BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV KESIMPULAN. Sebagai sistem yang memihak kepada laki-laki, patriarki telah membuat

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. atau perburuan penyihir. Di Eropa tengah, isu witch-hunt

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB 4 KESIMPULAN. Representasi maskulinitas..., Nurzakiah Ahmad, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV PENUTUP. diciptakan oleh kebudayaan sebagai sebuah imaji yang membentuk. bagaimana sosok laki-laki ideal seharusnya. Hasil konstruksi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang

BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Dinamika dominasi..., Ely Nurmaily, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Patriakat merupakan sistem pengelompokkan sosial yang menempatkan posisi

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV PENUTUP. masyarakat Eropa pada umumnya. Semangat revolusi Perancis sangat

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber:

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab laki-laki yang lebih besar, kekuatan laki-laki lebih besar

BAB I PENDAHULUAN. intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsurunsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BAB 5. Ringkasan. memaparkan ringkasan isi skripsi yang mengenai latar belakang penyebab hiperseksual

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan

Renungan untuk Hari Kartini MEMBANGUN KONSEP DIRI PEREMPUAN YANG ADIL GENDER Oleh Nenden Lilis A.

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.

Bab 2. Landasan Teori. dalam cerita, dan bagaimana penempatannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup

BAB I PENDAHULUAN. membuat karya sastra berangkat dari fenomena-fenomena sosial, politik, dan

BAB I PENDAHULUAN. genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian

12 Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam. memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, secara tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. pendapat dari seorang penutur kepada mitra tutur. mengemukakan pendapat, yang perlu diperhatikan bukan hanya kebahasaan

BAB 6 PENUTUP. 6.1 Kesimpulan. Kritik ekofeminisme..., Ketty Stefani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. cukup menggembirakan. Kini setiap saat telah lahir karya-karya baru, baik dalam

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam masalah kehidupan manusia secara langsung dan sekaligus.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

STRATEGI PEMBELAJARAN PERSPEKTIF GENDER

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS

CITRA DAN PERJUANGAN TOKOH UTAMA WANITA NOVEL DAUN PUTRI MALU KARYA MAGDALENA SITORUS DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

BAB I PENDAHULUAN. tergantung dari perubahan sosial yang melatarbelakanginya (Ratna, 2007: 81). Hal

BAB 4 KONSEP DESAIN. 4.1 Landasan Teori/Metode Teori membuat Komik. Dalam bukunya, Scott McCloud mengatakan bahwa komik adalah

BAB 1. Pendahuluan. daripada karya fiksi (Wellek & Warren, 1995:3-4). Sastra memiliki fungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. sehingga banyak perusahaan go publik yang ikut berperan dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan dalam menciptakan brand identity, position, dan image yang kuat

42, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 arah dan tujuan lembaga tersebut. Konsep bersistem ini biasa disebut dengan ideologi. Salah satu ideologi yang ser

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa

I. PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti pernah mengalami konflik di dalam hidupnya. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. khalayak melalui sebuah media cerita (Wibowo, 2006: 196). Banyak film

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasannya. Penciptaan karya sastra digunakan untuk

2015 LADY BIKERS 250CC PLUS DALAM GAMBARAN FEMININITY DAN MASCULINITY

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk

BAB 4 KESIMPULAN. 69 Universitas Indonesia. Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010

BAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. yang terkandung dalam novel tersebut sebagai berikut.

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

1Konsep dan Teori Gender

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang. memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide,

Laki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Nomer : Jenis Kelamin : Kuliah di : Usia : Asal daerah : Tempat tinggal di Semarang : PETUNJUK PENGISIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

GENDER DAN KESEHATAN MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. hal itulah yang juga tercipta dalam Antologi Cerpen Ironi-ironi Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. besar dan terus berkembang. Setiap usaha dalam pencapaian tujuan-tujuannya yang

Transkripsi:

BAB IV KESIMPULAN Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang terjadi pada abad pertengahan, sampai saat ini masih menyisakan citra negatif yang melekat pada perempuan. Sampai kini sihir kerap kali masih dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan witch merupakan representasi perempuan jahat. Witchcraft dan witch bahkan disebut sebagai simbol dari lemahnya perempuan dan persekutuan mereka dengan setan. Karya sastra berperan dalam mengantar keyakinan ini, dari generasi ke generasi sampai pada hari ini. Berbagai cerita anak yang bertema penyihir dari masa ke masa terus mengulangi arketip witch yang jahat. Kemudian J.K. Rowling menghadirkan konsep cerita yang sangat jauh berbeda dengan pakem cerita-cerita penyihir yang telah ada sebelumnya. Novel Rowling yang berjudul Harry Potter ini mengindikasikan dua hal penting; pertama, novel ini mengubah citra negatif sihir dan witch (perempuan tukang sihir); kedua, membongkar wacana maskulinitas hegemonik. Novel ini juga sekaligus menunjukkan fenomena yang santer di masyarakat dimana ada perbenturan antara sifat alamiah laki-laki dan perempuan serta stereotip gender yang diyakini di masyarakat. Dalam novel ini, sihir tidak diperlihatkan sebagai aktifitas bersekutu dengan setan seperti yang sering disebut-sebut selama ini. Di sini, sihir adalah bakat, kecakapan, dan ilmu pengetahuan. Ada sebuah usaha untuk memperbaiki citra sihir 169

(witchcraft) di mata pembaca agar sihir ini bisa lebih diterima. Cara pendeskripsian witchcraft yang seperti ini mengembalikan witchcraft pada esensinya yang semula sebelum masyarakat Eropa abad pertengahan menghubungkannya dengan sisi buruk perempuan. Kemudia terjadi sebuah proses pemutarbalikan posisi. Witchcraft yang selama berabad-abad lamanya disebut sebagai simbol kelemahan dan kerendahan yang melekat pada perempuan diberi peran yang sangat krusial dalam novel ini. Bakat sihir diletakkan dalam posisi sebagai power yang menentukan posisi seseorang dalam relasi sosial yang dibangun dalam novel ini. Kemampuan sihir yang dimiliki menjadi penentu posisi seseorang apakah dia menjadi superior dengan kekuasaan yang besar atau menjadi inverior. Seseorang dengan kemampuan sihir yang hebat tentu saja akan mendapatkan kekuasaan, sedangkan mereka yang tidak memiliki kemampuan sihir akan menjadi pihak yang inverior. Sihir dilekatkan bukan hanya pada perempuan tapi juga pada laki-laki. Bahkan bakat sihir ini kemudian menjadi salah satu karakter yang menentukan maskulinitas. Menjadikan sihir sebagai salah satu karakter maskulinitas tidak hanya untuk memperbaiki citra witchcraft tapi juga merupakan cara untuk menaikkan posisi witch agar tidak lagi berarti rendahan. Untuk lebih menonjolkan perubahan citra dan posisi penyihir perempuan (witch), witch dan wizard diberikan posisi yang setara dalam novel ini. Ditunjukkan bahwa witch tidak selalu berarti perempuan jahat dan wizard tidak selalu berarti baik dan bijaksana. Sama halnya tidak semua manusia baik, ada witch yang baik dan ada yang jahat, begitu pula dengan wizard. Jadi, seorang penyihir menjadi baik atau buruk, bukan karena dia laki-laki atau perempuan. Dengan 170

pemosisian yang seperti ini, makna harfiah witch adalah perempuan penyihir yang jahat dan wizard laki-laki yang baik nan bijaksana menjadi tidak lagi sesuai. Kata witch dan wizard hanya menjadi sebagai pemberi keterangan bahwa seseorang adalah perempuan atau laki-laki, sama halnya dengan kata ganti she dan he. Harry Potter yang sekaligus dijadikan judul novel ini merupakan model maskulinitas hegemonik. Dari apa yang ditampilkan tokoh Harry Potter, kelihatan bahwa Rowling mengubah stereotip maskulinitas hegemonik yang umum di masyarakat Eropa khususnya. Ciri laki-laki yang menunjukkan maskulinitas hegemonik dalam novel ini adalah memiliki kemampuan sihir yang hebat, berani mengambil resiko, dan memiliki sifat heroik yang membela kebenaran. Dalam novel ini, sisi-sisi feminin seperti kepekaan emosi, pengasih, kelembutan, dependen, dan kepedulian yang selama ini dianggap musuh oleh maskulinitas hegemonik merupakan hal yang sah-sah saja untuk dimiliki oleh laki-laki. Adapun yang ditekankan di sini adalah sihir dan keberanian. Sama halnya dengan laki-laki yang wajar-wajar saja menampilkan beberapa sisi feminin, perempuan juga menampilkan beberapa sisi maskulin tanpa kehilangan femininitas mereka. Novel ini menampilkan perempuan sebagai pribadi yang rasional, cerdas, mandiri, tetapi tetap tidak kehilangan sisi feminin mereka. Artinya, di saat-saat tertentu mereka tetap menunjukkan kerapuhan, kasih sayang, dan kepekaan emosi. Hal penting yang perlu digarisbawahi di sini adalah kemandirian dan kekuatan yang ada dalam diri perempuan tercipta, karena mereka memiliki kemampuan sihir yang baik. 171

Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk eksis di ruang publik. Perempuan bebas masuk ke dalam ruang yang selama ini hanya untuk laki-laki misalnya olah raga, petualangan, dan pertarungan. Mereka dinilai bukan dari jenis kelaminnya melainkan kemampuan sihirnya. Namun demikian, tetap saja yang dijadikan simbol adalah laki-laki. Contohnya walaupun dalam petualangan dan berbagai pertarungan Hermione memiliki peran yang sangat penting, tetapi yang menjadi simbol hero hanyalah Harry seorang. Tidak ada yang menyebut Hermione. Ini berarti relasi yang terbangun antara laki-laki dan perempuan adalah saling melengkapi dimana perempuan menjadi pihak yang mendukung keberhasilan lakilaki dalam mencapai apa yang menjadi tujuan bersama. Penulis melihat bahwa konstruksi karakteristik maskulin feminin serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam novel ini diarahkan untuk upaya memperbaiki citra dan menaikkan posisi witch dan witchcraft. Bakat Sihir yang mampu mengangkat sosok Harry Potter yang dalam istilah populernya disebut culun, emosional, dan yatim piatu menjadi model maskulinitas hegemonik dapat mengubah anggapan selama ini bahwa sihir adalah simbol kelemahan perempuan. Hal ini disebabkan witchcraft tidak lagi hanya identik dengan perempuan tapi juga menjadi elemen maskulinitas laki-laki. Dengan bakat sihir yang dimiliki Harry, tidak ada lagi yang peduli apakah penampilannya menarik atau culun. Kriteria penampilan ini tidak lagi dimasukkan dalam daftar karakteristik yang menentukan apakah seseorang masuk golongan maskulin yang hegemonik atau tidak. 172

Dengan berubahnya posisi witchcraft otomatis citra witch juga akan berubah. Lalu menyangkut persoalan relasi laki-laki perempuan dalam novel ini di mana perempuan ditempatkan sebagai pihak yang membantu laki-laki dan laki-laki dijadikan sebagai simbol, masih ada hubungannya dengan argument pada paragraf di atas. Laki-laki dijadikan tetap sebagai simbol dalam rangka menonjolkan kekuasaan maskulinitas hegemonik yang dibentuk oleh sihir tadi. Perempuan yang dalam novel ini digambarkan sebagai individu yang aktif namun menjadi rekanan yang membantu laki-laki, menyiratkan bahwa witch dan wizard bukanlah dua kubu yang beroposisi biner seperti yang digambarkan selama ini. Menjadi jelas bahwa dalam novel Harry Potter sihir menjadi penentu dari banyak hal. Oleh karena sihir di sini ditempatkan pada posisi sebagai power, tentu saja kemudian ciri-ciri maskulinitas femininitas dan penentuan posisi sentral periferi menjadi sangat tergantung pada kemampuan sihir ini. Dalam novel ini kelas dibagi menjadi penyihir dan bukan penyihir. Penyihir menempati posisi sentral, sedangkan mereka yang bukan penyihir menempati posisi periferi. Kesemua ini menunjukkan usaha keras pengarang untuk mengubah citra sihir selama ini. Dengan menempatkan sihir pada posisi seperti ini, memperlihatkan betapa heroiknya tokohtokoh dalam novel memusnahkan kejahatan dengan sihir mereka telah memberikan sihir ini kesan baik di mata pembaca. Dengan berubahnya wajah sihir ini, otomatis citra witch juga berubah. Rowling menggunakan wizard (penyihir laki-laki) sebagai tokoh antagonisnya dan para witch (penyihir perempuan) bersama para wizard yang lain berjuang melawan 173

kejahatan. Cara pemosisian ini memberikan wajah baru pada witch. Tokoh tokoh perempuan yang ditunjukkan memiliki sifat rasional, kuat, mandiri, cerdas dan tetap memiliki sisi feminin ikut mendukung perubahan citra witch. Menunjukkan witch dengan sifat yang demikian, mampu mengikis anggapan bahwa witch adalah perempuan rendahan dan lemah. Sisi feminin yang pengasih, peduli, dan kepekaan emosional membatalkan definisi witch adalah perempuan yang menggunakan sihir untuk kejahatan. Efek lain dari mengangkat Harry Potter sebagai tokoh utama, sekaligus pusat dari novel ini, membuka mata pembaca mengenai hal yang masih selalu terlupakan oleh masyarakat bahwa stereotip maskulinitas hegemonik adalah konstruksi sosial historis yang dapat diubah. Relasi antara laki laki dan perempuan dalam novel makin menonjolkan posisi Harry sebagai maskulinitas hegemonik, sehingga pembaca dapat dengan jelas melihat permasalahan maskulinitas hegemonik yang terlupakan ini. Selain itu, pola relasi ini menunjukkan fenomena yang terjadi di masyarakat menyangkut masalah gender. Terjadi benturan atara teori dan konvensi sosial kultural di masyarakat kita menyangkut persoalan gender. Teori yang dibuktikan dengan hasil penelitian empirik menemukan bahwa sifat-sifat maskulin feminin yang dibakukan dalam dikotomi gender bukanlah bawaan kodrat manusia. Baik laki-laki maupun perempuan merupakan individu yang identik, sehingga seharusnya mereka mendapatkan kesetaraan. Namun, masyarakat dihegemoni oleh ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki posisi yang lebih tinggi dari perempuan. 174

Sebagai hasil dari perbenturan ini adalah seperti apa yang tergambarkan dalam novel ini. Meskipun perempuan saat ini sudah lebih aktif dan mengeksiskan diri, tetap saja mereka dibendung oleh kekuasaan laki-laki. Pembaca dari segala usia dapat mengidentifikasi novel Harry Potter, bukan karena kesetaraan gender, melainkan karena pembaca dapat melihat refleksi pengalaman sehari-hari mereka menyangkut disparitas gender. Novel ini tidak mengajak pembaca menghayal, tetapi menunjukkan kondisi nyata yang melanda lakilaki dan perempuan di keseharian kita. 175