju, Bandung, 1989. Wantjik Saleh K., Hukum Acara Perdata RBG/HIR. Cet. IV, Gnalia Indonesia, Jakarta, 1981. Mahkamah Agung, Himounan Pranata Peradilan. Jakarta, 1979.