BAB II DASAR TEORI Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN. Tabel V.1 Batasan Kadar Zona Endapan Nikel Laterit. % berat Ni % berat Fe % berat Mg. Max Min Max Min Max Min

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN KOMPOSIT ZONA, ANALISIS STATISTIK DAN PENYAJIAN DATA HASIL OLAHAN Konstruksi Zona Endapan dan Optimasi Zona

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

Bab IV Pengolahan dan Analisis Data

EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT

BAB III BASIS DAN EVALUASI DATA

BAB IV PENYUSUNAN DAN PENGOLAHAN DATA

MOHAMAD ISHLAHUL AZIZ

BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Penyusunan Basis Data Assay

Bab V Pembahasan. Hasil perhitungan cadangan dengan menggunakan masing-masing metode dapat di lihat pada tabel 5.1 (lampiran B)

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Analisis Statistik dan Distribusi Lubang Bor

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM

JTM Vol. XVI No. 3/2009

BAB I PENDAHULUAN. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

PEMODELAN DAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT DAERAH X MENGGUNAKAN SOFTWARE DATAMINE STUDIO 3 PADA PT. VALE INDONESIA LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN

BAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI SEBAAN NIKEL LATERIT DAN VOLUME BIJIH NIKEL DAERAH ANOA MENGGUNAKAN KORELASI DATA BOR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... xvii. DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN...

SARI ABSTRACT PENDAHULUAN

PEMODELAN KADAR NIKEL LATERIT DAERAH PULAU OBI DENGAN PENDEKATAN METODA ESTIMASI ORDINARI KRIGING

Integrasi SIG dan citra ASTER BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Muhammad Amril Asy ari (1)

GEOLOGI DAN STUDI PENGARUH BATUAN DASAR TERHADAP DEPOSIT NIKEL LATERIT DAERAH TARINGGO KECAMATAN POMALAA, KABUPATEN KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA

Bab II Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Keadaan Umum Lokasi dan Ketersampaian Daerah

BAB IV PENGOLAHAN DATA

INVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

STUDI PERBANDINGAN ANTARA METODE POLIGON DAN INVERSE DISTANCE PADA PERHITUNGAN CADANGAN Ni PT. CIPTA MANDIRI PUTRA PERKASA KABUPATEN MOROWALI

STUDI PERBANDINGAN METODE NEAREST NEIGHBOURHOOD POINT (NNP), INVERSE DISTANCE WEIGHT (IDW) DAN KRIGING PADA PERHITUNGAN CADANGAN NIKEL LATERIT TESIS

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III ISSN: X Yogyakarta, 3 November 2012

BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah

Asri P.H. dan Waterman Sulistyana B. Magister Teknik PertambanganUPN Veteran Yogyakarta

SURVEI GEOLISTRIK METODE RESISTIVITAS UNTUK INTERPRETASI KEDALAMAN LAPISAN BEDROCK DI PULAU PAKAL, HALMAHERA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat

Tambang Terbuka (013)

Modul Responsi. TE-3231, Metode Perhitungan Cadangan. Asisten: Agus Haris W, ST

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

EKSPLORASI ENDAPAN BAUKSIT

Pemodelan Tiga Dimensi (3D) Potensi Laterit Nikel Studi Kasus: Pulau Pakal, Halmahera Timur, Maluku Utara

KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

KARAKTERISTIK ENDAPAN NIKEL LATERIT PADA BLOK X PT. BINTANGDELAPAN MINERAL KECAMATAN BAHODOPI KABUPATEN MOROWALI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

METODA-METODA DALAM PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA

PENGARUH KESTABILAN LERENG TERHADAP CADANGAN ENDAPAN BAUKSIT

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Statistik Univarian

EKSPLORASI SUMBER DAYA MINERAL ENDAPAN NIKEL LATERIT

ABSTRAK. Kata Kunci : Cadangan, Perancangan dan Geometri Penambangan.

ResiduAL CONCENTRATION OLEH : ARSYIL M. (D IKA ASTUTI (D VICTOR J. P. (D62112 ARAFAH P. (D RUDIANTOM (D

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

ANALISIS PELAPUKAN SERPENTIN DAN ENDAPAN NIKEL LATERIT DAERAH PALLANGGA KABUPATEN KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA

BAB V PEMBAHASAN. lereng tambang. Pada analisis ini, akan dipilih model lereng stabil dengan FK

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

PEMETAAN GEOLOGI NIKEL LATERIT DAERAH SP UNIT 25 DAN SEKITARNYA KECAMATAN TOILI BARAT, KABUPATEN BANGGAI, PROPINSI SULAWESI TENGAH

II. PEMBENTUKAN TANAH

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

PENENTUAN BESAR BOULDER YANG EKONOMIS PADA OPERASI PENAMBANGAN NIKEL LATERIT DI MORONOPO, HALMAHERA TIMUR, MALUKU UTARA

Bab III Gas Metana Batubara

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono

TA5212 Eksplorasi Cebakan Mineral. Pengenalan Eksplorasi Geokimia

APLIKASI STATISTIK KOMPONEN UTAMA LOGAM BERAT PADA KOLAM PENGENDAPAN TAMBANG NIKEL LATERIT KONAWE UTARA SULAWESI TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud Tujuan

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

SKRIPSI ARIADI F1G PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI AGUSTUS 2017

KONSEP PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PELAPORAN BAHAN GALIAN LAIN DAN MINERAL IKUTAN. Oleh : Tim Penyusun

PERMODELAN DAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT BLOK GB PULAU GEE, HALMAHERA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK STUDIO 3 DATAMINE

BAB. I PENDAHULUAN. Judul penelitian Studi Karakteristik Mineralogi dan Geomagnetik Endapan

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

POTENSI ENDAPAN BIJIH BESI DI KUSAN HULU KABUPATEN TANAH BUMBU, KALIMANTAN SELATAN

DASAR ILMU TANAH. Materi 04: Pembentukan Tanah

BAB II LANDASAN TEORI. Analisis regresi (regressison analysis) merupakan suatu teknik untuk membangun persamaan

Jakarta, Januari 2014 Penulis. Sari Agustini

DOMAIN GEOLOGI SEBAGAI DASAR PEMODELAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT PERBUKITAN ZAHWAH, SOROWAKO, KABUPATEN LUWU TIMUR, PROVINSI SULAWESI SELATAN

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BIJIH BESI OLEH : YUAN JAYA PRATAMA ( ) KEOMPOK : IV (EMPAT) GENESA BIJIH BESI

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RESUME APLIKASI MEKANIKA TANAH DALAM PERTAMBANGAN

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

BAB I PENDAHULUAN. PT. PACIFIC GLOBAL UTAMA (PT. PGU) bermaksud untuk. membuka tambang batubara baru di Desa Pulau Panggung dan Desa

St. Hastuti Sabang*, Adi Maulana*, Ulva Ria Irvan* *) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin

48 INFO TEKNIK, Volume 12 No. 2, Desember 2011

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya bauksit di Indonesia mencapai 3,47 miliar ton, yang terdapat di dua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

Transkripsi:

BAB II DASAR TEORI 2.1. Genesa Endapan Nikel Laterit 2.1.1. Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit Nikel laterit merupakan material dari regolit (lapisan yang merupakan hasil dari pelapukan batuan yang menyelimuti suatu batuan dasar) yang berasal dari batuan ultrabasa yang mengandung unsur Ni dan Co. Nikel laterit akan sangat baik terbentuk pada daerah yang terletak zona perubahan muka air tanah. Terjadinya perubahan dari musim kering ke musim hujan akan mempengaruhi pergerakan muka air tanah sehingga sesuai untuk terjadinya pembentukan laterit. Air hujan yang mengandung CO 2 dari udara meresap hingga permukaan air tanah sambil melindi mineral primer yang tidak stabil seperti olivin dan piroksen. Air tanah meresap secara perlahan sampai batas antara zona limonit dan saprolit, kemudian mengalir secara lateral dan selanjutnya didominasi transportasi larutan secara horizontal (Valeton, 1967). peridotit dengan zone saprolit laterit insitu zona pelindian zone pengayaan utama zone erosi daerah pengendapan larutan pembawa nikel pengayaan nikel yang kurang intensif akibat sedikitnya rekahan pengayaan nikel yang dalam akibat intensifnya rekahan Gambar 2.1. Penampang Skematik Pembentukan Endapan Nikel Laterit New Caledonia (de Chetelat, dalam Boldt, 1967) 6

Batuan asal ultramafik pada zona saprolit diimpregnasi oleh nikel melalui larutan yang mengandung nikel, sehingga kadar nikel dapat naik hingga 7% berat. Nikel sendiri dapat mensubstitusi magnesium dalam serperntin atau mengendap pada rekahan bersama dengan larutan yang mengandung magnesium dan silikon sebagai garnierite [(Ni,Mg) 6 Si 4 O 10 (OH) 6 ]. Apabila dilihat secara vertikal, horizon-horizon utama dari endapan nikel laterit adalah sebagai berikut: a. Lapisan paling atas merupakan zona top soil yang merupakan tanah hasil pelapukan zona-zona di bawahnya yang memiliki kandungan Ni sangat rendah. Selain top soil biasanya juga terdapat iron cap yaitu lapisan yang memiliki kadar Fe cukup tinggi. Iron cap ini memiliki kandungan nikel yang relatif sedikit akibat terjadinya mobilisasi unsur nikel dan pengkayaan Fe. b. Dibawah zona top soil terdapat lapisan yang kaya akan oksida besi yang disebut dengan limonit. Limonit memiliki kandungan unsur Ni yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona top soil tetapi kandungan unsur Fe semakin berkurang. Zona ini didominasi oleh mineral goethit [FeO(OH)] dan juga terdapat mineral lain seperti magnetit [Fe 3 O 4 ], hematit [Fe 2 O 3 ], kromit [Cr 2 O 4 ], serta kuarsa sekunder. c. Lapisan yang terbentuk pada tahap awal proses pelapukan yang disebut dengan saprolite. Berdasarkan kenampakan megaskopis, zona saprolit dapat di kelompokkan menjadi 2, yaitu low saprolite ore zone (LSOZ) dan high saprolite ore zone (HSOZ). Yang membedakan keduanya adalah kandungan Fe yang masih tinggi pada zona LSOZ, sedangksn pada zona HSOZ masih dijumpai fragmen-fragmen batuan. Zona saprolit ini didominasi oleh mineralmineral seperti serpentin, kuarsa sekunder, Ni-kalsedon, garnierit, dan pada beberapa bagian terdapat limonit. Batas antara zona saprolit dengan zona dibawahnya, yaitu zona protolith, umumnya bergradasi dan tidak beraturan akibat tidak meratanya tingkat pelapukan yang dialami oleh batuan. 7

Gambar 2.2. Penampang Vertikal Zona Endapan Nikel Lateri (Guilbert,1986) 8

d. Bagian terbawah dari penampang vertikal atau bedrock dari endapan nikel laterit adalah protolith. Protolith merupakan batuan asal yang berupa batuan ultramafik, umumnya berupa harzburgite (peridotit yang kaya akan orthopiroksen), peridotit atau dunit. 2.1.2. Kontrol Pembentukan Endapan Nikel Laterit Faktor faktor yang mempengaruhi pembentukan endapan nikel laterit secara umum adalah sebagai berikut: a. Batuan Dasar (Source Rock) Tidak semua jenis batuan dapat menjadi source rock bagi pembentukan endapan nikel laterit. Endapan nikel laterit terbentuk dari batuan ultrabasa yang kaya akan olivin dan hasil ubahannya yang telah mengalami proses serpentinisasi yang akan meningkatkan kandungan Ni. Olivin dan piroksen adalah mineral yang mudah lapuk atau tidak stabil apabila tersingkap di permukaan atau akibat terjadinya perubahan lingkungan geologi. Tipe dari endapan nikel laterit dipengaruhi oleh litologi batuan dasar. Batuan peridotit umumnya merupakan batuan asal dari tipe endapan hydrous Mg-silicate, clay-silicate dan oksida. Endapan nikel laterit dengan tipe clay-silicate umumnya terbentuk dari batuan ultrabasa yang mengandung klinopiroksen dibandingkan dari batuan harzburgit. Endapan nikel laterit dengan tipe oksida umumnya terbentuk dari batuan asal berupa dunit, yang mengandung lebih banyak silika bebas dibandingkan dengan yang ada di batuan peridotit. Zona saprolit yang kaya akan silikat yang berada di bawah zona oksidasi pada batuan asal dunit (di bawah zona ketidakselarasan Mg) umumnya mempunyai kandungan Ni yang rendah, kecuali dimana adanya pengangkatan, sesar atau faktor lain yang membuat kondisi pengairan bebas pada profil. 9

b. Pelapukan Faktor yang dominan dalam pembentukan endapan nikel laterit adalah adanya proses pelapukan dari batuan asal. Dengan adanya pelapukan ini batuan akan mengalami pengecilan ukuran (fragmentasi) maupun perubahan komposisi batuan akibat adanya perbedaan mobilisasi antar unsur. Unsur-unsur yang relatif mobile dan mudah terlarut dibandingkan unsur lain di lingkungannya akan terlarutkan dan mengalami pengkayaan ditempat terpisah dengan unsur yang imobile atau susah terlarut. Gambar 2.3. Diagram Mobilitas Beberapa Unsur (Guilbert,1986) Unsur Ni adalah salah satu unsur yang relatif lebih mobile dibandingkan dengan unsur lain seperti Fe, Co, Cr dan beberapa unsur lain yang banyak dijumpai di dalam endapan nikel laterit. Akibat perbedaaan mobilitas unsur ini, pada endapan 10

nikel laterit pengkayaan unsur Fe akan terjadi di bagian atas endapan membentuk iron cap sedangkan Ni akan terkayakan pada horizon dibawahnya. c. Struktur Geologi Selain faktor pelapukan diperlukan adanya kontrol struktur dalam pembentukan endapan nikel laterit. Struktur yang paling berpengaruh adalah adanya kekar ataupun sesar yang memungkinkan terjadinya pelapukan lebih lanjut akibat adanya pelarutan air dan unsur-unsur terlarutnya. Akibatnya, pada lokasi-lokasi dimana terdapat kekar pada batuan asalnya akan menghasilkan endapat nikel laterit yang lebih tebal pada kondisi topografi yang seragam atau akan terjadi pengkayaan kandungan Ni didalam rekahan-rekahannya. Akan tetapi adanya sesar juga dapat menghalangi aliran air dan menghambat penetrasi pelapukan lebih lanjut kedalam batuan asal sehingga dapat menyebabkan terjadinya variasi lokal yang menyebabkan perbedaan kandungan Ni dengan daerah disekitarnya. d. Iklim Iklim yang dimaksud disini adalah iklim saat proses pembentukan endapan nikel berlangsung dan bukan iklim pada saat sekarang. Adanya pergantian iklim secara periodik dan kontinu selama proses pembentukan endapan akan menyebabkan pergerakan muka air tanah secara signifikan sehingga dapat menyebabkan terjadinya pemisahan dan akumulasi unsur-unsur tertentu. Selain itu adanya perubahan temperatur yang ekstrim dapat mempercepat terjadinya pelapukan secara mekanis dan dapat menyebabkan terbentuknya rekahan rekahan baru yang mengawali terjadinya pelapukan lebih jauh secara intensif. Endapan nikel laterit umumnya tersebar di daerah dengan kelembaban tinggi, seperti Indonesia, New Caledonia, Filipina, Brazil, Kolombia, Kuba dan Republik Dominika. Namun endapan nikel laterit juga muncul didaerah lain yang jauh dari khatulistiwa, seperti Australuia, Oregon, California, Yunani, Khazakhtan dan 11

Rusia. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungannya antara iklim saat ini dengan pembentukan endapan laterit, tetapi pembentukan nikel laterit lebih dipengaruhi oleh iklim pada saat endapan tersebut terjadi/terbentuk. e. Topografi Kondisi geomorfologi atau topografi lokal yang landai memungkinkan keadaan muka air tanah yang stabil dan pergerakannya akan relatif lambat sehingga penetrasi air melalui rekahan atau pori batuan bisa lebih intensif dan mencapai daerah yang lebih dalam. Sehingga pada daerah yang landai ini memungkinkan terjadinya akumulasi kadar Ni akibat perbedaan mobilitas antar unsur. Sementara di daerah yang terjal tingkat erosinya lebih tinggi dan batuan yang terlapukkan akan lebih mudah tererosi sehingga akan selalu muncul batuan yang segar di permukaan dan kemudian akan terlapukkan kembali dan tererosi. Akibatnya pada daerah yang terjal atau lerengnya curam ketebalan zona limonit akan menjadi tipis disebabkan oleh erosi, pelapukan dan air limpasan (run off) yang intensif. Pada daerah lembah akan terakumulasi limonit yang tercampur dengan top soil yng kaya akan kandungan unsur Fe sebagai hasil dari proses transportasi dan erosi. Gambar 2.4. Pengaruh Topografi Terhadap Pembentukan Endapan Nikel Laterit (Guilbert,1986) 12

f. Faktor vegetasi Pengaruh vegetasi dalam pembentukan endapan nikel laterit adalah dengan adanya vegetasi yang lebat maka akan meminimalkan terjadinya air limpasan di permukaan dan pertumbuhan akar tanaman akan menimbulkan retakan-retakan baru sehingga penetrasi air akan menjadi lebih intensif. Selain itu dengan adanya vegetasi yang dominan maka tingkat erosi mekanis di permukaan akan menjadi berkurang. Dengan demikian adanya vegetasi yang lebat dan berkembang pada lingkungan yang baik dan stabil akan menghasilkan endapan nikel laterit yang lebih tebal. g. Waktu Untuk bisa menghasilkan endapan nikel laterit yang bernilai ekonomis maka diperlukan proses pembentukan dan pengkayaan yang cukup lama. Secara teoritis dengan laju pelapukan mencapai 5-50 mm/tahun dan rata-rata mencapai 20 mm per 1000 tahun diperlukan waktu sekitar 1-6 juta tahun untuk membentuk endapan nikel laterit yang bernilai ekonomis. Bagaimanapun juga laju pelapukan ini tergantung pada proses-proses lokal dan khas pada masing-masing daerah (Diktat Genesa Bahan Galian). Kondisi di atas masih belum mempertimbangkan adanya erosi, rekahan dan kondisi tektonik lokalnya. Kondisi tektonik yang stabil dan relief rendah menghasilkan periode pelapukan yang lama, pembentukan regolith yang tebal dan meningkatkan pembentukan endapan nikel laterit dengan tipe clay silicate dan endapan oksida. Selama proses pembentukan endapan, proses pengangkatan akan menyebabkan source rock terekspose ke permukaan dan menyebabkan terjadinya pelapukan karena mineral-mineral asalnya (peridotit dan olivin) kurang stabil terhadap perubahan kondisi lingkungan. Bersamaan dengan itu terjadi pula proses-proses kimia dan mekanis akibat pengaruh dari air hujan, tekanan, perubahan temperatur, vegetasi dan lainnya menyebabkan terjadinya proses pencucian atau leaching, migrasi dan pengkayaan unsur-unsur tertentu. 13

2.2. Komposit Data Pengujian kadar adalah hal yang sangat penting dalam pendeskripsian suatu sampel yang diperoleh dari lapangan. Pengujian kadar secara individual akan merepresentasikan nilai kadar untuk suatu interval panjang core (sampel) tertentu. Komposit adalah metode yang menggabungkan beberapa kadar individu sehingga menghasilkan nilai kadar rata-ratanya atau dengan kata lain komposit kadar merepresentasikan nilai kadar untuk suatu interval yang lebih panjang. Alasan dan keuntungan dari pembuatan komposit data ini antara lain (Hustrulid,1995): a. Pengujian kadar dengan interval panjang yang tidak teratur harus di kompositkan agar menghasilkan data yang representatif untuk keperluan analisis, b. Komposit akan memasukkan proses dilusi akibat penambangan pada suatu jenjang / bench dalam suatu open pit. Dengan demikian dapat dihitung secara cepat kadar dan tonase bijih yang diperoleh dalam kegiatan penambangan, c. Mereduksi data-data yang bersifat erratik/ data-data yang unik, d. Mengurangi jumlah data dan waktu perhitungan akan menjadi lebih cepat. Komposit ini dapat dilakukan terhadap suatu jenjang tertentu yang disebut kadar komposit jenjang (bench composite) atau terhadap zona mineralisasi bijih ( orezone composite). Perhitungan kadar komposit jenjang sendiri dilakukan untuk mengevaluasi kadar mineral pada suatu jenjang penambangan yang akan dibuat. Perhitungan ini dilakukan pada tiap lubang bor sehingga perlu diperhatikan adanya perbedaan batas zona bijih dari tiap lubang bor. Perbedaan zona mineralisasi ini akan membuat munculnya perbedaan pada posisi top dan bottom zona bijih serta ketebalan dari bijih tersebut. Untuk suatu deposit yang berukuran besar dan uniform, perubahan kadar dari zona waste menjadi ore akan terjadi secara gradual. Untuk tujuan teknis evaluasi sumberdaya dan penambangan maka 14

interval komposit yang dipilih umumnya adalah tinggi jenjang yang akan dibuat (Hustrulid, 1995). Gambar 2.5. Komposit Kadar untuk Zona Mineralisasi Bijih Gambar 2.6. Komposit Kadar untuk Komposit Jenjang 15

Secara sederhana perhitungan kadar komposit zona mineralisasi bijih dapat ditulis dengan persamaan berikut : Sementara untuk kadar komposit jenjang dapat dihitung dengan persamaan : dimana : g i = kadar pada interval ke i l i = panjang interval ke i H = l i 2.3. Analisis Statistik 2.3.1. Analisis Statistik Univariat Analisis statistik digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh dan kecenderungan dari data awal dan data hasil olahan. Dengan pendekatan statistik ini maka akan di dapatkan batas pencilan data untuk tujuan verifikasi data awal, dan analisis statistik data olahan digunakan untuk membandingkan endapan nikel laterit Pulau Gee dengan Pulau Pakal. Statistik univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi dari peubah-peubah tunggal sehingga dapat dimanfaatkan untuk melihat hubungan antar data dari suatu populasi tanpa memperhatikan lokasi dari data-data tersebut. Hasil dari statistik ini biasa di gambarkan dalam bentuk histogram frekuensi. Sebelum membuat histogram data dari suatu populasi di distribusikan terlebih dahulu dalam beberapa interval kelas dan dihitung jumlah data dari masing-masing kelas (frekuensi) interval kelas dari suatu histogram dapat dihitung dengan persamaan : 16

di mana range adalah jangkauan data dan n adalah banyaknya data. Parameter statistik lainnya yang digunakan untuk analisis statistik univariat adalah sebagai berikut : - Mean atau rata-rata adalah nilai yang mewakili sekelompok data dan nilainya mempunyai kecenderungan berada ditengah-tengah populasi (rata-rata dari populasi data) - Median yaitu nilai pertengahan data yang telah disusun dari yang besar ke yang kecil atau sebaliknya. - Modus yaitu nilai yang memiliki frekuensi terbesar. Modus mungkin ada dan mungkin juga tidak ada. - Range yaitu ukuran variasi sederhana yang menyatakan penyebaran nilai data. Range dinyatakan dalam : range = X maximum X minimum Akan tetapi range ini kurang cocok karena sangat sensitif terhadap nilai data yang ekstrim. - Variansi (variance) yaitu ukuran variansi yang menyatakan penyebaran data disekitar rataan. - Standard deviasi adalah akar kuadrat dari variance, merupakan ukuran dispersi yang lebih sering digunakan karena satuannya sama dengan variabel, dibandingkan variance yang satuannya kuadrat - Skewness atau ukuran kemiringan kurva adalah kecenderungan distribusi data dilihat dari ukuran simetris atau tidaknya suatu kurva histogram. Skewness positif menyatakan distribusi data lebih banyak berada pada nilai 17

yang lebih rendah sedangkan skewness negatif menyatakan data terdistribusi lebih banyak pada nilai yang lebih tinggi. Skewness ini sangat penting karena pada umumnya data geoscience (misalnya data distribusi kadar mineral) memiliki distribusi data yang menunjukkan skewness positif atau skewness negatif dan jarang dijumpai data yang memiliki distribusi normal. - Kurtosis ukuran yang menunjukkan kecenderungan keruncingan puncak data. Skewness maupun kurtosis jarang digunakan dalam perhitungan cadangan tetapi digunakan untuk menunjukkan data terdistribusi normal atau tidak. 2.3.2. Statistik Bivariat Statistik bivariat digunakan untuk menganalisis distribusi dua buah kumpulan peubah yang berbeda tetapi terletak pada lokasi yang sama. Metoda deskripsi bivariat yang sering digunakan adalah diagram pencar (scatter plot) yang menunjukkan hubungan antara kedua peubah. Kedua peubah di katakan memiliki hubungan positif apabila kedua peubah memiliki kecenderungan nilai berbanding lurus, dan sebaliknya kedua peubah di katakan memiliki hubungan negatif apabila kedua peubah memiliki kecenderungan nilai berbanding terbalik atau satu peubah memiliki nilai besar sedangkan peubah lainnya mempunyai nilai kecil. Atau kedua peubah tersebut tidak memiliki nilai korelasi apabila koefisien korelasinya sama dengan nol, apabila kedua peubah menunjukkan penyebaran acak. Parameter yang digunakan dalam statistik bivariat ini adalah : - Koefisien korelasi 18

- Regresi linier menyatakan hubungan antar data dan untuk mengestimasi nilai dari suatu data (populasi) yang saling berhubungan yang sulit dinyatakan dengan metode matematis lainnya. Regresi linier dinyatakan dalam persamaan Y = ax + b dimana : a = kemiringan garis regresi (slope) b = perpotongan garis regresi (Y-intercept) 2.4. Metoda Penaksiran 2.4.1. Blok Model Blok model merupakan dasar dari penerapan aplikasi komputasi dalam perhitungan kadar atau tonase yang menggambarkan deposit sebagai sekumpulan blok. David (dalam Hustrulid, 1995), telah memberikan sedikit gambaran mengenai blok model ini. Dalam profesinya, orang ingin mengetahui sebanyak mungkin tentang endapan dan kemudian menanyakan perhitungan mendetail dengan basis blok yang sekecil mungkin. Hal ini cenderung mengakibatkan terjadinya pemborosan karena biaya yang terlalu mahal juga menghasilkan hasil yang mengecewakan. Orang akan menemukan bahwa blok kecil terdekat akan memiliki kadar yang sangat mirip. Yang harus diingat adalah dengan berkurangnya ukuran dari blok, kesalahan perhitungan pada blok tersebut akan meningkat. Juga dengan membagi ukuran blok menjadi setengah ukuran blok awal akan membuat jumlah blok yang ada dan harus diselesaikan bertambah menjadi 8 kali. Sebagai aturan, ukuran minimum suatu blok sebaiknya tidak kurang dari ¼ jarak rata-rata antar lubang bor. Tinggi dari blok sering kali dibuat sesuai dengan tinggi jenjang yang akan dipakai dalam penambangan. Lokasi dari blok sendiri tergantung pada banyak faktor, misalnya elevasi batas atas blok mungkin dibuat berdasarkan batas antara zona ore dengan overburden, kontak antara zona mineralisasi, dan lainnya. Beberapa metoda perhitungan harus diterapkan dalam menentukan kadar blok, sementara 19

tonase dari masing-masing blok dapat diketahui dengan mudah dari volume blok dan faktor tonase dari batuan. 2.4.2. Metode Nearest Neighborhood Point (NNP) Dalam metode NRP ini maka kadar di suatu daerah yang masih termasuk dalam batas daerah pengaruh dari lubang bor (data kadar diketahui) akan memiliki kadar yang sama dengan kadar pada lubang bor tersebut. Apabila titik yang akan diukur termasuk dalam daerah pengaruh dari 2 atau lebih lubang bor maka nilai kadar pada titik yang dicari adalah sama dengan nilai kadar pada lubang bor terdekat, dan apabila terdapat 2 atau lebih titik data yang jaraknya sama maka dapat di gunakan kadar rata-rata untuk menaksir nilai kadarnya. Sementara apabila titik tersebut terletak diluar daerah pengaruh maka kadarnya sama dengan nol. 2.4.3. Metode Inverse Distance (ID) Dengan menerapkan metode ID ini, maka semua kadar yang masih terletak dalam radius pencarian data suatu titik yang akan ditaksir nilainya akan memberikan pengaruh terhadap nilai kadar yang ditaksir. Besarnya pengaruh masing-masing titik akan berbanding terbalik dengan jarak terhadap kadar yang akan ditaksir. Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : dimana g i adalah kadar titik yang berjarak d i terhadap titik yang akan ditaksir. 2.4.3. Metode Inverse Distance Weighting (IDW) Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kadar suatu blok seharusnya akan mendekati blok yang lebih dekat dibandingkan terhadap blok yang lebih jauh. Untuk menegaskan hal ini maka bobot jarak tersebut dapat dinaikkan. Hal ini dilakukan dengan mengubah pangkat dari d i pada persamaan dengan metode ID. 20

Apabila pengaruhnya dinaikkan menjadi kuadrat terhadap jarak maka persamaan yang dipakai adalah Persamaan ini adalah bentuk dari metode inverse distance square (IDS). Jika pangkat terhadap jarak yang digunakan berbeda akan menghasilkan hasil nilai yang berbeda pula. Persamaan umumnya IDW dapat ditulis sebagai Persamaan diatas dapat ditulis dalam bentuk lain yaitu dimana a i adalah faktor bobot dengan demikian maka jumlah faktor bobot akan selalu sama dengan 1. 21

Gambar 2.7. Metode Penaksiran ID atau IDW Untuk menentukan besarnya jarak pencarian data maka sebaiknya digunakan konsep geostatistik. Akan tetapi dalam penelitian ini digunakan pendekatan lain seperti yang dinyatakan oleh David (dalam Hustrulid,1995) bahwa jarak pencarian data untuk suatu penaksiran sebaiknya menggunakan 2 kali jarak rata-rata antar lubang bor, 4 kali jarak rata-rata antar lubang bor, dan 8 kali jarak rata-rata antar lubang bor. Untuk itu dalam penaksiran kadar dan tebal dilakukan dengan menggunakan jarak pencarian data 50 meter (radius 25 meter atau 2 kali jarak rata-rata antar lubang bor), dan menggunakan jarak pencarian data 100 meter (radius 50 meter atau 4 kali jarak rata-rata antar lubang bor). 22