BAB I PENDAHULUAN. jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

24 Media Bina Ilmiah ISSN No

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1 perbandingan bahan Sifat Beton Baja Kayu. Homogen / Heterogen Homogen Homogen Isotrop / Anisotrop Isotrop Isotrop Anisotrop

JENIS KAYU DARI HUTAN RAKYAT UNTUK MEBEL DAN KERAJINAN

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kayu gergajian Bagian 2: Pengukuran dimensi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. kayu jati sebagai bahan bangunan seperti kuda-kuda dan kusen, perabot rumah

PENGOLAHAN KAYU (WOOD PROCESSING) Abdurachman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

BAB I PENDAHULUAN. dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Anonim, 2006). Dengan. Banyak faktor yang membuat potensi hutan menurun, misalnya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Macam Kayu Menurut Susunannya. Pengetahuan Bahan

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di

PENGAWETAN KAYU. Eko Sri Haryanto, M.Sn

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari 35 Kabupaten di Provinsi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

DIKTAT PENGERINGAN KAYU. Oleh: Efrida Basri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setempat serta keadaan ekologis berbeda dengan di luarnya (Spurr 1973).

BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin

KUALITAS PENGERINGAN KAYU MAHONI PADA BERBAGAI VARIASI KERAPATAN INCISING DENGAN DUA SKEDUL PENGERINGAN SUHU TINGGI

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan akan banyak terjadi peristiwa yang bisa dialami oleh pohon yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ( Jamilah, 2009 ). Menurut Direktorat Bina Produksi Kehutanan (2006) bahwa

PEMBUATAN BATANG SILINDRIS DENGAN VARIASI UKURAN PARTIKEL SEKAM DARI SEKAM PADI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

WORKING PLAN SIMPLE WALL SHELF S001

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu

TEKNOLOGI PEMBUATAN BAMBU LAMINA SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI KAYU

MORFOLOGI DAN POTENSI. Bagian-Bagian Kayu - Kulit kayu - Kambium - Kayu gubal - Kayu teras - Hati - Lingkaran tahun - Jari-jari

Kayu gergajian daun lebar Bagian 1: Klasifikasi, persyaratan dan penandaan

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni

BAB I PENDAHULUAN. hutan semakin hari semakin berkurang. Untuk mengurangi ketergantungan akan

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bahan baku industri terus meningkat jumlahnya, akan tetapi rata-rata pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dari tahun seluas 8,91 juta

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN DAN WAKTU KEMPA TERHADAP SIFAT PAPAN PARTIKEL SERUTAN BAMBU PETUNG BERLAPIS MUKA PARTIKEL FESES SAPI

BAB V ANALISIS HASIL

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam dari sektor kehutanan merupakan salah satu penyumbang

Analisis Perbandingan Perhitungan Teknis Dan Ekonomis Kapal Kayu Pelayaran Rakyat Menggunakan Regulasi BKI Dan Tradisional

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga didunia

TUGAS AKHIR PENGARUH PERUBAHAN TEMPERATUR PENGERING TERHADAP KUALITAS KAYU SUREN, SENGON, DAN MAHONI

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi 2) Manfaat dan Keunggulan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu

TINJAUAN PUSTAKA. (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika

I. PENDAHULUAN. kayu juga merupakan komoditi ekspor, penghasil devisa, maka kualitas kayu

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang material komposit,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER I. NAMA MATA KULIAH : TEKNOLOGI PENGOLAHAN MEBEL DAN KERAJINAN KAYU

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai

KARAKTERISTIK KOMPOSIT TANPA PEREKAT (BINDERLESS COMPOSITE) DARI LIMBAH PENGOLAHAN KAYU

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

SNI MUTU SIRAP DEWAN STANDARDISASI NASIONAL- DSN SNI UDC STANDAR NASIONAL INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan. Pemilihan serat bambu (petung) sebagai bahan penelitian dengan. dengan pertumbuhan yang relatif lebih cepat.

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI

Kayu. Umum. TKS 4406 Material Technology I. (wood or timber)

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGGERGAJIAN KAYU. Oleh : Arif Nuryawan, S.Hut, M.Si NIP

SIFAT-SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU KERUING - SENGON. Oleh : Lorentius Harsi Suryawan & F. Eddy Poerwodihardjo

BAB I PENDAHULUAN. jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. organisme hidup yaitu tumbuhan (Praptoyo, 2010). Kayu termasuk salah satu hasil

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu merupakan hasil sumber daya yang berasal dari hutan yang dapat di jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat dijadikan bahan baku untuk konstruksi bangunan, mebel ataupun kerajinan. Namun kondisi hutan dari tahun ke tahun produksi kayu semakin menurun. Hal ini menyebabkan nilai jual kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan semakin sedikitnya total hutan yang ada di indonesia. Menurut BPS (2013), volume produksi untuk jati di Gunungkidul tahun 2011 sebesar 86.063,495 m 3 dan menurun pada tahun 2012 menjadi 55.958,450 m 3. Luas lahan hutan jati yang dikelola Perum Perhutani di pulau Jawa pada tahun 2011 mencapai sekitar 1.100.534 dan menghasilkan kayu gergajian jati sebesar 14.757 m 3 dari total kayu jati penghara sebesar 45.151 m 3 (Perhutani, 2012). Dengan demikian, maka usaha perkayuan melalui hutan merupakan peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Simon, 2008). Salah satu hasil kayu yang dominan dari hutan rakyat adalah jati. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi DIY (2012), potensi kayu di 5 daerah yaitu Panggang, Paliyan, Karangmojo, Playen, dan Bantul yang paling tinggi yaitu kayu jati sebesar 213.131 batang, kemudian Mahoni sebesar 10.866 batang, selanjutnya kayu Sono dan Akasia. Jati merupakan salah satu jenis kayu paling komersial dengan nilai tinggi. Jati memiliki kelas kuat I-II dan kelas awet II dimana 1

kayu jati memiliki zat ekstraktif yang didalamnya bersifat racun bagi unsur perusak kayu (Martawijaya dkk., 1981). Kayu jati memiliki arah serat yang lurus sehingga kayu jati mudah untuk di kerjakan, namun kayu jati memiliki sifat pengeringan relatif lambat. Pengeringan kayu adalah proses wajib dalam pengolahan kayu solid yang membutuhkan proporsi energi dan biaya yang cukup tinggi serta waktu yang cukup lama (Listyanto dkk., 2013). Tujuan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air sampai pada kadar air yang diinginkan, dengan cacat yang minimal (Simpson, 1991). Proses ini memberi manfaat seperti: peningkatan stabilitas dimensi, penurunan biaya angkut, meningkatnya sifat-sifat mekanika kayu seperti keteguhan lengkung statis, mengurangi peluang terserang serangga, jamur dan organisme perusak kayu lainnya, meningkatnya sifat perekatan dan finishing, meningkatnya sifat pengerjaan, meningkatnya sifat isolator listrik dan panas yang baik (Listyanto dkk., 2009). Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas kayu jati adalah melalui pengeringan yang cepat dan tepat. Melalui pengeringan alami, kayu jati dalam bentuk papan dengan ketebalan 1 cm dengan target kadar air 40% dikeringkan dalam waktu 15 hari, sedangkan pengeringan dengan tanur pengeringan papan dengan tebal 2,5 cm dengan target kadar air 10%-40% bisa dalam waktu 5-6 hari (Martawijaya dkk., 1981). Hasil observasi di industri, waktu pengeringan kayu dengan ketebalan 10 cm membutuhkan waktu 45 hari. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mempercepat proses pengeringan kayu jati. Salah satu upaya untuk mempercepat proses pengeringan adalah dengan perlakuan awal membuat lubang incising (Listyanto dkk., 2013). Proses incising 2

merupakan upaya untuk mempercepat proses pengeringan dan menyeragamkan distribusi kadar air (Listyanto dkk., 2013). Secara teknis, incising adalah proses pelubangan pada kayu dengan diameter yang cukup kecil (2-3 mm) dengan arah tegak lurus arah serat kayu yang akan menciptakan permukaan imaginer (imaginary surfaces), dimana air di dalam kayu akan bergerak lebih cepat ke area tersebut dibandingkan bergerak keluar melalui permukaan kayu yang sebenarnya (Simpson, 1991). Dengan adanya permukaan imaginer tersebut maka akan memperpendek waktu yang dibutuhkan air di bagian dalam kayu untuk keluar. Adanya lubang lubang pada kayu yang di incising akan mempengaruhi distribusi kadar air kayu. Dimana hal ini berkaitan dengan kerapatan kayu yang di incising. Adanya proses pengeringan dengan perlakuan incising diharapkan dapat mengurangin waktu pengeringan kayu jati, cacat cacat yang terjadi dan meningkatkan sifat mekanika kayu. Pada penelitian sebelumnya mengenai incising dengan menggunakan laser, waktu pengeringan dapat dikurangi hingga 70 % dari waktu yang dibutuhkan dengan pengeringan tanpa incising pada kayu Maple (Simpson, 1987). Pada penelitian dengan menggunakan kayu Sugi yang di incising dengan laser dan dikeringkan dengan microwave, proses pengeringan menjadi lebih cepat hingga 5 kali lipat dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya (Listyanto dkk., 2013). Namun biaya untuk memasang alat laser yang terlalu mahal menjadi pertimbangan untuk diaplikasikan pada skala pabrik khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Alternatif alat yang dapat digunakan adalah bor karena harganya yang lebih murah (Riddick, 1986). 3

Sifat mekanika kayu yang di-incising dipengaruhi oleh jenis kayu dan kerapatan incising (Suttie, 2009). Kerapatan incising yang tinggi memiliki lubang yang lebih banyak dibanding dengan kerapatan rendah. Namun, kerapatan yang tinggi mengakibatkan kekuatan mekanika kayu yang semakin rendah. Winandi dan Morrel (1998) mengatakan bahwa kerapatan lubang incising 7000 atau 8500 incision/m 2 dengan kedalaman 5-10 mm (pada proses pengawetan kayu di Amerika Utara) menyebabkan penurunan Modulus of Elasticity sebesar 0-10%, Modulus of Rupture sebesar 15-25% dan Work to Maximum Load sebesar 30-50%. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian menggunakan variasi kerapatan incising yang lebih rendah untuk mengetahui sifat mekanika kayu jati yang di keringkan. Kecepatan pengeringan semakin menurun seiring dengan peningkatan ketebalan sortimen (Simpson, 1991). Semakin tebal papan/kayu maka kecepatan pengeringannya akan menurun (Brown dkk., 1952). Menurut Simpson (1991) kecepatan pengeringan semakin menurun seiring dengan peningkatan ketebalan sortimen dimana kayu yang lebih tebal mudah mengalami cacat dibandingkan kayu yang tipis. Perbedaan kecepatan pengeringan akan disarankan dengan dikeringkan secara tidak bersamaan. Mempertimbangkan berbagai permasalahan yang ada, maka perlu upaya mempercepat pengeringan kayu jati pada berbagai sortimen. Perlakuan incising dengan berbagai kerapatan perlu di uji keefektifannya dalam penerapan di kayu jati. 4

1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : a) Mengetahui pengaruh kerapatan incising terhadap kecepatan dan cacat-cacat pengeringan tiga jenis sortimen kayu jati. b) Mengetahui pengaruh kerapatan incising terhadap kekuatan mekanika kayu jati yang dikeringkan. 1.3 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan bisa mendapatkan informasi mengenai pengaruh perlakuan incising dengan bor untuk mempercepat proses pengeringan dan meminimalisir cacat-cacat pengeringan yang terjadi. 5