BAB II GEOLOGI REGIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

GEOLOGI DAERAH LAWELE DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LASALIMU, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

GEOLOGI DAERAH SUNGAI TONDO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN PASARWAJO, BUTON SELATAN, SULAWESI TENGGARA

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Bab II Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR

GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU KECAMATAN PASARWAJO KABUPATEN LASALIMU, BUTON SELATAN

Gambar III.7. Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara Teluk Cenderawasih.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

memiliki hal ini bagian

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

BAB III GEOLOGI UMUM

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

Bab III Geologi Daerah Penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik - Caroline

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Bab II Kerangka Geologi

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Transkripsi:

BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Pulau Buton yang terdapat di kawasan timur Indonesia terletak di batas bagian barat Laut Banda, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis, Pulau Buton terletak diantara garis lintang 04 20-05 45 S, dan garis bujur 122 00-123 30 E (Gambar 2.1). Pulau Buton terkenal dengan kekayaan aspalnya yang melimpah serta ditemukan juga banyak rembesan minyak, sehingga mengindikasikan adanya hidrokarbon yang sudah matang di daerah ini. Panjang pulau ini sekitar 155 km dan lebarnya berkisar antara 15-60 km. Secara administratif, Buton dibagi menjadi tiga provinsi yaitu Buton Selatan, Buton Tengah dan Buton Utara. Buton Selatan merupakan lembah dan bukit berarah timur-laut dan memilki topografi karst. Buton Tengah didominasi oleh deretan pegunungan berarah utara, dan sepanjang pantai barat berelief rendah dengan arah timur-laut dan tanjung-tanjung yang dikontrol struktur. Provinsi Utara didominasi oleh pegunungan pantai berbentuk tapal kuda miring ke arah selatan kedalam rawa bakau Cekungan Lambale. Arah umum pegunungan tersebut adalah baratlaut tenggara. Lokasi penelitian terletak di daerah Buton Selatan tepatnya di cekungan Bulu / Lasalimu. 6

Gambar 2.1. Lokasi penelitian. 2.2 Fisiografi Regional Fisiografi Pulau Buton menjadi tiga zona (Davidson, 1991), yaitu : 1. Zona Selatan 2. Zona Tengah, dan 7

3. Zona Utara Zona Selatan terdiri dari lembah dan punggungan berarah timur laut, kemudian ditandai dengan berkembangnya hamparan daerah koral dan memperlihatkan topografi karst. Zona Tengah didominasi oleh wilayah yang luas, barisan pegunungan yang berarah utara, dan di daerah sepanjang pesisir pantai barat memperlihatkan daerah dengan relief rendah dan dikontrol oleh struktur berupa semenanjung. Zona Utara didominasi oleh lingkaran pegunungan berbentuk tapal kuda yang drainasenya mengalir ke arah selatan yaitu menuju rawa bakau pada Cekungan Lambele (Gambar 2.2). Gambar 2.2. Pembagian zona fisiografi P. Buton (Davidson, 1991). 8

Daerah penelitian masuk kedalam Zona Buton Selatan dan berada pada cekungan Bulu/Lasalimu. Topografi yang berbukit-bukit dan munculnya Pegunungan Kapantoreh dengan litologi ofiolit pada Zona Buton Selatan mengindikasikan adanya proses kolisi yang terjadi serta adanya kemungkinan pembentukan pola struktur sesar anjak di daerah ini. 2.3 Stratigrafi Regional Stratigrafi regional pulau Buton menurut Davidson (1991) dibagi menjadi empat fase peristiwa tektonik/sedimentologi yaitu sedimentasi Pre-Rift, sedimentasi Rift-Drift, sedimentasi Syn- and Post-Orogenic, dan sedimentasi Recent Orogenic (Gambar 2.3). Gambar 2.3. Kolom stratigrafi regional (modifikasi dari Davidson (1991)). 9

2.3.1 Sedimentasi Pre-Rift Buton. Sedimentasi Pre-Rift (Davidson, 1991) mencakup batuan metamorfik Doole berumur awal Trias, Formasi Winto berumur Trias Tengah, dan Formasi Ogena berumur Jura Akhir (?). 2.3.1.1 Formasi Doole Stratigrafi Buton dimulai dari batuan paling tua dari Formasi Doole yang terdiri dari batupasir, batulanau, batusabak dan filit yang berasal dari erosi batuan granit dan metamorf (Tanjung dkk., 2007). Formasi Winto berumur Trias berada diatas Formasi Doole yang terdiri dari sedimen klastik, terutama serpih. Diatas Formasi Winto diendapkan Formasi Ogena berumur Jura Akhir yang terdiri dari endapan serpih dan karbonat laut dalam. Serpih dari Formasi Winto dan Ogena mengandung banyak material organik, yang dapat dijadikan sebagai sumber hidrokarbon. 2.3.1.2 Formasi Winto Formasi Winto terdiri dari batulempung, serpih, batupasir litik, konglomerat, dan batugamping mikrit kristalin berukuran halus. Umur dari Formasi ini diperkirakan mulai dari Trias Tengah Trias Akhir (Tanjung dkk., 2007). 2.3.1.3 Formasi Ogena Secara stratigrafi batuan Formasi Winto ditutupi oleh Formasi Ogena. Kontaknya diperkirakan selaras pada sumur Sampolakosa-1S (Davidson, 1991). Litologinya terdiri dari batugamping kalsilutit berlapis baik dan interkalasi serpih tipis. Formasi Ogena berumur Jura Awal dan merupakan endapan laut dalam. 10

2.3.2 Sedimentasi Rift-Drift Sedimentasi Rift-Drift (Davidson, 1991) mencakup Formasi Rumu berumur Jura Akhir, Formasi Tobelo berumur Kapur hingga Oligosen, dan batugamping alas Formasi Tondo berumur Miosen. Karbonat laut dalam mendominasi sikuen ini. Formasi Tobelo yang berumur Kapur atas terdiri dari batugamping kalsilutit laut dalam dan rijang merah yang kadang hadir sebagai sisipan maupun nodul.. 2.3.2.1 Formasi Rumu Di Buton Selatan, Formasi Rumu diinterpretasikan mengendap tidak selaras diatas Formasi Ogena (Tanjung dkk., 2007). Formasi ini terdiri dari tiga litologi yang berbeda, yaitu kalsilutit berwarna merah muda yang mengandung rijang, batulempung abu-abu pucat yang mengandung belemnites dan skeletal wackestones. Hal ini menunjukkan bahwa Formasi Rumu diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Di Buton Utara, Formasi Rumu tidak dijumpai, kemungkinannya penyebaran Formasi ini terbatas atau merupakan fasies yang ekivalen dengan suksesi dari Formasi Ogena. 2.3.2.2 Formasi Tobelo Formasi termuda pada sekuen sedimen Pra-Neogen ialah Formasi Tobelo. Umur batuannya diperkirakan dari Kapur Bawah sampai Oligosen (Davidson, 1991). Litologinya berupa batugamping masif atau berlapis dengan lensa-lensa atau nodul rijang. Batugampingnya mikritik, terekristalisasi, sangat banyak uraturat kalsit dan stilolit. Conto batuan yang diambil untuk analisis paleontologi tidak mengandung fauna, kemungkinan akibat telah terjadinya rekristalisasi. Kemungkinan Formasi Tobelo diendapkan pada lingkungan Neritik Batial (Davidson, 1991). 11

2.3.2.3 Anggota Batugamping Formasi Tondo Anggota batugamping dari Formasi Tondo terdiri dari batugamping masif dan batugamping mikrit yang diendapkan pada lingkungan neritik luar (Tanjung dkk., 2007). Anggota batugamping dari Formasi Tondo ini sangat jarang ditemukan pada daerah Buton Selatan. 2.3.3 Sedimentasi Syn dan Post Orogenik Sedimen Syn-Orogenic dan Post-Orogenic terjadi pada Formasi Miosen Tondo dan Formasi Pliosen Sampolakosa. Klastik Tondo berasal dari erosi lapisan Pra-Miosen selama tumbukan Buton dan Muna/Sulawesi Tenggara yang terjadi pada Miosen Awal-Tengah. Fasies klastik kasar diinterpretasikan sebagai turbidit distal, dan diatasnya diendapkan fasies klastik halus secara selaras. Litologi yang dominan adalah konglomerat, batupasir, batulanau, batulempung, dan napal. 2.3.3.1 Formasi Tondo Kelompok Tondo dapat dibagi menjadi dua fasies dominan (Tanjung dkk., 2007), yaitu fasies klastik kasar dan fasies klastik halus. Fasies klastik kasar Formasi Tondo diendapkan tidak selaras di atas Anggota Batugamping Formasi Tondo (Tanjung dkk., 2007). Fasies klastik kasar ini terdiri dari konglomerat dan batupasir litik. Batugamping dan rijang banyak ditemukan sebagai fragmen pada konglomerat maupun batupasir litik. Fasies klastik kasar Formasi Tondo terdiri dari konglomerat dan batupasir litik berbutir medium sampai kasar. Fasies ini di interpretasi sebagai himpunan kipas turbidit laut dalam yang fragmennya berasal dari erosi batuan yang lebih tua yaitu sedimen Pra-Neogen dan batuan ofiolit. Di Buton Selatan, sekuen tersebut diperkirakan memiliki kisaran umur dari Miosen Awal (N3/N4) sampai awal Miosen Akhir (N15/N16) (Davidson, 1991). Fasies klastik halus Formasi Tondo di interpretasi sebagai endapan turbidit distal. Litologi dominannya berupa batulempung, batulanau dan batupasir. Semua sedimen ini berlaminasi tipis dan mengandung lapisan tipis karbonan serta hancuran tumbuhan. Batupasirnya berbutir halus dan tersemen baik dengan kalsit ataupun dolomit. Foraminifera 12

planktonik sangat banyak ditemukan dan menunjukkan suatu pendalaman gradual selama pengendapan di neritik luar sampai batial atas pada Miosen Akhir (Davidson, 1991). 2.3.3.2 Formasi Sampolakosa Formasi Sampolakosa terdiri dari napal dan batugamping kalkarenit. Formasi ini memiliki kisaran umur dari Miosen Akhir sampai Pliosen Akhir (Tanjung dkk., 2007). Litologi dari formasi ini terdiri dari napal, batugamping kalkarenit, dan batugamping terumbu. Kontak dengan Formasi Tondo berupa ketidakselarasan (Tanjung dkk., 2007). Napal dari formasi ini diinterpretasikan terendapkan pada lingkungan laut dalam, namun lapisan kalkarenit memperlihatkan lingkungan pengendapan laut dangkal (Tanjung dkk., 2007). 2.3.4 Sedimentasi Recent Orogenic 2.3.4.1 Formasi Wapulaka Formasi Wapulaka berumur Pliosen Akhir-Pleistosen (Tanjung dkk., 2007) dan terdiri dari batugamping bioklastik yang terkarstifikasi intensif, tersementasi buruk, dan sering membentuk teras-teras. Formasi ini diendapkan pada lingkungan neritik dalam (Tanjung dkk., 2007). 2.3.5 Ofiolit Singkapan terbesar batuan ofiolit ini terdapat di perbukitan Kapantoreh Buton Selatan. Batuannya terutama berupa serpentinit, gabro dan dolerit. Dan keberadaannya diatas sekuen Pra-Neogen diinterpretasi akibat proses tektonik yang terjadi pada saat terjadi kolisi. Batuan ofiolit yang dianalisa menggunakan Radiometri diperkirakan memiliki rentang umur 7.88 jtl. sampai 2.27 jtl. (Davidson, 1991). 2.4 Tektonik Regional Buton dianggap sebagai suatu pecahan dari benua Australia-New Guinea sama halnya dengan busur kepulauan Banda lainnya (Gambar 2.4). Anggapan ini diperoleh dari adanya kesamaan pada kandungan fosil yang berumur Mesozoik, 13

stratigrafi sebelum terjadi pemisahan, dan waktu pemisahan dengan busur kepulauan Banda lainnya. Gambar 2.4 Busur Kepulauan Banda yang merupakan fragmen dari Australia (Daly dkk., 1987). Sejarah tektonik dan stratigrafi dari kebanyakan pulau di busur Banda dicirikan oleh beberapa kejadian yang sama. Ini termasuk peristiwa pre-rift dengan pengendapan sedimen kontinen pada half graben, peristiwa rifting yang dicirikan oleh uplift, erosi, dan vulkanisme yang terlokalisir, peristiwa drifting yang dicirikan oleh penurunan dan pengendapan sedimen laut, dan peristiwa tumbukan Neogen. Pada awalnya Buton dipercaya terdiri dari 2 buah lempeng mikro-kontinen yang terpisah. Lempeng pertama mencakup bagian timur Pulau Buton dan Pulau 14

Tukang Besi dan lempeng kedua mencakup bagian barat Pulau Buton dan Pulau Muna (Hamilton, 1979 op.cit Davidson, 1991). Namun dengan data geologi dan geofisika terbaru, dipercaya daerah Buton terdiri dari 3 buah lempeng mikrokontinen yang terdiri dari Pulau Buton, Muna/SE Sulawesi, dan Tukang Besi, yang terlibat dalam suatu tumbukan ganda. Sejarah tektonik dan stratigrafi di Pulau Buton kurang lebih sama dengan busur kepulauan Banda lainnya. Menurut Davidson (1991), Pulau Buton dipengaruhi oleh 4 peristiwa tektonik (Gambar 2.3), yaitu: 1. Masa pre-rift pada Permian sampai Akhir Trias ketika Pulau Buton masih menjadi bagian dari Australia 2. Masa rift-drift ketika Pulau Buton mulai memisahkan diri dari Australia dan menuju timurlaut pada Trias Akhir sampai Oligosen. 3. Masa deformasi. pembentukan cekungan dan pengisian cekungan (synpost orogenic) pada Miosen Awal sampai Pliosen yang diawali dengan tumbukan Pulau Buton dengan Pulau Muna (Sulawesi Tenggara) 4. Masa deformasi yang lebih muda (recent orogenic) pada Pliosen sampai sekarang yang dimulai dengan Tumbukan Pulau Buton dengan Pulau Tukangbesi. Efek tumbukan Pulau Buton Muna/Sulawesi Tenggara terekam pertama kali di selatan Buton pada Miosen Awal (N3) dimana sikuen sesar anjakan dan lipatan terbentuk. Klastik Syn-Orogenic diendapkan pada cekungan Neogen sebagai akibat dari sesar anjakan berarah timur dan erosi dari pengangkatan lapisan yang berumur Trias hingga Oligosen. Subduksi, kompresi, dan deformasi berlanjut hingga Miosen Tengah (N11) di bagian selatan. Hal ini mengakibatkan pengangkatan, erosi klastik Syn-Orogenic Miosen Awal, dan pembentukan ketidakselarasan regional. Tumbukan Buton-Muna/Sulawesi Tenggara tidak mempengaruhi Buton utara hingga Miosen Tengah (Davidson, 1991). 15

Gambar 2.3. Model rekonstruksi Tektonik Lempeng di Pulau Buton (Nolan, 1989 op.cit. Davidson, 1991). Kompresi regional maksimum, sesar anjakan, dan pengangkatan di Buton terjadi pada Miosen Tengah. Kompresi dari tumbukan Buton-Muna/Sulawesi Tenggara berlanjut hingga Miosen Akhir tetapi sudah tidak intensif. Kompresi tersebut mengakibatkan pengaktifan kembali sesar minor pada sesar anjakan yang curam dan pengendapan klastik berbutir sedang di cekungan Neogen. Perubahan arah struktur dan deformasi yang signifikan terjadi sekitar 5 jtl. Perubahan ini menghubungkan penghambatan zona subduksi awal, akresi Buton ke Muna/Sulawesi Tenggara, dan pergeseran zona subduksi ke arah timur antara Pulau Buton dan Tukangbesi. Efek awal dari tumbukan mikrokontinen Buton- Tukangbesi terekam pada umur Pliosen Akhir. Tumbukan oblique dari dua mikrokontinen mengakibatkan pergerakan strike-slip dan dip-slip pada sesar yang curam ditandai dengan adanya pengangkatan dan penunjaman yang terlokalisir 16

(Davidson, 1991). Kompresi oblique dan asosiasinya dengan strike-slip tetap berlanjut hingga sekarang. 2.4.1 Buton Selatan (Cekungan Bulu/Lasalimu) Model cekungan berupa satu seri linier, cekungan-cekungan sedimen yang berkembang antara puncak sesar batuan Pra-Neogen selama tumbukan pulaupulau Buton dan Muna Miosen Awal - Akhir (Gambar 2.4). Erosi pada puncak sesar naik mengakibatkan pengisian cekungan-cekungan terutama oleh detritus klastik. Umur batuan yang mengisi cekungan-cekungan tersebut dimulai dari Miosen Awal Pliosen Akhir (Davidson, 1991). Di Buton Selatan, cekungan-cekungan Neogen linier memiliki arah timurlaut baratdaya dan dibatasi sisi-sisi baratlaut dan tenggaranya oleh batuan yang lebih tua. Dua buah cekungan Neogen yang besar terdapat di Buton Selatan, yaitu Cekungan Selat Buton yang terletak jauh di pantai barat Buton memanjang di bawah selat sempit yang memisahkan pulau-pulau Buton dan Muna (Gambar 2.4). Dan yang kedua ialah Cekungan Bulu/Lasalimu di Buton Tenggara. 17

Gambar 2.4. Penyebaran Cekungan di Pulau Buton (modifikasi dari Davidson, 1991). 2.4.2 Buton Utara (Cekungan Lambale) Sepanjang sisi barat Pulau Buton merupakan jalur linier perbukitan memanjang dari bagian tengah sampai utara pulau. Perbukitan ini terdiri dari batuan karbonat dan ofiolit Pra-Neogen serta sekuen Neogen yang tipis diatasnya. Ke arah ujung utara pulau perbukitan ini membelok ke arah timur dan membentuk Pegunungan Tobelo. Pada pegunungan Tobelo terdapat beberapa puncak tertinggi di pulau (1.140 m) dan tempat tersingkapnya batuan Pra-Neogen yang terdiri dari Formasi Winto, Ogena dan Tobelo. Sedangkan di arah timur, pegunungan Tobelo membelok ke arah selatan ke arah Tanjung Ereke. Disini, pegunungan tersebut disusun terutama oleh batugamping Tondo. Akan tetapi di pantai timur, ada 18

sebuah bukit berketinggian lebih dari 815 m terdiri dari Kelompok Metamorfik Doole. Pegunungan yang dibahas diatas membentuk rantai menerus dengan cekungan tertutup berbentuk tapal kuda (Cekungan Lambale) di bagian tengah daerah tersebut. Pola aliran sungai saat ini mengalir kedalam cekungan ini. 19