BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu merupakan hasil sumber daya yang berasal dari hutan yang dapat di jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat dijadikan bahan baku untuk konstruksi bangunan, mebel ataupun kerajinan. Namun kondisi hutan dari tahun ke tahun produksi kayu semakin menurun. Hal ini menyebabkan nilai jual kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan semakin sedikitnya total hutan yang ada di indonesia. Menurut BPS (2013), volume produksi untuk jati di Gunungkidul tahun 2011 sebesar 86.063,495 m 3 dan menurun pada tahun 2012 menjadi 55.958,450 m 3. Luas lahan hutan jati yang dikelola Perum Perhutani di pulau Jawa pada tahun 2011 mencapai sekitar 1.100.534 dan menghasilkan kayu gergajian jati sebesar 14.757 m 3 dari total kayu jati penghara sebesar 45.151 m 3 (Perhutani, 2012). Dengan demikian, maka usaha perkayuan melalui hutan merupakan peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Simon, 2008). Salah satu hasil kayu yang dominan dari hutan rakyat adalah jati. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi DIY (2012), potensi kayu di 5 daerah yaitu Panggang, Paliyan, Karangmojo, Playen, dan Bantul yang paling tinggi yaitu kayu jati sebesar 213.131 batang, kemudian Mahoni sebesar 10.866 batang, selanjutnya kayu Sono dan Akasia. Jati merupakan salah satu jenis kayu paling komersial dengan nilai tinggi. Jati memiliki kelas kuat I-II dan kelas awet II dimana 1
kayu jati memiliki zat ekstraktif yang didalamnya bersifat racun bagi unsur perusak kayu (Martawijaya dkk., 1981). Kayu jati memiliki arah serat yang lurus sehingga kayu jati mudah untuk di kerjakan, namun kayu jati memiliki sifat pengeringan relatif lambat. Pengeringan kayu adalah proses wajib dalam pengolahan kayu solid yang membutuhkan proporsi energi dan biaya yang cukup tinggi serta waktu yang cukup lama (Listyanto dkk., 2013). Tujuan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air sampai pada kadar air yang diinginkan, dengan cacat yang minimal (Simpson, 1991). Proses ini memberi manfaat seperti: peningkatan stabilitas dimensi, penurunan biaya angkut, meningkatnya sifat-sifat mekanika kayu seperti keteguhan lengkung statis, mengurangi peluang terserang serangga, jamur dan organisme perusak kayu lainnya, meningkatnya sifat perekatan dan finishing, meningkatnya sifat pengerjaan, meningkatnya sifat isolator listrik dan panas yang baik (Listyanto dkk., 2009). Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas kayu jati adalah melalui pengeringan yang cepat dan tepat. Melalui pengeringan alami, kayu jati dalam bentuk papan dengan ketebalan 1 cm dengan target kadar air 40% dikeringkan dalam waktu 15 hari, sedangkan pengeringan dengan tanur pengeringan papan dengan tebal 2,5 cm dengan target kadar air 10%-40% bisa dalam waktu 5-6 hari (Martawijaya dkk., 1981). Hasil observasi di industri, waktu pengeringan kayu dengan ketebalan 10 cm membutuhkan waktu 45 hari. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mempercepat proses pengeringan kayu jati. Salah satu upaya untuk mempercepat proses pengeringan adalah dengan perlakuan awal membuat lubang incising (Listyanto dkk., 2013). Proses incising 2
merupakan upaya untuk mempercepat proses pengeringan dan menyeragamkan distribusi kadar air (Listyanto dkk., 2013). Secara teknis, incising adalah proses pelubangan pada kayu dengan diameter yang cukup kecil (2-3 mm) dengan arah tegak lurus arah serat kayu yang akan menciptakan permukaan imaginer (imaginary surfaces), dimana air di dalam kayu akan bergerak lebih cepat ke area tersebut dibandingkan bergerak keluar melalui permukaan kayu yang sebenarnya (Simpson, 1991). Dengan adanya permukaan imaginer tersebut maka akan memperpendek waktu yang dibutuhkan air di bagian dalam kayu untuk keluar. Adanya lubang lubang pada kayu yang di incising akan mempengaruhi distribusi kadar air kayu. Dimana hal ini berkaitan dengan kerapatan kayu yang di incising. Adanya proses pengeringan dengan perlakuan incising diharapkan dapat mengurangin waktu pengeringan kayu jati, cacat cacat yang terjadi dan meningkatkan sifat mekanika kayu. Pada penelitian sebelumnya mengenai incising dengan menggunakan laser, waktu pengeringan dapat dikurangi hingga 70 % dari waktu yang dibutuhkan dengan pengeringan tanpa incising pada kayu Maple (Simpson, 1987). Pada penelitian dengan menggunakan kayu Sugi yang di incising dengan laser dan dikeringkan dengan microwave, proses pengeringan menjadi lebih cepat hingga 5 kali lipat dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya (Listyanto dkk., 2013). Namun biaya untuk memasang alat laser yang terlalu mahal menjadi pertimbangan untuk diaplikasikan pada skala pabrik khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Alternatif alat yang dapat digunakan adalah bor karena harganya yang lebih murah (Riddick, 1986). 3
Sifat mekanika kayu yang di-incising dipengaruhi oleh jenis kayu dan kerapatan incising (Suttie, 2009). Kerapatan incising yang tinggi memiliki lubang yang lebih banyak dibanding dengan kerapatan rendah. Namun, kerapatan yang tinggi mengakibatkan kekuatan mekanika kayu yang semakin rendah. Winandi dan Morrel (1998) mengatakan bahwa kerapatan lubang incising 7000 atau 8500 incision/m 2 dengan kedalaman 5-10 mm (pada proses pengawetan kayu di Amerika Utara) menyebabkan penurunan Modulus of Elasticity sebesar 0-10%, Modulus of Rupture sebesar 15-25% dan Work to Maximum Load sebesar 30-50%. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian menggunakan variasi kerapatan incising yang lebih rendah untuk mengetahui sifat mekanika kayu jati yang di keringkan. Kecepatan pengeringan semakin menurun seiring dengan peningkatan ketebalan sortimen (Simpson, 1991). Semakin tebal papan/kayu maka kecepatan pengeringannya akan menurun (Brown dkk., 1952). Menurut Simpson (1991) kecepatan pengeringan semakin menurun seiring dengan peningkatan ketebalan sortimen dimana kayu yang lebih tebal mudah mengalami cacat dibandingkan kayu yang tipis. Perbedaan kecepatan pengeringan akan disarankan dengan dikeringkan secara tidak bersamaan. Mempertimbangkan berbagai permasalahan yang ada, maka perlu upaya mempercepat pengeringan kayu jati pada berbagai sortimen. Perlakuan incising dengan berbagai kerapatan perlu di uji keefektifannya dalam penerapan di kayu jati. 4
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : a) Mengetahui pengaruh kerapatan incising terhadap kecepatan dan cacat-cacat pengeringan tiga jenis sortimen kayu jati. b) Mengetahui pengaruh kerapatan incising terhadap kekuatan mekanika kayu jati yang dikeringkan. 1.3 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan bisa mendapatkan informasi mengenai pengaruh perlakuan incising dengan bor untuk mempercepat proses pengeringan dan meminimalisir cacat-cacat pengeringan yang terjadi. 5