BAB IV KESIMPULAN Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang terjadi pada abad pertengahan, sampai saat ini masih menyisakan citra negatif yang melekat pada perempuan. Sampai kini sihir kerap kali masih dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan witch merupakan representasi perempuan jahat. Witchcraft dan witch bahkan disebut sebagai simbol dari lemahnya perempuan dan persekutuan mereka dengan setan. Karya sastra berperan dalam mengantar keyakinan ini, dari generasi ke generasi sampai pada hari ini. Berbagai cerita anak yang bertema penyihir dari masa ke masa terus mengulangi arketip witch yang jahat. Kemudian J.K. Rowling menghadirkan konsep cerita yang sangat jauh berbeda dengan pakem cerita-cerita penyihir yang telah ada sebelumnya. Novel Rowling yang berjudul Harry Potter ini mengindikasikan dua hal penting; pertama, novel ini mengubah citra negatif sihir dan witch (perempuan tukang sihir); kedua, membongkar wacana maskulinitas hegemonik. Novel ini juga sekaligus menunjukkan fenomena yang santer di masyarakat dimana ada perbenturan antara sifat alamiah laki-laki dan perempuan serta stereotip gender yang diyakini di masyarakat. Dalam novel ini, sihir tidak diperlihatkan sebagai aktifitas bersekutu dengan setan seperti yang sering disebut-sebut selama ini. Di sini, sihir adalah bakat, kecakapan, dan ilmu pengetahuan. Ada sebuah usaha untuk memperbaiki citra sihir 169
(witchcraft) di mata pembaca agar sihir ini bisa lebih diterima. Cara pendeskripsian witchcraft yang seperti ini mengembalikan witchcraft pada esensinya yang semula sebelum masyarakat Eropa abad pertengahan menghubungkannya dengan sisi buruk perempuan. Kemudia terjadi sebuah proses pemutarbalikan posisi. Witchcraft yang selama berabad-abad lamanya disebut sebagai simbol kelemahan dan kerendahan yang melekat pada perempuan diberi peran yang sangat krusial dalam novel ini. Bakat sihir diletakkan dalam posisi sebagai power yang menentukan posisi seseorang dalam relasi sosial yang dibangun dalam novel ini. Kemampuan sihir yang dimiliki menjadi penentu posisi seseorang apakah dia menjadi superior dengan kekuasaan yang besar atau menjadi inverior. Seseorang dengan kemampuan sihir yang hebat tentu saja akan mendapatkan kekuasaan, sedangkan mereka yang tidak memiliki kemampuan sihir akan menjadi pihak yang inverior. Sihir dilekatkan bukan hanya pada perempuan tapi juga pada laki-laki. Bahkan bakat sihir ini kemudian menjadi salah satu karakter yang menentukan maskulinitas. Menjadikan sihir sebagai salah satu karakter maskulinitas tidak hanya untuk memperbaiki citra witchcraft tapi juga merupakan cara untuk menaikkan posisi witch agar tidak lagi berarti rendahan. Untuk lebih menonjolkan perubahan citra dan posisi penyihir perempuan (witch), witch dan wizard diberikan posisi yang setara dalam novel ini. Ditunjukkan bahwa witch tidak selalu berarti perempuan jahat dan wizard tidak selalu berarti baik dan bijaksana. Sama halnya tidak semua manusia baik, ada witch yang baik dan ada yang jahat, begitu pula dengan wizard. Jadi, seorang penyihir menjadi baik atau buruk, bukan karena dia laki-laki atau perempuan. Dengan 170
pemosisian yang seperti ini, makna harfiah witch adalah perempuan penyihir yang jahat dan wizard laki-laki yang baik nan bijaksana menjadi tidak lagi sesuai. Kata witch dan wizard hanya menjadi sebagai pemberi keterangan bahwa seseorang adalah perempuan atau laki-laki, sama halnya dengan kata ganti she dan he. Harry Potter yang sekaligus dijadikan judul novel ini merupakan model maskulinitas hegemonik. Dari apa yang ditampilkan tokoh Harry Potter, kelihatan bahwa Rowling mengubah stereotip maskulinitas hegemonik yang umum di masyarakat Eropa khususnya. Ciri laki-laki yang menunjukkan maskulinitas hegemonik dalam novel ini adalah memiliki kemampuan sihir yang hebat, berani mengambil resiko, dan memiliki sifat heroik yang membela kebenaran. Dalam novel ini, sisi-sisi feminin seperti kepekaan emosi, pengasih, kelembutan, dependen, dan kepedulian yang selama ini dianggap musuh oleh maskulinitas hegemonik merupakan hal yang sah-sah saja untuk dimiliki oleh laki-laki. Adapun yang ditekankan di sini adalah sihir dan keberanian. Sama halnya dengan laki-laki yang wajar-wajar saja menampilkan beberapa sisi feminin, perempuan juga menampilkan beberapa sisi maskulin tanpa kehilangan femininitas mereka. Novel ini menampilkan perempuan sebagai pribadi yang rasional, cerdas, mandiri, tetapi tetap tidak kehilangan sisi feminin mereka. Artinya, di saat-saat tertentu mereka tetap menunjukkan kerapuhan, kasih sayang, dan kepekaan emosi. Hal penting yang perlu digarisbawahi di sini adalah kemandirian dan kekuatan yang ada dalam diri perempuan tercipta, karena mereka memiliki kemampuan sihir yang baik. 171
Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk eksis di ruang publik. Perempuan bebas masuk ke dalam ruang yang selama ini hanya untuk laki-laki misalnya olah raga, petualangan, dan pertarungan. Mereka dinilai bukan dari jenis kelaminnya melainkan kemampuan sihirnya. Namun demikian, tetap saja yang dijadikan simbol adalah laki-laki. Contohnya walaupun dalam petualangan dan berbagai pertarungan Hermione memiliki peran yang sangat penting, tetapi yang menjadi simbol hero hanyalah Harry seorang. Tidak ada yang menyebut Hermione. Ini berarti relasi yang terbangun antara laki-laki dan perempuan adalah saling melengkapi dimana perempuan menjadi pihak yang mendukung keberhasilan lakilaki dalam mencapai apa yang menjadi tujuan bersama. Penulis melihat bahwa konstruksi karakteristik maskulin feminin serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam novel ini diarahkan untuk upaya memperbaiki citra dan menaikkan posisi witch dan witchcraft. Bakat Sihir yang mampu mengangkat sosok Harry Potter yang dalam istilah populernya disebut culun, emosional, dan yatim piatu menjadi model maskulinitas hegemonik dapat mengubah anggapan selama ini bahwa sihir adalah simbol kelemahan perempuan. Hal ini disebabkan witchcraft tidak lagi hanya identik dengan perempuan tapi juga menjadi elemen maskulinitas laki-laki. Dengan bakat sihir yang dimiliki Harry, tidak ada lagi yang peduli apakah penampilannya menarik atau culun. Kriteria penampilan ini tidak lagi dimasukkan dalam daftar karakteristik yang menentukan apakah seseorang masuk golongan maskulin yang hegemonik atau tidak. 172
Dengan berubahnya posisi witchcraft otomatis citra witch juga akan berubah. Lalu menyangkut persoalan relasi laki-laki perempuan dalam novel ini di mana perempuan ditempatkan sebagai pihak yang membantu laki-laki dan laki-laki dijadikan sebagai simbol, masih ada hubungannya dengan argument pada paragraf di atas. Laki-laki dijadikan tetap sebagai simbol dalam rangka menonjolkan kekuasaan maskulinitas hegemonik yang dibentuk oleh sihir tadi. Perempuan yang dalam novel ini digambarkan sebagai individu yang aktif namun menjadi rekanan yang membantu laki-laki, menyiratkan bahwa witch dan wizard bukanlah dua kubu yang beroposisi biner seperti yang digambarkan selama ini. Menjadi jelas bahwa dalam novel Harry Potter sihir menjadi penentu dari banyak hal. Oleh karena sihir di sini ditempatkan pada posisi sebagai power, tentu saja kemudian ciri-ciri maskulinitas femininitas dan penentuan posisi sentral periferi menjadi sangat tergantung pada kemampuan sihir ini. Dalam novel ini kelas dibagi menjadi penyihir dan bukan penyihir. Penyihir menempati posisi sentral, sedangkan mereka yang bukan penyihir menempati posisi periferi. Kesemua ini menunjukkan usaha keras pengarang untuk mengubah citra sihir selama ini. Dengan menempatkan sihir pada posisi seperti ini, memperlihatkan betapa heroiknya tokohtokoh dalam novel memusnahkan kejahatan dengan sihir mereka telah memberikan sihir ini kesan baik di mata pembaca. Dengan berubahnya wajah sihir ini, otomatis citra witch juga berubah. Rowling menggunakan wizard (penyihir laki-laki) sebagai tokoh antagonisnya dan para witch (penyihir perempuan) bersama para wizard yang lain berjuang melawan 173
kejahatan. Cara pemosisian ini memberikan wajah baru pada witch. Tokoh tokoh perempuan yang ditunjukkan memiliki sifat rasional, kuat, mandiri, cerdas dan tetap memiliki sisi feminin ikut mendukung perubahan citra witch. Menunjukkan witch dengan sifat yang demikian, mampu mengikis anggapan bahwa witch adalah perempuan rendahan dan lemah. Sisi feminin yang pengasih, peduli, dan kepekaan emosional membatalkan definisi witch adalah perempuan yang menggunakan sihir untuk kejahatan. Efek lain dari mengangkat Harry Potter sebagai tokoh utama, sekaligus pusat dari novel ini, membuka mata pembaca mengenai hal yang masih selalu terlupakan oleh masyarakat bahwa stereotip maskulinitas hegemonik adalah konstruksi sosial historis yang dapat diubah. Relasi antara laki laki dan perempuan dalam novel makin menonjolkan posisi Harry sebagai maskulinitas hegemonik, sehingga pembaca dapat dengan jelas melihat permasalahan maskulinitas hegemonik yang terlupakan ini. Selain itu, pola relasi ini menunjukkan fenomena yang terjadi di masyarakat menyangkut masalah gender. Terjadi benturan atara teori dan konvensi sosial kultural di masyarakat kita menyangkut persoalan gender. Teori yang dibuktikan dengan hasil penelitian empirik menemukan bahwa sifat-sifat maskulin feminin yang dibakukan dalam dikotomi gender bukanlah bawaan kodrat manusia. Baik laki-laki maupun perempuan merupakan individu yang identik, sehingga seharusnya mereka mendapatkan kesetaraan. Namun, masyarakat dihegemoni oleh ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki posisi yang lebih tinggi dari perempuan. 174
Sebagai hasil dari perbenturan ini adalah seperti apa yang tergambarkan dalam novel ini. Meskipun perempuan saat ini sudah lebih aktif dan mengeksiskan diri, tetap saja mereka dibendung oleh kekuasaan laki-laki. Pembaca dari segala usia dapat mengidentifikasi novel Harry Potter, bukan karena kesetaraan gender, melainkan karena pembaca dapat melihat refleksi pengalaman sehari-hari mereka menyangkut disparitas gender. Novel ini tidak mengajak pembaca menghayal, tetapi menunjukkan kondisi nyata yang melanda lakilaki dan perempuan di keseharian kita. 175