II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Burung Hantu ( Tyto alba ) dan Pemanfaatannya Partisipasi Masyarakat

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation yang berarti pengambilan

TERMINOLOGI PARTISIPATIF

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH

BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB V PENUTUP. Kelompok Tani Lestari Indah di Tanjung Laut Indah, Bontang Selatan, Bontang adalah:

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

LEMBAR KONFIRMASI KOMPETENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Rencana Strategis (RENSTRA)

SIDANG TESIS MAHASISWA: ARIF WAHYU KRISTIANTO NRP DOSEN PEMBIMBING : Ir. SRI AMIRANTI SASTRO HUTOMO, MS

PROJECT MANAGEMENT BODY OF KNOWLEDGE (PMBOK) PMBOK dikembangkan oleh Project Management. Institute (PMI) sebuah organisasi di Amerika yang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran perlunya pembangunan berkelanjutan.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PRODUKSI BERSIH (Cleaner Production) HA Latief Burhan Universitas Airlangga

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN

MODUL 1: PENGANTAR TENTANG KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA. USAID Adapt Asia-Pacific

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 1 TAHUN 2014 PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KERANGKA TEORITIS

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. teoretik. Manajemen strategi didefinisikan sebagai ilmu tentang perumusan

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

Engineering Sustainability (Rekayasa Berkelanjutan) Joko Sedyono Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta 2015

PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN. Materi ke 2

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR. No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0085

1. MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PENGADILAN

Partisipasi masyarakat lokal..

PUSANEV_BPHN. Overview ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK. Oleh:

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

BAB I PENDAHULUAN. 1 Monitoring dan Evaluasi dalam Program Pemberdayaan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

MENDORONG INOVASI DOMESTIK MELALUI KEBIJAKAN LINTAS LEMBAGA

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.2 Oktober 2009 ISSN : PENDEKATAN SISTEM DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA DAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR DAN LAUTAN

METODOLOGI Kerangka Pemikiran

PERENCANAAN PARTISIPATIF

BAGIAN I. PENDAHULUAN

MANAJEMEN DALAM KOPERASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi secara efektif dan efisien (Schief dan Lewin,1970; Welsch, Hilton, dan

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan berkomunikasi tidak hanya dilakukan oleh individu sebagai

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

STATUTA FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA JAWA BARAT PEMBUKAAN

Materi Teknis RTRW Kabupaten Pidie Jaya Bab VIII

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

OLEH DR. DARSIHARJO, M.S. JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FPIPS - UPI

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASPEK LINGKUNGAN 12/12/ rosyzandra/skb/unira

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

6 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Good Governance. Etika Bisnis

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja

BAB 2 TELAAH PUSTAKA 2.1 Manajemen Kinerja

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Suratmo (1992), menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilaku yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta lingkungan hidup. Lingkungan hidup dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu 1. Lingkungan fisik-kimia; 2. Lingkungan biologi; 3. Lingkungan manusia yang meliputi bentuk sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), menjelaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Menurut Nuswardani (1989), pengelolaan lingkungan hidup tersebut pada dasarnya bertujuan untuk 1. Menjamin kesehatan dan kesejahteraan manusia. 2. Melindungi alam (lingkungan) seperti tanah, udara, air, tumbuhan, dan hewan dari gangguan alam dan manusia yang sifatnya merusak. 3. Menghilangkan, menghapus atau memberantas bahaya, kerusakan, kerugian dan bahan-bahan lain yang disebabkan oleh perilaku manusia. 4. Memperbaiki mutu atau kualitas lingkungan. Sedangkan tindakan-tindakan manusia dalam mengelola lingkungan ada dua, yaitu: (a) tindakan yang sifatnya biologis-ekologi ; dan (b) tindakan yang sifatnya teknologis-higienis. Manusia dalam usaha memenuhi kebutuhannya dan meningkatkan kesejahteraannya telah melakukan berbagai kegiatan dari bentuk yang sederhana sampai yang modern, dari sedikit mengubah sumberdaya alam dan lingkungan sampai yang menimbulkan perubahan besar. Pada awalnya alam memiliki kemampuan untuk pulih secara alamiah, tetapi kegiatan manusia

11 semakin lama menimbulkan banyak perubahan pada sumberdaya alam dan lingkungan. Perubahan tersebut seringkali masih dapat ditoleransi oleh manusia karena dianggap tidak menimbulkan kerugian pada manusia secara langsung. Tetapi perubahan yang makin besar akhirnya akan berdampak positif maupun negatif bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menyebabkan manusia mulai meninjau kembali semua kegiatannya dan berusaha untuk menghindari kegiatan yang dapat menimbulkan dampak negatif, serta mencari cara untuk mencegah timbulnya dampak tersebut agar kesejahteraan dan kehidupannya tidak terancam. Gambar 3 menunjukkan bahwa kegiatan manusia untuk mencapai kesejahteraannya akan menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap lingkungan. Kegiatan Manusia Pembangunan Ekonomi Kesejahteraan Manusia Dampak pada Lingkungan (positif dan negatif) Gambar 3. Hubungan antara kegiatan manusia dengan dampaknya terhadap lingkungan. Studi kelayakan merupakan salah satu syarat sebuah rencana kegiatan pembangunan untuk mendapatkan perizinan. Studi kelayakan tersebut meliputi kelayakan teknis, kelayakan ekonomis dan kelayakan lingkungan (Gambar 4). Kelayakan teknis bertujuan untuk melihat apakah secara teknis kegiatan yang direncanakan dapat dilakukan. Kelayakan ekonomis bertujuan untuk melihat apakah secara ekonomi kegiatan yang direncanakan akan menguntungkan atau tidak. Sedangkan kelayakan lingkungan menekankan pada apakah kegiatan yang direncanakan akan memberi dampak negatif terhadap ekosistem; lingkungan fisik, kimia, biologi, dan sosial budaya; serta kesehatan lingkungan dan masyarakat.

12 Studi Kelayakan Teknis Studi Kelayakan Lingkungan Studi Kelayakan Ekonomis Studi Kelayakan Proyek Berjalan Dampak Lingkungan Pengelolaan Lingkungan Gambar 4. Hubungan tiga jenis studi kelayakan. Hasil studi kelayakan lingkungan yang dilakukan oleh pihak pemrakarsa akan menjadi dasar bagi pemerintah dalam mengambil keputusan tentang kelayakan suatu rencana kegiatan dari aspek lingkungan. Ada tiga alternatif keputusan yang akan diambil oleh pemerintah, yaitu 1. Proyek tidak layak untuk dibangun; 2. Proyek layak untuk dibangun sesuai dengan usulan (tanpa prasyarat); 3. Proyek layak untuk dibangun tetapi dengan saran-saran tertentu yang harus diikuti pemilik proyek (dengan syarat). Pada saat proyek sudah berjalan, laporan studi kelayakan lingkungan merupakan alat untuk memberikan penilaian dan keputusan yaitu membandingkan hasil pemantauan dengan apa yang telah tertulis di dalam dokumen pengelolaan lingkungan. Dokumen utama dari studi kelayakan lingkungan adalah dokumen analisis dampak lingkungan yang memuat analisis prakiraan dampak yang dikaji secara cermat dan mendalam (Sutjahjo, 2003). Secara garis besar langkah-langkah dalam melakukan analisis prakiraan dampak adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan komponen-komponen lingkungan yang diduga akan terkena dampak. Dalam mengidentifikasi komponen-komponen tersebut dan kegiatan

13 proyek yang akan menimbulkan dampak dapat menggunakan berbagai matriks identifikasi dampak atau skema aliran dampak. 2. Menghitung besaran dampak yang akan terjadi, sehingga dapat disajikan secara kuantitatif. Apabila besaran tidak mungkin disajikan secara kuantitatif dapat disajikan secara kualitatif. Perhitungan dapat dilakukan dengan berbagai model matematika, kecuali untuk bidang biologi, sosial-ekonomi-budaya sering belum memiliki bentuk model matematika, kecuali untuk prevalensi penyakit, tingkat pendapatan, dan jumlah penduduk yang terkena dampak, sehingga seringkali hanya mempercayakan kepada professional judgment dari anggota tim ahli yang membidanginya. 3. Evaluasi atau analisis serta pembahasan dari dampak yang diperkirakan akan timbul. Dalam langkah ini anggota tim menggunakan ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya untuk melakukan analisis dan evaluasi dampak. 4. Menyusun upaya-upaya yang akan diusulkan untuk pengendalian dampak negatif dan meningkatkan dampak positif yang akan disusun secara rinci dalam dokumen rencana pengelolaan lingkungan serta rencana pemantauannya dalam dokumen rencana pemantauan lingkungan. Dampak lingkungan dalam dokumen kelayakan lingkungan harus disajikan secara jelas dan tersusun dengan baik sehingga mereka yang mengevaluasi dapat secara cepat mendapat gambaran dari dampak yang akan timbul dan bagaimana sifat dampak tersebut. Dampak yang terjadi pada setiap komponen lingkungan dan dampak pada proyek harus dibahas satu per satu secara kuantitatif dan kualitatif, yang meliputi uraian dampak langsung dan tidak langsung, upaya-upaya menghindari atau mengurangi dampak negatif, termasuk upaya-upaya untuk meningkatkan dampak positif. 2.2. Kinerja Manajemen Perusahaan Dalam Pengelolaan Limbah Sumberdaya perusahaan merupakan segala sesuatu yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang berguna untuk menjamin kelangsungan kegiatan/tujuan perusahaan. Setiap perusahaan memiliki keterbatasan sumberdaya. Untuk itu, pemanfaatan secara optimal perlu dilakukan agar penggunaan sumberdaya yang dimiliki dapat dilakukan secara efektif dan efisienk unt mencapai tujuan

14 perusahaan. Tujuan perusahaan dapat berupa memproduksi barang atau jasa tertentu yang akan dihasilkan dalam satuan waktu, perusahaan juga memiliki tujuan untuk memperoleh pendapatan bersih yang maksimal. Bahkan tidak tertutup kemungkinan perusahaan memiliki tujuan lain, seperti jumlah maksimal limbah yang dihasilkan, tingkat minimal gaji karyawan, dan lain sebagainya. Untuk mencapai tujuan yang berbeda-beda tersebut dalam waktu bersamaan diperlukan suatu pengalokasian sumberdaya dengan menggunakan konsep optimasi melalui pendekatan keberlanjutan yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. 2.3. Partisipasi dan Kemitraan Dalam Pengelolaan Limbah 2.3.1. Partisipasi Arenstein (1969) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah A categorical terms for citizen power. It is the redistribution of power that enables the have not citizens, presently excluded from the political and economic processes, to deliberately include in the future. Definisi ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa depannya. Menurut Arenstein (1969) partisipasi berarti mengambil bagian atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain, selain itu partisipasi juga berarti keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah, strategi dalam kebijaksanaan kegiatan, memikul beban dan pelaksanaan kegiatan, serta memetik hasil dan manfaat kegiatan secara adil (Tjokroamidjojo, 1990). Partisipasi didefinisikan dengan luas tergantung pada konteks dan latar belakang dalam mengaplikasikan partisipasi. Komisi Ekonomi Amerika Latin mendefinisikan partisipasi sebagai kontribusi sukarela oleh orang-orang dalam suatu program publik yang berkontribusi pada pengembangan nasional, tetapi masyarakat tidak diharapkan mengambil bagian dalam program shopping dengan mengkritisi isinya. Partisipasi juga termasuk keterlibatan masyarakat dalam proses

15 pengambilan keputusan, mengimplementasikan program-program, pembagian keuntungan dalam program pembangunan dan keterlibatan masyarakat dalam upaya-upaya mengevaluasi program. Suatu proses yang melibatkan masyarakat umum dikenal sebagai peran serta masyarakat, yaitu proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan dianalisa oleh badan yang berwenang. Secara sederhana Canter (1996) mendefinisikan partisipasi sebagai komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan (feed-forward information) dan komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan tentang kebutuhan (feedback information). Dari sudut terminologi, peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Lebih khusus peran serta masyarakat merupakan suatu cara untuk membahas insentif material yang mereka butuhkan. Peran serta masyarakat merupakan insentif moral untuk mempengaruhi lingkup-makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka. Cormick (1979) dalam Ananta (2000) membedakan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Peran serta masyarakat yang bersifat konsultatif, antara pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu. Keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan tersebut. Untuk peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat keputusan dan anggotaanggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membahas keputusan. Masih banyak yang memandang peran serta masyarakat hanya sebagai penyampaian informasi (public information), penyuluhan, bahkan sebagai alat

16 public relation agar proyek tersebut dapat berjalan tanpa hambatan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat tidak hanya digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga digunakan sebagai tujuan (participation is an end itself). Dalam teori politik terdapat dua paham teori, yaitu teori Participatory Democracy, yang menggugat paham teori Elite Democracy. Paham Elite Democracy melihat hakekat manusia sebagai makhluk yang mementingkan diri sendiri, pemburu kepuasan diri pribadi dan menjadi tidak rasional terutama jika mereka dalam kelompok. Ini menyebabkan apabila terjadi konflik kepentingan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, maka pengambilan keputusan sepenuhnya merupakan kewenangan dari kelompok elite yang menjalankan pemerintahan. Kalaupun ada peran serta masyarakat, pelaksanaannya hanya terjadi pada saat pemilihan orang-orang yang duduk dalam pemerintahan. Paham Participatory Democracy berpendapat bahwa manusia pada hakekatnya mampu menyelaraskan kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial. Penyelarasan kedua macam kepentingan tersebut dapat terwujud jika proses pengambilan keputusan menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk mengungkapkan kepentingan dan pandangan mereka. Proses pengambilan keputusan yang menyediakan kelompok kepentingan untuk berperan serta di dalamnya, dapat mengantarkan kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan satu sama lain. Dengan demikian, perbedaan kepentingan dapat dijembatani. Arnstein (1969) dalam Ananta (2000) menformulasikan peran serta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan rakyat (citizen participation is citizen power). Dimana terjadi pembagian kekuatan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not citizens) yang sekarang dikucilkan dari proses politik dan ekonomi untuk terlibat. Peran serta masyarakat adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Hal ini dikenal lewat tipologinya yang sebut dengan Delapan Tangga Peran Serta Masyarakat (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation). Pertama, partisipasi masyarakat pada tingkatan manipulasi (manipulation). Tingkatan partisipasi ini merupakan tingkatan yang paling rendah karena masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan

17 penasehat (advising board). Pada tingkatan ini, partisipasi masyarakat sebenarnya diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa dengan tujuan publik mengetahui bahwa masyarakat juga terlibat dalam proses pembangunan, bahkan sebagai badan penasehat. Kedua, partisipasi masyarakat pada tingkatan terapi (therapy). Tingkat partisipasi ini sebenarnya hanyalah kedok dengan melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan. Para perencana atau perancang sebenarnya memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy. Meskipun masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mengubah pola atau cara pikir masyarakat yang bersangkutan daripada mendapatkan masukan atau usulanusulan mereka. Ketiga, partisipasi masyarakat pada tingkatan pemberian informasi (informing). Pada tingkat ini pihak pelaksana pembangunan memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggung jawabnya, dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran masyarakat. Meskipun demikian, yang sering terjadi penekanannya lebih pada pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kuasa pelaksana pembangunan kepada masyarakat tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam keadaan semacam itu, terutama bila informasi diberikan pada saat-saat terakhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana program tersebut agar dapat menguntungkan mereka. Alat-alat yang sering dipergunakan untuk komunikasi satu arah adalah media berita, pamflet, poster dan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan. Pada tingkatan ini, tidak tercipta komunikasi dialogis atau komunikasi dua arah sehingga aspirasi dari bawah tidak tersalurkan dengan baik. Keempat, partisipasi masyarakat pada tingkatan konsultasi (consultation). Pada tingkatan ini, pihak penyelenggara pembangunan menggali opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat. Akan tetapi, bila konsultasi dengan masyarakat tersebut disertai dengan cara-cara peran yang lain, cara ini tingkat keberhasilannya rendah, karena tidak adanya jaminan bahwa

18 kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering dipergunakan adalah attitude surveys atau survai tentang arah pikira masyarakat, neighbourhood meeting atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan masyarakat. Kelima, partisipasi masyarakat pada tingkatan perujukan (placation). Pada tingkat ini, masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaannya beberapa anggota masyarakatyang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah. Dengan sistem ini usul-usul atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan. Namun demikian, seringkali suara dari masyarakat tersebut tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif lebih rendah, atau jumlah mereka terlalu sedikit dibanding dengan anggota-anggota instansi pemerintah lain. Biasanya masyarakat pada tingkatan ini akan mengalami berbagai kekalahan dalam memperjuangkan keinginan dan aspirasi komunitasnya. Keenam, partisipasi masyarakat pada tingkat kemitraan (partnership). Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijakan dan pemecahan baerbagai masalah yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak manapun. Pada tingkat ini posisi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan pembangunan relatif egaliter (setara). Ketujuh, partisipasi masyarakat pada tingkat pendelegasian kekuasaan (delegated power). Pada tingkat ini, masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini, masyarakat mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini, masyarakat mempunyai kewenangan untuk diperhitungkan bahwa program-program yang akan dilaksanakan bermanfaat bagi

19 mereka. Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah harus mengadakan tawar-menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas. Proses-proses pemberdayaan tampaknya semakin diaplikasikan pada tingkatan ini. Kedelapan, partisipasi peran masyarakat pada tingkat masyarakat yang mengontrol (citizen control). Pada tingkat ini, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspekaspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga atau neighbourhood corporation dapat langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak-pihak ketiga. Pada tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benarbenar memiliki posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melalui apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga. Arnstein (1969) dalam Ananta (2000) menjabarkan peran serta masyarakat yang didasarkan pada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bentuk peran serta yang bersifat upacara semu (empty ritual) dengan bentuk peran serta yang mempunyai kekuatan nyata (real power) yang diperlukan untuk mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses. Menurut Pound et al. (2003) hubungan antara pelaku (stakeholder) dan partisipasinya dibedakan menjadi: 1. Partisipasi kontraktual: seorang pelaku sosial dapat dianggap sebagai pemilik penelitian karena ia melakukan pengambilan keputusan dalam proses inovasi, pelaku-pelaku lain berperan dalam kegiatan yang secara resmi atau tidak resmi dikontrak oleh pelaku pertama. 2. Partisipasi konsultatif: kebanyakan keputusan diambil oleh stakeholder, tetapi tekanan proses adalah pada konsultasi atau pengumpulan informasi dari pelaku-pelaku lain, terutama untuk mengidentifikasikan kendala-kendala dan peluang-peluang, penetapan prioritas dan evaluasi.

20 3. Partisipasi kolaboratif: berbagai pelaku bekerjasama dalam peringkat yang setara, tekanan hubungan diantara mereka adalah pertukaran pengetahuan dan berbagai kekuasaan pengambilan keputusan selama proses inovasi. 4. Partisipasi kolegial: berbagai pelaku bekerjasama sebagai rekan atau mitra, kepemilikan dan tanggung jawab secara merata terbagi diantara mereka, dan pengambilan keputusan dilakukan dengan persetujuan atau konsensus. Arenstein (1969) mengelompokkan delapan tingkatan partisipasi masyarakat menjadi tiga tingkatan menurut pembagian kekuasaan, yaitu: 1. Nonparticipation (tidak ada partisipasi / tingkatan partisipasi masyarakat itu rendah). Tingkatan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah: manipulation dan therapy). 2. Tokenism (tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Termasuk dalam kelompok ini adalah: informing, consultation dan placation. 3. Citizen power, (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Termasuk dalam kelompok ini adalah: partnership, delegated power, citizen control. Dari berbagai definisi dan konsep yang telah dikemukakan, nampaknya semua mengarah kepada keterlibatan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, bahkan menurut Arenstein (1969) tidak hanya terlibat saja namun tingkatannya sampai dengan pendelegasian kekuasaan dan pengawasan. Satu hal yang perlu diingat bahwa efektif tidaknya program-program partisipasi masyarakat ditentukan oleh kepercayaan, komunikasi, kesempatan, dan fleksibilitas (Mitchell dan Setiawan, 2000). Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Sementara itu, derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholder terhadap partisipasi masyarakat (Muluk, 2007).

21 2.3.2. Kemitraan Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Sebagai suatu strategi bisnis, keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis (Hafsah, 1999). Kemitraan akan selalu memberikan nilai tambah bagi pihak yang bermitra dari berbagai aspek seperti manajemen, pemasaran, teknologi, permodalan, dan keuntungan. Kemitraan adalah suatu proses yang dimulai dengan perencanaan, kemudian rencana tersebut diimplementasikan dan selanjutnya dimonitor serta dievaluasi terus menerus oleh pihak yang bermitra, sehingga terjadi alur tahapan pekerjaan yang jelas dan teratur sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Karena kemitraan merupakan suatu proses maka keberhasilannya secara optimal tidak selalu dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Keberhasilannya diukur dengan pencapaian nilai tambah yang didapat oleh pihak yang bermitra baik dari segi material maupun non-material. Pemerintah berperan besar dalam memacu keberhasilan kemitraan terutama dalam menciptakan iklim yang kondusif serta meregulasi peraturan-peraturan yang menghambat, baik langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan upaya-upaya mengembangkan kemitraan. Pemerintah harus berpihak kepada pengusaha kecil, petani, nelayan dan pengrajin dalam mempermudah arus investasi, permodalan, manajemen dan teknologi. Hal tersebut dapat menghasilkan keseimbangan dengan pengusaha besar yang padat modal, teknologi tinggi, dan manajemen yang efisien. Keseimbangan tersebut merupakan faktor kunci untuk memacu percepatan kemitraan yang pada gilirannya berdampak positif pada percepatan pencapaian nilai tambah bagi pihak yang bermitra. Menurut Dharmawan (2005) kemitraan (partnership) adalah salah satu dari enam varian/tipe parcipatory development yang terpenting. Terdapat beberapa tipe/varian model pembangunan partisipatif, dimana pihak negara, lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau masyarakat sipil dan pelaku usaha/swasta bisa menjalin kerjasama. Model-model tersebut dispesifikasikan United Nation

22 Development Program (UNDP) (1999) dalam Dharmawan (2005) sebagai berikut 1. Consultation: pada level ini memerlukan dua jalur komunikasi dimana stakeholder memiliki kesempatan untuk menyatakan pendapat dan perhatian, tetapi tidak menjamin bahwa pendapatnya akan diterima untuk semua atau sebagai tujuannya; 2. Consessus-building: stakeholder berinteraksi dalam upaya memahami sesamanya dan mencapai posisi yang disepakati terhadap semua kelompok. Kelemahannya biasanya pada individu dan kelompok yang menerima kritikan tetap diam (persetujuan pasif); 3. Decision-making: ketika konsensus dibuat atas keputusan bersama, ketentuan ini diawali dari pembagian tanggung jawab untuk memperoleh hasil yang bisa dicapai; 4. Risk-sharing: level ini dibangun terhadap suatu pendahuluan tapi meluas di luar keputusan yang mencakup pengaruh dari hasil, suatu gabungan dari pemanfaatan, penuh resiko, dan konsekuensi alami; 5. Partnership (kemitraan): kerjasama yang memerlukan perubahan diantara kegiatan yang sama terhadap suatu tujuan yang sama. Sebagai catatan bahwa istilah sama yang digunakan bukan dalam pengertian bentuk, struktur, atau fungsi, tapi dalam istilah keseimbangan respek. Ketika kemitraan dibangun atas level pendahuluan, dapat diasumsikan memiliki tanggung jawab yang sama dan berbagi resiko; 6. Self management: merupakan derajat tertinggi dari upaya partisipatori, di mana stakeholder berinteraksi dalam proses pembelajaran yang optimal dari seluruh perhatian. Pongsiri (2002) menyatakan pentingnya transparansi dan kerangka kerjasama (kelembagaan) dalam mendorong terbentuknya kemitraan yang baik. Kelembagaan tersebut memberikan jaminan bagi mitra bahwa sistem yang dibangun akan menangkal berbagai bentuk penyelewengan dan commercial disputes, menghargai kontrak kerja yang disepakati, merupakan legitimasi pemulihan biaya, dan dapat mengatur pembagian keuntungan yang adil. Samii et al. (2002) menyatakan bahwa kunci penting terbentuknya kemitraan yang efektif antara lain

23 1. Terdapat kebergantungan sumberdaya diantara stakeholder dalam kemitraan dan pemahaman bersama bahwa keberhasilan hanya dapat dicapai melalui kerjasama; 2. Ada komitmen bersama yang diwujudkan dalam bentuk alokasi waktu dan sumberdaya; 3. Ada tujuan umum yang ingin dicapai bersama, dan tujuan individu mitra tidak lain merupakan bagian dari tujuan bersama; 4. Ada komunikasi intensif secara berkala melalui berbagai cara dan media; 5. Saling berbagi informasi dan pengetahuan sesama mitra untuk menghindari kesenjangan informasi, pengetahuan, ketrampilan dan kecepatan kemajuan; 6. Ada keselarasan dalam budaya kerja. Kemitraan usaha merupakan solusi untuk mengurangi masalah ketimpangan yang dihadapi oleh sebagian lapisan masyarakat saat ini. Kemitraan dijadikan solusi karena keberadaan, fungsi dan perannya diperlukan untuk memberdayakan semua lapisan masyarakat. Masalah kurangnya distribusi pembangunan pada sebagian masyarakat dapat diminimalisasi dengan sinergi yang dihasilkan dari kemitraan, karena dalam proses kemitraan terjadi komitmen untuk mengembangkan teknologi, manajemen, modal bahan baku dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah bagi semua pihak. Nilai tambah yang didapat merupakan akumulasi dari efisiensi dan produktifitas. Produktifitas akan meningkat apabila dengan input yang sama dapat diperoleh hasil yang lebih tinggi atau sebaliknya dengan tingkat hasil sama hanya membutuhkan input yang lebih rendah. Melalui pendekatan kemitraan, maka peningkatan produktifitas diharapkan dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bermitra. Bagi perusahaan kecil secara individu, peningkatan produktifitas biasanya dicapai secara simultan yaitu dengan cara menambah unsur input baik kualitas maupun kuantitasnya dalam jumlah tertentu tetapi akan diperoleh output dalam jumlah dan kualitas yang berlipat. Efisiensi erat kaitannya dengan produktifitas. Produktifitas merupakan efektifitas dibagi dengan efisiensi, dan efisiensi didefinisikan sebagai doing things right atau terjadi bila output tertentu dapat dicapai dengan input yang minimum.

24 Efektifitas didefinisikan dengan doing the rights things atau mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan. Dari pengertian tersebut efisiensi dan produktifitas sama seperti mata uang dengan sisi yang berbeda, keduanya dapat ditingkatkan dengan meminimalkan pengorbanan (input). Dalam hal efisiensi, input tersebut dapat berbentuk waktu dan tenaga. Penerapannya dalam kemitraan perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, umumnya relatif lemah dalam teknologi dan sarana produksi, dengan bermitra akan dapat menghemat waktu produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Menurut Budiharsono et al. (2006) ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam membangun dan mengembangkan kemitraan, yaitu : 1. Dalam membangun kemitraan, perlu ada pemahaman bersama antara kelompok yang bermitra dengan mengedepankan aspek kesukarelaan dalam menjalankan kemitraan, tujuan bersama, manfaat bersama, nilai-nilai yang sama dan hak berbeda pendapat. Dalam hal ini bukan berarti mengutamakan kepentingan individual dengan selalu menghargai kerjasama yang dilakukan. 2. Adanya pengakuan dan penghargaan akan keberadaan dan kemandirian masing-masing pelaku kemitraan. Ini berarti bahwa perlu pemahaman bersama mengenai kekuatan dan kelemahan masing-masing kelompok mitra, dan melakukan analisa mengenai kesempatan dan ancaman yang akan dihadapi kelompok mitra, serta pengakuan keberadaan dan peranan masingmasing pelaku mitra. 3. Mengelola manajemen kemitraan dengan baik yaitu dengan mengedepankan sifat demokrasi atau partisipasi semua kelompok mitra dengan memberikan masing-masing kontribusi secara optimal. Dalam hal ini sangat diperlukan komunikasi yang baik dan intensif dari kelompok mitra serta saling memelihara alasan kemitraan. 4. Melakukan mekanisme evaluasi secara berkala baik dari segi waktu, tenaga, dana, dan fasilitas yang ada. Ini bertujuan untuk mengetahui apakah masih sama atau masih sejalankah motivasi, arah tujuan yang ingin dicapai,

25 kesesuaian kesepatakan dalam proses berjalannya kemitraan, dan kepercayaan yang telah dibangun bersama antar kelompok mitra. 5. Jangan takut untuk membubarkan diri kalau sudah tidak diperlukan lagi dalam kemitraan. Lebih lanjut Budiharsono et al., (2006) menyatakan bahwa untuk menjalin komunikasi yang baik antara sesama anggota kelompok mitra, maka setiap anggota kelompok harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik dalam membangun dan mengembangkan kemitraan, yaitu : 1. Memberikan Atensi - Memperhatikan anggota lain - Menunjukkan sifat keterbukaan - Menatap muka/mata lawan bicara - Sedikit berkata 2. Mendengarkan pembicaraan anggota kelompok - Mengulangi yang dikatakan orang lain untuk klarifikasi dan akuratisasi - Mengelompokkan dan mengurai point demi point - Menunjukkan perilaku memahami perasaan 3. Menanyakan - Mengajukan pertanyaan untuk klarifikasi - Menguji kembali dengan bertanya - Menunjukkan ekspresi (tanpa kata) dalam bertanya 4. Menerima umpan balik - Menjelaskan kembali secara deskriptif, tanpa menilai atau menghakimi - Umpan balik disampaikan secara konkrit, spesifik, dan terinci - Umpan balik tersebut memang dibutuhkan atau diinginkan - Disampaikan dengan hangat dengan waktu penyampaian yang tepat - Tepat guna bagi penerima Dalam menjalankan kemitraan, ada tiga variabel yang menentukan ketepatan kemitraan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi yaitu individu, organisasi, dan norma sosial (Gambar 5) (Alikodra, 2006). Individu merupakan variabel utama dan pertama yang dapat merubah perilaku dan kebutuhan dari organisasi kemitraan, sedangkan norma sosial akan menjadi

26 landasan bagi sebuah organisasi dalam mencapai tujuan. Proses pencapaian tujuan organisasi akan menjadi lebih mudah bila tujuan dari organisasi juga mengakomodir nilai-nilai norma sosial masyarakat, dalam penelitian ini masyarakat adalah karyawan. Perspektif dan fokus program Norma Peningkatan Komunikasi, Kerjasama, dan Konsultasi konflik Individu Organisasi Komunikasi dan Kerjasama Terciptanya Koordinasi Gambar 5. Rancangan pengembangan struktur organisasi (Alikodra, 2006). 2.3.3 Partisipasi dan Kemitraan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Saat ini publikasi mengenai studi pengelolaan lingkungan pada industri komponen alat berat belum banyak ditemukan. Hal ini mengindikasikan kurangnya penelitian akademis dalam bidang tersebut. Selain itu, kajian dan studi yang sama dengan meletakkan partisipasi dan kemitraan masyarakat sebagai dasar pengelolaannya lebih sulit untuk ditemukan publikasinya. Beberapa publikasi ilmiah yang bisa ditelusuri terkait tema tersebut dijelaskan dalam paparan berikut. Glicken (2000) melakukan kajian tentang upaya memperoleh partisipasi stakeholders secara tepat melalui proses partisipatori dan pilihan-pilihan yang mungkin pada penilaian resiko lingkungan (ecological risk assessment) di Amerika. Selanjutnya, upaya mereduksi emisi dari industri logam (krom) telah dikaji oleh Baral dan Engellken (2002) di Amerika dengan cara mempengaruhi kebijakan publik melalui pendekatan inisiatif kebersamaan (CSI, common sense initiative). Penelitian tentang keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan kajian dampak lingkungan telah dilakukan Soneryd (2004) di Swedia. Sementara pembelajaran sosial tentang partisipasi masyarakat dalam melakukan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) di Eropa telah dipublikasikan oleh Tippett et al. (2005). Selain itu, penelitian tentang model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat telah dilakukan Sudradjat (2011) di Indonesia.

27 Kemitraan juga menjadi fokus dalam beberapa penelitian, salah satunya adalah kebijakan kemitraan lingkungan dan pengelolaan adaptif dalam pengelolaan pesisir di California (Kallis et al., 2009). Penelitian tentang jaringan kemitraan yang merupakan cara baru memperoleh pengetahuan (new ways of knowing) dalam menentukan kebijakan secara inovatif pada pada isu seputar pengeloaan perairan yang sama di Teluk California juga telah dipublikasikan pada tahun yang sama (Lejano dan Ingram, 2009). Kemitraan dan resolusi konflik juga telah menjadi pembahasan dalam penelitian di lokasi yang sama oleh Shilling et al. (2009). 2.4 Manajemen Strategi Manajemen strategi merupakan arus keputusan dan tindakan yang mengarah pada perkembangan suatu strategi atau strategi yang efektif untuk mencapai sasaran perusahaan (Jauch dan Glueck, 1994). Oleh karena itu manajemen strategi besifat dinamis dan memerlukan komitmen untuk menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Wheelen dan Hinger (2001) memberikan penekanan pada pengamatan dan evaluasi peluang, serta ancaman lingkungan dengan melihat kekuatan dan kelemahan perusahaan. Ada beberapa manfaat dari penerapan manajemen strategi dalam perusahaan, antara lain: 1. Memberikan arah jangka panjang yang akan dituju. 2. Membantu perusahaan beradaptasi pada perubahan-perubahan yang terjadi. 3. Menjadikan perusahaan lebih efektif. 4. Mengidentifikasikan keunggulan komparatif suatu perusahaan dalam lingkungan yang semakin beresiko. 5. Mempertinggi kemampuan perusahaan unutk mencegah munculnya masalah dimasa yang akan datang. Menurut Jauch dan Glueck (1994) strategi merupakan rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang menghubungkan berbagai keunggulan yang dimiliki perusahaan dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat. Tujuan strategis berkaitan dengan mengidentifikasi sumberdaya,

28 kapabilitas, dan kompetensi inti yang menjadi basis suatu perusahaan untuk tindakan-tindakan strategisnya. Strategi suatu perusahaan berhubungan erat dengan bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan perusahaan. Menurut Pearce dan Robinson (1991) arti penting strategi bagi perusahaan adalah 1. Strategi merupakan cara untuk mengantisipasi peluang dan ancaman di masa yang akan datang sebagai akibat dari cepatnya perubahan lingkungan. 2. Strategi dapat memberikan gambaran secara jelas kepada semua karyawan tentang arah dan tujuan perusahaan di masa yang akan datang. 3. Strategi bermanfaat unutk memonitor apa yang dikerjakan dan apa yang terjadi sehingga dapat diketahui permasalahan yang terjadi di dalam perusahaan. Menurut David (1997) strategi terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu 1. Strategi tingkat perusahaan (corporate strategy), yaitu strategi yang biasanya dibuat sebagai acuan pokok berbagai strategi pada unit usaha dan strategi fungsional yang disusun. Strategi perusahaan ini akan menggambarkan arah yang menyeluruh bagi suatu perusahaan dalam pertumbuhan dan pengelolaan berbagai bidang usaha guna mencapai keseimbangan produk/jasa yang dihasilkan. 2. Strategi tingkat unit bisnis (bussiness strategy), yaitu strategi bisnis yang menekankan pada usaha peningkatan daya saing perusahaan dalam suatu industri atau segmen pasar. 3. Strategi tingkat fungsional (functional strategy), yaitu strategi yang digunakan untuk menciptakan kerangka kerja untuk manajemen fungsi, seperti produksi, pemasaran, keuangan, sumberdaya manusia, penelitian dan pengembangan. 2.7 Model Menurut Manetsch and Park (1997) model adalah penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), sehingga untuk aspek-aspek tertentu, model akan bertindak seperti dunia nyata. Oleh karena itu maka model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan

29 meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Menurut Forrester (1968), model adalah pengganti dari suatu obyek atau sistem pemodelan adalah suatu gugus aktivitas pembuatan model. Jorgensen (1988) menyatakan model adalah pernyataan formal dari suatu sistem yang terdiri atas parameter penting suatu permasalahan dalam istilah fisik atau matematis, Pemodelan adalah proses membangun suatu sistem nyata dalam suatu bahasa tertentu misalnya dalam bahasa matematik Forrester (1980) Murdick et al. (1984) dan Simatupang (1995) mengemukakan bahwa model sebagai suatu representasi atau formalisasi interaksi berbagai proses yang terjadi dalam suatu sistem nyata. Sistem nyata adalah sistem yang sedang berlangsung yang dijadikan perhatian dan dipermasalahkan, model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi, dimana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap input atau struktur sistem alternative, karena itu, model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowledge base) Eriyatno (2003). Dalam menyelesaikan permasalahan yang kompleks salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan konsep model simulasi. Penggunaan simulasi akan membuat model mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Hal ini menyebabkan model simulasi akan dapat memprediksi dunia riil yang kompleks. Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat bermanfaat dalam sistem analisis, model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah (Blanchord dan Fabrycky, 1981). Dalam pelaksanaan simulasi, model mempunyai peranan yang penting, dan bermanfaat untuk mengkaji suatu sistem yang kompleks. Model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata (Manetsch et al., 1977). Dari berbagai pendapat tersebut

30 diatas, maka model secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya. Menurut Muhammadi et al. (2001), pemahaman struktur dan perilaku sistem akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal, dengan menggunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart). Diagram sebab akibat akan dipergunakan sebagai dasar untuk mebuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program model yang ada dalam software atau program untuk analisis sistem, sehingga setelah dilakukan analisis akan didapatkan kesimpulan dan kebijakan apa yang harus dilaksanakan. Selanjutnya dikatakan bahwa tahapan-tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai berikut : a. Penyusunan konsep Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Variabel-variabel tersebut saling berinteraksi, saling berhubungan, dan saling berketergantungan. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan. b. Pembuatan model. Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus. c. Simulasi. Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. d. Verifikasi dan Validasi Model. Menurut Harrel et al. (2003), verifikasi model adalah proses menentukan apakah model simulasi merefleksikan model konseptual dengan tepat, validasi model adalah proses menentukan apakah model konseptual merefleksikan sistem nyata

31 dengan tepat dan bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang. Penyusunan model itu sendiri terdiri atas beberapa tahap yaitu pendefinisian atau pembatasan masalah, penyusunan model konseptual, penyusunan model matematik, verifikasi dan pengujian keabsahan model. Pembatasan masalah terdiri dari kegiatan penetapan gejala, identifikasi masalah, dan definisi masalah. Penyusunan model konseptual dengan menyusun suatu keterkaitan antar variabel dalam suatu sistem sehingga menghasilkan suatu rangkaian yang mengindikasikan gambaran performance dari apa yang ingin dicapai. Penyusunan model matematika adalah kumpulan keterkaitan variabel-variabel yang membentuk formulasi atau fungsi persamaan yang mengekspresikan sifat pokok dari suatu sistem atau proses fisik. Pada dasarnya keberhasilan suatu model sangat ditentukan oleh kemampuan seorang pemodel dalam mendefinisikan sejumlah elemen yang terkait pada model tersebut pada sistem yang nyata. Hal penting dalam pengembangan model adalah mencari peubah-peubah utama dan peubah-peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian yang terdapat pada peubah-peubah. Secara umum model dibagi 3, yaitu: model ikonik (objek fisik), model analog atau representasi grafis (model visual), dan model simbolik atau model abstrak disebut juga model matematik. Dalam hal ini, khusus untuk ilmu sistem, ilmu sistem memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji.