BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim dunia perlahan-lahan mengalami perubahan. Perubahan iklim disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti ekstraksi bahan bakar fosil skala besar (batubara, minyak bumi dan gas alam), perubahan pemanfaatan lahan (pembukaan lahan untuk penebangan kayu, peternakan dan pertanian) serta konsumerisme. Gaya hidup manusia modern pun sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Perubahan iklim secara perlahan berdampak kepada kehidupan makhluk hidup. Meningkatnya bencana hidrometeologi pun adalah salah satu dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim. Frekuensi bencana terkait iklim dan cuaca di Indonesia terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama tahun 2002 2012, sebanyak 92,1 persen bencana di Indonesia disebabkan faktor hidrometeorologi. Puncaknya pada tahun 2013, persentase tersebut meningkat menjadi 97 persen. Perubahan iklim akan memicu meningkatnya kejadian bencana meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung, hingga gelombang pasang. Bencana longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi hampir setiap tahunnya di Indonesia. Proses dinamika lempeng yang cukup intensif terjadi Indonesia telah membentuk relief permukaannya khas dan bervariasi dengan lereng-lereng yang curam seakan menyiratkan potensi longsor yang tinggi (Sadisun, 2005). Faktor penyebab longsor selain disebabkan oleh faktor alam, tetapi disebabkan juga oleh faktor manusia. Sutikno (1994) menyebutkan bahwa longsor dapat terjadi jika intensitas curah hujan tinggi, kondisi lereng yang miring hingga terjal, pelapukan tebal, batuan dan struktur geologi bervariasi dan penggunaan lahan yang kurang sesuai dengan karakteristik lainnya.
Umumnya wilayah yang sering terjadi longsor ditempati oleh penduduk yang tidak sedikit, disebabkan lahannya yang subur, sehingga tidak mengherankan jika pada kejadian longsor kerugian yang ditimbulkan memiliki jumlah yang cukup besar baik harta maupun nyawa. Berdasarkan data kejadian bencana longsor dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), dari tahun 2000 sampai tahun 2011 telah terjadi 1.287 kejadian longsor mencakup seluruh wilayah di Indonesia dan menyebabkan kerugian berupa korban jiwa sebanyak 1.421 orang dan kerusakan rumah sebanyak 5.966 unit. Upaya penanganan bencana diperlukan untuk mengurangi risiko kerugian yang akan terjadi, terutama bila mengingat bahwa kejadian longsor pada umumnya akan menimbulkan kerugian material dan korban yang tidak sedikit. Terdapat tiga tahapan utama dalam manajemen kebecanaan yaitu prabencana (mitigasi), tanggap bencana dan pascabencana. Mitigasi dapat dikatakan sebagai bentuk pengambilan tindakan untuk mengurangi pengaruh dari suatu bahaya sebelum bahaya tersebut terjadi. Pelaksanaan mitigasi nantinya akan berpengaruh terhadap risiko atau kerugian yang akan ditimbulkan dari suatu bencana. Salah satu faktor penting yang perlu dianalisis dalam upaya mitigasi bencana yaitu penilaian tingkat kerentanan dan kapasitas masyarakat terhadap bencana. Kerentanan yang tinggi akan mengakibatkan tingkat risiko yang tinggi, namun sebaliknya kapasitas yang tinggi akan mengurangi tingkat risiko yang akan terjadi. Hal tersebut berarti bahwa tingkat kerentanan dan kapasitas dalam menghadapi bencana akan berdampak pada risiko suatu bencana sehingga penilaian terhadap kerentanan dan kapasitas terhadap bencana menjadi aspek penting dalam pengurangan risko bencana. 1.2 Rumusan Masalah Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah cukup berpotensi terjadi bencana tanah longsor. Hal tersebut disebabkan oleh topografi wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat tersebar di sepuluh kabupaten/kota
yaitu Sukabumi, Bandung, Bogor, Cianjur, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Purwakarta. Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang berpotensi untuk terjadi tanah longsor. Hal itu tidak terlepas dari letak geografis Kabupaten Bogor yang sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan serta memiliki curah hujan tinggi sehingga mengindikasikan sebagai daerah rawan bencana terutama tanah longsor, puting beliung dan banjir. Daerah rawan longsor yang terdapat di Kabupaten Bogor antara lain Kecamatan Cileungsi, Cijeruk, Pamijahan, Tenjolaya, Cisarua, Cariu, Sukamakmur dan Jasinga. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor telah melakukan pemetaan terhadap daerah-daerah yang rawan akan bencana longsor. Secara spasial, daerah-daerah rawan bencana longsor di Kabupaten Bogor cenderung mengelompok di dua bagian, seperti yang tampak pada Gambar 1.1. Bagian pertama berada di sisi barat kabupaten meliputi Kecamatan Jasinga dan sekitarnya serta bagian kedua berada di sisi sebelah timur kabupaten yang meliputi Kecamatan Sukamakmur, Babakan Madang, Citeureup, Jonggol dan Klapanunggal. Gambar 1.1 Peta Rawan Bencana Longsor Kabupaten Bogor
Kejadian bencana longsor di Kabupaten Bogor hampir rutin terjadi di beberapa daerah, dalam skala besar maupun kecil. Daerah rawan longsor di sisi timur Kabupaten Bogor cukup sering terlanda bencana, sesuai dengan hasil zonasi BPBD kabupaten. Terakhir, pada tahun 2014 bencana longsor terjadi di Kecamatan Cibadak, Sukawangi dan Cijayanti. Sekitar 102 rumah rusak berat disebabkan oleh bencana longsor tersebut. Penilaian tingkat kerentanan dan kapasitas diperlukan untuk mengurangi risiko dan merencanakan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas masyarakat yang berisiko terhadap ancaman bencana. Penilaian tingkat kerentanan dapat dilakukan dengan menggunakan Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE). SMCE merupakan suatu teknik pengambilan keputusan dengan berbagai kriteria, berdasarkan tujuan tertentu. Penilaian kerentanan pada penelitian ini akan dianalisis secara keruangan untuk mengetahui distribusi daerah-daerah yang termasuk kerentanan tingkat tinggi, sedang dan rendah melalui berbagai skenario. Tabel 1.1 menyajikan kejadian bencana di lokasi kajian. Tabel 1.1 Kejadian Bencana di Daerah Kajian No Nama Desa Jenis Bencana Waktu Kejadian Kerugian Rumah Berat Ringan 1 Sukawangi 2 Pabuaran 3 Sukamakmur Longsor 2013 6 Longsor 2014 6 Longsor 2013 Longsor 2014 4 Beliung 2015 149 Tanah 2013 Tanah 2014 Longsor 2015 2 Beliung 2015 Banjir 2015 Bersambung...
Lanjutan Tabel 1.1 No Nama Desa Jenis Bencana Waktu Kejadian Berat Kerugian Rumah Ringan Tanah 2013 3 Sukamakmur Tanah 2014 Longsor 2015 2 Beliung 2015 Banjir 2015 4 Cibadak Tanah 2010 Tanah 2014 84 Meliputi 2 5 Karangtengah Rukun Tetangga Longsor 2007 (RT) Longsor 2006 6 Bojongkoneng Longsor 2007 3 Longsor 2013 10 7 Sumurbatu Longsor 2011 5 Banjir 2013 3 Longsor 2014 12 8 Cijayanti Banjir 2015 40 rutin ketika Kekeringan kemarau 9 Tajur Beliung 2004 40 rutin ketika Longsor penghujan Longsor 2002 51 20 10 Hambalang Beliung 2013 15 7 Kebakaran 2015 1 11 Leuwikaret Tanah 2015 3 12 Cibodas Tanah 2014 13 Sukajaya Longsor 2012 Kebakaran 2014 3 Sumber : Hasil Wawancara, 2015
Kerentanan merupakan suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat meningkatkan kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak dari bahaya (ISDR, 2004). Van Westen dkk (2009) mengelompokkan kerentanan kedalam empat kategori, yaitu kerentanan fisik, kerentanan ekonomi, kerentanan sosial dan kerentanan lingkungan. Tingkat risiko bencana terkait dengan kerentanan yang ada di kawasan terdampak bencana. Kerentanan suatu kawasan akan semakin tinggi apabila terdapat banyak elemen risiko di dalamnya. Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan ancaman dan potensi kerugian akibat bencana secara terstruktur, terencana dan terpadu (UU No 24 tahun 2007). Kapasitas yang tinggi menunjukan tingkat kemampuan yang besar dalam menghadapi bencana. Masyarakat dan pemerintah daerah yang sama-sama membangun tingkat kapasitas terhadap bencana akan terhindar dari risiko yang besar. Semakin tinggi kapasitas terhadap bencana akan mengurangi tingkat risiko bencana. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat kerentanan di sebagian daerah rawan bencana longsor di Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana tingkat kapasitas di sebagian daerah rawan bencana longsor di Kabupaten Bogor? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan diawal maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul PENILAIAN TINGKAT KERENTANAN MENGGUNAKAN SPATIAL MULTI CRITERIA EVALUATION DI SEBAGIAN DAERAH RAWAN LONGSOR, KABUPATEN BOGOR
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui tingkat kerentanan terhadap bahaya longsor di daerah penelitian. 2. Mengetahui tingkat kapasitas terhadap bahaya longsor di daerah penelitian. 1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan, khususnya bagi ilmu geografi terkait kerentanan terhadap bencana longsor dan dapat menjadi referensi dalam kerentanan dan kapasitas bencana. b. Manfaat bagi Pemerintah Kabupaten Bogor Penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor selaku pengambil keputusan khususnya dalam penanggulangan bencana longsor. Hasil akhir dari penelitian ini terkait tingkat kerentanan terhadap bahaya longsor selanjutnya dilakukan pemetaan guna mengetahui tingkat kerentanan dan kapasitas pada masing-masing wilayah yang rawan bencana. Hasil penelitian dapat digunakan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dapat melakukan berbagai upaya untuk mengurangi risiko bencana. c. Manfaat bagi masyarakat lokal Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang suatu bencana, khususnya bahaya longsor sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan guna antisipasi terjadinya bencana. Masyarakat lokal dapat memahami kondisi kerentanan dan kapasitas mereka terhadap bencana dengan melihat peta kerentanan yang dibuat. Kerjasama yang baik sangat diperlukan antara masyarakat lokal dan pemerintah setempat sehingga akan memberikan pengaruh positif dengan minimnya kerugian yang ditimbulkan dari suatu bencana.