Bab II Tinjauan Pustaka

dokumen-dokumen yang mirip
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. industri tapioka, yaitu : BOD : 150 mg/l; COD : 300 mg/l; TSS : 100 mg/l; CN - :

4. Hasil dan Pembahasan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab III Metodologi Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Hasil dan Pembahasan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Kolesterol adalah suatu molekul lemak di dalam sel yang terdiri atas LDL

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Kitosan terhadap Ginjal Puyuh yang Terpapar Timbal (Pb)

BAB I PENDAHULUAN. Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang sama

Hasil dan Pembahasan

Teknik Bioseparasi. Dina Wahyu. Genap/ March 2014

Gambar 2 Penurunan viskositas intrinsik kitosan setelah hidrolisis dengan papain.

PENGGUNAAN KITOSAN DARI TULANG RAWAN CUMI-CUMI (LOLIGO PEALLI) UNTUK MENURUNKAN KADAR ION LOGAM Cd DENGAN MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Osteoarthritis (OA) 2.2 Glukosamin hidroklorida (GlcN HCl)

BAB I PENDAHULUAN. digunakan sebagai flokulan alami yang ramah lingkungan dalam pengolahan

TINJAUAN PUSTAKA. adalah tanah-tanah bereaksi masam (ph rendah) dan miskin unsur hara, seperti

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK PERCOBAAN H-3 SOL LIOFIL

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PEMBUATAN KHITOSAN DARI KULIT UDANG UNTUK MENGADSORBSI LOGAM KROM (Cr 6+ ) DAN TEMBAGA (Cu)

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

3 Metodologi Penelitian

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari lautan yang menghasilkan berbagai macam hasil perikanan yang terus

PEMBAHASAN. I. Definisi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit

Coagulation. Nur Istianah, ST,MT,M.Eng

4 Hasil dan Pembahasan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

12. Wan, Y., Creber, K.A.M., Peppley, B., and Bui, V.T., (2003), Ionic Conductivity and Related Properties of Crosslinked Chitosan Membranes, Journal

I. PENDAHULUAN. ditemukan sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari, sehingga banyak orang

SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

BAB I PENDAHULUAN. Kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dan termasuk

TINGKATAN KUALISTAS KITOSAN HASIL MODIFIKASI PROSES PRODUKSI. Abstrak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Tinjauan Pustaka Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENGOLAHAN AIR SUNGAI

Tersedia online di: Jurnal Teknik Lingkungan, Vol 5, No 2 (2016)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang perindustrian. Penggunaan logam krombiasanya terdapat pada industri

BAB I PENDAHULUAN. Kitin dan kitosan merupakan biopolimer yang secara komersial potensial

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Uji Pengendapan dengan Variasi Konsentrasi Koagulan dan Variasi Konsentrasi Flokulan

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan alam serta keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Indonesia

DAFTAR ISI ABSTRAK...

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Pengendapan Timbal Balik Sol Hidrofob

3. Metodologi Penelitian

4 Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

PENDAHULUAN 1. Tujuan Percobaan 1.1 Menguji daya hantar listrik berbagai macam larutan. 1.2 Mengetahui dan mengidentifikasi larutan elektrolit kuat,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

Analisis Zat Padat (TDS,TSS,FDS,VDS,VSS,FSS)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam kelompok senyawa polisakarida. Kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi

KROMATOGRAFI PENUKAR ION Ion-exchange chromatography

BAB I PENDAHULUAN. bahan-bahan yang ada dialam. Guna memenuhi berbagai macam kebutuhan

Skala ph dan Penggunaan Indikator

4 Hasil dan Pembahasan

PENGARUH PENAMBAHAN BITTERN PADA LIMBAH CAIR DARI PROSES PENCUCIAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

R E A K S I U J I P R O T E I N

Kata kunci: surfaktan HDTMA, zeolit terdealuminasi, adsorpsi fenol

4 Hasil dan Pembahasan

BAB 3 METODOLOGI PERCOBAAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Beaker glass 50 ml pyrex. Beaker glass 100 ml pyrex

Bab IV Hasil dan Pembahasan

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

Bab IV Hasil dan Pembahasan

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

PENDAHULUAN. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh logam berat sudah sangat

KOLOID. 26 April 2013 Linda Windia Sundarti

Metode Penelitian. 3.1 Alat dan Bahan Penelitian Daftar alat

Jurnal Teknologi Kimia Unimal

PENENTUAN KUALITAS AIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

4. Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Pembuatan Koloid, Denaturasi Protein dan Lem Alami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mutu air adalah kadar air yang diperbolehkan dalam zat yang akan

4. Hasil dan Pembahasan

3. Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4. Hasil dan Pembahasan

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Limbah Udang Sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%- 40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya 4. Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka isolasi kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang 6. Limbah padat Crustacea (kulit, kepala, kaki) merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan Crustacea. Selama ini limbah tersebut dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk dengan nilai ekonomi yang rendah. Mengolahnya menjadi kitin atau kitosan akan memberikan nilai tambah yang cukup tinggi. Sebagai bahan utama, kulit Crustacea mengandung 14-35% (berat kering) kitin. Diperkirakan limbah kulit Crustacea dunia mencapai sekitar 5 juta ton (kering) atau setara dengan 200 ribu ton kitin. Di pasar Internasional, harga kitin dapat mencapai US$ 10 per kilogram, sedangkan untuk kitosan US$ 15-40 per kilogram tergantung kualitas dan jenisnya 6. II.2 Kitin dan Kitosan Kitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 ldiers mengisolasi suatu senyawa kutikula serangga jenis ekstra yang disebut dengan nama kitin 5. Kitin merupakan konstituen organik

yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, mollusca, corlengterfa, dan nematoda 4. Kandungan senyawa kitin di alam sangat melimpah. Kitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan molekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2 asetamida 2-deoksi-Dglukosa (N-asetil-D-Glukosamin). Struktur kitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang kedua pada kitin diganti oleh gugus asetamida (- NCC 3 ) 7, sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin. Kitin merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Kitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa 4. Adanya kitin dapat dideteksi dengan reaksi warna van Wesslink. Pada cara ini kitin direaksikan dengan I 2 -KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukkan reaksi positif adanya kitin 4. idrolisis dengan larutan basa kuat, seperti larutan Na atau K 50%, biasanya lebih banyak digunakan larutan basa Na, disertai dengan bantuan pemanasan akan mengakibatkan proses deasetilasi, yang akan menghasilkan senyawa kitosan dengan derajat deasetilasi antara 65-95%. Derajat deasetilasi diatur oleh konsentrasi basa, suhu dan waktu reaksi. Satu parameter yang penting untuk mengukur derajat deasetilasi kitin, yaitu perbandingan dari 2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa menjadi 2-amino- 2-deoksi-D-glukopiranosa 8, seperti struktur yang ditunjukkan pada Gambar II.1 dan II.2. 6

C 2 C 2 C 2 N C= N C= N C= C 3 C 3 n C 3 Gambar II 1 Struktur Kitin 8 C 2 C 2 C 2 N 2 N 2 N 2 Gambar II 2 Struktur Kitosan 8 n Kitin memiliki kegunaan sebagai bahan baku kosmetik, obat-obatan, produkproduk pertanian dan pengawet makanan. Kegunaan kitin tidak terlalu banyak, sehingga umumnya kitin ditransformasi menjadi kitosan karena memiliki kegunaan yang lebih luas dibanding kitin. Kitosan yang disebut juga β-1,4-2 amino-2-deoksi-d-glukosa merupakan turunan kitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi. Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi. Kitosan lebih reaktif dibanding kitin karena memiliki gugus amina bebas yang bersifat nukleofil kuat. Gugus amina bebas ini menyebabkan kitosan dapat digunakan sebagai polielektrolit yang memiliki multifungsi. Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, tidak larut dalam basa 7

kuat, sedikit larut dalam Cl, N 3, 3 P 4, dan tidak larut dalam 2 S 4 4. Sebaliknya dalam asam format dan asam asetat, kitosan dapat larut dengan baik. II.3 Manfaat Kitin dan Kitosan Kitin dan kitosan mempunyai kegunaan yang sangat luas, tercatat sekitar 200 jenis penggunaannya, dari industri pangan, bioteknologi, farmasi dan kedokteran, serta lingkungan, pertanian, kosmetik, pengolahan kertas, dan pengolahan air. Di bidang farmasi dan kesehatan, kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai penyembuh luka, kulit dan pembuluh darah buatan, lensa kontak, benang bedah, penurun tekanan darah, antikanker, obat maag serta suplemen diet dan kontrasepsi 9. Sifat kitosan sebagai polimer alam mempunyai sifat menghambat absorpsi lemak. Sifat ini potensial untuk dijadikan obat penurun lemak, penurun kolesterol, pelangsing tubuh atau pencegahan penyakit lainnya. Kitosan juga bersifat tidak dicernakan dan tidak diabsorpsi, sehingga lemak dan kolesterol makanan terikat menjadi bentuk non-absorpsi. Tidak seperti serat alam, kitosan mempunyai sifat unik karena memberikan daya pengikat lemak yang sangat tinggi 10. Sifatnya sebagai antijamur menyebabkan kitosan dimanfaatkan pada bidang pertanian sebagai bahan pelapis untuk pemgawetan dan biofungisida untuk sayursayuran serta buah-buahan. Pupuk kitosan meningkatkan mikroorganisme yang menguntungkan dan menurunkan jumlah mikroorganisme yang merugikan 11. Manfaat kitosan yang lainnya sebagai membran, sehingga bisa dimanfaatkan dalam proses osmosis balik dan bidang kosmetika. Pemanfaatan dalam proses osmosis balik didasarkan pada ketahanan membran kitosan yang sangat kuat terhadap larutan alkali berkonsentrasi tinggi dan beberapa pelarut organik. Sementara dalam bidang kosmetika, kitosan mampu berperan sebagai pelindung dan pelembab kulit. Sedangkan pemanfaatan kitosan dalam pengolahan air disebabkan senyawa ini dapat berperan sebagai pengkhelat untuk pemisahan ion logam berat dari larutan. Selain itu kitosan dapat menyumbang sifat polielektrolit kation sehingga dalam proses pengolahan air sangat potensial untuk digunakan sebagai koagulan alam yang lebih ramah lingkungan, karena tidak mengandung racun dan sangat mudah terbiodegradasi 1. Untuk keperluan penjernihan air 8

diperlukan mutu kitin dan kitosan yang tinggi, sedangkan untuk aplikasi di bidang kesehatan diperlukan kemurnian yang tinggi. II.4 Massa Molekul Relatif Rata-rata Salah satu metode yang paling sering digunakan untuk penentuan massa molekul relatif rata-rata polimer adalah metode viskometri, dengan persamaan Mark- ouwink-sakurada 12. Perbandingan antara viskositas larutan kitosan terhadap viskositas pelarut asam asetat dapat dipakai untuk menentukan massa molekul relatif rata-rata kitosan. Kelebihan metode viskometri dibandingkan dengan metode lain antara lain : lebih cepat dan lebih mudah, alatnya sederhana dan hasil perhitungannya lebih sederhana. Umumnya untuk mengukur viskositas pelarut murni dan larutan polimer digunakan viskometer stwald. Beberapa konsep yang digunakan dalam metode ini adalah 13 : 1. Viskositas relatif (η r ) yaitu perbandingan viskositas larutan (η) terhadap viskositas pelarut (η o ). Apabila perbedaan massa jenis larutan dan pelarut diabaikan, maka viskositas tersebut sama dengan perbandingan antara waktu aliran larutan (t), dan pelarut (t o ), yang diukur pada kondisi percobaan yang sama sesuai persamaan 0.1 η t = (II.1) η to η r = o 2. Viskositas spesifik (η sp ) yaitu kenaikan relatif viskositas larutan terhadap viskositas pelarut sesuai persamaan 0.2 η sp η ηo = (II.2) ηo 3. Viskositas tereduksi (ηred) dapat dinyatakan dalam persamaan 0.3 ηsp ηred = (II.3) C 4. Viskositas intrinsik dinyatakan dalam persamaan 0.4 9

η = lim (II.4) η [ η] c o o Menurut persamaan Mark-ouwink, hubungan viskositas intrinsik dengan massa molekul relatif rata-rata sesuai dengan persamaan 0.5 13 [ η] = K.Mv a (II.5) Dengan mengetahui harga K dan a untuk sistem polimer dalam pelarut tertentu, maka dapat dihitung massa molekul relatif rata-rata viskositas ( M v ) dari polimer tersebut 13. II.5 Spektroskopi FTIR (FourierTransform Infra Red) Penyerapan energi yang menyebabkan transisi tingkat energi vibrasi molekul yang terkuantisasi dari energi yang lebih rendah ke tingkat energi vibrasi yang lebih tinggi, menyebabkan timbulnya pita-pita energi serapan yang spesifik untuk setiap senyawa pada bilangan gelombang 4000-200 cm -1. Bila suatu molekul menyerap sinar infra merah, maka pada molekul akan terjadi perubahan tingkat energi vibrasi/rotasi, tetapi hanya transisi vibrasi/rotasi yang dapat menyebabkan perubahan momen dipol aktif yang mengadsorpsi sinar infra merah. Secara umum jenis vibrasi yang terdapat dalam suatu molekul adalah vibrasi ulur simetris dan antisimetris, vibrasi tekuk yang meliputi wagging, rocking, twisting dan scissoring 14. Setiap ikatan mempunyai frekuensi vibrasi yang khas sehingga absorpsi infra merah dapat digunakan sebagai identifikasi gugus yang ada dalam suatu senyawa (analisa kualitatif). Selain mengidentifikasi gugus intramolekul, spektrum infra merah ini dapat digunakan untuk menganalisa interaksi intra molekul. Misalnya ikatan hidrogen dapat diidentifikasi melalui puncak yang melebar pada bilangan gelombang 3000-3500 cm -1. Selain digunakan untuk identifikasi gugus fungsi, spektrum FTIR juga dapat digunakan sebagai analisa semi kuantitatif, dengan menggunakan metode baseline. Pada metode ini, transmitan pelarut dianggap 10

konstan/berubah secara linier. Penentuan baseline diperoleh dengan menghubungkan kedua bahu puncak serapan 15 (Gambar II.3). % Transmitan Bilangan gelombang (cm -1 ) Gambar II 3 Analisa semikuantitatif dalam spektrometri infra merah dengan metode baseline 16 II.6 Koloid al yang membedakan antara koloid dengan larutan sejati dan suspensi adalah ukuran partikelnya. Diameter partikel koloid berkisar antara 10 Ǻ sampai 10.000 Ǻ. Partikel-partikel yang mempunyai diameter lebih kecil dari 10 Ǻ akan membentuk larutan sejati sedangkan partikel-partikel dengan diameter lebih besar dari 10.000 Ǻ akan membentuk suspensi yang secara cepat akan terpisah ke dalam dua fasa 17. Sistem koloid yang sederhana terdiri dari dua fasa, yaitu : 1. Fasa terdispersi, merupakan fasa partikel. 2. Fasa pendispersi, merupakan medium tempat partikel terdistribusi. Pada batas permukaan fasa terdispersi dengan medium tersebut terdapat sifat-sifat permukaan seperti efek lapisan rangkap listrik yang memegang peranan penting dalam menentukan sifat-sifat fisik dan kimia secara keseluruhan, terutama yang menyangkut kestabilan dan ketidakstabilan koloid. Partikel koloid merupakan partikel yang stabil. Kestabilan partikel koloid disebabkan ukuran dan muatan listrik yang dimilikinya. Karena luas permukaannya yang besar maka koloid memiliki daya adsorpsi yang kuat. Muatan pada partikel koloid umumnya 11

disebabkan oleh teradsorpsinya ion-ion dari medium pendispersi pada permukaan partikel koloid. Ion-ion penstabil diadsorpsi dengan kuat pada lapisan bagian dalam yang memiliki muatan partikel yang bervariasi. Ion-ion dari medium pendispersi dengan muatan yang sama (coion) akan ditolak oleh muatan permukaan partikel koloid, sedangkan ion-ion dengan muatan yang berlawanan (counter ion) akan ditarik ke permukaan partikel koloid. Ion-ion ini akan mendekati permukaan partikel dan menetralkan muatannya serta berkumpul membentuk awan ionik. Berinteraksinya awan ionik dengan permukaan partikel koloid akan membentuk suatu lapisan rangkap listrik 3. Muatan listrik partikelpartikel koloid terdistribusi secara merata pada permukaannya, sedangkan muatan yang berlawanan akan terdistribusi dalam lapisan cairan. Untuk koloid yang bermuatan negatif, kation pada larutan cenderung tersebar di sekitar permukaan sehingga netralisasi muatan dipertahankan. Akibatnya dihasilkan dua macam lapisan pada permukaan partikel koloid, yaitu lapisan diam disebut dengan fixed layer dan lapisan bergerak yang disebut dengan diffused layer. II.7 Koagulasi dan Flokulasi Koagulasi dan flokulasi merupakan proses yang umum dilakukan dalam penjernihan air. Menurut AWWA 18, proses koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan dari partikel suspensi dan koloid. Sedangkan flokulasi adalah aglomerasi dari partikel terdestabilkan sehingga menjadi flok yang dapat mengendap atau disaring. Terdapat tiga tahapan penting yang diperlukan dalam proses koagulasi yaitu, tahap pembentukan inti endapan, tahap flokulasi, dan tahap pemisahan flok dengan cairan 1. Destabilisasi terjadi dengan penambahan koagulan dan kontak antarpartikel yang biasanya dilakukan dengan pengadukan. Dengan penambahan koagulan maka kestabilan koloid dalam air akan tergangggu karena koagulan akan menempel pada permukaan koloid dan merubah muatan listriknya sehingga terbentuk agregat-agregat yang dapat mengendap 3. Flokulasi adalah proses pembentukan agregat flok yang stabil dengan bantuan flokulan yang tersuspensi 12

dalam medium cair. Pada proses flokulasi terjadi tumbukan dan penggabungan partikel yang telah mengalami pengurangan muatan menjadi mikroflok kemudian menjadi gumpalan yang lebih besar sehingga dapat diendapkan membentuk suatu flok. II.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Koagulasi dan Flokulasi Proses koagulasi dan flokulasi banyak dipengaruhi variabel-variabel yang kompleks. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini adalah 19 : 1. Kekeruhan Meskipun air dengan kekeruhan yang tinggi lebih mudah untuk diolah, namun biasanya membutuhkan dosis koagulan yang lebih tinggi dan menghasilkan lumpur yang lebih banyak. Sebaliknya air dengan kekeruhan yang rendah akan sulit untuk dikoagulasi karena adanya kesulitan dalam kontak dengan partikel koloid, sehingga lumpur yang terbentuk sedikit. 2. p Untuk setiap jenis air, ada suatu daerah p yang memungkinkan terjadinya proses koagulasi dan flokulasi yang baik dengan waktu yang singkat. Daerah p tersebut juga dipengaruhi oleh komposisi kimia air, jenis dan konsentrasi koagulan yang digunakan. 3. Waktu pengadukan Waktu pengadukan berpengaruh terhadap efektifitas tumbukan yang terjadi antara partikel koloid dan koagulan. Waktu pengadukan yang terlalu lama akan menyebabkan flok yang terbentuk pada proses flokulasi akan hancur kembali membentuk unit-unit berukuran kecil. Waktu yang terlalu pendek pun akan menimbulkan proses reaksi yang tidak sempurna, karena ketidakhomogenan zatzat yang digunakan pada pengolahan 18. 4. Konsentrasi koagulan Konsentrasi koagulan sangat berpengaruh dalam menentukan kondisi yang paling optimum. Pada suatu dosis tertentu akan terjadi suatu proses koagulasi yang paling efektif terhadap koloid tertentu. 13

5. Pengaruh temperatur Penurunan temperatur suatu koloid akan menyebabkan kenaikan viskositas, sehingga kecepatan mengendap partikel akan berkurang. 6. Waktu tinggal Waktu tinggal pada prinsipnya akan menghasilkan kekeruhan yang makin kecil apabila makin lama waktunya. 7. Pengaruh garam-garam yang terlarut dalam air Pengaruh adanya garam-garam yang terlarut dalam air ditentukan oleh jenis ionion serta konsentrasinya. 8. Kecepatan pengadukan Kecepatan pengadukan merupakan perlakuan fisis yang bertujuan untuk menyempurnakan proses homogenisasi antara koagulan dan flokulan dengan air yang akan diolah. Partikel-partikel koloid dalam air akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk bercampur secara merata dengan koagulan dan flokulan yang ditambahkan. Kecepatan pengadukan yang tidak efisien dapat menyebabkan pemborosan zat dan lambatnya proses pembentukan agregat. Pengadukan cepat diperlukan untuk proses koagulasi, sedangkan pengadukan lambat untuk proses flokulasi. Proses koagulasi memerlukan pengadukan cepat karena beberapa alasan, yaitu untuk melarutkan koagulan dalam cairan secara sempurna, mendistribusikan koagulan secara merata dan menghasilkan agregatagregat sebagai inti flok. Dengan adanya turbulensi yang cepat, memperbesar kemungkinan terjadinya tumbukan efektif antara koagulan dan partikel koloid. Proses flokulasi memerlukan pengadukan lambat untuk memberi kesempatan inti flok yang sudah terdestabilkan untuk bergabung menjadi flok-flok yang berukuran besar, memudahkan flokulan untuk mengikat flok-flok kecil lainnya membentuk flok-flok yang berukuran lebih besar melalui ikatan van der Waals 20,21. Selain itu untuk mencegah terjadinya restabilisasi partikel koloid, karena pecahnya ikatan tersebut akibat pengadukan yang terlalu cepat atau lama. 14

II.9 Polielektrolit sebagai Flokulan Polimer adalah rantai yang terdiri dari unit kecil monomer. Polimer dapat berbentuk linier atau bercabang dengan berbagai derajat percabangan. Bila unit monomer mengandung gugus yang dapat terionisasi, polimer tersebut disebut polielektrolit. Polielektrolit dapat berupa kation, anion atau ampolit, tergantung pada jenis gugus ionnya. Bila polimer mengandung gugus yang tak dapat terionisasi disebut nonionik 22. Contoh-contoh dari jenis polimer tersebut diantaranya adalah 20 : 1. Jenis nonionik : poliakrilamid, polivinilalkohol (Gambar II.4 (a) dan (b)) 2. Jenis kationik : polietilenamin klorida (Gambar II.4 (c)) 3. Jenis anionik : polivinilsulfonat (Gambar II.4 (d)) 2 C C C= n 2 C C n N 2 (a) Struktur poliakrilamid 20 (b) Strukturpolivinilalkohol 20 2 C C 2 N 2 + - Cl n 2 C C S n - (c)struktur polietilenamin klorida 20 (d) Struktur polivinilsulfonat 20 Gambar II 4 Contoh-contoh dari jenis polimer Menurut Benefield 21, proses flokulasi terjadi melalui beberapa tahap seperti ditunjukkan pada Gambar II.5. Ketika polimer kontak dengan partikel koloid, sebagian polimer diadsorpsi pada permukaan partikel koloid (reaksi 1). Ekor polimer akan diikat oleh partikel koloid lainnya yang memiliki sisi kosong, membentuk jembatan antar partikel koloid, sehingga dihasilkan flok yang dapat mengendap (reaksi 2). Jika perpanjangan segmen polimer tidak dapat berikatan dengan sisi aktif partikel koloid lain, polimer tersebut akan berbalik dan terikat pada sisi aktif partikel koloid semula, sehingga dihasilkan partikel yang stabil 15

kembali (reaksi 3). Proses flokulasi menjadi tidak efisien jika dosis polimer berlebih atau pengadukan yang terlalu cepat dan lama. Jika dosis polimer berlebih, segmen polimer akan menjenuhkan permukaan partikel koloid sehingga tidak ada lagi sisi untuk membentuk jembatan, hal ini mengakibatkan partikel stabil kembali seperti ditunjukkan pada reaksi 4. Pengadukan yang terlalu cepat dan lama akan mengakibatkan putusnya jembatan yang telah terbentuk sehingga terjadi stabilisasi kembali partikel koloid tersebut (reaksi 5 dan 6). Fragmen flok Partikel terstabilkan kembali Gambar II 5 Skema reaksi antara partikel koloid dan polimer 21. 16