PRESS RELEASE PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI (PERLUDEM) Selasa, 14 Maret 2017

dokumen-dokumen yang mirip
URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

PENGKODIFIKASIAN UNDANG-UNDANG PEMILU

Mengapa Indonesia Membutuhkan e-rekapitulasi dan. Harus Menghindari Pemungutan Suara Secara Elektronik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

BAB V KESIMPULA DA SARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

ADVOKASI HUKUM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN IDA BUDHIATI ANGGOTA KPU RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

I. PENDAHULUAN. ini merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat serta utusan daerah dan golongan

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014

BAB V PENUTUP. sistem-sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di kedua Pemilu itu

BERITA NEGARA. No.1080, 2012 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM. Pengawasan Pemilu. Tata Cara. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

PERMASALAHAN PEMILIH TANPA KTP ELEKTRONIK MENJELANG PILKADA SERENTAK 2018

Dialog Nasional. Sinergi Nasional Menuju Pemilu Elektronik di Indonesia. Tema: Inovasi Teknologi E-Rekapitulasi Pemilu 2014

No.852, 2014 BAWASLU. Pemilihan Umum. Presiden dan Wakil Presiden. Perolehan Suara. Rekapitulasi. Pengawasan.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Untuk menghimpun seluruh program dan kegiatan yang dilakukan oleh Komisi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB III BAWASLU DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILU. A. Kewenangan Bawaslu dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG

Fokus Pagi Edisi Senin, 11 Agustus 2009 Tema : Hukum Topik : Penolakan MK Terhadap Gugatan JK,Mega

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Keterbukaan informasi akan mendorong partisipasi publik karena dengan

BAB 1 Pendahuluan. 1.1 Pengertian KPPS

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

Pilkada Tenang, Tapi Masih Curang

No.849, 2014 BAWASLU. Kampanye. Pemilihan Umum. Presiden dan Wakil Presiden. Pengawasan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. dan Wakil Bupati dan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. Bagi daerah yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum

Hasil Survey Evaluasi Kinerja KPU dan Bawaslu. ICW-Perludem, 2016

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemilihan Umum (Pemilu) 2.2 Pemungutan Suara

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan Hand Phone atau HP, telah menjadi trend dan gaya hidup

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

TAHAPAN PILPRES 2014 DALAM MEWUJUDKAN BUDAYA DEMOKRASI

BAB III ANALISIS III.1 Analisis Perbandingan terhadap Sistem Lain

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 69/PUU-XII/2014 Sistem Rekapitulasi Berjenjang

2 Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengawasan Pemilihan Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembar

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut.

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM TENTANG

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU PILKADA KOMISI II DPR RI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMILIHAN UMUM Pemilihan. Kepala Daerah. Pedoman.

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang

PEMILUKADA PASCA REFORMASI DI INDONESIA. Oleh : Muhammad Afied Hambali Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta. Abstrack

H. Marzuki Alie, SE.MM. KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. konsep suci penyelenggaran Negara telah membawa perubahan bagi

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. karena keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi terletak pada kemampuan

BAB 3 ANALISIS SISTEM BERJALAN

TAHAPAN PROGRAM DAN JADWAL PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH KABUPATEN TUBAN TAHUN 2011 PUTARAN PERTAMA JADWAL

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Kajian Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Tegas Atas Buruk Laporan Dana Kampanye Partai Politik

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN KPU TENTANG SOSIALISASI, PENDIDIKAN PEMILIH, DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM

PERAN BAWASLU Oleh: Nasrullah

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN I.1

PILKADA lewat DPRD?

Ambiguitas Pengaturan Politik Uang

Pengantar Presiden RI pada Sidang Kabinet Paripurna, di Kantor Presiden, tanggal 1 April 2014 Selasa, 01 April 2014

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih

PP 33/1999, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMILIHAN UMUM. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2 b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum tentang Pengawasan Dana Kam

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik sesuai dengan

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

PETUNJUK PELAKSANAAN LEMBAGA PEMANTAU PEMILIHAN DALAM NEGERI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR DKI JAKARTA TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

SALINAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TUBAN KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TUBAN. NOMOR : 10/Kpts/KPU Kab /2010 TENTANG

Bab III Arah Kebijakan, Strategi, Kerangka Regulasi dan Kerangka Kelembagaan

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU PILKADA KOMISI II DPR RI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

Strategi Mewujudkan Pemilu Berkualitas dan Berintegritas* Oleh Arief Budiman

- 2 - MEMUTUSKAN: BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan:

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu), adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam

Transkripsi:

PRESS RELEASE PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI (PERLUDEM) Selasa, 14 Maret 2017 REKAPITULASI ELEKTRONIK: TEKNOLOGI PEMILU YANG DIBUTUHKAN INDONESIA Gagasan penerapan e-voting dalam pemilu secara kongkrit sudah dimulai sejak tahun 2009. Ditandai dengan dikabulkannya uji materi yang dilakukan oleh Bupati Jembrana berserta beberapa kepala dusun di daerah tersebut terhadap pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Melalui putusannya yang bernomor 147/PUU-VII/2009, MK kemudian memberi tafsiran bahwa pasal yang menyatakan pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara dapat dilakukan dengan menggunakan metode e-voting dengan catatan telah terpenuhinya beberapa persyaratan secara kumulatif, yaitu: (i) tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, (ii) daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan. Putusan MK ini mulai diakomodir di pasal 85 UU No. 1 Tahun 2015 juncto UU No. 10 Tahun 2016 tentang pilkada yang menyatakan bahwa pemberian suara untuk Pemilihan dapat dilakukan dengan cara: memberi suara melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik. Pemerintah, melalui Mendagri Tjahjo Kumolo juga sering menyatakan keinginannya agar metode e-voting mulai digunakan pada pilkada serentak, terutama untuk Pilkada 2017. Hanya saja dengan berbagai pertimbangan teknis, KPU RI belum merealisasikan gagasan tersebut karena dinilai belum mendesak untuk pemilu saat ini. KPU RI pun telah membentuk tim khusus untuk melakukan kajian terkait eligibilitas e-voting untuk pilkada pada saat itu. Dengan dibahasnya RUU Pemilu sejak tahun 2016 yang lalu, DPR RI kembali menggulirkan pembahasan mengenai e- voting untuk kemungkinan digunakan pada Pemilu 2019 mendatang. DPR RI serius dengan rencana ini. Bahkan sudah menjadikan e-voting sebagai salah satu agenda yang akan dikaji oleh Pansus RUU Pemilu selama studi banding kepemiluan di Jerman dan Meksiko. Pasal 329 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) RUU Pemilu yang diajukan pemerintah juga sudah membuka ruang untuk ini. Selengkapnya Pasal tersebut berbunyi: (2) Selain dilakukan dengan cara mencoblos sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian suara dapat dilakukan melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik. (3) Pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan Pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan Pemilu. 1

(4) Pemberian suara secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan Pemerintah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU. BELAJAR DARI NEGARA LAIN Mempelajari e-voting dari pengalaman negara lain yang pernah menerapkannya adalah langkah yang tepat. Hanya saja, pilihan DPR RI untuk belajar e-voting dari Meksiko menimbulkan segudang pertanyaan. Banyak sekali negara-negara lain yang jauh lebih lama dan lebih layak untuk dijadikan sumber pembelajaran selain Meksiko. Kecuali jika Pansus RUU Pemilu turut menggali pengalaman e-voting di Jerman dan tidak sekedar mengkaji sistem pemilunya saja. Selain itu, negara-negara yang juga berpengalaman soal teknologi pungut hitung antara lain: Brazil, Venezuela, India, Philippina, Korea Selatan, Australia, Belanda, Irlandia, Paraguay, dll. Brazil sudah memulai wacana e-voting sejak tahun 1985, namun ujicoba pertamanya dilakukan pada tahun 1989. Hingga tahun 2014, utak-atik teknologinya masih terus dilakukan, termasuk mencabut kembali regulasi yang mewajibkan penggunaan paper trail (VVPAT) sebagai bukti memilih karena persoalan biaya yang terlalu berat. Venezuela telah memulai teknologi pungut hitung sejak tahun 1998 dengan bentuk e-counting, lalu kemudian telah dikembangkan ke e-voting. Tahun 2015, Venezuela melakukan analisis e-voting dengan memeriksa struktur source codenya dan menemukan bahwa sistemnya tidak menjaga kerahasiaan surat suara. India telah memulai pembicaraan soal e-voting sejak tahun 1977, dan digunakan sejak tahun 1998. Perangkat teknologinya sampai sekarang banyak sekali mendapatkan kritikan dan gugatan karena tidak transparan dan banyak dugaan manipulasi. Belanda bahkan telah memulai wacana e-voting sejak tahun 1966. Tahun 2007, Belanda memutuskan untuk tidak lagi menggunakan e-voting akibat peristiwa politik tahun 2006. Saat itu tuntutan untuk penghitungan suara ulang tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya paper trail. Lalu sekelompok komunitas yang menyebut dirinya kami tidak percaya mesin pemungutan suara mengkaji mesin e- voting Belanda dan menggugatnya ke pengadilan. Alhasil, perangkat e-voting dinyatakan tidak boleh dilakukan. Australia sejak tahun 2006 telah mengujicobakan penerapan e-voting di pemilu negara bagiannya, yaitu di Victoria (2006, 2010) dan Canberra (2012). Pengalaman dari Australia, penerapan e-voting sama sekali tidak meningkatkan kualitas pemilunya. Bahkan tim kajian yang mengevaluasi penerapan e-voting di Victoria dan Canberra menyimpulkan teknologi e-voting berbiaya sangat mahal untuk mencitpakan pemilu yang aman dan transparan. E-voting pada akhirnya hanya diperuntukkan bagi disabilitas dan pemilih di luar negeri, tidak untuk pemilu federalnya secara umum. 2

Jerman sendiri telah memulai teknologi e-voting sangat lama, yaitu tahun 1956 dan didahului oleh penggunaan e-counting. Tahun 1975 sistem pemungutan e-voting mulai diterapkan dan kemudian tahun 1997 modelnya diperbaharui dari e-voting elektro-mekanik ke e-voting sepenuhnya elektronik. Tahun 2009, setelah digugat dan dipertimbang, Mahkamah Konstitusi Jerman pada akhirnya melarang penggunaan e-voting karena melanggar beberapa prinsid yang fundamental, yaitu: kurangnya transparansi sistem, sistem yang tidak dapat diaudit, serta sistem yang terlalu rumit. Sehingga pemilu di Jerman setelah tahun 2009 tidak lagi menggunakan teknologi e-voting. Di Meksiko, wacana e-voting sudah dimulai sejak tahun 2000. Uji cobanya telah dimulai sejak tahun 2001 di 3 daerah: Meksiko City, Coahulia dan Jalisco. Namun hingga saat ini, karena berbagai hal e-voting belum dapat digunakan untuk kepentingan pemilu Meksiko secara nasional. Pembelajaran yang diambil dari luar negeri tersebut semestinya menjadi peringatan bagi Pemerintah dan DPR dalam memutuskan penerapan e-voting untuk pemilu Indonesia. Ada negara yang masih menggunakan e-voting namun terus dihadapkan pada gugatan politik, serta banyak juga negara yang meninggalkan e-voting dan beralih ke metode pungut hitung konvensional dengan menggunakan surat suara. Harusnya juga dilakukan penggalian yang mendalam terkait alasan kenapa e-voting ditinggalkan. Jangan sampai Indonesia mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dialami negara lain hanya karena tergesa-gesa dalam memutuskan pilihan. Apalagi jika sekedar mengejar euforia era digital atas nama modernitas. Pencapaian kualitas transparansi pungut hitung yang telah dicapai Indonesia di mata internasional, jangan sampai runtuh hanya karena perubahan yang lahir akibat sasaran pembelajaran yang tidak tepat dan pertimbangan yang tidak matang. KEDEPANKAN KEBUTUHAN, JANGAN KEINGINAN Teknologi pungut hitung, baik dalam bentuk e-voting, e-counting atau e-recap telah diakui oleh konstitusi, sehingga penerapannya sangat dimungkinkan. Namun Perludem memandang, Pemerintah dan DPR RI harus mengedepankan pengkajian teknologi pemilu berdasarkan tujuan dan kebutuhan, bukan didahului oleh model teknologi yang diinginkan. Keinginan yang ditunjukkan oleh Pemerintah maupun DPR, sama sekali belum menggambarkan tujuan sesungguhnya yang ingin dicapai melalui pengkajian teknologi e-voting. Setiap gagasan yang disampaikan ke publik, belum menjelaskan secara menyeluruh jenis persoalan pemilu yang ingin diselesaikan melalui teknologi. Pemanfaatan teknologi bisa berpotensi melahirkan masalah baru jika tidak didasarkan pada solusi-solusi untuk menjawab tantangan yang ada. Sehingga intensi Pemerintah maupun DPR yang dirasa bersandar pada selera teknologi ini sangat dipertanyakan. Berdasarkan catatan Perludem, masalah pemilu yang berkaitan dengan pungut hitung bukan berada pada proses pungut hitung manual yang dilakukan di tingkat TPS. Selama ini, pungut hitung dengan pendekatan manual berjalan sangat baik tanpa persoalan. Prosesnya sangat transparan, karena setiap aktor pemilu baik penyelenggara pemilu, calon kandidat atau partai politik, pemilih dan masyarakat umum dapat terlibat secara langsung dan aktif dalam proses penghitungan. Kualitas 3

akuntabilitasnya juga sangat tinggi, setiap elemen yang hadir dapat mengkonfirmasi keabsahan setiap suara pemilih tanpa ada sekat intelektual. Bahkan praktik pungut hitung di Indonesia saat ini menjadi standar transaparansi bagi internasional. Jika terjadi kerusakan surat suara, maka hal itu sesungguhnya bukan menjadi persoalan utama dari metode pungut hitung yang digunakan. Tetapi soal kualitas sosialisasi pemilu atau bahkan sikap pemilih. Persoalan pungut hitung di pemilu Indonesia terletak pada tahapan rekapitulasi suara yang dilakukan berjenjang sejak tingkatan desa, kecamatan, kabupaten/kota, serta provinsi. Catatan Perludem, kasus-kasus yang terjadi selama pengalaman rekapitulasi suara baik di pemilu maupun pilkada diantaranya: (i) Adanya manipulasi hasil penghitungan suara selama proses rekapitulasi berjenjang, perolehan suara dari TPS berubah saat masuk di proses rekap. (ii) Suara pemilih raib setelah dipindahkan dari TPS, bahkan berbarengan dengan kotak suaranya. (iii) Adanya kesalahan pada teknis pencatatan perolehan suara di form C1. (iv) Adanya kesalahan hitung atau penjumlahan hasil perolehan suara pada form C1. Berdasarkan persoalan yang ada, maka sepatutnya para pihak memikirkan cara untuk mengantisipasi kasus-kasus yang pernah terjadi pada tahan rekapitulasi berjenjang agar tidak terjadi kembali. Bentuknya bisa berupa perubahan mekanisme, penguatan sistem pengendalian, atau merancang teknologi baru. TEKNOLOGI PEMILU YANG DIBUTUHKAN INDONESIA Tahun 2015, KPU RI melalui tim khusus pengkaji e-voting telah menghasilkan rekomendasi rinci mengenai potensi penggunaan e-voting untuk pilkada. Kajian tersebut memperhatikan berbagai model e-voting yang pernah diterapkan, termasuk mesin yang diproduksi oleh BPPT. Kesimpulan yang dihasilkan, bahwa e- voting bukan teknologi yang dibutuhkan untuk mengganti metode pungut hitung di pemilu Indonesia untuk saat ini. Berdasarkan kajian tersebut, KPU menilai ada tiga syarat yang sejatinya belum benar-benar terjawab melalui e-voting yaitu aspek kepercayaan keamanan, aspek transparansi, serta proses uji coba teknis yang terus menerus. Kehadiran persyaratan ini sejalan dengan kerangka persyaratan kumulatif yang dituntut oleh MK, bahwa penggunaan e-voting harus memenuhi syarat lain yang dianggap perlu. Pandangan KPU merupakan pandangan yang wajib dipertimbangkan. Tingkat kepercayaan masyarakat adalah kunci penyelenggaraan yang adil dan jujur. Penggunaan e-voting masih menghadapi soal kepercayaan masyarakat. Metode ini akan mengubah paradigma masyarakat soal tata cara memilih pemimpin. Selain itu pengalaman negara lain juga menggaris bawahi bahwa persoalan yang dihadapi juga menyangkut kepercayaan. Berdasarkan kajian perludem, e-voting juga belum relevan untuk digunakan di Indonesia. E-voting yang dilakukan di negara lain berkenaan dengan temuan kecurangan dalam proses pemungutan suara. Sedangkan di Indonesia terletak pada proses rekapitulasi perolehan suara. Seharusnya solusi teknologi bisa mengantisipasi masalah pada rekap suara. Sedangkan proses pungut hitung seharusnya dipertahankan, dengan catatan pendidikan bagi pemilih harus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. 4

KPU RI telah menawarkan penerapan teknologi E-Recapitulation (e-recap) untuk menjawab masalah rekapitulasi. Alih-alih mendesain teknologi untuk metode pungut hitung yang baru, KPU RI lebih menggagas teknologi yang memperbaiki dimensi rekapitulasi suara. Teknologi ini disebut SITUNG (Sistem Informasi Pungut Hitung) dan sudah pernah digunakan pada Pemilu 2014, Pilkada 2015, Pilkada 2017. Kendati sifatnya tidak mengkoreksi atau menyatakan hasil perolehan suara, namun tingkat kesuksesannya sangat tinggi dan tidak terdapat celah gugatan. Teknologi yang digunakan juga cocok untuk menjawab masalah yang dihadapi di proses pungut hitung pemilu Indonesia. Saat ini KPU RI juga mengabarkan sedang meningkatkan kualitas teknologinya dengan mendigitalisasi beberapa proses e-recap yang masih manual, yaitu uji coba teknologi Seven Segment. Dari pengalaman praktis yang telah dilakukan, Perludem sejalan dengan KPU RI bahwa teknologi yang paling tepat untuk meningkatkan kualitas pungut hitung di pemilu Indonesia adalah e-recap, bukan e-voting. E-recap memiliki banyak keunggulan dan berhasil diterapkan tanpa resiko yang berarti. Sedangkan e-voting masih menyisakan banyak celah lemah yang harus ditutupi, serta sangat beresiko melemahkan kualitas dan integeritas proses pemilu. Oleh karena itu, Perludem mendesak Pemerintah serta DPR RI untuk tidak menjadikan e-voting sebagai satusatunya solusi teknologi untuk pungut hitung Indonesia. Pemerintah dan DPR sebaiknya ikut mempelajari dan mempertimbangkan teknologi e-recap yang sedang disiapkan oleh KPU RI. Minimnya pilihan teknologi serta ketergesaan dalam mengambil keputusan dapat meruntuhkan pencapaian baik yang telah diraih oleh Indonesia di bidang kepemiluan. Narahubung: Titi Anggraini, 0811822279 Direktur Eksekutif Perludem titi.perludem@gmail.com 5