BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana Terkini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tengah dan pleura (Soemantri dkk., 1991). ISPbA dapat dijumpai dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA DENGAN METODE GYSSENS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jamur, virus, dan parasit (Dorland, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Saifudin, 2008). Infeksi Luka Operasi (ILO) memberikan dampak medik berupa

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertukaran gas setempat (Dahlan Z, 2010). negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, berdasar data Riskesdas tahun 2007, pneumonia telah menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini akan membahas tentang evaluasi terapi penggunaan antibiotik

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

membunuh menghambat pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN PNEUMONIA KOMUNITI

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. hampir selalu menempati urutan teratas, terutama di negara-negara berkembang

IV. Mekanisme pembersihan di respiratory

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Definisi Pneumonia. distal dari brokiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan

STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyakit infeksi paru yang berperan dalam morbiditas dan mortalitas pada anak-anak dan orang dewasa diseluruh dunia. Antibiotik merupakan obat yang digunakan pada penyakit infeksi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak di dasarkan pada indikasi (Hadi, 2009). Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Selain itu tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related Problems (DRP). Sehubungan dengan adanya DRP, setiap farmasis harus dapat mendeteksi, mengatasi dan mencegah masalah-masalah yang terjadi atau akan terjadi dalam pengelolaan dan penggunaan antibiotika (Worokarti, et al, 2005). Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20-35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empirik (PDPI, 2003). Sekitar 12 dari 1000 orang dewasa terkena pneumonia yang didapat di masyarakat (community acquired) setiap tahunnya. Satu dari 1000 orang tersebut perlu perawatan rumah sakit dan tingkat mortalitas pasien pneumonia ini sekitar 1

2 10% (Rubenstein et al., 2003). Begitu pula di Provinsi Jawa Tengah, sebesar 80%-90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan oleh pneumonia. Prevalensi penderita pneumonia di Jawa Tengah pada tahun 2010 mencapai 26,76% (Dinkes Sukoharjo, 2010). Sedangkan angka kejadian pneumonia pada anak di Sukoharjo, Jawa Tengah tahun 2011 mencapai 2,2% (Dinkes Jateng, 2011). Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita/15 detik) dari 9 juta total kematian balita. Oleh karena itu, UNICEF menyebutkan bahwa pneumonia disebut sebagai pembunuh balita yang terlupakan atau The Forgotten Killer of Children. World Health Organization (WHO) juga menyatakan bahwa insiden pneumonia pada balita di negara dengan Angka Kematian Bayi (AKB) di atas 40 per kelahiran hidup adalah 15-20% per tahun (Nastiti, 2008). Evaluasi penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui rasionalitas terapi antibiotik. Gyssens mengembangkan evaluasi penggunaan antibiotik untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik yang meliputi ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian (Gyssens & Meer, 2001). Metode Gyssens merupakan suatu alat untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang telah digunakan secara luas di berbagai negara (The Amrin Study, 2005). Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi lebih lanjut penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dengan judul penelitian Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Dengan Metode Gyssens di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi Surakarta Tahun 2013. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013?

3 2. Apakah penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013 sudah tepat berdasarkan standar Pedoman dan Diagnosis Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui gambaran penggunaan antibiotik Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013. 2. Untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dengan metode Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013 yang dibandingkan dengan standar penggunaan antibiotik menurut Pedoman dan Diagnosis Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003. D. Tinjauan Pustaka 1. Antibiotik a. Definisi Antibiotik berasal dari kata anti = lawan, bios = hidup, adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay & Rahardja, 2007). b. Klasifikasi Pada umumnya terapi empiris untuk pneumonia yang digunakan adalah agen antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007). Golongan antibiotik yang di rekomendasikan olehpedoman dan Diagnosis Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003 antara lain: 1) Golongan Betalaktam Antibiotika ini dibagi menjadi dua jenis golongan yaitu penisilin dan sefalosporin. a) Penisilin Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-r saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis

4 dinding sel (Sukandar, 2008). Golongan penisilin yang umumnya digunakan dalam terapi pneumonia komunitas adalah ampisilin, amoksisilin, piperacillin-tazobactam dan ampicillin-sulbaktam. b) Sefalosporin Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup Enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Sukandar, 2008). Generasi pertama sefalosporin meliputi cefaleksin, cefradin, cefradoksil dan cefazolin. Generasi kedua seperti cefaklor, cefamandol dan cefuroksim. Generasi ketiga yaitu cefiksim, cefotaxim, ceftazidim dan ceftriaxone, dan generasi keempat seperti cefipime dan cefpirome. 2) Golongan Kuinolon Golongan jenis ini terdiri dari asam nalidiksat dan fluorokuinolon yang bekerja dengan menghambat DNA-gyrase. Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae. Fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin, ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain.(kemenkes RI, 2011). Golongan kuinolon yang umumnya digunakan untuk terapi pneumonia adalah levofloksasin, gatifloksasin dan moksifloksasin. 3) Golongan Makrolida Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela. Azitromisin dan klaritomisin dapat menghambat Haemophylus influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap Helicobacter pylori (Kemenkes RI, 2011).

5 Golongan makrolid ditambahkan jika pneumonia disertai infeksi bakteri atipik. c. Resistensi Resistensi bakteri adalah suatu keadaaan dimana kehidupan bakteri itu sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran antibiotika. Sifat ini merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh dari suatu makhluk hidup. Resistensi bakteri merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus karena menyebabkan terjadinya banyak kegagalan pada terapi dengan antibiotika. Penggunaan antibiotika secara berlebihan dan tidak selektif akan meningkatkan kemampuan bakteri untuk bertahan (Stitzel & Craig, 2005). Resistensi bakteri terhadap agen antimikroba disebabkan oleh tiga mekanisme umum, yaitu : 1) Kegagalan obat untuk mencapai target. Membran luar bakteri gram negatif adalah penghalang yang dapat menghalangi molekul polar besar untuk masuk ke dalam sel bakteri. Molekul polar kecil, termasuk seperti kebanyakan antimikroba, masuk ke dalam sel melalui saluran protein yang disebut porin. Ketiadaan, mutasi, atau kehilangan porin dapat memperlambat masuknya obat ke dalam sel atau sama sekali mencegah obat untuk masuk ke dalam sel, yang secara efektif mengurangi konsentrasi obat di situs aktif obat. 2) Inaktivasi obat. Resistensi bakteri terhadap aminoglikosida dan antibiotik beta laktam biasanya hasil dari produksi enzim yang memodifikasi atau merusak antibiotik. 3) Perubahan target kerja antibiotik. Hal ini mencakup mutasi dari target alami (misalnya, resistensi fluorokuinolon), modifikasi dari target kerja (misalnya, perlindungan ribosom dari makrolida dan tetrasiklin), atau akuisisi bentuk resisten dari target yang rentan (misalnya, resistensi stafilokokus terhadap metisilin yang disebabkan oleh produksi varian Penicillin Binding Protein yang berafinitas lemah) (Katzung, 2004).

6 2. Pneumonia a. Definisi Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolis respiratorus dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Sudoyo et al., 2007). Mikroorganisme cenderung menyerang traktus respiratorius bawah melalui aspirasi sekret orofaringeal dan berhubungan dengan flora bakteri, inhalasi dari aerosol yang terinfeksi dan penyebaran hematogenik. Kecepatan perkembangan (penyemaian) mikroorganisme dalam traktus respiratorius bawah tergantung pada ukuran inokulum, virulensi mikroorganisme dan kerentangan hospes (Tierney et al., 2002). Gambar 1. Pneumonia (Harvard Health Publications) b. Penyebab Pneumonia Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan imunitas (inang), mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris serta prognosis dari pasien (Sudoyo et al., 2007).

7 Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling sering pneumonia kendati banyak bakteri lainnya (termasuk Staphylococcus aureus, Hemophilus influenzae, Chlarrydia pneumoniae, Moraxella catarrhalis, Lagionella pneumophila, Klebsiella pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Coxiella burnetti) dan virus (termasuk RSV, parainfluenza dan influenza) dapat pula menyebabkan pneumonia. Pneumonia fungal (misalnya Pneumocystis caxini, Cryptococcus neoformans, Aspergillus fumigatus) dapat terjadi pada pasienpasien yang sistem imunnya terganggu (misalnya pada pasien infeksi HIV, pasien yang menjalani kemoterapi) (Berkowitz, 2013). c. Etiologi Murwani (2011) menyebutkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pneumonia, diantaranya: bakteri, virus, jamur, dan pendukung lain seperti malnutrisi, selesma (commond cold), dan penyakit berat (syok, koma, kelumpuhan). Berikut tabel yang menunjukkan perbedaan penyebab pada pneumonia komuniti dan nosokomial. Komuniti Tabel 1. Etiologi yang umum pada pneumonia komuniti dan nosokomial Lokasi sumber Penyebab Streptococcus pneumonia Mycobacterium tubercolosis Legionella pneumonia Haemophillus influenzae Influenza tipe A, B, C Aderovina Nosokomial Staphylococcus aureus Basil usus gram negatif (Escherichia coli) Klebsiella pneumonia Pseudomonas aeroginosa (Syamsudin & Keban, 2003) d. Klasifikasi Pneumonia secara khas dikelompokkan menjadi dapatan komunitas (Community Acquired Pneumonia) dan dapatan rumah sakit (Hospital Acquired

8 Pneumonia). Pneumonia anaerob dan abses paru dapat terjadi bersamaan dengan kedua tipe pneumonia dan memerlukan perhatian tersendiri (Tierney et al., 2002). 1) Pneumonia dapatan komunitas (Community Acquired Pneumonia) Pneumonia yang didapat di komunitas didefinisikan sebagai suatu penyakit yang dimulai di luar rumah sakit atau didiagnosa dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit pada pasien yang tak tinggal dalam fasilitas perawatan jangka panjang selama 14 hari atau lebih sebelum onset gejala (Tierney et al., 2002). Pneumonia yang didapat dari komunitas terjadi ketika terdapat suatu defek pada satu atau lebih mekanisme pertahanan normal hospes, atau ketika terdapat suatu inokulum infeksius yang sangat besar, atau membanjirnya kuman patogen bervirulensi tinggi (Tierney et al., 2002). Diketahui berbagai patogen yang cenderung dijumpai pada faktor resiko tertentu misalnya Haemophillus influenzae pada pasien perokok, patogen atipikal pada pasien lansia, gram negatif pada pasien dari rumah jompo. Patogen pneumonia komunitas rawat inap diluar ICU 20-70% tidak diketahui penyebabnya. S. pneumoniae dijumpai pada 20-60%, Haemophillus influenzae dijumpai sekitar 3-10%. Patogen pada pneumonia komunitas ICU sebanyak 10%, 50-60% tidak diketahui penyebabnya, sekitar 33% disebabkan S. Pneumoniae (Sudoyo et al., 2007). 2) Pneumonia dapatan rumah sakit (Hospital Acquired Pneumonia) Pneumonia yang didapat di rumah sakit atau nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia) adalah suatu penyakit yang dimulai 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit, yang tak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk rumah sakit. Pneumonia yang berhubungan dengan ventilator berkembang pada pasien-pasien dengan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam setelah inkubasi (Tierney et al., 2002). Kolonisasi bakteri pada faring dan mungkin pada perut merupakan langkah paling penting dalam patogenesis pneumonia nosokomal. Kolonisasi pada faring ditingkatkan oleh faktor eksogen (instrumental saluran nafas atas dengan pipa nasogastrik dan endotrakea, kontaminasi oleh tangan dan peralatan

9 yang kotor dan pengobatan dengan antibiotik spektrum luas dimana meningkatkan timbulnya organisme yang resisten obat dan faktor pasien (malnutrisi, usia lanjut, perubahan kesadaran, gangguan menelan, dan penyakit paru dan sistemik yang mendasari) (Tierney et al., 2002). Pemeriksaan minimal pada kecurigaan Hospital Acquired Pneumonia meliputi kultur darah dari dua tempat yang berbeda. Kultur darah dapat mengidentifikasi kuman patogen hingga 20% pada semua pasien dengan Hospital Acquired Pneumonia. Nilai positif berhubungan dengan peningkatan resiko komplikasi dan tempat infeksi lain (Tierney et al., 2002). e. Diagnosis Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi (Sudoyo et al., 2007). Pemeriksaan penunjang pada penyakit paru : (Djojodibroto, 2009) 1) Pemeriksaan darah rutin, karena menurut Dahlan dan Soemantri (2001) pada kebanyakan penyakit paru sering terjadi leukositosis. 2) Pemeriksaan jumlah hemoglobin, untuk menilai apakah pasien mengalami anemia atau tidak. Pemeriksaan Packed cell volume (PVC) untuk menilai apakah terdapat polisitema. 3) Pemeriksaan mikrobiologik darah. 4) Pemeriksaan sputum, dengan maksud untuk mendaptkan informasi tentang: organisme patogen, sitologi sel ganas, perhitungan sel, dan diferensial sel, ph, protein, glukosa, LDH (Lactate dehydrogenase) dan berat jenis. Soetrisno (2002) menyatakan bahwasputum berwarna kuning sampai kehijauhijauan adalah salah satu tanda pada penyakit pneumonia. 5) Pemeriksaan rontgen dada (X-ray). Menurut Dahlan dan Soemantri (2001) penyebaran infeksi (misal, lobus dan bronkial), multipel asbes atau infiltrat, empiema (Staphylococcus), dan penyebaran atau lokasi infiltrasidapatterlihat dengan dilakukannya pemeriksaan rontgen.

10 Diagnosis pasti pneumonia komuniti adalah jika ditemukan adanya infiltrat progesif pada foto toraks dengan ditemukan adanya dua atau lebih gejala berikut: (PDPI, 2003) 1) Batuk terus-menerus 2) Dahak mengalami perubahan karakteristik 3) Suhu tubuh 38 o C 4) Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya konsolidasi, suara napas bronchial dan ronki 5) Leukosit 10.000 atau < 4500 Penilaian tingkat keparahan pneumonia komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti yang tercantum pada tabel 2 berikut: Tabel 2a. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT Karakteristik penderita Poin Faktor demografi Usia : laki-laki Umur (tahun) Perempuan Umur (tahun)-10 Perawatan dirumah Penyakit penyerta +10 Keganasan +30 Penyakit hati +20 Gagal jantung kongestif +10 Penyakit serebrovaskuler +10 Penyakit ginjal +10 Pemeriksaan fisis Perubahan status mental +20 Pernafasan > 30 kali/menit +20 Tekanan darah sistolik 90 mmhg +20 Suhu tubuh < 35 o C atau > 40 o C +15 Nadi 125 kali/menit +10 Hasil laboratorium atau radiologi Analisis gas darah arteri : ph 7,35 +30 BUN > 30 mg/dl +20 Natrium < 130 meq/liter +20 Glukosa > 250 mg/dl +10 Hematokrit < 30% +10 PO 2 60 mmhg +10 Efusi pleura +10 (PDPI, 2003) Selanjutnya dilakukan penjumlahan poin-poin pada hasil PORT. Berdasarkan penjumlahan tersebut kemudian dikategorikan menurut kelas risikonya, sehingga

11 dapat ditentukan penanganan yang harus dilakukan, seperti yang tercantum pada tabel 3. Tabel 3. Derajat skor risiko menurut PORT Risiko Kelas Jumlah poin Penanganan Rendah I 0 Rawat jalan II <70 Rawat jalan III 71-90 Rwat jalan/rawat inap Sedang IV 91-130 Rawat inap Berat V >130 Rawat inap (PDPI, 2003) Tahap kedua, melakukan skoring berdasarkan indeks tingkat keparahan pneumonia pada tabel 2a. Sistem skor pada pneumonia ditunjukkan pada tabel 2b berikut: Tabel 2b. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT Karakteristik penderita Poin Faktor demografi Usia : laki-laki Umur (tahun) Perempuan Umur (tahun)-10 Perawatan dirumah Penyakit penyerta +10 Keganasan +30 Penyakit hati +20 Gagal jantung kongestif +10 Penyakit serebrovaskuler +10 Penyakit ginjal +10 Pemeriksaan fisis Perubahan status mental +20 Pernafasan > 30 kali/menit +20 Tekanan darah sistolik 90 mmhg +20 Suhu tubuh < 35 o C atau > 40 o C +15 Nadi 125 kali/menit +10 Hasil laboratorium atau radiologi Analisis gas darah arteri : ph 7,35 +30 BUN > 30 mg/dl +20 Natrium < 130 meq/liter +20 Glukosa > 250 mg/dl +10 Hematokrit < 30% +10 PO 2 60 mmhg +10 Efusi pleura +10 (PDPI, 2003) Tahap ketiga, dilakukan penjumlahan poin-poin pada tahap kedua. Berdasarkan penjumlahan tersebut kemudian dikategorikan berdasarkan kelasnya, sehingga dapat diperkirakan probabilitas mortalitasnya. Seperti pada tabel 2c berikut :

12 Tabel 2c. Indeks tingkat keparahan pneumonia Menentukan kelas dan mortalitas dengan menggunakan PSI Kelas Jumlah Poin Probabilitas Mortalitas (%) I 0 0,1 II <70 0,6 III 71-90 2,8 IV 91-130 8,2 V >130 19,2 (Ringel, 2012) f. Penatalaksanaan Terapi Pengobatan pneumonia terdiri atas terapi antibiotik dan pengobatan suportif. Terapi antibiotik sebaiknya berdasarkan jenis mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, tetapi karena beberapa alasan tertentu, yaitu : 1) Penyakit berat yang mengancam jiwa. 2) Bakteri patogen yang di isolasi belum pasti sebagai penyebab pneumonia. 3) Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. Maka, terapi empiris adalah pilihan pertama untuk penderita pneumonia. (PDPI, 2003) Secara umum pemilihan antibiotik untuk terapi empiris berdasarkan jenis bakteri penyebab pneumonia adalah sebagai berikut: (PDPI, 2003) 1) Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP): golongan penisilin, TMP- SMZ dan makrolid. 2) Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP): betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan), sefotaksim, seftriakson dosis tinggi, makrolid baru dosis tinggi dan fluorokuinolon respirasi. 3) Pseudomonas aeruginosa: aminoglikosida, seftazidim, tikarsilin, karbapenem dan siprofloksasin. 4) Metisilin resisten Staphylococcus aureus (MRSA): vankomisin, teikoplanin dan linezolid. 5) Hemophilus influenzae: TMP-SMZ, azitromisin, sefalosporin generasi 2 atau 3 dan fluorokuinolon respirasi. 6) Legionella: makrolid, fluorokuinolon dan rifampisin. 7) Mycoplasma pneumoniae: doksisiklin, makrolid dan fluorokuinolon. 8) Chlamydia pneumoniae: doksisikin, makrolid dan fluorokuinolon.

13 Penderita pneumonia berat diobservasi tingkat keparahannya, bila masih stabil pasien dirawat diruang biasa, bila terjadi respiratory distress maka pasien dirawat di ruang rawat intensif (PDPI, 2003). Perlu juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi terhadap mikroorganisme patogen tertentu. Faktor modifikasi terdiri dari: 1) Pneumokokus resisten terhadap penisilin a. Usia di atas 65 tahun b. Selama tiga bulan terakhir menggunakan obat-obat golongan betalaktam c. Pecandu alkohol d. Gangguan kekebalan e. Adanya penyakit penyerta yang multipel 2) Bakteri enterik gram negatif a. Tinggal di rumah jompo b. Adanya penyakit kelainan jantung c. Adanya kelainan penyakit yang multipel d. Riwayat penggunaan antibiotik 3) Pseudomonas aeruginosa a. Bronkiektasis b. Menggunakan kortikosteroid lebih dari 10 mg/hari c. Pada bulan terakhir menggunakan antibiotik spektrum luas lebih dari 7 hari Berikut tabel penentuan terapi pneumonia komuniti berdasarkan tingkat keparahannya.

14 Tabel 4. Antibiotik empiris pada pneumonia komuniti Rawat jalan 1. Tanpa faktor modifikasi: golongan betalaktam atau betalaktam + anti betalaktamase. 2. Dengan faktor modifikasi : golongan betalaktam + antibetalaktamase atau flourokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin). 3. Bila dicurigai pneumonia atipik : makrolid baru (roksitromisin, klaritomisin, azitromisin). Rawat inap biasa 1. Tanpa faktor modifikasi : golongan betalaktam + antibetalaktamse iv atau sefalosporin generasi 2, generasi 3 iv atau flourokuinolon respirasi iv. 2. Dengan faktor modifikasi : sefalosporin generasi 2, generasi 3 iv atau flourokuinolon respirasi iv. 3. Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru. Ruang rawat intensif 1. Tidak ada faktor resiko infeksi Pseudomonas: sefalosporin generasi 3 iv non Pseudomonas + makrolid baru atau flourokuinolon respirasi iv. 2. Ada faktor resiko infeksi Pseudomonas: sefalosporin anti Pseudomonas iv atau karbapenem iv + flourokuinolon anti Pseudomonas (siprofloksasin) iv atau aminoglikosida iv. (PDPI, 2003) 3. Metode Gyssens Kualitas penggunaan antibiotik untuk terapi empiris dan profilaksis umumnya dinilai dari data yang tersedia pada penelitian lokal dan resistensi mikroba serta dari informasi yang didapatkan pada epidemiologi infeksi dan organisme penyebab secara lokal (Gyssens, 2005). Banyak parameter yang telah dibuat untuk mengoptimalkan penilaian kualitas penggunaan antibiotik. Peningkatan penggunaan antibiotik secara bijak menjadi solusi dalam mengatasi resistensi (Gyssens & Meer, 2001). Metode Gyssens berbentuk diagram alir yang diadaptasi dari kriteria Kunin et al. Metode ini mengevaluasi seluruh aspek peresepan antibiotika seperti penilaian peresepan, alternatif yang lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah dan spektrum lebih sempit. Selain itu juga dievaluasi lama pengobatan dan dosis, interval dan rute pemberian serta waktu pemberian (Gyssens, 2005).