KODE ETIK PSIKOLOGI. Bab IV. Hubungan Antar Manusia (Pasal 13-22) Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI

dokumen-dokumen yang mirip
KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA HIMPSI HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA

KATA PENGANTAR. Kami mengharapkan saran dari semua pihak untuk perbaikan buku ini pada edisi mendatang. Terima kasih. Jakarta, Juni 2010

KODE ETIK PSIKOLOGI. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI.

KODE ETIK PSIKOLOGI. Bab III. Kompetensi (Pasal 7-12) Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI

KODE ETIK PSIKOLOGI. Bab V. Kerahasiaan Rekam dan Hasil Pemeriksaan Psikologi (Pasal 23-27) Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog.

PEDOMAN PELAKSANAAN KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA I. PENJELASAN MUKADIMAH

KODE ETIK PSIKOLOGI. Etika dan Moral, Kode Etik Psikologi, Psikolog dan ilmuwan psikologi, Layanan Psikologi, Etika dalam Eksperimen Psikologi

KODE ETIK PSIKOLOGI MUKADIMAH

Modul ke: Bab 8. Penelitian dan publikasi. Fakultas Psikologi. Amy Mardhatillah. Program Studi Psikologi.

2. Rencana pengembangan Insan IMC selalu didasari atas bakat dan kinerja.

Mengingat : 1 Undang-Undang RI Nomor: 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2 MEMUTUSKAN:

Prinsip Tempat Kerja yang Saling Menghormati

KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA

PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Piagam Unit Audit Internal ( Internal Audit Charter ) PT Catur Sentosa Adiprana, Tbk

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

KODE ETIK VALIDATOR LEMBAGA AKREDITASI MANDIRI PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2013

PERATURAN SENAT MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK SENAT MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TATA LAKU KEPROFESIAN

INDONESIAN HYPNOSIS ASSOCIATION (ASOSIASI HIPNOSIS INDONESIA)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepot

SURAT KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS ESA UNGGUL NOMOR : 03/SK-R/UEU/I/2012 TENTANG TATA TERTIB KEHIDUPAN KAMPUS UNIVERSITAS ESA UNGGUL

Pedoman Audit Internal (Internal Audit Charter) Lampiran, Surat Keputusan, No:06/FMI-CS/III/2017 Tentang Penetapan Kepala Unit Audit Internal

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR :16/DPR RI/I/ TENTANG KODE ETIK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

RUMAH SAKIT UMUM AULIA Jl. Raya Utara No. 03 Telp. (0342) , Fax. (0342) Kembangarum - Sutojayan - Blitar

2 Menetapkan : 3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik I

PIAGAM AUDIT INTERNAL PT SILOAM INTERNATIONAL HOSPITALS TBK.

KETUA SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NURUL JADID

SOSIALISASI KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KAB.BANTUL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

Kode Etik Pegawai Negeri Sipil

PERTEMUAN 10 ETIKA PENELITIAN

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

NOMOR: 10/LAPSPI- PER/2015 TENTANG KODE ETIK MEDIATOR/AJUDIKATOR/ARBITER PERBANKAN INDONESIA

PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Audit Internal

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

PIAGAM UNIT AUDIT INTERNAL PT NUSANTARA PELABUHAN HANDAL TBK ( Perseroan )

2017, No tentang Kode Etik Pegawai Badan Keamanan Laut; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembara

ETIKA AKADEMIK. Program Studi D3 Keperawatan

IKATAN KELUARGA ALUMNI STAR BPKP PERATURAN KETUA IKA STAR BPKP NOMOR. TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK IKA STAR BPKP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KODE ETIK PSIKOLOGI. Metaetika dan Etika Terapan. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI

PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR : PER 02/BAKTI/ TENTANG KODE ETIK ARBITER

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran

Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari

HIMPSI. Santi E. Purnamasari, M.Si., Psi. 2014

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 10 /Menhut-II/2012 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 8 Tahun : 2014

ETIKA KEPERAWATAN YUNIAR MANSYE SOELI

BAB IV PENUTUP. 1. Peran organisasi profesi Notaris dalam melakukan pengawasan terhadap

ETIKA PERILAKU (CODE OF CONDUCT) ARBITER/MEDIATOR BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

PERATURAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN NOMOR 005 TAHUN 2015

PERATURAN BADAN AUDIT KEMAHASISWAAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK BADAN AUDIT KEMAHASISWAAN

Kode Etik Profesi. Ade Sarah H., M.Kom

PIAGAM KOMITE AUDIT. 1. Anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris.

PT AKBAR INDO MAKMUR STIMEC TBK. PIAGAM AUDIT INTERNAL

KABUPATEN WAY KANAN PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR 02 TAHUN 2015 TENTANG

KODE UNIT : O JUDUL UNIT

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA UNIVERSITAS JEMBER NOMOR 1 TAHUN 2017 tentang KODE ETIK KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA

KODE ETIK DAN DISIPLIN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH

RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 83 TAHUN 2017 TENTANG

KEPUTUSAN KETUA SEKOLAH TINGGI PENYULUHAN PERTANIAN BOGOR Nomor : 12/Kpts/SM.140/J.4.5/IV/2013

PIAGAM AUDIT INTERNAL

KODE ETIK GLOBAL TAKEDA

KODE ETIK PEMASOK. Etika Bisnis

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG KODE ETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2017 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PSIKOLOG KLINIS

Administrative Policy Bahasa Indonesian translation from English original

2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In

BUPATI MURUNG RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA NOMOR 33 TAHUN 2017 TENTANG

KODE ETIK PEMASOK 1. UPAH YANG DI BAYARKAN CUKUP UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP

KEPUTUSAN KEPALA DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR : 800/125/SK/SET-1/DLH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

PERATURAN KEPALA DINAS PENDIDIKAN KOTA PONTIANAK NOMOR: 51/KEP/2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DI LINGKUNGAN DINAS PENDIDIKAN KOTA PONTIANAK

PIAGAM AUDIT INTERNAL

PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUKU KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN BAPPEDA KABUPATEN BOYOLALI BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2013

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seiring dengan meningkatnya kompetisi dalam dunia kerja, setiap

Indorama Ventures Public Company Limited

PUSAT MEDIASI NASIONAL

Sesi 7: Pelecehan Seksual

KEPUTUSAN KEPALA DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR : / 4078 / 2015

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 26 TAHUN 2016

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

Modul ke: KODE ETIK PSIKOLOGI Bab IV. Hubungan Antar Manusia (Pasal 13-22) Fakultas PSIKOLOGI Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog Program Studi PSIKOLOGI www.mercubuana.ac.id

BAB IV. HUBUNGAN ANTAR MANUSIA

Pasal 13. Sikap Profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta berkewajiban untuk: a. Mengutamakan dasar-dasar profesional. b. Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya. c. Melindungi pemakai layanan psikologi dari aakibat yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya.

d. Mengutamakan ketidakberpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut. e. Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak negatif tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberitahu.

Pasal 14. Pelecehan 1. Pelecehan seksual Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan keilmuannya tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah permintaan hubungan seks, cumbuan fisik, perilaku vernal atau non verbal yang bersifat seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan atau peran sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi. Pelecehan seksual dapat terdiri dari satu perilaku yang intens/parah, atau perilaku yang berulang, bertahan/sangat meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:

a. tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat menimbulkan suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung permusuhan yang dalam hal ini Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau b. bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap seseorang dalam konteks tersebut, c. sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut diduga dapat merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.

2. Pelecehan lain Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan secara sadar terlibat dalam perilaku yang melecehkan atau meremehkan individu yang berinteraksi dengan mereka dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras, suku, bangsa, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau status sosialekonomi.

Pasal 15. Penghindaran Dampak Buruk Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihakpihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan dampak buruk untuk halhal yang tak terhindarkan tetap dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam hal seperti ini maka pemakai layanan psikologi serta pihakpihak lain yang terlibat harus mendapat informasi tentang kemungkinan-kemungkinan t b t

Pasal 16. Hubungan Majemuk 1. Hubungan majemuk terjadi apabila: a. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedang dalam peran profesionalnya dengan seseorang dan dalam waktu yang bersamaan menjalankan peran lain dengan orang yang sama, atau b. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam waktu yang bersamaan memiliki hubungan dengan seseorang yang secara dekat berhubungan dengan orang yang memiliki hubungan profesional dengan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut.

2. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindari dari hubungan majemuk apabila hubungan majemuk tersebut dipertimbangkan dapat merusak objektivitas, kompetensi atau efektivitas dalam menjalankan fungsinya sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, atau apabila beresiko terhadap eksploitasi atau kerugian pada orang atau pihak lain dalam hubungan profesional tersebut.

3. Apabila ada hubungan majemuk yang diperkirakan akan merugikan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan langkah-langkah yang masuk akal untuk mengatasi hal tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik orang yang terkait dan kepatuhan yang maksimal terhadap kode etik. 4. Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dituntut oleh hukum, kebijakan institusi, atau kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan lebih dari satu peran, sejak awal mereka harus memperjelas peran yang dapat diharapkan dan rentang kerahasiannya, bagi diri sendiri maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.

Pasal 17. Konflik Kepentingan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan psikologi tersebut.

Pasal 18. Eksploitasi 1. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur eksploitasi, yaitu: a. Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang sedang mereka supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan, peserta penelitian, orang yang menjalani pemeriksaan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya.

b. Terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan mahasiswa atau mereka yang berada di bawah bimbingan dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki wewenang evaluasi atau otoritas langsung. c. Pemanfaatan atau eksploitasi atau terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan pengguna layanan psikologi

2. Eksploitasi data Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi data dari mereka yang sedang disupervisi, dievaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan, partisipan penelitian, pengguna jasa layanan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya dimana data tersebut digunakan atau dimanipulasi digunakan untuk kepentingan pribadi.

Hubungan sebagaimana tercantum pada (1) dan (2) harus dihindari karena sangat mempengaruhi penilaian masyarakat pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi ataupun mengarah pada eksploitasi.

Pasal 19. Hubungan Profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan profesional yaitu hubungan antar profesi yaitu hubungan dengan sesama Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi serta hubungan dengan profesi lain. 1. Hubungan antar profesi a. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati, dan menjaga hakhak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.

b. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi seyogyanya saling memberikan umpan balik konstruktif untuk peningkatan keahlian profesinya. c. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan profesinya dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi. d. Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar batas kompetensi dan kewenangan, dan butir a), b), dan c) di atas tidak ebrhasil dilakukan, maka wajib melaporkan kepada organisasi profesi.

2.Hubungan dengan profesi lain a.psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain. b.psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan.

Pasal 20. Informed Consent Setiap proses di bidang psikologi yang meliputi penelitian/pendidikan/pelatihan/asesmen/inte rvensi yang melibatkan manusia harus disertai dengan informed consent.

Informed consent adalah persetujuan dari orang yang akan menjalani proses di bidang psikologi yang meliputi penelitian/pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi. Persetujua dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani pemeriksaan/ yang menjadi subjek penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah: Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan. Perkiraan waktu yang dibutuhkan. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan. Keuntungan dan/atau resiko yang dialami selama proses tersebut. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses tersebut.

Dalam konteks Indonesia pada masyarakat tertentu yang mungkin terbatas pendidikannya, kondisinya atau yang mungkin rentan memberikan informed consent secara tertulis maka informed consent dapat dilakukan secara lisan dan dapat direkam atau adanya saksi yang mengetahui bahwa yang bersangkutan bersedia. Informed consent yang berkaitan dengan proses pendidikan dan/atau pelatihan terdapat pada pasal 40; yang berkait dengan asesmen psikologi terdapat pada pasal 64; serta yang berkait dengan konseling dan psikoterapi pada pasal 73 dalam buku Kode Etik ini.

Pasal 21. Layanan Psikologi Kepada dan/atau Melalui Organisasi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang memberikan layanan psikologi kepada organisasi/ perusahaan memberikan informasi sepenuhnya tentang: Sifat dan tujuan dari layanan psikologi yang diberikan Penerima layanan psikologi Individu yang menjalaniu layanan psikologi Hubungan antar Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan organisasi dan orang yang menjalani layanan psikologi Batas-batas kerahasiaan yang harus dijaga Orang yang memiliki akses informasi

Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dilarang oleh organisasi peminta layanan untuk memberikan hasil informasi kepada orang yang menjalani layanan psikologi, maka hal tersebut harus diinformasikan sejak awal proses pemberian layanan psikologi berlangsung.

Pasal 22. Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan kegiatan dan menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi halhal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian, terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain. Sebelum layanan psikologi dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali kondisinya tidak memungkinkan.

1.Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena: a.ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit atau meninggal. b.salah satu dari mereka pindah ke kota lain. c.keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi. d.keterbatasan pemberian imbalan dari penerima jasa layanan psikologi.

2. Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghentikan layanan psikologi apabila: a. Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa layanan psikologi yang telah dilakukan b. Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang menjalani pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang bersangkutan sehingga timbul perasaan tak nyaman atau tidak sehat pada salah satu atau kedua belah pihak.

Terima Kasih Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog