TINJAUAN PUSTAKA Pinang Pinang merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara rinci, sistematika pinang diuraikan sebagai berikut: Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Monokotil : Arecales : Arecaceae atau Palmae : Areca : Areca catechu L (Sihombing, 2000) Kandungan kimia pinang Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C 8 H 13 NO 2 ), arekolidine, arekalin, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin terkondensasi, tannin terhidrolisis, flavon, senyawa fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang dkk. 1996 dalam Maskromo dan Miftahorrochman 2007). Nonaka (1989) dalam Maskromo dan Miftahorrochman (2007) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid. Proantosianidin mempunyai efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik, antiinflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi (Fine 2000 dalam Maskromo dan Miftahorrochman 2007). Tanaman pinang berpotensi antikanker karena memiliki
efek antioksidan, dan antimutagenik (Wang dkk. 1996 dalam Maskromo dan Miftahorrochman 2007). Leigh (2003) dalam Maskromo dan Miftahorrochman (2007) menyatakan batang pinang mengandung beberapa kandungan yang sama dengan buahnya. Batang pinang mengandung alkaloid, tanin, kanji, resin, karbohidrat, dan arekolin. Menurut Nugroho dkk. (2004) batang kelapa bagian atas dan bagian dalam banyak mengandung gula dan pati sehingga proses ekstraksi membuat sebagian gula dan pati akan terlarut. Distribusi holoselulosa pada kelapa baik secara longitudinal maupun lateral memiliki kecenderungan tidak beraturan. Morfologi tumbuhan Pinang merupakan tanaman famili palmae yang dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan (Depkes RI, 1989).
Gambar 1. Pinang dan bagian-bagiannya Sumber: http://www.wikipedia.co.id/pinang Sifat Anatomis Sifat anatomi kayu merupakan sifat dasar yang ada dalam kayu yang harus diketahui, baik bentuk serat, pori-pori, dan lainnya yang dapat memudahkan dalam kegiatan identifikasi jenis kayu. Menurut Butterfield dan Meylan (1980) dalam Rahayu (2001) kayu kelapa disusun oleh tiga elemen utama yaitu ikatan pembuluh yang terdiri dari serat sklerenkim dan pembuluh. Ikatan serat dan jaringan dasar berupa sel-sel bersifat parenkimatis sangat penting pada batang palmae. Ikatan pembuluh Ikatan pembuluh tersebar secara acak pada jaringan dasar dan merupakan jaringan pertumbuhan secara lateral namun tidak terjadi penambahan jumlah selsel lateral, sehingga penambahan diameternya tidak sebesar pada dikotil. Hal ini dapat dilihat pada batang kelapa yang berbentuk silindris, sedangkan ikatan
pembuluh pada dikotil membentuk lingkaran yang memungkinkan terjadi penambahan diameter pohon (Anonim 1992 dalam Wardhani 2005). Pada satu ikatan pembuluh terdapat serat dan pembuluh metaxilem yang berdiameter besar terdiri dari phloem dan xilem. Serat merupakan sel yang bersifat sklerenkimatis yang sangat bervariasi baik ukuran maupun bentuknya, terdiri dari sel-sel serat yang panjang dan atau sklereid yang pendek dan membentuk sarung yang menutupi ikatan pembuluh dan pembuluh metaxilem. Dalam satu ikatan pembuluh minimal terdapat satu pembuluh metaxilem (Wardhani, 2005). Ikatan pembuluh pada kayu kelapa terdiri dari pembuluh sebagai penyalur makanan dan serabut sebagai penyokong batang (Asia Pasific Coconut Community 1979 dalam Wardhani 2005). Kemampuan ikatan pembuluh sebagai penyokong kekuatan kayu berkaitan erat dengan tebal dinding sel serabut dan kandungan silika dalam sel. Pertumbuhan skelerenkim kayu kelapa yang baik akan mengakibatkan pembentukan lignin yang tinggi pada ikatan pembuluh dan meningkatkan nisbah serabut dan pembuluh (Rahayu, 2001). Parenkim Pinang dan kelapa merupakan famili palmae, membuat beberapa sifat pinang dapat dirujuk pada beberapa sifat kelapa. Menurut Sudarna (1990) dalam Rahayu (2001), secara garis besar struktur anatomi batang kelapa terdiri dari jaringan parenchyme sebagai jaringan dasar, dan sejumlah ikatan pembuluh yang tersebar diantara jaringan parenchyme terdiri dari sel-sel berdinding tipis berbentuk polignol sampai bundar. Menurut Rojo dkk. (1988) dalam Wardhani (2005) jaringan parenkim merupakan salah satu jaringan yang sangat
penting pada batang palma termasuk kelapa. Bentuknya beragam antara lain berbentuk kompak, ramping atau kadang-kadang berbentuk seperti karang (spongy) dan banyak mengandung gula. Di dalam kayu, parenkim merupakan jaringan yang berfungsi untuk menyimpan serta mengatur bahan makanan cadangan. Menurut Pandit dan Ramdan (2002), berdasarkan penyusunannya, parenkim dibagi atas 2 macam yaitu: 1. Parenkim aksial (parenkim), yang tersusun secara vertikal 2. Parenkim jari-jari (jari-jari kayu), yang tersusun secara horisontal Ciri parenkim yang penting untuk diidentifikasi adalah susunannya sebagaimana dilihat pada penampang lintang kayu. Pada bagian ini, dengan bantuan lup, parenkim biasanya dapat dilihat berupa jaringan yang berwarna lebih cerah daripada jaringan serat, umumnya hampir putih dan lainnya agak coklat atau coklat merah. Secara garis besar, susunan parenkim dapat dibagi atas dua tipe berdasarkan hubungannya dengan pembuluh. Tipe pertama dinamakan parenkim apotrakea yaitu semua bentuk parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan pembuluh. Tipe kedua parenkim paratrakea, meliputi semua parenkim yang berhubungan dengan pembuluh (Mandang dan Pandit, 1997). Serat Asia Pasific Coconut Community (1979) dalam Rahayu (2001) mengemukakan kayu palmae mempunyai sifat yang lebih dekat dengan kayu daun lebar daripada kayu daun jarum. Hal ini dicerminkan oleh adanya saluran pada struktur kayu kelapa sawit yang menyerupai sel pembuluh pada kayu daun lebar.
Jadi untuk mengetahui serat pada batang pinang rujukan dari serat daun lebar dapat digunakan. Apabila sepotong kayu daun lebar seratnya dipisah-pisahkan dan diamati di bawah mikroskop, maka akan tampak sel-sel dengan berbagai macam bentuk ukuran, ada yang mirip tong atau pipa, ada yang mirip kotak dan ada yang berbentuk panjang dan sangat lansing. Sel-sel yang berbentuk panjang dan langsing ini dikenal dengan nama serat. Dinding serat biasanya lebih tebal dari dinding parenkim dan pembuluh. Panjangnya antara 300-3600 mikron. Ketebalan dindingnya relatif dibandingkan diameter, dapat tipis, tebal atau sangat tebal. Serat dikatakan berdinding sangat tebal jika lumen atau rongga selnya hampir seluruhnya terisi dengan lapisan-lapisan dinding. Dari ciri inilah dapat dipahami bahwa serat berfungsi sebagai penguat batang pohon (Mandang dan Pandit, 1997). Casey (1960) dalam Panggabean (2008) mengklasifikasikan serat berdasarkan panjang serat (Tabel 1) dan berdasarkan diameter serat (Tabel 2). Tabel 1. Penggolongan panjang serat No. Golongan Panjang Serat (µ) 1. 2. 3. Pendek Sedang Panjang < 900 900 1600 > 1600 Sumber: Casey (1960) dalam Panggabean (2008) Tabel 2. Penggolongan diameter serat No. Golongan Diameter Serat (µ) 1. 2. 3. Tipis Sedang Lebar < 10 10 20 > 20 Sumber: Casey (1960) dalam Panggabean (2008)
Sifat Fisis Sifat fisis kayu merupakan faktor dalam dari struktur kayu yang sangat menentukan, disamping peran lingkungan dimana kayu tersebut tumbuh. Beberapa sifat fisis kayu yang dianggap penting antara lain: kadar air, kerapatan, kembang susut dan berat jenis kayu (Dumanauw, 1990). Kadar air Kadar air kayu merupakan jumlah air yang dikandung kayu, yang dinyatakan dalam berat kering ovennya. Jumlah air yang dikandung kayu bervariasi tergantung dari jenis kayu, berkisar antara 40-200 % berat kering kayu (Panshin dan de Zeeuw, 1980). Variasi kadar air ditentukan antara lain oleh kemampuan kayu atau massa kayu untuk menyimpan air dan adanya zat ekstraktif kayu yang bersifat higroskopis yang mungkin terdapat pada dinding atau dalam lumen sel kayu. Prayitno (1995) mengemukakan, variasi kadar air kayu kelapa sawit relatif lebih besar seperti pada kayu daun lebar yang mempunyai berat jenis rendah yaitu 129,6 470 %. Bakar dkk. (1999) juga mengemukakan bahwa kadar air tertinggi kelapa sawit berkisar berkisar antara 345 500 %, variasi ini cenderung turun dari atas batang ke bawah dan dari empulur ke tepi. Haygreen dkk. (2003) mengemukakan bahwa titik dimana semua air cair di dalam rongga sel telah dikeluarkan tetapi dinding sel masih jenuh disebut titik jenuh serat (TJS). Ini adalah suatu titik yang kritis, karena di bawah titik ini sifat kayu terganggu oleh perubahan-perubahan dalam kandungan air. Banyaknya air yang terdapat di dalam kayu apabila digunakan di dalam lingkungan-lingkungan
yang tidak berhubungan langsung dengan air cair akan selalu lebih rendah daripada TJS. Kerapatan Kerapatan kayu adalah massa atau berat kayu per unit volume kayu. Kerapatan merupakan faktor penting untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik kayu (Panshin dan Zeeuw, 1980). Kerapatan kayu didalam suatu spesies telah ditemukan bervariasi dengan sejumlah faktor yang meliputi letaknya dalam pohon, letak dalam kisaran spesies tersebut, kondisi tempat tumbuh (tanah, air, dan kelerengan) dan sumber-sumber genetik (Haygreen dkk., 2003). Pinang adalah famili palmae yang juga merupakan famili dari gewang (Corypha utan Lamk.). Semakin ke dalam batang gewang mendekati empulur, jumlah ikatan pembuluh semakin sedikit. Jaringan ikatan pembuluh memiliki kerapatan yang lebih tinggi daripada jaringan di sekitarnya. Nilai kerapatan batang gewang memang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kerapatan batang kelapa. Namun bila dibandingkan dengan kerapatan kelapa sawit nilai batang gewang masih lebih tinggi (Naiola dkk., 2008). Secara fisis kayu kelapa mempunyai kerapatan yang sangat beragam baik dari pangkal ke ujung maupun dari tepi ke dalam. Pada bagian pangkal dan tepi mempunyai kerapatan yang tinggi dan didominasi oleh ikatan pembuluh dewasa sedangkan bagian tengah dan ujung lebih banyak mengandung jaringan dasar berupa parenkim serta ikatan pembuluh muda dengan kerapatan yang lebih rendah. Kerapatan yang beragam dalam suatu pohon kemungkinan diikuti oleh variasi kandungan kimia kayu. Karena menurut Tsoumis (1991) dan
Walker (1993) dalam Nugroho dkk. (2004) kandungan kimia kayu berpengaruh terhadap kerapatan. Penyusutan Haygreen dkk. (2003) mengemukakan jika kayu kehilangan air di bawah TJS, yaitu kehilangan air terikat, kayu menyusut. Sebaliknya, jika air memasuki struktur dinding sel, kayu mengembang. Penyusutan dan pengembangan adalah suatu proses yang benar-benar terbalikkan dalam potongan-potongan kecil kayu bebas tegangan. Besarnya penyusutan umumnya sebanding dengan banyaknya air yang dikeluarkan dari dinding sel. Hal ini berarti bahwa spesies dengan kerapatan tinggi haruslah menyusut lebih banyak per persen perubahan kandungan air daripada spesies dengan kerapatan rendah. Inilah kasus pada umumnya. Perhatikan kayu dengan kerapatan tinggi kehilangan air lebih banyak per persen perubahan kandungan air (Haygreen dkk., 2003). Menurut Wiryomartono (1976) peringkat kembang susut dalam kayu terbesar pada arah tangensial (4,3 14 %), sedang pada arah radial (2,1-8,5 %), dan terkecil pada arah longitudinal (0,1-0,2 %). Susut tangensial (ST) dua kali lebih besar susut radial (SR), hal ini disebabkan oleh: 1. Adanya tahanan jari-jari yang menyebabkan susut radial ditahan oleh jarijari. 2. Noktah pada dinding radial lebih banyak daripada dinding tangensial, sehingga proporsi zat kayu pada dinding radial lebih sedikit. 3. Adanya perbedaan lebar proporsi kayu awal dan kayu akhir.
Sifat Mekanis Sifat mekanis kayu merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja terhadapnya. Gaya luar adalah gaya-gaya yang datangnya dari luar benda dan bekerja pada benda tersebut, gaya ini cenderung mengubah ukuran atau bentuk benda (Wangaard 1950 dalam Rahayu 2001). Sedangkan Brown dkk. (1952) mendefinisikan sifat mekanis kayu sebagai sifat yang berhubungan dengan gaya luar terhadap kayu dan reaksi kayu itu sendiri. Naiola dkk. (2008) menyatakan gewang memiliki nilai keteguhan tekan tinggi pada awalnya dan semakin menurun stabil ke arah dalam. Pada bagian luar lebih banyak didominasi oleh jaringan ikatan pembuluh yang mempengaruhi kekuatan gewang dibandingkan bagian dalam yang lebih banyak jaringan parenkimnya yang cenderung melemahkan batang gewang. Adanya keragaman yang cukup lebar dari nilai sifat-sifat mekanik disebabkan adanya perbedaan struktur dari batang gewang mulai bagian luar sampai ke dalam batang serta bagian bawah dan tengah batang. Pada bagian dalam batang sebagian besar terbentuk atas jaringan dasar parenkim sedangkan untuk luar dan tepi yang didominasi oleh berkas pembuluh yang cukup tebal (vascular bundles) (Naiola dkk., 2008). Satu faktor penyebab menurunnya kekuatan patah kayu kelapa seiring dengan meningkatnya letak ketinggian dalam batang adalah penyimpangan arah sudut serat kayu. Pada tanaman monokotil, semakin ke arah ujung maka sudut penyimpangan tersebut semakin besar karena adanya bakal daun atau pelepah yang tumbuh mengelilingi batang (Rudall 1997 dalam Wardhani 2005). Sudut serat merupakan salah satu yang berpengaruh terhadap kekuatan kayu seperti
kekuatan patah (MOR). Semakin besar sudut serat maka kekuatannya akan semakin rendah (Tsoumis, 1991). Seperti halnya kekakuan bahan (Modulus of Elasticity), penurunan MOR (Modulus of Rupture) dari pangkal ke ujung juga dipengaruhi oleh struktur anatomi seperti dimensi serat dan ikatan pembuluh. Ikatan pembuluh pada bagian ujung umumnya mempunyai lebih dari satu metaxilem yang berdiameter besar, sedangkan bagian pangkal lebih banyak ikatan pembuluh yang mempunyai satu pembuluh metaxilem dan berdiameter kecil. Kehadiran pembuluh metaxilem yang lebih banyak menyebabkan kekuatan kayu menurun (Wardhani, 2005). Kollman dan Cöré (1984) dalam Wardhani (2005) menyatakan bahwa banyaknya pembuluh kayu dengan diameter yang besar dapat menurunkan kekuatan kayu. Hal ini dapat dilihat dari kerusakan setelah pengujian yang berbentuk getas (brashness). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan kayu bebas cacat yaitu: - Kandungan air. Kenaikan kekuatan umumnya mulai nampak sedikit di bawah titik jenuh serat biasanya sekitar KA 25 %. - Waktu penyimpanan. Sejumlah kehilangan kekuatan akan terjadi apabila penyimpanan lama. - Suhu. Kebanyakan sifat-sifat mekanik berkurang apabila kayu dipanaskan dan bertambah apabila didinginkan. Selama suhu tidak melebihi kira-kira 100 0 C, terdapat sedikit saja kehilangan kekuatan yang permanen. - Kelelahan (fatigue). Kekuatan lelah suatu bahan adalah kemampuannya untuk mempertahankan kekuatannya apabila dikenai beban berat berulang.
- Kayu reaksi. Efek kayu reaksi yang tidak menentu dalam penggunaan kayu struktural akan mempengaruhi sifat mekanik. - Ekspos pada zat kimia. Kekuatan kayu mungkin berkurang oleh ekspos pada lingkungan asam atau basa yang berat. (Haygreen dkk., 2003). Keawetan Alami Kayu Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi organisme yang bersangkutan. Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai lama. Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian kayu terasnya, sedangkan kayu gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur pemakaiannya (Duljapar, 2001). Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu dalam konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila konstruksi tersebut berumur beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi, meskipun suatu jenis kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas awetnya rendah (Tim Elsppat, 1997).
Suranto (2002), memaparkan bahwa tiap-tiap kelas keawetan itu memberi gambaran tentang umur kayu dalam pemakaian. Secara utuh klasifikasi keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 3 dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 3. Klasifikasi keawetan kayu Kelas Keawetan Kualifikasi Keawetan Umur Pemakaian (tahun) I II III IV V Sangat awet Awet Agak awet Tidak awet Sangat tidak awet > 8 5 8 3 5 1,5 3 < 1,5 Sumber: Suranto (2002) Tabel 4. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu No 1. 2. 3. 4. Kondisi Umur Pakai (Tahun) Pada Kelas Keawetan Pemakaian I II III IV V Terbuka 8 5 3 Pendek Dinaungi saja Dinaungi dan dicat Dinaungi dan dipelihara Sumber: Suranto (2002) 20 Tidak terbatas Tidak terbatas 15 Tidak terbatas Tidak terbatas 10 Sangat panjang Sangat panjang Beberapa Beberapa 20 Sangat pendek Pendek Pendek 20 Keawetan kayu selain dipengaruhi faktor biologis, juga dipengaruhi faktor lain seperti, kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang, kecepatan tumbuh dan tempat kayu tersebut dipergunakan (Tim Elsppat, 1997). Hal yang sama ditambahkan oleh Haygreen dkk. (2003), apabila kayu secara alami dapat tahan terhadap serangan cendawan dan serangga disebabkan karena sebagian zat ekstraktif bersifat racun atau paling tidak menolak jamur pembusuk dan serangga. Selain itu menurut Tim Elsppat (1997), faktor suhu, kelembaban
udara dan faktor fisik lainnya akan ikut mempengaruhi kegiatan organisme perusak kayu tersebut.